K ABUPATEN T RENGGALEK
Langkah 8.Mendorong menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan terhadap lama dan frekuensi menyusui
Gambar 30. Implementasi langkah 8 dari 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek
Berdasarkan langkah 8 terkait dengan dorongan menyusui semau bayi dan ibu, hasil self-appraisal menunjukkan bahwa semua pimpinan fasilitas kesehatan menyatakan bahwa ibu menyusui mendapatkan pengetahuan tentang tanda bayi lapar (s8.1), ibu juga dimotivasi untuk menyusui jika bayi payudara terasa penuh (s8.3), dan 97.5% [92.2%-100.0%] pimpinan yang menyatakan bahwa ibu dimotivasi untuk menyusui bayinya sesering dan selama bayi mau (s8.2). Namun, validasi oleh ibu bersalin menunjukkan hasil yang sama atau lebih rendah, seperti semua ibu menyatakan memperoleh motivasi untuk menyusui banyinya sesering mungkin dan selama bayi mau (v8.2), 95.2% [69.1%-99.4%] yang menyatakan dimotivasi menyusui jika payudara terasa penuh (v8.3), dan 81.0% [56.4%-93.3%]
yang menyatakan mereka memperoleh pengetahuan tentang tanda bayi lapar (v8.1)
Langkah 9.Tidak memberikan botol-dot atau empeng kepada bayi yang disusui
Gambar 31. Implementasi langkah 9 dari 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek
Langkah 9 terkait dengan larangan memberikan dot, botol, atau kempeng juga menunjukkan hasil validasi yang rendah dibandingkan dengan hasil self-apprasial. Walalupun semua pimpinan menyatakan bahwa petugas memberikan informasi kepada ibu tentang resiko susu formula yang diberikan melalui botol atau dot (s9.2), tetapi hanya 85.7% [61.3%-95.8%] ibu bersalin yang setuju dengan hal tersebut (v9.2).Begitu pula, sebanyak 97.5% [92.4%-100.0%] pimpinan menyatakan bahwa bayi menyusu dirawat tanpa penggunaan botol, dot, atau empeng (s9.1), tetapi hanya 76.2% [51.7%-90.5%] ibu bersalin yang setuju dengan hal tersebut (v9.1).
Langkah 10.Mengupayakan terbentuknya KPASI dan merujuk ibu kepada kelompok tersebut ketika pulang dari fasilitas kesehatan
Gambar 32. Implementasi langkah 10 dari 10 LMKM di Kabupaten Trenggalek
Langkah 10 menyoroti peranan fasilitas kesehatan dalam membentuk KPASI. Hasil self-appraisal menunjukkan semua pimpinan menyampaikan bahwa media cetak tersedia untuk ibu sebelum keluar fasilitas kesehatan yang dapat memberikan informasi untuk mendapat dukungan lanjutan (s10.5), dan ibu dimotivasi untuk menemui petugas kesehatan setelah keluar dari layanan (s10.6).
Selanjutnya, persentase yang sama sebesar 92.5% untuk pimpinan yang menyatakan bahwa petugas mendiskusikan dengan ibu yang akan keluar dari fasilitas kesehatan tentang bagaimana mereka akan memberikan ASI setelah sampai di rumah (s10.1), fasilitas kesehatan memiliki sistem untuk menindaklanjuti ibu yang keluar dari fasilitas kesehatan seperti pemeriksaan postnatal dan laktasi, kunjungan rumah (s10.2), fasilitas kesehatan mendorong terbentuknya KPASI (s10.3), dan ibu dimotivasi untuk mendapat dukungan menyusui dari KPA ASI atau kelas ibu (s10.4). Selain itu, 90% fasilitas kesehatan memperbolehkan konseling dilakukan oleh konselor KPASI di kamar bersalin, ruang nifas, atau ruang rawat (s10.7).
Tabel 3. Perbandingan tingkat kepatuhan implementasi 10 LMKM berdasarkan hasil self-appraisal oleh pimpinan fasilitas kesehatan dan validasi oleh ibu bersalin di Kabupaten Trenggalek
Langkah Self-appraisal(n=40) Validasi (n=21) p-value
% patuh 95% CI % patuh 95% CI Langkah 1 37.5 21.8 – 53.2
Langkah 2 85.0 73.4 – 96.6
Langkah 3 82.5 70.2 – 94.8 71.4 47.1 – 87.5 0.341(b) Langkah 4 57.5 41.5 –73.5 14.3 4.2 – 38.7 0.001(a) Langkah 5 92.5 84.0 – 100.0 81.0 56.4 – 93.3 0.179(b) Langkah 6 85.0 73.4 –96.6
Langkah 7 67.5 52.3 – 82.7 33.3 15.7 – 57.4 0.011 Langkah 8 95.0 87.9 – 100.0 81.0 56.4 – 93.3 0.080(b) Langkah 9 97.5 92.4 – 100.0 71.4 47.1 – 87.5 0.002(b) Langkah 10 92.5 84.0 – 100.0
Kepatuhan 10 LMKM Patuh
Tidak Patuh
30.0 70.0
15.2 – 44.8 55.2 – 84.8
(a)Chi-square test; (b)Fisher’s exact test
Tingkat kepatuhan untuk tiap langkah ditentukan jika setidaknya 80% dari total kriteria terpenuhi oleh fasilitas kesehatan, baik melalui hasil self-appraisal maupun dari validasi. Validasi hanya dilakukan terhadap langkah 3, 4, 5, 7, 8, dan 9. Tingkat kepatuhan tertinggi yaitu 97.5% [92.4%-100.0%] pada langkah 9, yaitu terkait tidak memberikan botol-dot atau empeng kepada bayi yang disusui, tetapi hasil validasi secara signifikan lebih rendah, yaitu 71.4% [47.1%-87.5%].
Begitu pula, capaian kepatuhan yang juga tinggi (95.0%) [87.9%-100.0%] yaitu terkait mendorong menyusui semau bayi dan ibu pada langkah 8, namun hasil validasi lebih rendah, sebesar 81.0% [56.4%-93.3%], tetapi perbedaan tersebut tidak cukup signifikan. Perbedaan yang signifikan juga ditemui pada langkah 4 terkait kontak kulit ke kulit dan langkah 7 terkait rawat gabung. Kepatuhan terendah yaitu pada langkah 1 terkait adanya kebijakan 10 LMKM di fasilitas kesehatan yang hanya sebesar 37.5% [21.8%-53,2%], tetapi perbedaan persentase tersebut tidak bermakna. Berdasarkan kepatuhan semua langkah, hanya 12 dari 40 fasilitas kesehatan (30.0%) yang patuh terhadap semua langkah dalam 10 LMKM.
Analisis lebih mendalam selanjutnya dilakukan untuk memahami faktor yang mendukung dan menghambat implementasi kebijakan 10 LMKM di daerah.
Hasil analisis dirangkum berdasarkan framework yang dipakai, meliputi
faktor-faktor pada level kebijakan, komunitas, kelompok, dan individu, yaitu sebagai berikut.
Faktor-faktor pada Level Kebijakan
TEMUAN KUNCI
Faktor Pendukung
✓ Sesuai dengan penetapan desa stunting oleh pemerintah pusat,
ditetapkan sebanyak 10 desa yang menjadi fokus penurunan stunting antara lain Desa Botoputih Kecamatan Bendungan, Desa Kayen Kecamatan Karangan, Desa Cakul Kecamatan Dongko, Desa Jajar Kecamatan Gandusari, Desa Dawuhan Kecamatan Trenggalek, Desa Kedunglurah Kecamatan Pogalan, Desa Puru, Nglebo, Ngrandu dan Mlinjon Kecamatan Suruh.
✓ Faktor kuat yang mendorong terlaksananya mekanisme aksi ini diantaranya komitmen yang erat dari seluruh pemerintah daerah
Kabupaten Trenggalek, yang menyadari bahwa stunting merupakan isu nasional.
✓ Telah terdapat beberapa program inovasi yang dijalankan oleh pemerintah daerah setempat guna menurunkan angka stunting seperti kampung KB, Program Perempuan Bareng berAkzi, serta Program Gerbang Angkasa Biru (Gerakan Perbaikan Gizi dan Pendampingan Upaya Akselerasi Penurunan angka Kematian dan Kesakitan ibu dan bayi baru lahir).
✓ Kebijakan 10 LMKM berpotensi dimasukkan ke dalam salah satu aksi penurunan stunting di daerah Trenggalek dikarenakan telah adanya kebijakan yang dibentuk khusus pemberian ASI di tingkat wilayah Kabupaten
✓ Seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang melayani persalinan sepakat untuk selalu mengedepankan pemberian ASI eksklusif, pelaksanaan IMD, dan rawat gabung semaksimal mungkin terutama bagi ibu yang
melahirkan normal Faktor Penghambat
✓ Terdapat beberapa hambatan yang ditemui dalam kegiatan konvergensi penurunan stunting di wilayah ini diantaranya adalah beban kerja yang dirasa cukup berat di sebagian besar OPD, fokus pembangunan yang
masih diutamakan untuk peningkatan infrastruktur, serta sistem monitoring dan evaluasi yang belum dibentuk.
✓ Dalam pelaksanaan 10 LMKM, proses advokasi belum berjalan maksimal dimana belum terdapat tindak lanjut dari keluhan-keluhan yang muncul di lapangan terkait beberapa langkah yang belum terakomodir di fasilitas kesehatan. Kebijakan belum secara eksplisit mencantumkan sanksi bagi fasyankes yang tidak menerapkan 10 LMKM
✓ Mekanisme monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemberian ASI oleh ibu setelah ibu diperbolehkan pulang belum tercatat dengan baik, terutama oleh ibu yang melahirkan di rumah sakit karena tidak dirujuknya ibu ke KPASI, karena fasilitas pelayanan kesehatan belum memiliki kelompok tersebut.
✓ Belum terdapat peraturan khusus mengenai peredaran susu formula di fasyankes.
✓ Masih lemahnya koordinasi untuk mengkomunikasikan perihal pelaksanaan 10 LMKM diantara petugas kesehatan.
Pembahasan faktor-faktor pada level kebijakan yang mempengaruhi implementasi 10 LMKM di fasilitas kesehatan mengadopsi framework Breastfeeding Gear Modelyang menyoroti beberapa aspek penting terkait dengan kebijakan menyusui, meliputi kebijakan, peraturan, dan keingan politik;
pembiayaan dan sumber daya; pelatihan dan program; promosi; advokasi, koordinasi dan monitoring; serta penelitian dan evaluasi. Adapun penjabaran lebih lanjut terkait hasil asesmen 10 LMKM berdasarkan framework tersebut yaitu sebagai berikut.
Kebijakan, Peraturan, dan Keinginan Politik
➢
Kebijakan terkait StuntingKabupaten Trenggalek merupakan salah satu dari 100 kabupaten/kota prioritas penanganan stunting di Indonesia pada tahun 2018. Angka kejadian stunting di Kabupaten Trenggalek pada tahun 2017 adalah sebesar 24,3%, dengan karakteristik masalah gizi akut-kronis.(103) Trenggalek menjadi salah satu kabupaten dengan prevalensi stunting berada di atas batas yang telah ditetapkan oleh WHO yaitu <20%. Upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua intervensi, yaitu intervensi gizi spesifik untuk menyasar penyebab langsung
dan intervensi gizi sensitif untuk menyasar penyebab tidak langsung. Selain mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung, diperlukan prasyarat pendukung yang mencakup komitmen politik dan kebijakan untuk pelaksanaan, keterlibatan pemerintah dan lintas sektor, serta kapasitas untuk melaksanakan.
Penurunan stunting memerlukan pendekatan yang menyeluruh, yang harus dimulai dari pemenuhan prasyarat pendukung.(11)
Kerangka konseptual intervensi gizi terintegrasi merupakan panduan bagi pemerintah kabupaten/kota dalam menurunkan kejadian stunting. Pemerintah kabupaten/kota diberikan kesempatan untuk berinovasi untuk menambah kegiatan intervensi efektif lainnya dengan fokus pada penurunan stunting. Target indikator utama dalam intervensi gizi terintegrasi adalah:
1. Prevalensi stunting pada anak baduta dan balita 2. Persentase bayi dengan BBLR
3. Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita 4. Prevalensi wasting (kurus) anak balita
5. Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI ekslusif 6. Prevalensi anemia pada ibu hamil dan remaja putri
7. Prevalensi kecacingan pada anak balita 8. Prevalensi diare pada anak baduta dan balita
Sebagai respon terhadap target nasional penurunan prevalensi stunting yang telah ditetapkan dalam Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024 dan upaya percepatan perbaikan gizi yang tercantum dalam RPJMN 2014-2019, Peraturan Presiden No 42/2013 tentang Gerakan Nasional Perbaikan Gizi, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 2017 tentang GERMAS, serta Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga maka pada tanggal 3 Desember 2018, Bupati Trenggalek mengeluarkan Surat Edaran Nomor 50/2794/35.03.026/2018 tentang Implementasi Komunikasi Perubahan Perilaku Masyarakat untuk Mencegah Stunting. Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa stunting harus menjadi prioritas pembangunan daerah, dikerjakan secara bersama secara lintas program dan lintas sektor, dimasukkan dalam dokumen rencana pembangunan daerah, disertai dengan dukungan sumber daya, menerapkan strategi yang partisipatif dan inovatif sesuai konteks lokal.(104)
Konvergensi program/intervensi untuk penanganan stunting telah dibahas dalam Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2016-2021 yang dimuat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Trenggalek Nomor 4 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Trenggalek Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2016-2021.(105) Salah satu program lintas perangkat daerah yang merupakan inovasi Pemerintah Kabupaten Trenggalek dan telah dikembangkan sejak tahun 2015 adalah Gerbang Angkasa Biru (gerakan perbaikan gizi dan pendampingan upaya akselerasi penurunan angka kematian dan kesakitan ibu dan bayi baru lahir). Kerangka intervensi stunting yang terdiri dari intervensi gizi spesifik dan sensitif juga diuraikan dalam RPJMD tersebut. Berdasarkan RPJMD tersebut, dinyatakan bahwa upaya-upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Trenggalek berkaitan dengan penurunan angka stunting adalah berkaitan dengan perbaikan gizi di masa 1000 HPK, antara lain dengan semakin gencarnya sosialisasi ASI eksklusif, pendidikan gizi untuk ibu hamil, pemberian TTD untuk ibu hamil, IMD, PMBA, pemberian mikro nutrien (taburia), sosialisasi gemar makan ikan, program penyehatan lingkungan, penyediaan sarana dan prasarana air bersih dan sanitasi.(105)
Wujud nyata dari upaya penurunan stunting tersebut telah dilaksanakan oleh OPD terkait seperti Dinas Kesehatan maupun secara lintas sektor. Bentuk program untuk mendukung upaya penurunan stunting seperti Program Buka Tudung Saji oleh Dinas Kesehatan, program Perempuan Bareng ber-AKZI (perempuan bekerja bareng untuk menjadi keluarga asuh anak kurang gizi/gizi buruk) oleh organisasi wanita seluruh Kabupaten Trenggalek, program pendampingan PKH oleh Dinas Sosial, Kampanye Menu B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman) oleh Dinas Pertanian dan Pangan, Program Pengentasan Masyarakat Kurang Mampu oleh Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup (PKPLH), dan Program KRPL oleh Dinas Ketahanan Pangan.
Dokumen kebijakan lain terkait dengan stunting di Kabupaten Trenggalek adalah Surat Pernyataan Dukungan Bupati Nomor 188.45/2660/ 35.03.026/ 2018.
Dalam surat tersebut, Bupati Trenggalek menyatakan komitmennya untuk mendukung penanganan stunting melalui peningkatan kualitas sanitasi lingkungan dengan memfasilitasi persiapan dan pelaksanaan, menjamin keberlanjutan penggunaan jamban sehat dan cuci tangan pakai sabun serta
dengan menerapkan petunjuk teknis pedoman intervensi kesehatan lingkungan dalam penanganan stunting.(106)
Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Tahun 2019 di Kabupaten Trenggalek yang ditetapkan melalui Peraturan Bupati Trenggalek Nomor 34 Tahun 2018 tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2019 juga telah mencantumkan mengenai penanganan stunting.(107) Namun, belum semua intervensi sensitif maupun spesifik yang ada dalam aksi integrasi intervensi penurunan stunting di tingkat kabupaten/kota ada dalam RKPD tersebut. Selain itu masih ada OPD terkait yang berperan dalam program penurunan stunting secara terintegrasi melalui lintas sektor dengan melibatkan semua pihak terkait (sesuai dengan kerangka konsep intervensi gizi terintegrasi penurunan stunting) belum memiliki program yang memang khusus menangani stunting. Seperti program Gerbang Angkasa Biru yaitu gerakan perbaikan gizi dan pendampingan yang bertujuan untuk akselerasi penurunan angka kematian dan kesakitan ibu dan bayi baru lahir. Program lainnya seperti Perempuan Bareng Ber-AKZI (perempuan bekerja bareng untuk menjadi keluarga asuh anak kurang gizi/ gizi buruk) yang digerakkan oleh seluruh organisasi wanita se-Kabupaten Trenggalek.
Program-program tersebut masih mengangkat gizi buruk sebagai isu utama yang harus diatasi, bukan masalah gizi stunting. Sehingga dikhawatirkan monitoring dan proses pengukurannya tidak akan sesuai dengan yang telah direncanakan dalam program konvergensi integrasi stunting tersebut. Secara lengkap dokumen terkait stunting dan masalah gizi lainnya di Kabupaten Trenggalek dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4. Dokumen kebijakan tentang upaya pencegahan stunting di Kabupaten Trenggalek No. Dokumen
- Menjadikan stunting sebagai prioritas pembangunan daerah
No. Dokumen
Kebijakan Isi Aktor
tanggal 3
Desember 2018) - Meningkatkan pemahaman dan kemampuan para tenaga pelayanan kesehatan publik untuk percepatan
upayapencegahan stunting - Melibatkan seluruh unsur
masyarakat dalam menyiapkan - Melaporkan hasil implementasi
secara berkala kepada Bupati
- Memfasilitasi persiapan dan pelaksanaan
- Menjamin keberlanjutan
penggunaan sarana jamban sehat dan cuci tangan pakai sabun untuk mempercepat akses universal sanitasi tahun 2019
- Bersedia menerapkan petunjuk teknis (juknis)
No. Dokumen
Kebijakan Isi Aktor
- Pedoman intervensi kesehatan lingkungan dalam penanganan mewujudkan visi dan misi Kabupaten Trenggalek dan meningkatkan derajat kesehatan bagi keluarga yang
memiliki anak dengan gizi kurang dan gizi buruk
Kegiatan pendampingan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Trenggalek meliputi 3 kegiatan utama:
1. Pendataan dan sinkronisasi data Penelusuran, updating dan mapping data anak KPM (Keluarga Penerima Manfaat) PKH yang masuk ke dalam data balita stunting. Pendamping memastikan KPM dampingannya adalah komponen balita yang masuk dalam kategori stunting. Data stunting berkoordinasi dengan dinas kesehatan ataupun faskes yang terdapat di masing-masing kecamatan untuk mendapatkan data anak stunting. Kemudian dipetakan berdasarkan lokasi dusun/RT/RW, dan beberapa perbandingannya anak Non KPM PKH yang juga masuk dalam data stunting baik balita dari keluarga mampu ataupun miskin (BDT).
2. FDS (Family Development Session) FDS bertujuan untuk penanganan kasus spesifik yang dialami oleh KPM atau anggota keluarganya.
Sedangkan FDS/P2K2 merupakan kegiatan memberikan edukasi kepada KPM PKH untuk meningkatkan kapasitas kemampuan keluarga. KPM dimampukan dalam beberapa hal yang terangkum dalam 5 modul diantaranya adalah modul pengasuhan dan pendidikan anak, modul pengelolaan ekonomi keluarga, modul kesehatan dan gizi, modul perlindungan anak dan modul kesejahteraan sosial. FDS partisipatif ini dilakukan untuk segera menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi di KPM, dalam hal ini karena
- Dinas Sosial Kabupaten Trenggalek
No. Dokumen
Kebijakan Isi Aktor
permasalahn berkaitan dengan stunting maka modul yang akan disampaikan yakni modul tentang kesehatan dan gizi.
3. Pendampingan intensif
Sebagai bentuk tindak lanjut dari kegiatan FDS yang telah diberikan maka disini, pendamping PKH harus memastikan KPM PKH paham dan melaksanakan apa yang telah dipelajari dalam modul kesehatan dan gizi. Monitoring pendamping kepada KPM meliputi akses terhadap fasilitas kesehatan, pemberian jenis makanan bergizi pada anak, dan mengecek sumberair bersih juga sarana sanitasi yang baik. Hal ini dimaksudkan agar perubahan perilaku baik KPM terjadi setelah menerima dan dipantau perkembangannya untuk memastikan balita sehat.
Teknisnya yaitu dengan mengunjungi rumah KPM dan fasilitas kesehatan dimaan KPM terdaftar di fasilitas kesehatan.
Hingga tahap II tahun 2019, tercatat 34.369 keluarga di Kabupaten Trenggalek yang sudah menjadi KPM PKH yang berasal dari 14 kecamatan (Bendungan Desa Botoputih, Karangan, Kayen, Dongko Desa Cakul, Gandusari Desa Jajar, Trenggalek, Pogalan, Suruh, Puru, Nglebo, Ngrandu dan Mlinjon).
Sejalan dengan adanya surat edaran dan pernyataan dukungan untuk penanganan stunting di Kabupaten Trenggalek, maka terdapat mekanisme aksi penurunan stunting juga sudah dilakukan di Kabupaten Trenggalek berdasarkan hasil wawancara mendalam. Adapun mekanisme aksi ini sedang dalam proses untuk mengkonvergensikan kegiatan-kegiatan sekaligus penyusunan tim konvergensi penurunan stunting. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“.... sudah kita lakukan ya, saat ini hasil analisa data yang sudah ada plus pemetaan program yang sudah ada gitu, nanti kita akan bahas lebih lanjut hasil pemetaan program kita, hasil analisa data kita plus nanti tindak lanjutnya itu kita akan buatin tim nya ini langkahnya akan seperti apa nanti akan dibahas dikonvergensi itu nanti baru kita akan
bahas terintegrasi. Nanti langsung untuk orientasi pelaksanaannya di lapangan. (KG3, Trenggalek)
Mekanisme aksi ini pun telah melibatkan beberapa OPD untuk ikut berpartisipasi seperti Dinas Kesehatan Perlindungan Perempuan dan Keluarga Berencana, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Desa, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A), Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Kominfo, jajaran pemerintahan desahingga juga melibatkan Satpol PP. Pelibatan satpol PP disini dimaksudkan untuk menjaga ketertiban masyarakat agar isu stunting ini tidak menjadi muatan yang dipolitisir, seperti ungkapan berikut ini.
“.... kalau yang sudah dilibatkan sih dari mulai kesehatan, pendidikan, terus dinas pemberdayaan masyarakat dan desa, terus terkait dengan dinas pertanian, dinas perikanan. Pertanian itu kita ada ketahanan pangan, terus dari dari perikanan ada gerakan memasyarakatkan gemar makan tu kan ada disana juga. Terus apa ya kecamatan dan desa yang terkait jga sudah kita libatkan sih. Mungkin mungkin dari dinas sosial, P3A, terkait sosial P3A itu dinas sosial dan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Nah itu disana juga isu stuntingnya juga bisa di masuklah disana. selain itu kita juga libatkan kominfo sampai satpol PP. Jadi sekarang itu kan banyak hal-hal yang terkait dengan stunting, orang yang belum tahu masalahnya seperti apa itu sudah rame di media massa. Nah itu kemarin kita meluruskan itu sebenarnya, kami kemarin meluruskan itu termasuk mengonfirmasi kominfo sama humas protokol agar juga memberikan informasi terkait stunting ke wartawan di media massa. Nah itu yang kita tekankan ke temen-temen di kominfo maupun protokol. Sehingga mereka memberikan akhirnya isu terkait stunting akhirnya jadi jadi tidak dipolotisir lagi gitu, karena sudah banyak politisi-politisi ke Trenggalek itu kan gizi buruk, stunting, padahal yang dipotret 1 orang. Kasian salah satu keluarga dikejar-kejar karena terkait dengan stunting.” (B3, Trenggalek)
Sesuai dengan petujuk teknis mekanisme aksi penurunan stunting terintegrasi, kegiatan ini diawali dengan tahapan analisis situasi yang dilakukan melalui proses pengumpulan data oleh setiap OPD yang dikoordinir oleh Bappeda, kemudian langkah selanjutnya yang dilakukan yaitu melakukan pemetaan masalah dengan metode skoring sederhana sehingga muncul wilayah fokus stunting yang akan ditangani lintas sektoral. Kegiatan ini pun selalu didampingi oleh tim-tim dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)
“.... prosesnya kita pertama datanya itu dari lintas OPD kita kumpulkan dari berbagai indikator, lalu kita kumpulkan jadi satu. Terus akan kita ranking, kita ranking terus nanti data yang paling tinggi mana, itu tingkatnya desa. Di ranking terus akan keluar. Yang warnanya merah nanti akan itu yang diperlukan intervensi. Intervensinya apa nanti akan sesuai dengan pemetaan untuk data yang berikutnya. Pemetaan itu kita dibantu dari
TNP2K untuk pemetaan ya. prosesnya dulu kita ee dari BAPEDA awalnya kita rapat dulu untuk penyusunan pemetaan program terus kemudian dari situ kita kumpulkan program-program yang untuk menuruni stunting dari berbagai OPD, disitu kita analisa pakai skoring dengan tabel sederhana yang cukup menulis ya tidak sudah ada belum itu aja. Dan nanti akan kita analisa sehingga masuk ke rekomendasi yang perlu kita laksanakan itu mana yang perlu kita lengkapi.”(KG3, Trenggalek)
Diketahui bahwa di Kabupaten Trenggalek terdapat 10 desa fokus stunting yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat yaitu Desa Botoputih Kecamatan Bendungan, Desa Kayen Kecamatan Karangan, Desa Cakul Kecamatan Dongko, Desa Jajar Kecamatan Gandusari, Desa Dawuhan Kecamatan Trenggalek, Desa Kedunglurah Kecamatan Pogalan, Desa Puru, Nglebo, Ngrandu dan Mlinjon Kecamatan Suruh. Langkah selanjutnya yang telah disusun guna mengatasi permasalahan stunting di setiap desa yaitu pertemuan lintas sektor untuk kembali menyusun intervensi apa saja yang dapat dilakukan di setiap desa fokus stunting. Namun saat wawancara dilakukan, pertemuan tersebut belum digelar, dan dinyatakan sedang dalam proses, seperti kutipan wawancara berikut.
“.... integrasinya ini sedang dalam proses, kita akan rapatkan juga ya, nanti akan ada pertemuan lintas sektor terus disitu kita akan menentukan apa, daya dukung apa saja yang dimiliki, terus kelemahannya apa saja, langsung di titik desa mana yang perlu diintervensi itu yang kita kerjakan. Sehingga nanti kan cakupannya jelas kalau satu persatu terselesaikan gitu.” (KP3, Trenggalek)
“.... iya ini saling melengkapi ya, yang pertama nantinya akan ada proses seperti menyusun RPJMD kita ada perubahan sehingga ada target yang dimasukkan sehingga target itu harus disukseskan oleh beberapa OPD sehingga ada penyesuaian rencana kegiatan di masing-masing OPD juga. Nah rencana aksi daerah ini menjadi salah satu bahan untuk penyusunan perubahan masing-masing rencana strategis di masing-masing OPD itu. Jadi
“.... iya ini saling melengkapi ya, yang pertama nantinya akan ada proses seperti menyusun RPJMD kita ada perubahan sehingga ada target yang dimasukkan sehingga target itu harus disukseskan oleh beberapa OPD sehingga ada penyesuaian rencana kegiatan di masing-masing OPD juga. Nah rencana aksi daerah ini menjadi salah satu bahan untuk penyusunan perubahan masing-masing rencana strategis di masing-masing OPD itu. Jadi