ASI merupakan nutrisi yang bergizi, bersih dan aman bagi bayi.(34) Kandungan gizi dalam ASI menyediakan nutrisi yang adekuat bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi serta dapat melindungi bayi dari infeksi, khususnya infeksi saluran cerna dan infeksi saluran pernapasan.(35,36) Penelitian menunjukkan pemberian ASI ekslusif memiliki efek yang signifikan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi.(34–37) Selain berdampak terhadap angka kesakitan dan kematian bayi, secara khusus, pemberian ASI secara ekslusif berhubungan dengan stunting. Beberapa studi yang dilakukan di negara dengan sumber daya terbatas menunjukkan adanya hubungan antara pemberian ASI yang tidak eksklusif dengan outcome pertumbuhan yang kurang baik karena ASI digantikan oleh makanan yang kurang bergizi dan seringkali kurang higienis sehingga menyebabkan bayi terpapar oleh diare akibat infeksi.(34,38,39) Studi di Ethiopia menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak mendapatkan kolostrum berisiko dua kali lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan anak-anak yang mendapatkan kolostrum.(40) Studi oleh Fikadu dkk serta Jisha & Tamiru di Ethiopia menunjukkan adanya hubungan antara stunting dengan perilaku tidak menyusui secara eksklusif. Anak-anak yang pada 6 bulan pertama kehidupannya disusui secara eksklusif berisiko lebih rendah untuk mengalami stunting dibandingkan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.(41,42)
Berbagai fakta diatas menggarisbawahi pentingnya upaya untuk mempromosikan pemberian ASI eksklusif sebagai upaya untuk menurunkan stunting serta meningkatkan angka kesakitan dan kematian bayi. Berbagai intervensi atau pendekatan yang berbeda dan saling melengkapi telah dilakukan untuk meningkatkan angka cakupan ASI eksklusif, salah satunya adalah 10 LMKM yang telah dipromosikan sejak tahun 1989 oleh WHO dan UNICEF.(43,44)“Guideline: protecting, promoting and supporting breastfeeding in facilities providing maternity and newborn services” memuat evidence mengenai efektivitas tiap langkah dalam 10 LMKM dalam meningkatkan keberhasilan ASI eksklusif yang disimpulkan berdasarkan systematic review terhadap hasil penelitian terkait.(45) Pedoman tersebut menunjukkan bahwa langkah-langkah dalam 10 LMKM berupa kontak kulit dini antara ibu dan bayi, IMD, rawat gabung, pencegahan pemberian nutrisi selain ASI serta pencegahan pemberian dot dan
empeng dapat meningkatkan peluang keberlanjutan pemberian ASI eksklusif dengan kualitas evidence yang bervariasi dari sedang hingga tinggi.(45) Sebuah cluster-randomised controlled trial di DR Congo juga menunjukkan bahwa implementasi 10 LMKM dalam BFHI oleh tenaga kesehatan yang telah mengikuti pelatihan berdasarkan standar WHO/UNICEF terbukti secara signifikan meningkatkan proporsi bayi yang mendapatkan ASI eksklusif pada usia 6 bulan.(46) Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penerapan 10 LMKM perlu terus dioptimalkan, termasuk sebagai salah satu intervensi strategis bagi pencegahan stunting di berbagai negara,termasuk Indonesia.(43,45)
Dalam implementasi BFHI dengan menggunakan pedoman 10 LMKM, masih terdapat beberapa kendala yang dihadapi di lapangan baik di Indonesiamaupun di beberapa negara lainnya, khususnya negara yang sedang berkembang ataupun negara yang masih tertinggal. Salah satunya penelitian yang dilakukan di Brazil, yang mengungkapkan bahwa rata-rata kepatuhan pada 10 LMKM di fasilitas kesehatan hanya mencapai 67%. Bahkan persentase yang lebih kecil di temukan di Ghana yaitu hanya 42% (range 30-70%).(47,48) Sebagian besar dari fasilitas di Ghana dilaporkan memiliki tingkat kepatuhan yang kurang (<70%), yaitu khususnya pada langkah 1 (tentang kebijakan 10 LMKM dan sosialisasinya) serta langkah 2 (tentang kapabilitas dan pelatihan staf/tenaga kesehatan). Hal yang sama ditemukan pula di Nigeria, bahkan langkah 10 (tentang pemberdayaan kelompok pendukung-KPASI) juga tidak tersedia sama sekali.(48,49)
Temuan yang serupa juga diperoleh di Asia. Penelitian yang dilakukan di India, mengindikasikan bahwa tidak hanya para petugas pemberi layanan saja yang memerlukan sosialisasi tentang BFHI dan 10 LMKM, namun juga untuk mahasiswa kedokteran dan keperawatan yang bertugas di rumah sakit.
Rekomendasi tersebut terbentuk karena peneliti menemukan bahwa pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya penerapan 10 LMKM pada peserta didik tersebut cukup rendah khususnya pada langkah 3 (tentang pemberikan edukasi tentang menyusui pada masa prenatal), 8 (tentang pemberian ASI sesuai kebutuhan bayi) serta langkah 10, bahkan persentase dari keempat langkah tersebut tidak lebih dari 30%.(50)
Penelitian yang dilakukan oleh Taylor dkk mencoba menjelaskan faktor dan kondisi apa saja yang terjadi di setiap langkah 10 LMKM. Pada langkah 1, dijelaskan bahwa masih kurangnya kesadaran dan perhatian dari petugas
kesehatan terhadap keberadaan ataupun isi dari kebijakan BFHI atau 10 LMKM, yang mana juga terjadi di beberapa rumah sakit yang mendapatkan skor tinggi pada langkah 1. Hanya sebagian kecil dari rumah sakit yang mampu mengimplementasi langkah 2. Hal itu terjadi karena sebagian besar rumah sakit memang tidak memiliki pendekatan komprehensif dalam peningkatan kapasitas dan skill untuk petugas kesehatan terkait ASI ataupun 10 LMKM, termasuk juga hanya sedikit petugas kesehatan yang memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pelatihan lanjutan. Para ibu juga mengindikasikan bahwa pemberian pengetahuan tentang manfaat ASI (langkah 3) tidak disediakan oleh rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Walaupun tersedia, namun para ibu mengatakan bahwa tidak ada dampak atau manfaat yang dirasakan dari konseling prenatal yang diberikan oleh petugas kesehatan. Dukungan pemberian ASI pada jam-jam pertama setelah melahirkan atau yang disebut dengan IMD (langkah 4), juga dirasa sangat kurang diberikan oleh petugas kesehatan. Selain itu, petugas kesehatan termasuk perawat juga merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan asuhan laktasi pada ibu-ibu pascapersalinan (langkah 5), dan menyerahkan seluruhnya tugas tersebut pada konsultan khusus mengenai laktasi yang sudah terakreditasi (IBCLC).(51,52)
Pelaksanaan langkah 6 (tentang pelarangan pemberian susu formula), sepertinya tidak begitu dilakukan di sebagian besar rumah sakit dalam penelitian Taylor dkk tersebut. Dilaporkan bahwa banyak bayi yang biasanya diberikan ASI, juga diberikan susu formula. Selain itu, hanya sebagian kecil ibu yang melaporkan diberikan kesempatan untuk rawat gabung (langkah 7) dengan bayinya, karena memang petugas kesehatan dan para ibu juga menginisiasi untuk bayi yang dirawat terpisah dengan ibu, dengan alasan untuk menyediakan kesempatan untuk ibu beristirahat. Masih adanya kesalahan persepsi diantara petugas kesehatan mengenai pemberian ASI yang hanya diberikan setiap 4 jam sekali, karena menurut mereka sesuai dengan anjuran cara pemberian di kemasan susu formula (langkah 8). Petugas lainnya hanya mengindikasi kebutuhan akan ASI pada bayi hanya saat bayi menangis. Sama seperti pemberian susu formula, sebenarnya petugas kesehatan sudah sadar dan paham untuk tidak memberikan ASI menggunakan botol dot (langkah 9), akan tetapi praktik tersebut masih saja dilakukan di sebagian besar rumah sakit. Banyak rumah sakit yang melaporkan telah melaksanakan langkah 10, namun ketika para ibu menanyakan dimana sumber informasi ataupun dukungan terkait
menyusui, para petugas kesehatan tidak mampu memberikan rujukan yang tepat selain konsultan laktasi yang ada di rumah sakit.(51,52)
Secara umum, kepatuhan terhadap 10 LMKM sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu diantaranya, perpindahan petugas yang telah dilatih tentang ASI yang mungkin karena adanya rotasi atau mutasi, akan tetapi kemudian diperparah lagi dengan kurang maksimalnya pelatihan atau orientasi pada petugas kesehatan yang baru. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kurangnya komunikasi antara petugas yang telah dilatih dengan petugas yang baru, sehingga informasi mengenai ASI dan 10 LMKM menjadi terdistribusi secara tidak merata di kalangan petugas kesehatan. Faktor yang mempengaruhi lainnya adalah mengenai kuantitas petugas kesehatan. Rasio pasien dan petugas kesehatan yang terlalu berbeda juga menyebabkan petugas kesehatan tidak sanggup untuk secara pasti menerapkan 10 LMKM dalam pelayanan. Hal tersebut kemungkinan besar dikarenakan petugas kesehatan berencana untuk sebisa mungkin mengurangi waktu tunggu pasien mendapatkan pelayanan, saat pasien atau ibu bersalin yang berkunjung atau mengakses layanan dalam jumlah yang besar, sehingga menyebabkan kepatuhan terhadap 10 LMKM menjadi semakin menurun. Disamping itu, lemahnya dukungan berupa monitoring dan evaluasi dari pihak otoritas di level lokal dan nasional, juga sangat mendorong kurangnya kepatuhan fasyankes terhadap 10 LMKM. Dengan kata lain, pihak otoritas adalah pemerintah itu sendiri hanya memberikan arahan saja pada fasilitas kesehatan untuk melaksanaan 10 LMKM, namun tidak melakukan supervisi dan mempunyai strategi untuk mengontrol pelaksanaan 10 LMKM di lapangan.(48)
Beberapa penelitian yang membandingkan fasilitas kesehatan yang sudah terakreditasi BFHI dengan yang tidak, memunculkan hasil yang sama bahwa kepatuhan akan 10 LMKM termasuk keberlangsungan pemberian ASI eksklusif secara signifikan lebih tinggi pada fasilitas kesehatan yang telah terakreditasi atau mendapatkan label BFHI secara formal dari pemerintah, dibandingkan dengan fasilitas kesehatan yang tidak. Hal itu memunculkan kebutuhan bahwa fasilitas kesehatan memerlukan perhatian dari pemerintah terkait untuk memberikan pengesahan atau label BFHI, yang pastinya didahului dengan penyiapan kualitas dan kuantitas para petugas kesehatan, termasuk juga sarana dan prasarana dari fasilitas kesehatan yang bersangkutan.(53–55)
Selain dari aspek pemerintah dan fasilitas kesehatan, faktor kontekstual lainnya yang juga memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi pelaksanaan 10 LMKM dan keberlangsungan ASI eksklusif adalah konteks sosial-ekonomi di daerah tersebut termasuk juga keadaan dan status gizi masyarakat. Seperti yang dilaporkan dalam penelitian di beberapa wilayah di regional Mediterania Timur, yang menyimpulkan bahwa negara-negara yang memiliki transisi status gizi yang baik juga terindikasi tingginya pelaksanaan 10 LMKM dan ASI eksklusif di fasilitas kesehatan, begitu juga sebaliknya.(56) Adanya perubahan sosial di masyarakat yang menyebabkan para ibu harus bekerja di masa nifas dan menyusui, sering dijadikan alasan untuk tidak patuh pada pelaksanaan 10 LMKM dan keberlangsungan ASI eksklusif. Akan tetapi, Attanasio dkk mengungkapkan bahwa skor tinggi kepatuhan pelaksanaan 10 LMKM tidak berhubungan dengan status pekerjaan ibu, namun berhubungan secara signifikan dengan tingginya odds untuk melakukan pemberian ASI pada 1 minggu pascapersalinan, dan.
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa status pekerjaan ibu bukan halangan untuk pelaksanaan BFHI dan keberlangsungan ASI eksklusif.(57)
Pelaksanaan program 10 LMKM sudah dilaksanakan hampir di seluruh pelayanan kesehatan di Indonesia seperti di rumah sakit dan puskesmas.
Penerapan implementasi 10 LMKM memiliki pengaruh terhadap pengetahuan dan sikap ibu dalam memberikan ASI pada bayi.(58,59) Akan tetapi, kualitas pelaksanaan masih tidak sesuai dengan pedoman 10 LMKM. Berdasarkan hasil kajian terhadap studi terkait implementasi program dan kebijakan ASI dan IMD di Indonesia menunjukkan bahwa masih rendahnya pemberian ASI ekslusif dan masih kurang optimalnya fasilitas untuk melakukan IMD. Kebijakan ASI ekslusif belum lengkap dan komprehensif, IMD belum masuk secara eksplisit dalam kebijakan dan peraturan daerah dan nasional. Analisis kerangka kerja koalisi dan advokasi mengonfirmasi lemahnya aspek sistem eksternal dan subsistem kebijakan dalam penyusunan kebijakan ASI ekslusif.(60)
Penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit swasta di Indonesia menunjukkan bahwa beberapa poin LMKM yang masih belum dilaksanakan dengan baik seperti manajemen laktasi yang kurang baik (manfaat dan teknik menyusui yang benar), masih tersedianya susu formula tanpa indikasi, rawat gabung masih parsial (2 jam setiap hari), kurangnya dukungan terhadap ibu dalam pemberian ASI sesuai kemauan bayi, masih tersedianya dot dan belum terbentuk KPASI.(61,62) Dalam proses pelaksanaan IMD di rumah sakit swasta
dari segi input sudah baik, tetapi masih ada masalah pada proses sehingga output belum mencapai target 100%. Proses pelaksanaan IMD, implementasi protap belum sesuai dengan tahapan yang tercantum pada protap dan belum adanya pendokumentasian secara teratur pada lembar check list IMD. Sehingga diperlukan kesinambungan pelaksanaan program IMD khususnya dan 10 LMKM pada umumnya, secara rutin oleh semua pihak.(63) Sedangkan di rumah sakit pemerintah, dari 10 LMKM yang ditetapkan, langkah yang belum dilakukan adalah belum melaksanakan penyuluhan/konseling menyusui kepada ibu hamil dan menyusui, belum ada pembentukan KPASI, bidan masih memberikan susu formula pada bayi rawat gabung, dan tidak semua melaksanakan IMD.(61,64,65)