SEPULUH LANGKAH MENUJU KEBERHASILAN MENYUSUI
ASESMEN
DI PROVINSI JAWA TIMUR
(10 LMKM)
ASESMEN SEPULUH LANGKAH MENUJU
KEBERHASILAN MENYUSUI (10 LMKM)
DI PROVINSI JAWA TIMUR
ASESMEN SEPULUH LANGKAH MENUJU KEBERHASILAN MENYUSUI (10 LMKM) DI PROVINSI JAWA TIMUR
ISBN : 978-623-7511-16-8
Copyright © September 2019
Ukuran: 21 cm X 29.7 cm; Hal: xv + 267
Penulis:
Pande Putu Januraga, I Gusti Ngurah Edi Putra, Ngakan Putu Anom Harjana, Desak Ketut Dewi Satriawati K, Ni Luh Widiantari, I Gusti Agung Mahendra, Mellysa Kowara, Putu Ayu Indrayathi, Dinar SM Lubis, Ni Made Sri Nopiyani, Aang Sutrisna, Agnes A. Mallipu, Ardhiani Dyah Priamsari, Nindya Pamungkas
Disusun oleh Center for Public Health Innovation (CPHI) FK Universitas Udayana dengan dukungan dari Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) Indonesia dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Laporan ini bisa dikutip, disalin dan digandakan dengan menyebutkan sumbernya dan dipergunakan untuk kepentingan pendidikan masyarakat, bukan untuk kepentingan komersial.
Diterbitkan atas kerjasama:
Center for Public Health Innovation, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (CPHI FK UNUD)
Gedung PS Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Jalan PB Sudirman, Denpasar 80232 Email: [email protected] | Telp: (0361) 4457956 Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) Indonesia Menara Palma, 7th Floor Suite 705,
Jl. HR Rasuna Said, Blok X-2 Kav. 6, Jakarta Selatan, Indonesia, 12950 Telp: +62 21 57956031
Literasi Nusantara
Perum Paradiso Kav A1 Junrejo - Batu Telp : +6285887254603, +6285841411519 Email: [email protected]
Web: www.penerbitlitnus.com Anggota IKAPI No. 209/JTI/2018
SAMBUTAN
Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (10 LMKM) sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Diluncurkan pertama kali pada tahun 1989 oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) sebagai pernyataan bersama untuk meningkatkan kesadaran akan peran penting dari fasilitas layanan kesehatan dalam mempromosikan pemberian ASI, dan untuk menggambarkan apa yang harus dilakukan oleh fasilitas layanan kesehatan untuk memberikan informasi dan dukungan yang tepat kepada ibu.
Di Indonesia, diperkenalkan secara nasional pada tahun 1991 melalui program Rumah Sakit Sayang Bayi (RSSB), 10 LMKM menguraikan langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan untuk mempromosikan dan memfasilitasi inisiasi dan praktek menyusui oleh ibu dalam perawatan yang dilakukan. Walaupun sejak tahun 2004 Kementerian Kesehatan telah mewajibkan seluruh fasilitas layanan kesehatan kehamilan dan persalinan untuk menerapkan 10 LMKM elalui Keputusan Menteri Kesehatan No. 450 Tahun 2004 tentang Pemberian ASI Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi di Indonesia, diusul dengan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 03 Tahun 2010 tentang penerapan 10 LMKMdan pada tahun 2012 melalui Peraturan Pemerintah No. 33 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif, namun hingga kini cakupan fasilitas layanan kesehatan kehamilan dan persalinan di Indonesia yang menerapkan kebijakan tersebut masih sangat rendah.
Pelaksanaan 10 LMKM yang belum optimal ini menjadi perhatian khusus, mengingat cakupan ASI eksklusif di Indonesia tidak mengalami perubahan dalam lima tahun terakhir, yaitu 38% di tahun 2013 menjadi 37,2% di tahun 2018, dengan target nasional 50% pada tahun 2020. Sehingga perlu adanya upaya- upaya untuk meningkatkan cakupan ASI Eksklusif diantaranya adalah dengan meningkatkan kualitas layanan persalinan melalui pelaksanaan 10 LMKM.
Oleh karena itu saya menyambut baik adanya laporan hasil asesmen pelaksanaan 10 LMKM di 5 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur ini, yang telah menggambarkan secara rinci faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan 10
LMKM di fasilitas layanan persalinan, sehingga diharapkan dengan hasil asesmen ini, pemangku kepentingan terkait dapat menyusun perencanaan berbasis bukti.
Saya mengucapkan selamat kepada Centre of Public Health Innovation (CPHI) Universitas Udayana dan Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) sebagai tim penyusun Asesemen 10 LMKM di 5 Kabupaten/Kota dan dukungan semua pihak yang terlibat dalam asesemen dan penyusunan laporan ini. Semoga laporan hasil asesemen dari 5 Kabupaten/Kota ini dapat menjadi contoh dan pembelajaran dan juga dikembangkan dalam melakukan asesemen pelaksanaan 10 LMKM di Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia.
Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatuh.
Direktur Gizi Masyarakat, Kementergian Kesehatan RI Jakarta, 29 Juli 2019
Ir. Doddy Izwardy,
RINGKASAN EKSEKUTIF
Stunting atau pendek merupakan salah satu masalah gizi yang banyak ditemui di negara berkembang, salah satunya Indonesia. Prevalensi stunting di Indonesia menduduki posisi 108 dari 132 negara, dan posisi kedua tertinggi di Asia Tenggara.Salah satu intervensi gizi spesifik percepatan penurunan stunting yaitu intervensi prioritas pada 1000 HPK dengan sasaran pada kelompok ibu menyusui dan anak usia 0-23 bulan melalui promosi dan konseling menyusui.
Namun demikian, cakupan ASI eksklusif di Indonesia mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir, dari 38% di tahun 2013 menjadi 37,2% di tahun 2018.
Angka ini tentunya masih jauh dari target nasional sebesar 50% yang harus dicapai dalam satu tahun mendatang, di tahun 2019.
Melalui program Baduta 2.0 sebagai bentuk kerjasama GAIN dan Kemenkes 2017-2020, meningkatkan praktik pemberian ASI merupakan salah satu fokus kegiatan dalam upaya perbaikan gizi 1000 HPK dalam mencegah terjadinya stunting. Program Baduta 2.0 dilaksanakan di lima kabupaten/kotadi Provinsi Jawa Timur, yaitu Bondowoso, Jember, Probolinggo, Trenggalek, dan Surabaya.
Sejalan dengan hal tersebut, maka penting untuk mendokumentasikan bagaimana aksi integrasi penurunan stunting di daerah serta melakukan asesmen kebijakan 10 LMKM di sarana fasilitas kesehatan sebagai salah satu isu strategis dalam upaya penurunan stunting. Hasil asesmen akan menjadi dasar dalam perencanaan berbasis bukti (PBB). Asesmen ini secara umum bertujuan untuk menilai pelaksanaan kebijakan dan program 10 LMKM di lima kabupaten/kota sebagai salah satu upaya penurunan stunting.
Total sampel dalam penelitian ini adalah sejumlah 533 orang yang terdiri dari sampel untuk penelitian kuantitatif sebanyak 372 orang yang terdiri dari 242 pimpinan fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas, bidan praktik mandiri dan klinik) dan 130 ibu nifas sebagai data validasi. Jumlah sampel untuk penelitian kualitatf sebanyak 161 orang yang terbagi menjadi empat level yaitu level individu, kelompok, komunitas dan kebijakan sebagai triangulasi data.
Dalam pelaksanaan assesmen terkait mekanisme aksi terintegrasi stunting serta pelaksanaan 10 LMKM yang dilakukan pada 5 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, yaitu Bondowoso, Jember, Probolinggo, Trenggalek, dan Surabaya, ditemukan hasil yang cukup bervariasi antar daerah. Hasil asesmen terhadap
mekanisme aksi integrasi penurunan stunting menunjukkan bahwa tiap daerah saat ini berdapat dalam tahap aksi integrasi yang berbeda-beda.Begitu pula, capaian terhadap pelaksanaan 10 LMKM menunjukkan hasil yang beragam di tiap daerah. Secara umum, terdapat beberapa persamaan penemuan dimana istilah 10 LMKM ternyata belum familiar digunakan baik di level dinas maupun di fasilitas pelayanan kesehatan, akan tetapi langkah-langkah yang terkandung dalam 10 LMKM khususnya untuk mendukung pemberian ASI bagi bayi telah diterjemahkan dalam bentuk kebijakan maupun Standar Prosedur Operasional (SPO) yang kemudian dilaksanakan sesuai dengan tupoksi masing-masing. Hasil assesmen pada setiap wilayah akan dijabarkan sebagai berikut.
Hasil assesmen diKabupaten Bondowoso menunjukkan bahwa mekanisme aksi pencegahan stunting telah sampai pada tahap penyusunan rencana kegiatan, dimana saat ini telah ditetapkan sebanyak 19 wilayah desa yang akan menjadi target wilayah menurunkan stunting hingga tahun 2020 mendatang.
Kebijakan terkait pemberian ASI bagi bayi telah dibentuk dalam suatu program dinamakan Umi Persameda. Program ini pun telah dimasukkan menjadi salah satu program dalam mekanisme aksi pencegahan stunting di Kabupaten Bondowoso. Dari sisi pelaksanaan 10 LMKM diketahui hanya 4 dari 51 fasilitas kesehatan yang patuh terhadap semua langkah dalam 10 LMKM, dimana semua fasilitas kesehatan (100%) patuh terhadap implementasi langkah 8, terkait dengan mendorong menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan terhadap lama dan frekuensi menyusui dan kepatuhan terendah yaitu pada langkah 7 yaitu hanya 5.9% fasilitas kesehatan yang mematuhi pelaksanakan praktik rawat gabung.
Hasil serupa juga didapatkan pada Kabupaten Probolinggo, dimana hanya 4 dari 34 fasilitas kesehatan yang patuh terhadap semua langkah dalam 10 LMKM dengan persentase 100% fasilitas kesehatan patuh terhadap implementasi langkah 8, dan kepatuhan terendah yaitu pada langkah 7, hanya 29.4% fasilitas kesehatan yang mematuhi pelaksanakan praktik rawat gabung. Dalam mekanisme aksi pencegahan stunting, ketika asessmen ini dilakukan, Kabupaten Probolinggo tengah menyiapkan SK kegiatan untuk menurunkan angka stunting yang akan dimintakan persetujuannya kepada bupati setempat. SK tersebut selain berisi rencana kegiatan yang akan dilakukan oleh masing-masing OPD juga berisi tim yang akan bertanggung jawab terhadap masing-masing kegiatan.
Berbeda dengan dua kabupaten sebelumnya, sebanyak 12 dari 40 fasilitas kesehatan diKabupaten Trenggalek telah patuh terhadap seluruh langkah dalam 10 LMKM dengan kepatuhan tertinggi untuk implementasi 10 LMKM yaitu pada langkah 9 yaitu hampir semua fasilitas kesehatan (97.5%) mematuhi untuk kriteria tidak memberikan botol-dot atau empeng kepada bayi yang disusui dan kepatuhan terendah yaitu pada langkah 1 yaitu hanya 37.5% fasilitas kesehatan yang memiliki kebijakan tertulis mengenai pemberian ASI yang secara rutin dikomunikasikan kepada semua staf perawatan kesehatan. Sedangkan dalam mekanisme aksi penurunan stunting di daerah, Kabupaten Trenggalek telah sampai pada penentuan lokasi desa fokus stunting yaitu ditetapkan sebanyak 10 desa yang akan disasar untuk kegiatan intervensi. Kegiatan ini kemudian akan dilanjutkan dengan kegiatan penyusunan rencana kegiatan oleh masing-masing OPD yang ketika assesmen ini dilakukan, kegiatan tersebut masih dijadwalkan.
Pada Kabupaten Jember, mekanisme aksi penurunan stunting masih dalam proses analisis situasi. Hal ini dilakukan oleh pemerintah setempat dengan sangat mendalam hingga melibatkan kerjasaama mitra lainnya diluar OPD terkait (seperti BPJS Kesehatan) untuk membantu dalam memberikan data untuk kemudian dianalisis. Upaya ini bertujuan agar desa yang disasar nanti diharapkan benar-benar memiliki masalah stunting dan intervensi yang diberikan akan sesuai dengan akar masalah yang ada. Dari sisi 10 LMKM, hanya 1 dari 37 fasilitas kesehatan yang patuh terhadap semua langkah dalam 10 LMKM dengan kepatuhan tertinggi yaitu pada langkah 8, dimana sebesar 94.6%, terkait mendorong ibu menyusui semau bayi semua ibu, tanpa pembatasan terhadap lama dan frekuensi menyusui dan kepatuhan terendah yaitu pada langkah 1, hanya 16.2% fasilitas kesehatan yang memiliki kebijakan tertulis mengenai pemberian ASI yang secara rutin dikomunikasikan kepada semua staf perawatan kesehatan.
Berbeda dengan empat kabupaten lainnya, Kota Surabaya yang tidak termasuk dalam lokasi fokus stunting mengaku tidak menjalankan mekanisme aksi seperti pada empat kabupaten lainnya. Dari sisi pelaksanaan 10 LMKM, di Kota Surabaya hanya 2 dari 82 fasilitas kesehatan yang patuh terhadap semua langkah dalam 10 LMKM dengan kepatuhan tertinggi yaitu pada langkah 8 yang mencapai 93.9% dan kepatuhan terendah yaitu pada langkah 4 yang hanya sebesar 30.5%, terkait dengan menempatkan bayi kontak kulit ke kulit dengan ibunya segera setelah lahir.
Adapun hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kebijakan 10 LMKM dibagi menjadi beberapa level yaitu pada level kebijakan diantaranya dari aspek kebijakannya sendiri yang belum secara eksplisit mencantumkan sanksi bagi fasyankes yang tidak menerapkan 10 LMKM, serta tidak terdapat kebijakan internal 10 LMKM dan pelarangan susu formula di fasilitas kesehatan. Hambatan lainnya yaitu kekurangan SDM, sumber daya keuangan, belum adanya sistem monitoring dan evaluasi yang optimal terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah diberlakukan. Proses advokasi yang ada juga belum berjalan maksimal dimana belum terdapat tindak lanjut dari keluhan-keluhan yang muncul di lapangan terkait beberapa langkah yang belum terakomodir di fasilitas kesehatan dan hambatan terakhir pada aspek koordinasi dimana ditemukan bahwa koordinasi antar petugas kesehatan perihal kebijakan menyusui bagi bayi tergolong masih lemah.
Hambatan pada level komunitas diketahui terdiri dari adanya budaya tertentu yang berkembang di masyarakat terkait menyusui bayi, diantaranya yaitu kepercayaan bahwa ibu yang memiliki puting susu terbelah, tidak diperbolehkan untuk menyusui bayi karena dapat menyebabkan kematian bayi, selain itu terdapat beberapa anjuran maupun pantangan makanan bagi ibu menyusui. Faktor lainnya pada level komunitas yang menjadi hambatan adalah masih tingginya angka pernikahan dini khususnya di wilayah Kabupaten Probolinggo menyebabkan ibu-ibu yang masih tergolong remaja cenderung belum siap komitmen untuk menyusui. Dalam keluarga, peran suami dan mertua dalam penentuan keputusan memberi makan bayi masih sangat mendominasi. Hal ini menyebabkan ibu kehilangan kontrol untuk menyusui bayinya secara eksklusif karena terkadang diminta untuk memberikan makanan lain bagi bayi meskipun usianya belum lebih dari 6 bulan.
Dari level kelompok, hambatan-hambatan dirangkum menjadi beberapa kelompok diantaranya hambatan yang berasal dari kelompok fasilitas kesehatanseperti sisi kelengkapan administrasi dimana tidak ada surat pernyataan untuk ibu yang memutuskan tidak memberikan ASI eksklusif serta beberapa fasilitas kesehatan diketahui masih memberikan makanan selain ASI bagi bayi baru lahir, terutama susu formula bagi ibu yang melahirkan secara sesar.Kegiatan IMD bagi bayi pasca sesarjuga belum optimal dilakukan serta tidak tersedianya surat pernyataan untuk ibu yang tidak IMD.Pada kelompok masyarakat, rendahnya pengetahuan serta gencarnya promosi susu formula yang
tidak dapat dikendalikan oleh petugas kesehatan menyebabkan susu formula menjadi alternatif pilihan untuk diberikan bagi bayi meskipun bayi masih berusia dibawah 6 bulan.
Sedangkan pada level individu, hambatan berasal dari faktor ibu sendiri misalnya dari sedikitnya ASI yang dihasilkan oleh ibu sehingga menyulitkan ibu untuk memberi ASI bagi bayi dan mendorong ibu untuk memberikan susu formula, kesadaran para ibu yang masih kurang dan pengetahuan tentang IMD yang belum memadai, serta faktor psikologis dari para ibu yang menyusui sangat berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif. Ibu yang bekerja yang memilih untuk meninggalkan bayinya sejak dini dan memberikannya kepada pengasuh dan beralih ke susu formula karena para ibu tidak sempat memompa dan juga kesibukan ibu di tempat kerja. Selain itu, ibu yang sibuk bekerja memiliki waktu yang sangat singkat untuk menghadiri penyuluhan atau sosialisasi. Bahkan tingkat kehadiran para ibu dalam kegiatan kelas-kelas yang sudah difasilitasi beberapa OPD terkait cukup rendah dengan alasan sibuk bekerja.
Seluruh hasil dari asesmen ini kemudian akan menjadi topik dalam workshop PBB yang akan dilaksanakan diseluruh kabupaten/kota lokasi asesmen. Luaran yang diharapkan yaitu agar pemerintah daerah dapat dengan mandiri menentukan prioritas masalah yang kemudian akan dicari akar penyebab serta solusinya yang kemudian akan berkontribusi meningkatkan capaian 10 LMKM yang turut serta berkontribusi dalam meningkatkan cakupan ASI ekslusif di daerah.
DAFTAR ISI
SAMBUTAN ……….i
RINGKASAN EKSEKUTIF ... ii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
LATAR BELAKANG ... 1
TUJUAN ... 4
RUANG LINGKUP ... 5
METODE PENELITIAN ... 6
Desk Review ... 6
Asesmen Lapangan ... 7
Penelitian Kuantitatif ... 9
Penelitian Kualitatif ... 10
KAJIAN DAN PEMBELAJARAN TERKAIT 10 LMKM ... 17
Faktor yang Menghambat Pelaksanaan 10 LMKM di Indonesia ... 22
Faktor yang Mendukung Pelaksanaan 10 LMKM ... 23
ANALISIS KEBIJAKAN NASIONAL TERKAIT 10 LMKM ... 30
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 10 LMKM DI KABUPATEN/KOTA ... 38
Kabupaten Bondowoso ... 38
Gambaran Implementasi Kebijakan 10 LMKM di Fasilitas Kesehatan ... 38
Faktor-faktor pada Level Kebijakan ... 52
Faktor-faktor pada Level Komunitas ... 80
Faktor-faktor pada Level Kelompok ... 81
Faktor-faktor pada Level Individu ... 83
Kabupaten Probolinggo ... 85
Gambaran Implementasi Kebijakan 10 LMKM di Fasilitas Kesehatan ... 85
Faktor-faktor pada Level Kebijakan ... 98
Faktor-faktor pada Level Komunitas ... 122
Faktor-faktor pada Level Kelompok ... 124
Faktor-faktor pada Level Individu ... 127
Kabupaten Trenggalek ... 129
Gambaran Implementasi Kebijakan 10 LMKM di Fasilitas Kesehatan ... 129
Faktor-faktor pada Level Kebijakan ... 143
Faktor-faktor pada Level Komunitas ... 168
Faktor-faktor pada Level Kelompok ... 169
Faktor-faktor pada Level Individu ... 172
Kabupaten Jember ... 174
Gambaran Implementasi Kebijakan 10 LMKM di Fasilitas Kesehatan ... 174
Faktor-faktor pada Level Kebijakan ... 188
Faktor-faktor pada Level Komunitas ... 212
Faktor-faktor pada Level Kelompok ... 214
Faktor-faktor pada Level Individu ... 216
Kota Surabaya ... 219
Gambaran Implementasi Kebijakan 10 LMKM di Fasilitas Kesehatan ... 219
Faktor-faktor pada Level Kebijakan ... 233
Faktor-faktor pada Level Komunitas ... 255
Faktor-faktor pada Level Kelompok ... 259
Faktor-faktor pada Level Individu ... 262
SIMPULAN ... 265
DAFTAR PUSTAKA ... 1
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah responden/fasilitas kesehatan yang disurvey……….10 Tabel 2. Jumlah responden yang diwawancarai………...………..11 Tabel 3. Tujuan dan metode penelitian ... 11 Tabel 2. Rangkuman faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan 10 LMKM ... 25 Tabel 3. Dokumentasi regulasi nasionalterkait 10 LMKM ... 32 Tabel 4. Karakteristik fasilitas kesehatan dan responden di Kabupaten
Bondowoso ... 39 Tabel 5. Perbandingan tingkat kepatuhan implementasi 10 LMKM berdasarkan hasil self-appraisal oleh pimpinan fasilitas kesehatan dan validasi oleh ibu
bersalin di Kabupaten Bondowoso ... 51 Tabel 6. Dokumentasi kebijakan terkait stunting di Kabupaten Bondowoso ... 54 Tabel 7. Daftar kegiatan OPD terkait upaya penurunan stunting di Kabupaten Bondowoso ... 64 Tabel 8. Dokumentasi kebijakan terkait 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso ... 66 Tabel 9. Gap kebijakan stunting dan 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso ... 73 Tabel 10. Karakteristik fasilitas kesehatan dan responden di Kabupaten
Probolinggo ... 86 Tabel 11. Perbandingan tingkat kepatuhan implementasi 10 LMKM berdasarkan hasil self-appraisal oleh pimpinan fasilitas kesehatan dan validasi oleh ibu
bersalin di Kabupaten Probolinggo ... 97 Tabel 12. Dokumentasi kebijakan terkait stunting di Kabupaten Probolinggo . 101 Tabel 13. Daftar kegiatan OPD terkait upaya penurunan stunting di Kabupaten Probolinggo ... 108 Tabel 14. Dokumentasi kebijakan terkait 10 LMKM di Kabupaten Probolinggo110 Tabel 15. Gap kebijakan stunting dan 10 LMKM di Kabupaten Probolinggo ... 115 Tabel 16. Karakteristik fasilitas kesehatan dan responden di Kabupaten
Trenggalek ... 130 Tabel 17. Perbandingan tingkat kepatuhan implementasi 10 LMKM berdasarkan hasil self-appraisal oleh pimpinan fasilitas kesehatan dan validasi oleh ibu
bersalin di Kabupaten Trenggalek ... 142 Tabel 18. Dokumen kebijakan tentang upaya pencegahan stunting di Kabupaten Trenggalek ... 147
Tabel 19. Daftar kegiatan OPD terkait upaya penurunan stunting di Kabupaten
Trenggalek ... 156
Tabel 20. Dokumentasi kebijakan terkait 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek 158 Tabel 21. Gap kebijakan stunting dan 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek ... 161
Tabel 22. Karakteristik fasilitas kesehatan dan responden di Kabupaten Jember ... 175
Tabel 23. Perbandingan tingkat kepatuhan implementasi 10 LMKM berdasarkan hasil self-appraisal oleh pimpinan fasilitas kesehatan dan validasi oleh ibu bersalin di Kabupaten Jember ... 187
Tabel 24. Dokumentasi kebijakan terkait stunting di Kabupaten Jember ... 191
Tabel 25. Daftar kegiatan OPD terkait upaya penurunan stunting di Kabupaten Jember ... 197
Tabel 26. Dokumentasi kebijakan terkait 10 LMKM di Kabupaten Jember ... 199
Tabel 27. Gap kebijakan stunting dan 10 LMKM di Kabupaten Jember ... 203
Tabel 28. Karakteristik fasilitas kesehatan dan responden di Kota Surabaya .. 220
Tabel 29. Perbandingan tingkat kepatuhan implementasi 10 LMKM berdasarkan hasil self-appraisal oleh pimpinan fasilitas kesehatan dan validasi oleh ibu bersalin di Kota Surabaya ... 232
Tabel 30. Dokumentasi kebijakan terkait stunting di Kota Surabaya ... 235
Tabel 31. Dokumentasi kebijakan terkait 10 LMKM di Kota Surabaya ... 243
Tabel 32. Gap kebijakan stunting dan 10 LMKM di Kota Surabaya ... 247
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Alur pelaksanaan kegiatan ... 6 Gambar 2. Framework asesmen 10 LMKM ... 8 Gambar 3. Implementasi langkah 1 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso ... 40 Gambar 4.Implementasi langkah 2 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso .... 41 Gambar 5. Implementasi langkah 3 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso ... 42 Gambar 6. Implementasi langkah 4 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso ... 44 Gambar 7. Implementasi langkah 5 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso ... 45 Gambar 8. Implementasi langkah 6 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso ... 46 Gambar 9. Implementasi langkah 7 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso ... 47 Gambar 10. Implementasi langkah 8 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso . 48 Gambar 11. Implementasi langkah 9 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso . 49 Gambar 12 Implementasi langkah 10 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso 50 Gambar 13. Implementasi langkah 1 dari 10 LMKM di Kabupaten Probolinggo 87 Gambar 14. Implementasi langkah 2 dari 10 LMKM di Kabupaten Probolinggo 88 Gambar 15. Implementasi langkah 3 dari 10 LMKM di Kabupaten Probolinggo 89 Gambar 16. Implementasi langkah 4 dari 10 LMKM di Kabupaten Probolinggo 90 Gambar 17. Implementasi langkah 5 dari 10 LMKM di Kabupaten Probolinggo 91 Gambar 18. Implementasi langkah 6 dari 10 LMKM di Kabupaten Probolinggo 92 Gambar 19. Implementasi langkah 7 dari 10 LMKM di Kabupaten Probolinggo 93 Gambar 20. Implementasi langkah 8 dari 10 LMKM di Kabupaten Probolinggo 94 Gambar 21. Implementasi langkah 9 dari 10 LMKM di Kabupaten Probolinggo 95 Gambar 22. Implementasi langkah 10 dari 10 LMKM di Kabupaten Probolinggo ... 96 Gambar 23. Implementasi langkah 1 dari 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek 131 Gambar 24. Implementasi langkah 2 dari 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek 132 Gambar 25. Implementasi langkah 3 dari 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek 133 Gambar 26. Implementasi langkah 4 dari 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek 134 Gambar 27. Implementasi langkah 5 dari 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek 135 Gambar 28. Implementasi langkah 6 dari 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek 136 Gambar 29. Implementasi langkah 7 dari 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek 138 Gambar 30. Implementasi langkah 8 dari 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek 139 Gambar 31. Implementasi langkah 9 dari 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek 140
Gambar 32. Implementasi langkah 10 dari 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek
... 141
Gambar 33. Implementasi langkah 1 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember ... 176
Gambar 34. Implementasi langkah 2 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember ... 177
Gambar 35. Implementasi langkah 3 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember ... 178
Gambar 36. Implementasi langkah 4 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember ... 179
Gambar 37. Implementasi langkah 5 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember ... 180
Gambar 38. Implementasi langkah 6 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember ... 182
Gambar 39. Implementasi langkah 7 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember ... 183
Gambar 40. Implementasi langkah 8 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember ... 184
Gambar 41. Implementasi langkah 9 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember ... 185
Gambar 42. Implementasi langkah 10 dari 10 LMKM di Kabupaten Jember ... 186
Gambar 43. Implementasi langkah 1 dari 10 LMKM di Kota Surabaya ... 221
Gambar 44. Implementasi langkah 2 dari 10 LMKM di Kota Surabaya ... 222
Gambar 45. Implementasi langkah 3 dari 10 LMKM di Kota Surabaya ... 223
Gambar 46. Implementasi langkah 4 dari 10 LMKM di Kota Surabaya ... 224
Gambar 47. Implementasi langkah 5 dari 10 LMKM di Kota Surabaya ... 225
Gambar 48. Implementasi langkah 6 dari 10 LMKM di Kota Surabaya ... 227
Gambar 49. Implementasi langkah 7 dari 10 LMKM di Kota Surabaya ... 228
Gambar 50. Implementasi langkah 8 dari 10 LMKM di Kota Surabaya ... 229
Gambar 51. Implementasi langkah 9 dari 10 LMKM di Kota Surabaya ... 230
Gambar 52. Implementasi langkah 10 dari 10 LMKM di Kota Surabaya ... 231
LATAR BELAKANG
Stunting atau pendek merupakan salah satu masalah gizi yang banyak ditemui di negara berkembang, salah satunya Indonesia. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK).(1). Anak yang mengalami stunting mengindikasikan pertumbuhan linier yang buruk dan dapat diidentifikasi berdasarkan indeks panjang badan atau tinggi badan menurut umur dengan Z-score -3 SD s/d <-2 SD untuk kategori pendek (stunted) dan <-3 SD untuk kategori sangat pendek (severe stunted).(2)
Prevalensi stunting di Indonesia menduduki posisi 108 dari 132 negara, dan posisi kedua tertinggi di Asia Tenggara.(3) Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dalam lima tahun terakhir (2013-2018) menunjukkan status gizi sangat pendek dan pendek turun sebesar 6,4% dari 37,2% ke 30,8%.(4,5) Akan tetapi, angka ini belum mencapai target RPJMN tahun 2019 yang menetapkan prevalensi stunting sebesar 28% dan batas yang ditetapkan oleh WHO <20%.(6,7) Berdasarkan hasil pemantauan status gizi yang dilakukan oleh Direktorat Gizi Masyarakat Kemenkes RI, provinsi dengan prevalensi pendek dan sangat pendek tertinggi yaitu Kalimantan Tengah sebesar 30.3%, diikuti oleh NTT dan Kalimantan Barat yang masing-masing sebesar 29.9% dan 28.2% di tahun 2017.(8)
Berdasarkan framework dari WHO, stunting merupakan masalah gizi yang bersifat multikausal.(9) Faktor utama penyebab stunting yaitu kekurangan gizi yang terjadi sejak bayi dalam kandungan, pada masa awal anak lahir, hingga berusia 2 tahun. Pemberian air susu ibu (ASI)secara eksklusif merupakan salah satu upayan pemenuhan gizi yang turut berkontribusi besar terhadap terjadinya stunting.(10) Selain itu, faktor lainnya yang meningkatkan risiko stunting yaitu kurangnya akses terhadap makanan yang bergizi maupun sanitasi yang tidak memadai akibat faktor sosial dan ekonomi. Untuk merespon hal tersebut,pemerintah mencanangkan intervensi gizi spesifik dan sensitif dengan pendekatan lintas sektor sebagai upaya untuk mempercepat penurunan stunting.(1,11) Keterlibatan berbagai sektor seperti kesehatan, pertanian dan ketahanan pangan, pendidikan, sosial, pemberdayaan masyarakat desa, pembedayaan perempuan dan perlindungan anak memegang peranan substanial dalam upaya penurunan stunting terintegrasi.(11)
Salah satu intervensi gizi spesifik percepatan penurunan stunting yaitu intervensi prioritas pada 1000 HPK dengan sasaran pada kelompok ibu menyusui dan anak usia 0-23 bulan melalui promosi dan konseling menyusui.(1,11) Pemberian kolostrum (ASI yang pertama kali keluar), inisiasi menyusu dini (IMD) dan pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu upaya untuk memastikan asupan gizi yang adekuat bagi bayi. Pemberian ASI merupakan salah satu bagian dari upaya praktik pemberian makan anak (PMBA), tidak hanya berperan terhadap proses tumbuh kembang anak untuk mencegah terjadinya stunting, tetapi juga memiliki peranan substansial dalam menurunkan risiko kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi, meningkatkan intelegensi, serta mencegah terjadinya obesitas dan diabetes di masa depan.(12,13) Maka tidak mengherankan, WHO bersama dengan UNICEF mengeluarkan rekomendasi pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama sejak bayi dilahirkan dan dilanjutkan dengan pemberian ASI disertai makanan pendamping hingga bayi berusia dua tahun.(14)
Namun demikian, situasi global menunjukkan praktik pemberian ASI ekslusif masih jauh dari target sebesar minimal 50% di tahun 2025.(12) Hasil evaluasi terhadap praktik pemberian ASI eksklusif di 194 negara yang dihimpun dalam Global Breastfeeding Scorecard melaporkanhanya 40% anak-anak di dunia yang berusia di bawah enam bulan mendapat ASI eksklusif dan hanya 23 negara yang telah mencapai cakupan ASI eksklusif di atas 60%.(15) Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan capaian Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dengan rata-rata prevalensi secara global yang juga cukup rendah, sebesar 42% pada tahun 2017.(16)
Sejalan dengan rendahnya capaian global, cakupan ASI eksklusif di Indonesia mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir, dari 38% di tahun 2013 menjadi 37,2% di tahun 2018.(17,18) Angka ini tentunya masih jauh dari target nasional sebesar 50% yang harus dicapai dalam satu tahun mendatang, di tahun 2019.(19) Sedangkan untuk IMD, terdapat kenaikan prevalensi dari 34.5%
menjadi 58.2% dalam kurun periode waktu yang sama.
Berbagai upaya, termasuk dari segi regulasi, telah dilakukan baik di tatanan global maupun nasional untuk meningkatkan cakupan ASI eksklusif serta mendukung ibu dalam praktik pemberian ASI sesuai dengan rekomendasi WHO.
Pada tahun 1989, WHO bersama UNICEF mengeluarkan pernyataan bersama
mengenai Perlindungan, Promosi, dan Dukungan Menyusui. Dokumen ini menyoroti peran fasilitas pelayanan kesehatan dalam mendukung ibu untuk menyusui.(20) Di dalam dokumen ini, untuk pertama kalinya konsep sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (10 LMKM) diperkenalkan.
Langkah nyata dan komitmen pemerintah Indonesia dalam mendukung praktik pemberian ASI dituangkan dalam beberapa regulasi di tingkat nasional.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa ASI merupakan hak bagi setiap bayi serta adanya sanksi bagi pihak manapun yang menghalangi proses pemberian ASI eksklusif.(21) Pemberian ASI eksklusif juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450 Tahun 2004 tentang Pemberian ASI Secara Eksklusif di Indonesia.(22,23) Kepmenkes tersebut menginstruksikan seluruh tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan untuk memberikan edukasi tentang ASI eksklusif pada ibu yang baru melahirkan sesuai dengan panduan 10 LMKM.(23) Edukasi tentang pemberian ASI eksklusif juga masuk sebagai salah satu bentuk intervensi gizi spesifik yang penting dalam kerangka kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam rangka 1000 HPK.(24) Kegiatan edukasi ASI eksklusif juga tercantum dalam indikator kegiatan dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas).(25)
Walaupun praktik menyusui dan pemberian ASI eksklusif telah mendapat dukungan dan diatur secara jelas dalam berbagai regulasi yang ada, capaian cakupan ASI eksklusif serta praktik lainnya terkait pemberian ASI seperti IMD belum mencapai target yang ditetapkan. Di samping itu, hingga kini belum ada data resmi yang menunjukkan berapa banyak fasilitas pelayanan kesehatan atau rumah sakit di Indonesia yang telah menerapkan 10 LMKM secara lengkap sehingga menyandang predikat “Rumah Sakit Sayang Bayi” atau Baby Friendly Hospital Initiative (BFHI). Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan sudah sejauh apa implementasi dan pengawasan regulasi 10 LMKM di fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Di samping itu, hal lain yang menjadi perhatian adalah fokus implementasi 10 LMKM yang selama ini lebih banyak tertuju pada rumah sakit dibandingkan dengan puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya yang menyelenggarakan pertolongan persalinan seperti praktik bidan mandiri dan klinik bersalin swasta. Hal tersebut tentu mengindikasikan
pentingnya pelaksanaan asesmen 10 LMKM yang mencangkup semua jenis pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan praktik persalinan.
Melalui program Baduta 2.0 sebagai bentuk kerjasama GAIN dan Kemenkes 2017-2020, meningkatkan praktik pemberian ASI merupakan salah satu fokus kegiatan dalam upaya perbaikan gizi 1000 HPK dalam mencegah terjadinya stunting. Program Baduta 2.0 dilaksanakan di lima kabupaten/kotadi Provinsi Jawa Timur, yaituBondowoso, Jember, Probolinggo, Trenggalek, dan Surabaya.
Berdasarkan hasil pemantauan status gizi oleh Direktorat Gizi Masyarakat Kemenkes RI, prevalensi stunting bervariasi di lima kabupaten/kota tersebut, seperti Bondowoso (38.3%), Jember (30.9%), Probolinggo (32.0%), Trenggalek (24.3%), dan Kota Surabaya (22.8%). Hasilcapaian ASI eksklusif di beberapa kabupaten/kota tersebut masih lebih rendah dari target nasional, dengan capaian tertinggi di Bondowoso (50.8%), dan secara berturut-turut diikuti oleh Kota Surabaya (41.7%), Trenggalek (39.5%), Probolinggo (33.6%), dan yang terendah di Jember (19.8%).(8) Sejalan dengan hal tersebut, maka penting untuk mendokumentasikan bagaimana aksi integrasi penurunan stunting di daerah serta melakukan asesmen kebijakan 10 LMKM di sarana fasilitas kesehatan sebagai salah satu isu strategis dalam upaya penurunan stunting. Hasil asesmen akan menjadi dasar dalamperencanaan program berbasis bukti (PBB).
TUJUAN
Asesmen ini secara umum bertujuan untuk menilai pelaksanaan kebijakan dan program 10 LMKM di lima kabupaten/kota sebagai salah satu upaya penurunan stunting, sedangkan tujuan khusus dari asesmen ini yaitu sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi aksi integrasi penurunan stunting di kabupaten/kota.
2. Mengidentifikasi kebijakan dan pelaksanaan terkait 10 LMKM yang telah dibuat oleh pemerintah kabupaten/kota
3. Mengetahui bagaimana pelaksanaan kebijakan 10 LMKM yang telah dibuat oleh pemerintah kabupaten/kota
4. Mengetahui hambatan dalam pelaksanaan kebijakan 10 LMKM di tingkat kabupaten/kota
5. Memfasilitasi penyusunan PBB untuk meningkatkan cakupan 10 LMKM, IMD, dan ASI eksklusif di masing-masing kabupaten/kota
RUANG LINGKUP
Secara garis besar ada tiga kegiatan yang telah dilakukan yaitu asesmen tentang aksi integrasi penurunan stunting, asesmen terhadap peraturan 10 LMKM di tingkat kabupaten/kota dan fasilitasi penyusunan PBB.
1. Asesmen tentang aksi integrasi penurunan stunting
Asesmen ini didasari pada pedoman teknis penurunan stunting terintegrasi yang dikeluarkan oleh Kementrian PPN/Bappenas. Asesmen ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD) di kabupaten/kota telah menjalankan perannya dalam menurunkan stunting sesuai dengan pedoman teknis tersebut.
2. Asesmen tentang peraturandan implementasi 10 LMKM
Asesmen ini menggunakan pendekatan gabungan beberapa metode sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih menyeluruh terhadap situasi pelaksanaan kebijakan 10 LMKM di masing-masing kabupaten/kota. Data yang diperoleh telah dianalisis dan dintepretasikan untuk menggambarkan isu dan fenomena yang diteliti serta membantu dalam merumuskan rekomendasi yang dapat dilakukan oleh para pemangku kebijakan. Temuan utama dari asesmen selanjutnya disampaikan kepada para pemangku kebijakan di masing-masing kabupaten/kota untuk mendapatkan tanggapan serta masukan.
3. Fasilitasi penyusunan PBB
Setelah diperoleh gambaran tentang situasi pelaksanaan kebijakan 10 LMKM di seluruh kabupaten/kota, tahapan selanjutnya adalah menfasilitasi pemerintah kabupaten/kota dalam menyusun PBB guna menciptakan lingkungan yang kondusif untuk praktik PMBA, khususnya untuk meningkatkan cakupan ASI eksklusif, IMD, dan pelaksanaan 10 LMKM di sarana pelayanan kesehatan. Hasil PBB berupa workshop telah dijabarkan secara rinci di laporan PBB di tiap kabupaten.
METODE PENELITIAN
Dalam melaksanakan asesmen ini, terdapat tiga metode yang akan digunakan, yaitu desk review,asesmen lapangan (field assessment), dan dilanjutkan dengan fasilitasi penyusunan PBB yang terdiri dari beberapa tahapan kegiatan. Adapun pelaksanaan kegiatan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.
D ESK R EVIEW
Desk reviewtelah dilakukan terhadap regulasi, laporan evaluasi, dan laporan penelitian. Kegiatan ini mencakup mempelajari proses, konten, konteks, dan aktor terkait aksi integrasi penurunan stunting dan kebijakan 10 LMKM. Selain itu, narrative reviewtelah dilakukan terhadap publikasi ilmiah untuk mengetahui bagaimana implementasi 10 LMKM di Indonesia dan negara lain serta mempelajari faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasinya. Narrative review merupakan salah satu jenis tulisan ilmiah yang bertujuan untuk melaporkan pengetahuan terkini terkait suatu topik yang didasarkan pada analisis terhadap literatur yang telah diterbitkan sebelumnya baik pada buku maupun artikel- artikel ilmiah.(26,27)Narrative review ini telah dilaksanakan dengan memanfaatkan tiga pendekatan yang berbeda yaitu:
Desk review
• Regulasi;
• Laporan evaluasi program;
• Laporan penelitian
Asesmen Lapangan
• Penelitian kuantitatif;
• Penelitian kualitatif
Penyusunan PBB
• Mendefinisikan masalah;
• Memilih intervensi;
• Membuat grafik bottleneck;
• Menganalisis bottleneck;
• Menyusun strategi
• Menentukan target cakupan;
• Menghitung biaya;
• Menentukan strategi prioritas;
• Memasukkan strategi ke dokumen perencanaan dan penganggaran
Gambar 1. Alur pelaksanaan kegiatan
1. Pencarian dari online database
Dokumen terkait regulasi dicari melalui beberapa database kebijakan, peraturan perundangan nasional, maupun peraturan daerah beserta pelaksanaannya mengenai aksi penurunan stunting. Selain itu, terkait praktik pelaksanaan 10 LMKM, artikel atau laporan tentang implementasi kebijakan, evaluasi program, dan penelitian yang terkait dengan 10 LMKM akan dicari melalui beberapa website, seperti penelitian dan pengembangan Depkes, Repository UNAIR, Repository UGM, Repository UI, serta dari beberapa database internasional, seperti Pubmed, Google Scholars, dan Science Direct.
2. Komunikasi pribadi kepada peneliti, pakar, jaringan terkait, dan pemegang kebijakan
Konsultasi dengan peneliti, pakar, jaringan terkait, dan pemegang kebijakan dilakukan untuk memperoleh dokumen atau artikel terkait regulasi, laporan evaluasi, dan laporan penelitian yang tidak dapat dipublikasikan atau ditemukan di online database. Laporan ini dapat diidentifikasi dengan berkonsultasi langsung dengan mereka, sebagai bagian dari budaya akademis Indonesia.
3. Penelusuran sitasi (citation tracing)
Metode terakhir adalah strategi "snowballing", dilakukan melalui identifikasi daftar referensi dari dokumen yang telah diidentifikasi sebelumnya. Referensi yang memenuhi syarat yang belum diidentifikasi dari strategi pencarian sebelumnya akan disertakan dalam tinjauan.
A SESMEN L APANGAN
Secara umum, asesmen lapangan menggunakan pendekatan mixed-method atau metode campuran. Untuk menggambarkan bagaimana aksi integrasi penurunan stunting di daerah, kami telah mengumpulkan data melalui wawancara mendalam dengan berpedoman pada framework integrasi penurunan stunting yang dikeluarkan oleh oleh Kementrian PPN/Bappenas.(11) Namun, untuk mengidentifikasi kebijakan 10 LMKM yang dibuat oleh pemerintah di lima kabupaten/kota, kami telah mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan yang bertujuan untuk memperoleh gambaran terkait dengan pelaksanaan kebijakan, serta mendokumentasikan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kebijakan.
Gambar 2. Framework asesmen 10 LMKM(28,29)
Proses asesmen 10 LMKM dipandu oleh kombinasi dua framework, yaitu Breastfeeding Gear Model dan Factors Affecting Breastfeeding Practice Framework(Gambar 2). Framework pertama, Breastfeeding Gear Model menaruh perhatian pada level kebijakan, yaitu terdapat delapan komponen terintegrasi, yaitu peraturan dan kebijakan, kemauan politik; pembiayaan dan sumber daya;
pelatihan dan program; advokasi berbasis bukti; promosi; penelitian dan evaluasi;
dan pengaturan tujuan dan monitoring diperlukan untuk mendukung program menyusui di rumah sakit dan tingkat komunitas.(28)Framework kedua memfokuskan pada faktor yang mempengaruhi praktik menyusui pada tingkat individu, kelompok, dan komunitas.(29) Kombinasi dua framework tersebut akan dapat memberikan gambaran komprehensif dan mendalam terkait dengan implementasi 10 LMKM dan faktor yang berkaitan dari kaca mata individu, grup, komunitas, dan kebijakan.
Penelitian Kuantitatif
Penelitian kuantitatif bertujuan untuk memetakan fasilitas kesehatan (puskesmas, rumah sakit, bidan praktik mandiri, dan klinik bersalin swasta) yang ada di 5 kabupaten/kota terkait implementasi kebijakan 10 LMKM. Instrumen pertanyaan dikembangkan berdasarkan standard assessment tools dari UNICEF- WHO untuk menilai keberhasilan penerapan kebijakan 10 LMKM di fasilitas kesehatan.(30) Informasi tersebut akan dikumpulkan dari pimpinanfasilitas kesehatan melalui survei cross-sectional. Selain itu, juga dilakukan validasi beberapa langkah dari 10 LMKM dari ibu bersalin di fasilitas kesehatan. Adapun komponen asesmen implementasi 10 LMKM di fasilitas kesehatan dapat dilihat pada bagian lampiran.
Data pada penelitian kuantitatif ini telah dikumpulkan menggunakan kuisioner digital melalui aplikasi Epicollect5 Data Collection, sehingga analisis secara spasial melalui peta digital terkait distribusi fasilitas kesehatan yang sudah dan belum mengimplementasikan kebijakan 10 LMKM bisa dilakukan. Data yang dikumpulkan telah ditabulasi menggunakan dua komputer oleh dua orang yang berbeda (double data entry). Hasil cetak komputer telah diperiksa secara silang untuk mengetahui kesalahan data cleaning. Data diolah dengan menggunakan dua program yang berbeda yaitu Ms Excel dan SPSS atau STATA untuk mengetahui informasi sesuai dengan tujuan penelitian.
Jumlah responden yang telah disurvey adalah sejumlah 372 orang yang terdiri dari 242 pimpinan fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas, bidan praktik mandiri dan klinik) dan 130 ibu nifas sebagai data validasi. Jumlah fasilitas kesehatan yang telah disurvey sama dengan jumlah responden. Hal ini disebabkan karena tim mensurvey satu orang perwakilan dari tiap fasilitas kesehatan. Secara berurutan, total responden yang telah disurvey dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah Responden/Fasilitas Kesehatan yang disurvey
No Districts Hospitals Community
Health Centre Clinics
Private Midwifery
Practice
Total Health Facility
Post- Partum Mother
N f% N f% N f% N f%
1 Surabaya 6 30% 34 97.10% 9 47.40% 33 94.29% 82 48 2 Jember 7 58.30% 15 100% 0 0% 15 100% 37 22 3 Probolinggo 6 100% 19 100% 2 66.70% 5 71.43% 32 17 4 Bondowoso 1 33.30% 25 100% 0 0% 25 100% 51 22 5 Trenggalek 2 66.70% 19 100% 0 0% 19 95% 40 21 Total 242 130 Grand Total 372
Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif bertujuan untuk memperoleh gambaran terkait dengan aksi penurunan stunting serta mengidentifikasi implementasi kebijakan 10 LMKM di sarana pelayanan kesehatandi masing-masing kabupaten/kota. Untuk asesmen kualitatif terkait stunting dilakukan dengan mengadopsi pedoman teknis penurunan stunting terintegrasi yang dikembangkan oleh Kementrian PPN/Bappenas.(11) Informasi akan dikumpulkan dari beberapa OPD untuk menggali sejauh mana masing-masing OPD tersebut telah melaksanakan perannya dalam upaya integrasi penurunan stunting.
Asesmen 10 LMKM bertujuan untuk mendapat gambaran mendalam mengenai sejauh mana implementasi kebijakan tersebut, menggali faktor yang memfasilitasi pelaksanaan kebijakan, serta mendokumentasikan hambatan- hambatan yang ada. Dengan mengacu pada framework yang dipakai (Gambar 2), maka informasi akan dikumpulkan dari berbagai sumber (triangulasi sumber), seperti ibu menyusui dan tidak menyusui yang mewakili level individu; petugas pelayanan kesehatan (bidan di puskesmas dan rumah sakit, bidan praktik mandiri dan klinik bersalin swasta, dokter spesialis anak, dokter spesiasialis kandungan, penyedia layanan PPIA) pada level kelompok; kelompok pendukung ASI(KPASI) pada level komunitas; dan kepala puskesmas, kepala Dinas Kesehatan, kepala bidang/seksi pemegang program terkait 10 LMKM di dinas kabupaten/kota, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta direktur rumah sakit pada level kebijakan. Selain itu, untuk memperkaya informasi yang diperoleh, kami juga telah melakukan pengumpulan data dari beberapa sumber yang mewakili interest groups, seperti instansi pendidikan
bidang kesehatan, organisasi profesi (IBI, IDAI, POGI), dan marketing dari perusahaan susu formula.
Jumlah responden yang telah diinterview adalah sejumlah 161 orang dari lima kabupaten (Surabaya, Jember, Probolinggo, Bondowoso dan Trenggalek).
Secara berurutan, total responden per kabupaten yang telah diwawancarai dapat dilihat pada table di bawah ini.
Tabel 2. Jumlah Responden yang telah Diinterview
No Districts N f%
1 Surabaya 27 79.4%
2 Jember 27 90%
3 Probolinggo 36 100%
4 Bondowoso 37 100%
5 Trenggalek 34 100%
Total 161
94.2%
Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam (in- depth interview/IDI). Instrumen penelitian kualitatif meliputi pedoman wawancara mendalam disusun dengan mengadopsi checklist yang dikembangkan oleh Flottorp et al untuk mengidentifikasi determinan praktik di seting sarana pelayanan kesehatan dan juga berdasarkan pada petunjuk dan instrumen monitoring “Rumah Sakit Sayang Bayi” yang dikeluarkan oleh UNICEF- WHO.(30,31) Data yang dikumpulkan melalui metode kualitatif telah dianalisis menggunakan perangkat lunak NVIVO 12 untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi tema-tema spesifik. Pelaksanaan asesmen lapangan disesuaikan dengan tujuan penelitian yang disajikan pada tabel 1.
Adapun masing-masing tujuan penelitian dan ringkasan dari metode dijabarkan dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 3. Tujuan dan metode penelitian Tujuan Penelitian (1)
Mengidentifikasi aksi integrasi penurunan stunting di kabupaten/kota
Metode Desk review dan wawancara mendalam
Sampel Desk review terhadap regulasi dan laporan evaluasi aksi integrasi penurunan stunting.
Wawancara mendalam dilakukan terhadap masing-masing OPD di kabupaten/kota:
1. Badan Perencanaan Daerah 2. Kepala Dinas Kesehatan
3. Pemegang program (kepala bidang/seksi yang menangani program terkait stunting)
4. Dinas Sosial 5. Dinas Pendidikan 6. Dinas Pekerjaan Umum 7. Dinas Ketahanan Pangan
8. Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa
9. Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana
Metode sampling Purposive sampling untuk wawancara mendalam Instrumen
Penelitian Protokol desk review Pedoman IDI
Informasi yang
Dikumpulkan Desk review untuk mempelajari konten kebijakan stunting, kebijakan-kebijakan lintas sektor yang mempengaruhi aksi integrasi stunting.
Wawancara mendalam untuk mengekplorasi aksi integrasi penurunan stunting oleh OPD di masing-masing kabupaten/kota.
Tujuan Penelitian (2)
Mengidentifikasi kebijakan terkait 10 LMKM yang telah dibuat oleh pemerintah kabupaten/kota
Metode Desk review dan wawancara mendalam
Sampel Desk review terhadap regulasi, laporan evaluasi program, dan laporan penelitian terkait 10 LMKM.
Wawancara mendalam dilakukan terhadap:
1. Kepala Dinas Kesehatan di lima kabupaten/kota
2. Pemegang program (kepala bidang/seksi yang menangani program terkait 10 LMKM) di lima kabupaten/kota.
Metode sampling Purposive sampling untuk wawancara mendalam Instrumen
Penelitian Protokol desk review Pedoman IDI
Informasi yang
Dikumpulkan Desk review untuk mempelajari konten kebijakan 10 LMKM, kebijakan-kebijakan lintas sektor yang mempengaruhi implementasi 10 LMKM, laporan-laporan penelitian dan evaluasi implementasi 10 LMKM.
Wawancara mendalam untuk mengekplorasi kebijakan di tingkat kabupaten/kota. Pedoman dikembangkan dengan mengadopsi Breastfeeding Gear Model, sebagai berikut.
- peraturan dan kebijakan (proses, konteks, konten, dan aktor kebijakan);
- kemauan politik;
- pembiayaan dan sumber daya;
- pelatihan dan program;
- advokasi berbasis bukti;
- promosi;
- penelitian dan evaluasi;
- pengaturan tujuan dan monitoring
Tujuan penelitian (3, 4)
Mengetahui bagaimana pelaksanaan kebijakan 10 LMKM yang telah dibuat oleh pemerintah kabupaten/kota.
Mengetahui hambatan dalam pelaksanaan kebijakan 10 LMKM di tingkat kabupaten/kota.
Metode Wawancara mendalam; dan survei fasilitas kesehatan Sampel Wawancara mendalam dilakukan terhadap:
1. Ibu menyusui dan yang tidak menyusui
2. Kepala Dinas Kesehatan di lima kabupaten/kota
3. Kepala bidang/ seksi yang menangani program terkait 10 LMKM di Dinas Kesehatan di lima kabupaten/kota
4. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
5. Direktur rumah sakit 6. Kepala puskesmas
7. Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI)
8. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
9. Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI),
10. Bidan di puskesmas dan rumah sakit;
11. Bidan pratik mandiri dan di klinik bersalin swasta 12. Dokter spesialis anak
13. Dokter spesialis kandungan
14. Penyedia layanan PPIA di rumah sakit 15. Marketing dari perusahaan susu formula 16. Kelompok pendukung ASI (KPASI)
17. Institusi pendidikan bidang kesehatan
Survei implementasi 10 LMKM akan dilakukan terhadap pimpinan fasilitas kesehatan dan beberapa poin implementasi 10 LMKM akan divalidasi melalui ibu bersalin, yang jumlahnya terdiri dari:
- 112 puskesmas - 44 rumah sakit
- 101 bidan praktik mandiri - 13 klinik bersalin swasta
Metode sampling Purposive sampling untuk wawancara mendalam
Multistage random sampling untuk survei fasilitas kesehatan Instrumen
Penelitian
Pedoman IDI
Kuesioner terstruktur untuk survei fasilitas kesehatan Informasi yang
Dikumpulkan
Wawancara mendalam:
Ibu menyusui dan tidak menyusui secara eksklusif
- kebutuhan riil atau persepsi terkait kebutuhan pemberian ASI pada bayi
- kepercayaan dan pengetahuan terkait dengan praktik pemberian ASI
- dukungan atau motivasi untuk praktik menyusui - perilaku atau praktik pemberian ASI
- pola pengasuhan dan peran gender di rumah tangga - praktik pemberian ASI pada ibu yang bekerja
- pengalaman terkait dukungan dari fasilitas kesehatan dalam mendorong IMD dan ASI eksklusif
- dukungan dari kelompok masyarakatterkait praktik pemberian ASI
- alasan spesifik yang mendasari ibu melakukan praktik menyusui atau tidak
Kepala Puskesmas/Dinas Kesehatan/Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak/kabid/kasie/direktur rumah sakit
- pengetahuan, sikap terkait penerapan 10 LMKM di fasilitas kesehatan
- ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan untuk implementasi (SDM, finansial, fasilitas, alat dan perlengkapan, kapasitas teknis)
- sistem informasi, monitoring dan evaluasi
- pengaruh organisasi, jaringan profesi, opini tokoh yang berpengaruh, serta norma yang dapat mempengaruhi implementasi
- kapasitas untuk melakukan perubahan organisasi dalam meningkatkan implementasi 10 LMKM (aktor yang berperan dalam memberikan mandat dan membuat keputusan, kapasitas kepemimpinan, kelompok pendukung dan lawan, regulasi internal dan eksternal, bantuan yang diperlukan untuk terjadinya perubahan)
- upaya apa yang telah dilakukan dan target yang telah dicapai dalam menjalankan program 10 LMKM
- ketersediaan regulasi di institusi terkait mengenai penggunaan susu formula (hanya untuk kondisi tertentu)
Organisasi profesi (IBI; IDAI; POGI)
- persepsi, sikap tentang penerapan 10 LMKM di fasilitas kesehatan
- ketersediaan kurikulum/silabus pendidikan profesi terkait pemberian ASI dan praktik 10 LMKM di fasilitas kesehatan - ketersediaan training (on job dan off job training) bagi profesi
terkait pemberian ASI dan praktik 10 LMKM
- keterlibatan dalam promosi susu formula (persepsi dan sikap mengenai praktik marketing promosi susu formula)
- sistem supervisi dan audit kepada profesi yang menjalankan program pemberian ASI dan penerapan 10 LMKM di fasilitas kesehatan.
Bidan/dokter spesialis anak/dokter spesialis kandungan
- pengetahuan terkait pentingnya pemberian ASI pada bayi dan penerapan 10 LMKM di fasilitas kesehatan
- kesadaran dan keakaraban (familiarity) terkait penerapan 10 LMKM
- skill yang diperlukan untuk menerapkan kebijakan - persetujuan dan sikap terkait kebijakan
- keinginan dan motivasi dalam melaksanakan kebijakan - self-efficacy dalam pelaksanaan kebijakan
- perilaku penerapan kebijakan oleh petugas kesehatan (kinerja petugas kesehatan; implementasi sesuai prosedur)
- outcome yang telah dicapai dan diharapkan sebagai hasil implementasi kebijakan
- kapasitas dalam melakukan perubahan yang diperlukan untuk meningkatkan implementasi
- aktivitas monitoring dan umpan balik terkait implementasi - interaksi, komunikasi, dan skill oleh tim pelaksana
- beban kerja di fasilitas kesehatan
- pengaruh organisasi, jaringan profesi, opini pemimpin, tokoh yang berpengaruh, serta norma yang dapat mempengaruhi implementasi
- komunikasi antar-tingkatan pelayanan kesehatan, termasuk proses rujukan untuk manajemen masalah laktasi
- komunikasi lintas sektoral dengan masyarakat terkait implementasi (promosi 10 LMKM ke masyarakat)
- ketersediaan sumber daya yang dibutuhkan untuk implementasi (SDM, finansial, fasilitas, alat dan perlengkapan, kapasitas teknis)
- insentif dan disinsentif (finansial dan non-finansial) terkait implementasi
- ketersediaan sistem informasi untuk implementasi 10 LMKM - hambatan dalam menjalankan program 10 LMKM di fasilitas
kesehatan berdasarkan pandangan profesi.
Penyedia layanan PPIA di rumah sakit
- tata laksana IMD dan praktik pemberian ASI eksklusif pada ibu HIV positif
- regulasi praktik pemberian ASI pada ibu HIV positif dan praktik pemberian susu formula untuk kondisi-kondisi tertentu
Marketing dari perusahaan susu formula
- jaringan dan metode pemasaran susu formula ke masyarakat dan ke fasilitas kesehatan
- pemberian insentif bagi petugas kesehatan dalam pemasaran KPASI/tokoh masyarakat
- pengetahuan terkait pentingnya pemberian ASI pada bayi dan penerapan 10 LMKM di fasilitas kesehatan
- persetujuan dan sikap terkait 10 LMKM
- identifikasi hambatan dalam praktik 10 LMKM di fasilitas kesehatan
- identifikasi budaya, nilai, norma yang mendukung atau menghambat pemberian ASI pada bayi
- pola pengasuhan dan pemberian makan pada bayi - peran gender di masyarakat
- dukungan dan promosi pemberian ASI di masyarakat Institusi pendidikan bidang kesehatan
- Persepsi dan sikap tentang penerapan 10 LMKM di fasilitas kesehatan
- Ketersediaan kurikulum/silabus terkait manajemen laktasi dan 10 LMKM
- Ketersediaan training bagi mahasiswa profesi (dokter, bidan, perawat) mengenai praktik pemberian asi dan program 10 LMKM
Survei fasilitas kesehatan akan mengukur implementasi 10 LMKM di fasilitas kesehatan. Kuesioner survei akan dibuat berdasarkan pedoman 10 LMKM di fasilitas kesehatan yang mengacu pada petunjuk dan alat monitoring “Rumah Sakit Sayang Bayi” yang dikembangkan oleh UNICEF-WHO.(30)
- Sarana pelayanan kesehatan mempunyai kebijakan praktik pemberian ASI yang secara rutin dikomunikasikan dengan ke semua petugas kesehatan
- Sarana pelayanan kesehatan melatih semua petugas kesehatan terkait skill yang diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan
- Sarana kesehatan menyiapkan ibu hamil untuk mengetahui manfaat ASI dan langkah keberhasilan menyusui
- Sarana kesehatan memfasilitasi kontak dan menyusui dini bayi baru lahir (1/2 - 1 jam setelah lahir)
- Sarana pelayanan kesehatan membantu ibu melakukan teknik menyusui yang benar (posisi peletakan tubuh bayi dan pelekatan mulut bayi pada payudara
- Sarana pelayanan kesehatan membantu ibu untuk hanya memberikan ASI saja tanpa minuman pralaktal sejak bayi lahir kecuali terdapat suatu kondisi medis yang tidak mengizinkan - Sarana pelayanan kesehatan melaksanakan rawat gabung ibu
dan bayi baik untuk ibu yang melahirkan normal maupun sesar (atau jika tidak terdapat alasan medis yang terjustifikasi) - Saranan pelayanan kesehatan mendorong ibu melaksanakan
pemberian ASI sesering dan semau bayi
- Sarana kesehatan mendukung ibu untuk tidak memberikan dot/ kempeng pada bayi
- Sarana pelayanan kesehatan menindaklanjuti ibu-bayi setelah pulang dari sarana pelayanan kesehatan
Tujuan Penelitian (5)
Menfasilitasi penyusunan PBB untuk meningkatkan cakupan 10 LMKM, IMD, dan ASI eksklusif di masing-masing kabupaten/kota
Metode Action research
Temuan utama dari asesmen disampaikan kepada para pemangku kebijakan di masing-masing kabupaten/kota untuk mendapatkan tanggapan serta masukan.Hasil asesmen digunakan sebagai dasar memfasilitasi penyusunan PBB.
Sasaran Perwakilan puskesmas dan rumah sakit, Dinas Kesehatan kabupaten/kota, organisasi profesi (IBI, IDAI, POGI), Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), akademisi dari perguruan tinggi bidang kesehatan.
Kegiatan Workshop diseminasi hasil dan penyusunan PBB
Workshop akan dilakukan selama dua hari dengan pelibatan pemangku kepentingan sejak awal kegiatan. Rincian aktivitas dan output sebagai berikut.
1. Diseminasi hasil asesmen
Temuan utama dari asesmen selanjutnya disampaikan kepada para pemangku kebijakan untuk mendapatkan tanggapan dan masukan. Output dari kegiatan ini yaitu daftar masalah dan rekomendasi untuk implementasi perbaikan 10 LMKM.
2. Fasilitasi penyusunan PBB
Penyusunan PBB dilakukan dengan aktivitas antara lain membuat prioritas masalah, memilih intervensi utama, membuat dan menganalisis grafik bottleneck, menyusun strategi, menentukan target cakupan, menghitung biaya untuk setiap strategi, menentukan strategi prioritas. Output dari kegiatan ini yaitu dokumen tertulis terkait strategi prioritas di masing-masing kabupaten/kota.
KAJIAN DAN PEMBELAJARAN TERKAIT 10 LMKM
ASI merupakan nutrisi yang bergizi, bersih dan aman bagi bayi.(34) Kandungan gizi dalam ASI menyediakan nutrisi yang adekuat bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi serta dapat melindungi bayi dari infeksi, khususnya infeksi saluran cerna dan infeksi saluran pernapasan.(35,36) Penelitian menunjukkan pemberian ASI ekslusif memiliki efek yang signifikan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi.(34–37) Selain berdampak terhadap angka kesakitan dan kematian bayi, secara khusus, pemberian ASI secara ekslusif berhubungan dengan stunting. Beberapa studi yang dilakukan di negara dengan sumber daya terbatas menunjukkan adanya hubungan antara pemberian ASI yang tidak eksklusif dengan outcome pertumbuhan yang kurang baik karena ASI digantikan oleh makanan yang kurang bergizi dan seringkali kurang higienis sehingga menyebabkan bayi terpapar oleh diare akibat infeksi.(34,38,39) Studi di Ethiopia menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak mendapatkan kolostrum berisiko dua kali lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan anak-anak yang mendapatkan kolostrum.(40) Studi oleh Fikadu dkk serta Jisha & Tamiru di Ethiopia menunjukkan adanya hubungan antara stunting dengan perilaku tidak menyusui secara eksklusif. Anak-anak yang pada 6 bulan pertama kehidupannya disusui secara eksklusif berisiko lebih rendah untuk mengalami stunting dibandingkan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.(41,42)
Berbagai fakta diatas menggarisbawahi pentingnya upaya untuk mempromosikan pemberian ASI eksklusif sebagai upaya untuk menurunkan stunting serta meningkatkan angka kesakitan dan kematian bayi. Berbagai intervensi atau pendekatan yang berbeda dan saling melengkapi telah dilakukan untuk meningkatkan angka cakupan ASI eksklusif, salah satunya adalah 10 LMKM yang telah dipromosikan sejak tahun 1989 oleh WHO dan UNICEF.(43,44)“Guideline: protecting, promoting and supporting breastfeeding in facilities providing maternity and newborn services” memuat evidence mengenai efektivitas tiap langkah dalam 10 LMKM dalam meningkatkan keberhasilan ASI eksklusif yang disimpulkan berdasarkan systematic review terhadap hasil penelitian terkait.(45) Pedoman tersebut menunjukkan bahwa langkah-langkah dalam 10 LMKM berupa kontak kulit dini antara ibu dan bayi, IMD, rawat gabung, pencegahan pemberian nutrisi selain ASI serta pencegahan pemberian dot dan
empeng dapat meningkatkan peluang keberlanjutan pemberian ASI eksklusif dengan kualitas evidence yang bervariasi dari sedang hingga tinggi.(45) Sebuah cluster-randomised controlled trial di DR Congo juga menunjukkan bahwa implementasi 10 LMKM dalam BFHI oleh tenaga kesehatan yang telah mengikuti pelatihan berdasarkan standar WHO/UNICEF terbukti secara signifikan meningkatkan proporsi bayi yang mendapatkan ASI eksklusif pada usia 6 bulan.(46) Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penerapan 10 LMKM perlu terus dioptimalkan, termasuk sebagai salah satu intervensi strategis bagi pencegahan stunting di berbagai negara,termasuk Indonesia.(43,45)
Dalam implementasi BFHI dengan menggunakan pedoman 10 LMKM, masih terdapat beberapa kendala yang dihadapi di lapangan baik di Indonesiamaupun di beberapa negara lainnya, khususnya negara yang sedang berkembang ataupun negara yang masih tertinggal. Salah satunya penelitian yang dilakukan di Brazil, yang mengungkapkan bahwa rata-rata kepatuhan pada 10 LMKM di fasilitas kesehatan hanya mencapai 67%. Bahkan persentase yang lebih kecil di temukan di Ghana yaitu hanya 42% (range 30-70%).(47,48) Sebagian besar dari fasilitas di Ghana dilaporkan memiliki tingkat kepatuhan yang kurang (<70%), yaitu khususnya pada langkah 1 (tentang kebijakan 10 LMKM dan sosialisasinya) serta langkah 2 (tentang kapabilitas dan pelatihan staf/tenaga kesehatan). Hal yang sama ditemukan pula di Nigeria, bahkan langkah 10 (tentang pemberdayaan kelompok pendukung-KPASI) juga tidak tersedia sama sekali.(48,49)
Temuan yang serupa juga diperoleh di Asia. Penelitian yang dilakukan di India, mengindikasikan bahwa tidak hanya para petugas pemberi layanan saja yang memerlukan sosialisasi tentang BFHI dan 10 LMKM, namun juga untuk mahasiswa kedokteran dan keperawatan yang bertugas di rumah sakit.
Rekomendasi tersebut terbentuk karena peneliti menemukan bahwa pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya penerapan 10 LMKM pada peserta didik tersebut cukup rendah khususnya pada langkah 3 (tentang pemberikan edukasi tentang menyusui pada masa prenatal), 8 (tentang pemberian ASI sesuai kebutuhan bayi) serta langkah 10, bahkan persentase dari keempat langkah tersebut tidak lebih dari 30%.(50)
Penelitian yang dilakukan oleh Taylor dkk mencoba menjelaskan faktor dan kondisi apa saja yang terjadi di setiap langkah 10 LMKM. Pada langkah 1, dijelaskan bahwa masih kurangnya kesadaran dan perhatian dari petugas