Gambaran Implementasi Kebijakan 10 LMKM di Fasilitas Kesehatan
TEMUAN KUNCI
✓ Hanya 1 dari 37 fasilitas kesehatan (2.7%) yang patuh terhadap semua langkah dalam 10 LMKM.
✓ Kepatuhan tertinggi yaitu pada langkah 8, yaitu sebesar 94.6%, terkait mendorong ibu menyusui semau bayi semua ibu, tanpa pembatasan terhadap lama dan frekuensi menyusui.
✓ Kepatuhan terendah yaitu pada langkah 1, hanya 16.2% fasilitas
kesehatan yang memiliki kebijakan tertulis mengenai pemberian ASI yang secara ruting dikomunikasikan kepada semua staf perawatan kesehatan.
✓ Kurang dari setengah fasilitas kesehatan mematuhi implementasi dari langkah 2 terkait pelatihan bagi petugas (43.2%), langkah 4 terkait menempatkan bayi kontak kulit ke kulit dengan ibunya (48.6%), dan langkah 7 terkait melaksanakan praktik rawat gabung (27.0%).
Asesmen 10 LMKM secara kuantitatif di fasilitas kesehatan dilakukan dengan berpedoman pada standard assessment tools yang dikembangkan oleh UNICEF-WHO yang memuat kriteria-kriteria yang harus dipenuhi untuk tiap langkah dalam 10 LMKM. Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur ke
pimpinan fasilitas kesehatan (self-appraisal) dan validasi oleh ibu bersalin sekitar setengah dari total fasilitas kesehatan yang diwawancarai.
Pengumpulan data kuantitatif dilakukan terhadap 37 pimpinan atau perwakilan pimpinan fasilitas kesehatan di Kabupaten Jember. Berdasarkan jenis fasilitas kesehatan, puskesmas dan bidan praktik mandiri memiliki proporsi yang sama, yaitu masing-masing sebesar 40.5%, dan terdapat tujuh rumah sakit (18.9%) yang datanya berhasil dikumpulkan dalam asesmen 10 LMKM ini. Selain itu, sebagian besar fasilitas kesehatan terpilih dalam asesmen melayani pasien dengan BPJS Kesehatan. Karakteristik pimpinan menunjukkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, dan rata-rata umur responden yaitu 47.1 tahun. Berdasarkan kualifikasi pendidikan, sebagian besar merupakan bidan (89.2%), dan rata-rata lama kerja responden yaitu 12.7 tahun, dengan rentang lama bekerja terpendek yaitu 1 tahun dan terpanjang yaitu 40 tahun.
Tabel 8. Karakteristik fasilitas kesehatan dan responden di Kabupaten Jember
Variabel f (%)
Karakteristik Fasilitas Kesehatan Jenis fasilitas kesehatan
Puskesmas 15 (40.5)
Rumah sakit RS umum RSIA
7 (18.9) 6 (16.2) 1 (2.7)
Klinik bersalin swasta 0 (0.0)
Bidan praktik mandiri 15 (40.5)
Melayani pasien dengan BPJS Kesehatan
Ya 27 (73.0)
Tidak 10 (27.0)
Karakteristik Responden di Fasilitas Kesehatan Jenis kelamin
Laki-laki 2 (5.4)
Perempuan 35 (94.6)
Umur (tahun)
Min; Max 25; 62
Mean (SD) 47.1 (7.8)
Kualifikasi pendidikan
Bidan 33 (89.2)
Dokter 2 (5.4)
Kesehatan Masyarakat 2 (5.4)
Lama bekerja (tahun)
Min; Max 1; 40
Mean (SD) 12.7 (10.7)
Langkah 1. Memiliki kebijakan tertulis mengenai pemberian ASI yang secara rutin dikomunikasikan kepada semua staf perawatan kesehatan
Gambar 33. Implementasi langkah 1 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember
Asesmen langkah pertama menilai terkait dengan adanya kebijakan tertulis mengenai pemberian ASI di fasilitas kesehatan didasarkan pada apa yang dilaporkan oleh pimpinan fasilitas kesehatan tanpa adanya validasi dari ibu bersalin. Pada langkah 1, terdapat empat kriteria paling banyak dipenuhi dengan nilai yang sama tinggi, yaitu sebesar 94.6%. Item tersebut diantaranya terkait ada kebijakan yang melindungi ibu menyusui dengan melarang promosi produk pengganti ASI (s1.2), ada kebijakan yang melarang pemberian sampel dan paket hadiah berupa produk pengganti ASI (s1.4), terdapat kebijakan yang mencakup bahan informasi untuk melakukan advokasi pentingnya menyusui (s1.5), dan semua petugas yang merawat bayi sudah merujuk pada kebijakan tersebut (s1.6).
Lebih dari 80% pimpinan menyatakan bahwa sudah ada kebijakan yang melarang tersedianya produk pengganti ASI yang diberikan secara gratis atau dengan potongan harga (s1.3). Selain itu, kebijakan yang ada juga sudah disusun berbasis bukti terkini (s1.10).
Namun, masih banyak item yang memiliki nilai dibawah 80%. Sebanyak 78.4% pimpinan menyatakan bawha kebijakan yang ada juga berlaku di fasilitas pendukung, seperti klinik satelit, puskesmas pembantu, dan lainnya (s1.11).
Sebagian besar pimpinan (64.9%) menyatakan bahwa kebijakan yang ditempelkan sudah disampaikan dalam bahasa yang mudah dipahami (s1.8). Hanya sebesar 54.1% pimpinan menyatakan bahwa terdapat mekanisme evaluasi berkala
tentang kebijakan tersebut (s1.9). Meskipun sudah ada kebijakan terkait aktivitas menyusui, belum banyak pimpinan yang melaporkan adanya kebijakan yang tertulis secara spesifik yang menyebutkkan 10 LMKM (37.8%). Hal tersebut menyebabkan item terkait pemasangan iklan/kebijakan tentang menyusui di seluruh areal fasilitas kesehatan memperoleh nilai yang rendah, seperti kebijakan tertulis tentang 10 LMKM (s1.7a), tatalaksana bayi dari ibu HIV positif (s1.7c), dan kode pemasaran produk pengganti ASI (s1.7b).
Langkah 2. Melatih semua staf pelayanan kesehatan dalam hal pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut
Gambar 34. Implementasi langkah 2 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember
Sama dengan langkah 1, asesmen langkah 2 juga didasarkan pada self-appraisal dari pimpinan fasilitas kesehatan. Pada langkah ini, capaian tertinggi yaitu semua pimpinan fasilitas kesehatan melaporkan bahwa petugas yang merawat ibu hamil, ibu bersalin, dan bayi memahami pentingnya menyusui dan mengetahui kebijakan yang mendukung praktik menyusui (s2.2). Persentase yang cukup tinggi, di atas 90% untuk kriteria semua petugas merawat ibu hamil, ibu bersalin, dan bayi memperoleh orientasi terkait dengan kebijakan menyusui (s2.1) dan petugas klinis yang merawat ibu dan bayi mampu menjawab pertanyaan sederhana tentang menyusui (s2.6). Item mengenai petugas mendapat pelatihan tentang dukungan menyusui (s2.3) mendapatkan persentase 89.2%. Sebanyak 70.3% pimpinan menyatakan bahwa pelatihan yang ada juga membekali petugas klinis tentang pemberian asupan bayi yang tidak disusui dan tetap mendukung ibu yang telah membuat keputusan untuk tidak menyusui (s2.7). Terkait dengan
apakah pelatihan yang diberikan sudah mencakup 10 LMKM, UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP no 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Ekslusif (s2.4), sebanyak 62.2% pimpinan menyetujui hal tersebut. Proporsi yang sama juga diperoleh untuk kriteria pelatihan yang dilakukan setidaknya 20 jam (s2.5).
Sebanyak 59.5% pimpinan setuju bahwa keberadaan petugas non-klinis juga mampu menjawab pertanyaan sederhana terkait menyusui (s2.9). Terdapat 2 item yang mendapatkan persentase rendah, yaitu item (s2.8) terkait pelatihan petugas non-klinis yang mampu membekali mereka pengetahuan dalam mendukung aktivitas menyusui (48.6%) dan instansi telah menyusun/merencanakan pelatihan khusus tentang dukungan menyusui (s2.10), yang hanya mendapatkan persentase sebanyak 37.8%.
Langkah 3. Menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui dan penatalaksanaannya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir sampai umur 2 tahun termasuk cara mengatasi kesulitan menyusui
Gambar 35. Implementasi langkah 3 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember
Langkah 3 mendokumentasikan peranan fasilitas kesehatan dalam memberikan informasi kepada ibu hamil tentang manfaat menyusui dan penatalaksanaannya. Hasil asesmen langkah 3 didasarkan pada laporan pimpinan faskes dan juga validasi dari ibu bersalin. Hasil self-appraisal juga menunjukkan semua pimpinan(100.0%) setuju bahwa penyampaian informasi yang dilakukan telah mencangkup topik kunci pentingnya pemberian ASI dan cara menyusui (s3.4), sejalan dengan hasil validasi oleh ibu bersalin yang sedikit lebih rendah sebesar 95.5% [40.1%-73.5%%] (v3.2). Selain itu, semua pimpinan
fasilitas kesehatan(100.0%) menyampaikan bahwa catatan antenatal ibu tersedia saat persalinan (s3.8). Kriteria apakah ibu hamil mendapat informasi tentang pentingnya menyusui dan cara menyusui (s3.2) mendapat persentase sebesar 97.3% dan ibu hamil terlindungi dari promosi susu formula dan produk bayi lainnya (s3.5) mendapat persentase sebesar 94.6%, serta ketersediaan catatan antenatal yang menunjukkan bahwa menyusui telah didiskusikan dengan ibu hamil (s3.3) mendapatkan persentase sebesar 94.6%.
Pada hasil self-appraisal untuk kriteria ibu hamil mendapat layanan antenatal mampu menyebutkan resiko pemberian susu formula dan makan tambahan sebesar 89.2% [78.6%-99.6%] (s3.6), sedangkan hasil validasi oleh ibu bersalin sedikit lebih rendah, yaitu 72.8% [52.5%-92.9%] ibu bersalin memperoleh informasi terkait dengan risiko pemberian susu formula dan makanan tambahan (v3.3). Selain itu, hasil self-appriasalhampir sama ditemui pada kriteria ibu hamil yang menerima ANC mampu menyebutkan pentingnya kontak dari kulit ke kulit sebesar 86.5% [74.9%-98.0%] (s3.7)dengan informasi yang diperoleh ibu bersalin terkait hal tersebut sebesar86.4% [70.7%-100.0%] (v3.4).
Langkah 4. Menempatkan bayi kontak kulit ke kulit dengan ibunya segera setelah lahir selama setidaknya satu jam dan memotivasi ibu untuk mengenali tanda-tanda bayi siap menyusu, dan menawarkan bantuan jika diperlukan
Gambar 36. Implementasi langkah 4 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember
Asesmen terhadap langkah 4 juga dilakukan terhadap pimpinan dan ibu bersalin. Hasil asesmen menunjukkan bahwa sebagian besar pimpinan yaitu
91.9% [82.7%-100.0%] menyatakan bahwa ibu bersalin secara normal maupun dengan sectio cesaria tanpa anestesi umum diberikan kesempatan melakukan kontak kulit ke kulit segera setelah lahir (s4.1), tetapi dengan hasil validasi oleh ibu bersalin yang sedikit lebih rendah, yaitu 90.9% [77.8%-99.4%] (v4.1). Begitu pula, sebagian besar pimpinan (91.9%) menyetujui untuk pernyataan terkait dengan petugas memberikan bantuan kepada ibu untuk mengenali tanda bayi siap menyusu (s4.3), dan hasil validasi sedikit lebih rendah, yaitu 81.8% [64.3%-99.3%] (v4.3). Untuk ibu dengan bayi yang dalam perawatan khusus, sebanyak 85.7% pimpinan fasilitas kesehatan yang menyatakan bahwa ibu bersangkutan dimotivasi untuk menjaga bayinya dengan kontak kulit ke kulit (s4.5). Sedangkan untuk ibu yang melahirkan secara sectio cesaria dengan anestasi umum, sebanyak 71.4% [26.3%-100.0%] pimpinan yang menyatakan ibu tersebut diberikan kesempatan kontak kulit ke kulit (s4.2), sedangkan persentase dari ibu bersalin menujukkan capaian yang sedikit lebih tinggi yaitu 83.3% [40.5%-100.0%] (v4.2). Untuk ibu yang memutuskan tidak melakukan kontak kulit ke kulit, hanya 51.4% [37.2%-70.9%] pimpinan yang menyatakan bahwa ibu tersebut diminta menandatangani surat pernyataan (s4.4), sedangkan hasil validasi jauh lebih rendah, yaitu 13.6% [4.0%-37.2%] pada ibu bersalin (v4.4).
Langkah 5. Membantu ibu bagaimana menyusui yang benar dan mempertahankan menyusui, termasuk jika ibu dan bayi terpisah atas indikasi medis
Gambar 37. Implementasi langkah 5 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember
Langkah 5 menyoroti tentang peranan petugas kesehatan dalam membantu ibu menyusui dengan benar. Kriteria dengan persentase yang tinggi yaitu 97.3%
pimpinan menyatakan bahwa ibu yang sebelumnya tidak pernah menyusui atau mengalami masalah menyusui mendapat perhatian dan dukungan dari pertugas (s5.6). Selain itu, 94.6% [86.9%-100.0%] pimpinan menyampaikan bahwa petugas menawarkan bantuan lebih lanjut untuk menyusui bayinya dalam 6 jam setelah melahirkan (s5.1), hal ini sesuai dengan hasil validasi yang sedikit lebih tinggi, yaitu mencapai 95.5% [86.0%-99.6%] ibu bersalin menyatakan ditarwakan bantuan tersebut oleh petugas kesehatan (v5.1). Terkait dengan pertanyaan tentang kemampuan petugas dalam menjelaskan dan mendemonstrasikan keterampilan menyusui pada ibu, hasil validasi jauh lebih rendah yaitu 45.5%
[22.8%-68.0%] (v5.2), dibandingkan hasil self-appriasal sebesar 94.6% (s5.2).
Begitu pula, untuk pernyataan terkait petugas kesehatan menunjukkan bagaimana cara memerah ASI yang disampaikan oleh 94.6% [86.9%-100.0%]
pimpinan fasilitas kesehatan (s5.4), tetapi hanya 86.4% [70.8%-95.9%] ibu bersalin yang setuju terkait hal tersebut (v5.4).
Untuk validasi terkait dengan apakah petugas kesehatan selalu ada setiap saat memberikan nasehat kepada ibu hamil menujukkan angka yang jauh lebih rendah yaitu 63.6% [41.8%-85.5%] (v5.5), dibandingkan hasil self-appraisal oleh pimpinan sebesar 86.5% [64.3%-99.3%] (s5.5). Item mengenai petugas akan membantu ibu untuk menyusui dalam 6 jam setelah persalinan bagi ibu dengan bayi dalam perawatan khusus (s5.9) mendapat persentase 83.8%. Hanya 70.3%
pimpinan yang menyatakan bahwa petugas memberikan nasehat tentang pilihan lain pemberian asupan untuk bayi yang dalam perawatan khusus (s5.10). Selain itu, 62.2% yang menyatakan bahwa petugas kesehatan memberikan nasehat atau saran tentang pilihan lain pemberian asupan pada bayi untuk ibu yang memutuskan tidak menyusui bayinya (s5.7) dan 45.9% yang menyatakan meminta ibu mendandatangani surat pernyataan jika memutuskan tidak menyusui (s5.8).
Langkah 6. Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayi baru lahir, kecuali ada indikasi medis
Gambar 38. Implementasi langkah 6 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember
Berdasarkan langkah 6 terkait dengan larangan pemberian makanan atau minuman selain ASI yang hanya didasarkan pada self-appraisal dari pimpinan, semua pimpinan fasilitas kesehatan menyatakan tidak adanya poster atau materi promosi susu formula dan produk bayi lainnya di fasilitas kesehatan (s6.8).
Sebanyak 97.3% pimpinan yang menyetujui bahwa bayi yang disusui tidak mendapatkan asupan selain ASI, kecuali ada alasan medis yang terbukti (s6.2).
Selain itu, 86.5% pimpinan yang menyatakan bahwa semua pedoman pelayanan yang berkaitan dengan menyusui dan pemberian makan sesuai dengan pedoman berbasis bukti (s6.7). Walaupun 97.3% fasilitas kesehatan melaporkan adanya pedoman dan tata laksana afiksia (s6.7a), tetapi tidak semua fasilitas kesehatan melaporkan memiliki pedoman pelayanan diagnosis dan tata laksana berikut (s6.7b-s6.7e): hipoglikemia (86.1%), ikterus (83.8%), BBLR (97.3%), sepsis (70.3%), serta adanya catatan rekam medik untuk mebuktikan petugas mematuhi pedoman (86.5%) (s6.7f) dan adanya audit kepatuhan petugas terhadap pedoman pelayanan (81.1%) (s6.7g). Capaian yang cukup tinggi sebesar 94.6% ditemukan untuk kriteria pimpinan fasilitas kesehatan yang menyatakan fasilitas kesehatan tidak mempromosikan susu formula, pemberian makan terjadwal, ataupun praktik lainnya yang tidak terbukti secara ilmiah(s6.4).
Sebanyak 75.7% pimpinan yang setuju bahwa petugas telah mendiskusikan tentang pilihan pemberian asupan bayi kepada ibu yang tidak menyusui (s6.5).
Selain itu sekitar setengah dari pimpinan menyampaikan bahwa penjelasan tentang indikasi medis pemberian susu formula dicantumkan dalam pedoman pelayanan kesehatan (51.4%) (s6.3) dan data fasilitas kesehatan menunjukkan setidaknya 75% bayi lahir keluar RS mendapat ASI esklusif sejak lahir sampai keluar dari fasilitas kesehatan (48.6%) (s6.1). Selanjutnya, capaian yang paling rendah, yaitu 29.7% pimpinan yang melaporkan bahwa tersedianya ruang dan alat yang dibutuhkan unuk menyiapkan susu formula dan pilihan pemberian makan lain (s6.6).
Langkah 7. Melaksanakan praktik rawat gabung, mengupayakan ibu dan bayi tetap bersama 24 jam sehari
Gambar 39. Implementasi langkah 7 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember
Berdasarkan langkah 7 terkait dengan praktik rawat gabung antara ibu dengan bayi. Hasil self-appraisal menunjukkan bahwa semua pimpinan, khususnya rumah sakit menyatakan bahwa ibu dengan sectio cesaria atau prosedur dengan anestesi umum mulai rawat gabung segera sesudah ibu sadar (s7.2), tetapi hasil validasi menunjukkan hasil yang sedikit lebih rendah yaitu 83.3% [40.5%-100.0%] ibu bersalin dengan sectio cesaria yang setuju terkait dengan hal tersebut (v7.4). Walaupun 97.3% [91.8%-100.0%] pimpinan fasilitas kesehatan menyatakan bahwa ibu dan bayi mulai rawat gabung segera sesudah persalinan (s7.1), tetapi hanya 86.4% [70.8%-98.2%] ibu bersalin yang mengonfirmasi hal ini (v7.1). Selanjutnya, persentase pimpinan yang menyatakan bahwa ibu dan bayi rawat gabung 24 jam sehari sebanyak 97.3% [82.3%-100.0%]
(s7.3), sejalan dengan hasil validasi yang menunjukkan proporsi 95.5%
[86.0%-100.0%] ibu bersalin dirawat gabung dengan bayinya 24 jam sehari (v7.2).
Persentase lainnya untuk langkah 7 yaitu ibu bersalin diminta menantangani surat pernyataan jika memutuskan untuk tidak rawat gabung yaitu 37.8%
[21.4%-54.2%] (s7.4), dan hasil dari validasi sedikit lebih rendah yaitu 22.7%
[3.7%-41.7%] (v7.3).
Langkah 8. Mendorong menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan terhadap lama dan frekuensi menyusui
Gambar 40. Implementasi langkah 8 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember
Berdasarkan langkah 8 terkait dengan dorongan menyusui semau bayi dan ibu, hasil self-appraisal menunjukkan bahwa semua pimpinan fasilitas kesehatan menyatakan bahwa ibu menyusui mendapatkan pengetahuan tentang tanda bayi lapar (s8.1) dan hanya 81.8% [64.3%-99.3%] ibu yang menyatakan memperoleh pengethauan tentang tanda bayi lapar (v8.1). Sebanyak 97.3% [91.8%-100.0%] ibu dimotivasi untuk menyusui bayinya sesering dan selama bayi mau (s8.2), sesuai dengan hasil validasi oleh ibu bersalin yaitu 95.5% [86.0%-100.0%] ibu dimotivasi untuk menyusui (v8.2). Capaian yang sama juga diperoleh untuk self-appraisal untuk kriteria ibu dimotivasi untuk menyusui jika payudara terasa penuh (s8.3) yaitu 97.3% [91.8%-100.0%] dengan hasil validasi oleh ibu bersalin yang menunjukkan hasil sedikit lebih rendah yaitu 95.5% [86.0%-98.3%] ibu yang dimotivasi menyusui jika payudara terasa penuh (v8.3).