TEMUAN KUNCI
✓ Hanya 4 dari 51 fasilitas kesehatan (7.8%) yang patuh terhadap semua langkah dalam 10 LMKM.
✓ Semua fasilitas kesehatan (100%) patuh terhadap implementasi langkah 8, terkait dengan mendorong menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan terhadap lama dan frekuensi menyusui,
✓ Kepatuhan terendah yaitu pada langkah 7, hanya 5.9% fasilitas kesehatan yang mematuhi pelaksanakan praktik rawat gabung.
✓ Kurang dari setengah fasilitas kesehatan mematuhi implementasi dari langkah 1 terkait memiliki kebijakan tertulis mengenai pemberian ASI (41.2%), langkah 6 terkait tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayi baru lahir, kecuali ada indikasi medis (33.3%), langkah 2 terkait pelatihan pengetahuan dan keterampilan untuk semua staf pelayanan kesehatan untuk melaksanakan
kebijaksanaan (15.7%), dan langkah 4 terkait menempatkan bayi kontak kulit ke kulit dengan ibunya (13.7%).
Asesmen 10 LMKM secara kuantitatif di fasilitas kesehatan dilakukan dengan berpedoman pada standard assessment tools yang dikembangkan oleh UNICEF-WHO yang memuat kriteria-kriteria yang harus dipenuhi untuk tiap langkah dalam 10 LMKM. Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur ke pimpinan fasilitas kesehatan (self-appraisal) dan validasi oleh ibu bersalin sejumlah kurang dari setengah dari total fasilitas kesehatan yang diwawancarai.
Tabel 6. Karakteristik fasilitas kesehatan dan responden di Kabupaten Bondowoso
Variabel f (%)
Karakteristik Fasilitas Kesehatan Jenis fasilitas kesehatan
Puskesmas 25 (49.0)
Rumah sakit RS umum RSIA
1 (2.0) 1 (2.0) 0 (0.0)
Klinik bersalin swasta 0 (0.0)
Bidan praktik mandiri 25 (49.0)
Melayani pasien dengan BPJS Kesehatan
Ya 46 (90.2)
Tidak 5 (9.8)
Karakteristik Responden di Fasilitas Kesehatan Jenis kelamin
Laki-laki 0 (0.0)
Perempuan 51 (100.0)
Umur (tahun)
Min; Max 31; 55
Mean (SD) 44.3 (5.9)
Kualifikasi pendidikan
Bidan 50 (98.0)
Kesehatan Masyarakat 1 (2.0)
Lama bekerja (tahun)
Min; Max 1; 30
Mean (SD) 13.8 (6.8)
Pengumpulan data kuantitatif dilakukan terhadap 51 pimpinan atau perwakilan pimpinan fasilitas di Kabupaten Bondowoso. Berdasarkan jenis fasilitas kesehatan, puskesmas dan bidan praktik mandiri memiliki proporsi yang sama, yaitu masing-masing sebesar 49.0%, dan hanya satu rumah sakit (2.0%) yang datanya berhasil dikumpulkan dalam asesmen 10 LMKM ini. Selain itu, sebagian besar fasilitas kesehatan terpilih dalam asesmen melayani pasien dengan BPJS Kesehatan. Karakteristik pimpinan menunjukkan bahwa semua
responden berjenis kelamin perempuan, dan rata-rata umur responden yaitu 44.3 tahun. Berdasarkan kualifikasi pendidikan, hampir semua merupakan bidan (98.0%), dan rata-rata lama kerja responden yaitu 13.8 tahun, dengan rentang lama bekerja terpendek yaitu 1 tahun dan terpanjang yaitu 30 tahun.
Langkah 1. Memiliki kebijakan tertulis mengenai pemberian ASI yang secara rutin dikomunikasikan kepada semua staf perawatan kesehatan
Gambar 3. Implementasi langkah 1 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso
Asesmen langkah pertama menilai terkait dengan adanya kebijakan tertulis mengenai pemberian ASI di fasilitas kesehatan didasarkan pada apa yang dilaporkan oleh pimpinan fasilitas kesehatan tanpa adanya validasi dari ibu bersalin. Pada langkah 1, kriteria 8 (s1.8) merupakan kriteria yang paling banyak dipenuhi oleh fasilitas kesehatan terkait kebijakan yang disampaikan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh ibu dan petugas kesehatan (90.2%).
Selanjutnya, lebih dari 80% pimpinan yang menyatakan semua kebijakan yang berhubungan dengan menyusui berbasis bukti terkini (s1.10) dan kebijakan yang ada juga berlaku di fasilitas pendukung lain (s1.11). Akan tetapi, capaian kurang dari 80% banyak ditemukan pada kriteria lain, seperti adanya pemasangan atau penempelan kebijakan tersebut di area fasilitas kesehatan terutama di lingkungan pelayanan ibu dan bayi (s1.7a, s1.7b, s1.7c).
Selanjutnya 60.8% pimpinan menyatakan adanya kebijakan yang mencangkup bahan informasi untuk melakukan advokasi pentingnya menyusui (s1.5), dan 56.9% menyatakan bahwa ada mekanisme evaluasi berkala untuk mengetahui keefektifan kebijakan tersebut. Sebanyak 51.0% pimpinan
menyampaikan bahwa terdapat kebijakan untuk melindungi ibu dari promosi produk pengganti ASI di fasilitas kesehatan (s1.2). Namun, capaian yang kurang dari 50% ditemuipada langkah 1 ini, yaitu terkait adanya kebijakan yang melindungi ibu dari ketersediaan produk pengganti ASI (s1.3) dan adanya kebijakan yang melarang pemberian sampel dan paket hadiah produk susu formula (s1.4). Persentase yang sangat rendah ditemukan pada kriteria terkait fasilitas kesehatan memiliki kebijakan tertulis tentang menyusui yang menyebutkan 10 LMKM, yang mana hanya dilaporkan oleh 35.3% pimpinan (s1.1).
Langkah 2. Melatih semua staf pelayanan kesehatan dalam hal pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut
Gambar 4.Implementasi langkah 2 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso
Sama dengan langkah 1, asesmen langkah 2 juga didasarkan pada self-appraisal dari pimpinan fasilitas kesehatan. Pada langkah ini, capaian tertinggi yaitu semua pimpinan fasilitas kesehatan melaporkan bahwa petugas yang merawat ibu hamil, ibu bersalin, dan bayi memahami pentingnya menyusui dan mengetahui kebijakan yang mendukung praktik menyusui (s2.2). Persentase yang cukup tinggi, di atas 90% untuk kriteria petugas klinis yang merawat ibu dan bayi mampu menjawab pertanyaan sederhana tentang menyusui (s2.6) dan semua petugas merawat ibu hamil, ibu bersalin, dan bayi memperoleh orientasi terkait dengan kebijakan menyusui (s2.1). Hanya sebagian pimpinan (51.0%) yang melaporkan bahwa fasilitas kesehatan telah menyusun pelatihan khusus tentang
dukungan menyusui untuk petugas, seperti pelatihan konseling, menajemen laktasi, dll (s2.10).
Capaian yang rendah ditemukan pada beberapa kriteria. Kurang dari setengah fasilitas kesehatan terpilih sebagai sampel dalam penelitian ini yang melaporkan bahwa pelatihan membekali petugas klinis tentang pemberian asupan untuk bayi yang tidak menyusui (s2.7), pelatihan yang dilakukan terhadap petugas memuat materi terkait dengan dukungan struktural kebijakan menyusui, meliputi 10 LMKM, UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan PP No. 33 Tahun 2012 tentang pemberian ASI ekslusif (s2.4), durasi pelatihan untuk petugas klinis mencapai setidaknya 20 jam (s2.5), dan pelatihan dilakukan dalam 6 bulan pertama bekerja bagi petugas (s2.3). Capaian yang paling rendah ditunjukkan oleh kriteria terkait dengan pelatihan bagi petugas non-klinis, hanya 17.6% pimpinan yang setuju bahwa pelatihan untuk petugas non-klinis telah cukup membekali mereka tentang pengetahuan dan keterampilan untuk mendukung ibu menyusui (s2.8) dan 15.7% pimpinan menyampaikan petugas non-klinis mampu menjawab pertanyaan sederhana tentang menyusui (s2.9).
Langkah 3. Menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui dan penatalaksanaannya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir sampai umur 2 tahun termasuk cara mengatasi kesulitan menyusui
Gambar 5. Implementasi langkah 3 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso
Langkah 3 mendokumentasikan peranan fasilitas kesehatan dalam memberikan informasi kepada ibu hamil tentang manfaat menyusui dan penatalaksanaannya. Hasil asesmen langkah 3 didasarkan pada laporan
pimpinan faskes dan juga validasi dari ibu bersalin. Sebanyak 96.1% pimpinan fasilitas kesehatan menyampaikan bahwa catatan antenatal ibu tersedia saat persalinan (s3.8). Selain itu, hasil self-appraisal juga menunjukkan 92.2% [84.5%-99.8%] pimpinan setuju bahwa penyampaian informasi yang dilakukan telah mencangkup topik kunci pentingnya pemberian ASI dan cara menyusui (s3.4), sejalan dengan hasil validasi oleh ibu bersalin yang sedikit lebih tinggi sebesar 95.5% [70.4%-99.5%] (v3.2). Namun, pada hasil self-appraisal pada kriteria ibu hamil mendapat layanan antenatal mampu menyebutkan resiko pemberian susu formula dan makan tambahan sebesar 92.2% [84.5%-99.8%] (s3.6), hasil validasi oleh ibu bersalin sedikit lebih rendah, yaitu 63.6% [40.5%-81.8%] ibu bersalin memperoleh informasi terkait dengan risiko pemberian susu formula dan makanan tambahan (v3.3). Selain itu, hasil self-appriasal lebih tinggi juga ditemui pada kriteria ibu hamil yang menerima ANC mampu menyebutkan pentingnya kontak dari kulit ke kulit sebesar 92.2% [84.5%-99.8%] (s3.7), dibandingkan dengan informasi yang diperoleh ibu bersalin terkait hal tersebut yang hanya 72.7% [49.0%-88.1%](v3.4). Persentase terendah pada langkah 3 yaitu terkait kriteria apakah ibu hamil mendapat informasi tentang pentingnya menyusui dan cara menyusui (s3.2), ibu hamil terlindungi dari promosi susu formula dan produk bayi lainnya (s3.5), dan ketersediaan catatan antenatal yang menunjukkan bahwa menyusui telah didiskusikan dengan ibu hamil (s3.3).
Langkah 4. Menempatkan bayi kontak kulit ke kulit dengan ibunya segera setelah lahir selama setidaknya satu jam dan memotivasi ibu untuk mengenali tanda-tanda bayi siap menyusu, dan menawarkan bantuan jika diperlukan
Gambar 6. Implementasi langkah 4 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso
Asesmen terhadap langkah 4 juga dilakukan terhadap pimpinan dan ibu bersalin. Hasil asesmen menunjukkan bahwa semua pimpinan menyatakan bahwa ibu bersalin secara normal maupun dengan sectio cesaria tanpa anestesi umum diberikan kesempatan melakukan kontak kulit ke kulit segera setelah lahir (s4.1), tetapi dengan hasil validasi oleh ibu bersalin yang lebih rendah, yaitu 77.3% [53.5.0%-90.9%] (v4.1). Begitu pula, semua pimpinan menyetujui untuk pernyataan terkait dengan petugas memberikan bantuan kepada ibu untuk mengenali tanda bayi siap menyusu (s4.3), dan hasil validasi sedikit lebih rendah, yaitu 95.5% [70.4%-99.5%] (v4.3). Untuk ibu yang memutuskan untuk tidak melakukan kontak kulit ke kulit, hanya 19.6% [8.3%-30.9%] pimpinan yang menyatakan bahwa ibu tersebut diminta menandatangani surat pernyataan (s4.4), sedangkan hasil validasi sedikit lebih rendah, yaitu 13.7% [4.0%-37.2%]
pada ibu bersalin (v4.4). Mengingat hanya satu rumah sakit yang berhasil diwawancari, pimpinan rumah sakit tersebut menyatakan bahwa ibu yang melahirkan secara sectio cesaria dengan anestasi umum tidak diberikan kesempatan kontak kulit ke kulit (s4.2), sedangkan dari tiga ibu bersalin dengan sectiocesaria yang berhasil diwawancarai, hanya satu ibu yang menyatakan diberikan kesempatan kontak kulit ke kulit. Untuk ibu dengan bayi yang dalam perawatan khusus, pimpinan rumah sakit juga menyatakan bahwa ibu
bersangkutan tidak dimotivasi untuk menjaga bayinya dengan kontak kulit ke kulit (s4.5).
Langkah 5. Membantu ibu bagaimana menyusui yang benar dan mempertahankan menyusui, termasuk jika ibu dan bayi terpisah atas indikasi medis
Gambar 7. Implementasi langkah 5 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso
Langkah 5 menyoroti tentang peranan petugas kesehatan dalam membantu ibu menyusui dengan benar. Walaupun semua pimpinan menyampaikan bahwa petugas menawarkan bantuan lebih lanjut untuk menyusui bayinya dalam 6 jam setelah melahirkan (s5.1), tetapi hanya 90.9% [67.3%-98.0%] ibu bersalin menyatakan ditarwakan bantuan tersebut oleh petugas kesehatan (v5.1). Terkait dengan pertanyaan tentang kemampuan petugas dalam menjelaskan dan mendemonstrasikan keterampilan menyusui pada ibu, hasil validasi jauh lebih rendah yaitu 63.6% [40.5%-81.8%] (v5.2), dibandingkan hasil self-appriasal sebesar 100% (s5.2). Begitu pula, untuk pernyataan terkait petugas kesehatan menunjukkan bagaimana cara memerah ASI yang disampaikan oleh 98.0%
[94.1%-100.0%] pimpinan fasilitas kesehatan (s5.4), tetapi hanya 63.3% [40.5%-81.8%] ibu bersalin yang setuju terkait hal tersebut (v5.4). Kriteria lain yang didasarkan dari hasil self-appraisal menunjukkan capaian yang sama yaitu 94.1%
pimpinan menyatakan bahwa ibu yang sebelumnya tidak pernah menyusui atau mengalami masalah menyusui mendapat perhatian dan dukungan dari pertugas
(s5.6) dan petugas akan membantu ibu untuk menyusui dalam 6 jam setelah persalinan bagi ibu dengan bayi dalam perawatan khusus (s5.9).
Selain itu, untuk validasi terkait dengan apakah petugas kesehatan selalu ada setiap saat memberikan nasehat kepada ibu hamil menujukkan angka yang jauh lebih tinggi yaitu 100.0% (v5.5), dibandingkan hasil self-appraisal oleh pimpinan yang hanya 80.4% [69.1%-91.7%] (s5.5). Namun, hanya 66.7% yang menyatakan bahwa petugas memberikan nasehat tentang pilihan lain pemberian asupan untuk bayi yang dalam perawatan khusus (s5.10). Selain itu, 60.8% yang menyatakan bahwa petugas kesehatan memberikan nasehat atau saran tentang pilihan lain pemberian asupan pada bayi untuk ibu yang memutuskan tidak menyusui bayinya (s5.7) dan 7.9% yang menyatakan meminta ibu mendandatangani surat pernyataan jika memutuskan tidak menyusui (s5.8).
Langkah 6. Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayi baru lahir, kecuali ada indikasi medis
Gambar 8. Implementasi langkah 6 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso
Berdasarkan langkah 6 terkait dengan larangan pemberian makanan atau minuman selain ASI yang hanya didasarkan pada self-appraisal dari pimpinan.
Sebanyak 98.0% pimpinan yang menyatakan bahwa semua pedoman pelayanan yang berkaitan dengan menyusui dan pemberian makan sesuai dengan pedoman berbasis bukti (s6.7). Walaupun semua fasilitas kesehatan melaporkan adanya pedoman dan tata laksana afiksia (s6.7a), tetapi tidak semua fasilitas kesehatan melaporkan memiliki pedoman pelayanan diagnosis dan tata laksana berikut (s6.7b-s6.7e): hipoglikemia (72.5%), ikterus (86.3%), BBLR (94.1%), sepsis
(72.5%), serta adanya catatan rekam medik untuk mebuktikan petugas mematuhi pedoman (96.1%) (s6.7f) dan adanya audit kepatuhan petugas terhadap pedoman pelayanan (78.4%) (s6.7g). Selain itu, 98.0% pimpinan fasilitas kesehatan menyatakan tidak adanya poster atau materi promosi susu formula dan produk bayi lainnya di fasilitas kesehatan (s6.8). Capaian yang sama sebesar 88.2% juga ditemukan pada persetujuan pimpinan bahwa bayi yang disusui tidak mendapatkan asupan selain ASI, kecuali ada alasan medis yang terbukti (s6.2) dan pimpinan fasilitas kesehatan yang menyatakan fasilitas kesehatan tidak mempromosikan susu formula, pemberian makan terjadwal, ataupun praktik lainnya yang tidak terbukti secara ilmiah (s6.4).
Sebanyak 74.5% pimpinan yang menyatakan bahwa data fasilitas kesehatan menunjukkan setidaknya 75% bayi lahir keluar RS mendapat ASI esklusif sejak lahir sampai keluar dari fasilitas kesehatan (s6.1). Selain itu 66.7% yang setuju bahwa petugas telah mendiskusikan tentang pilihan pemberian asupan bayi kepada ibu yang tidak menyusui (s6.5). Capaian yang rendah kurang dari 50%
yaitu terkait penjelasan tentang indikasi medis pemberian susu formula dicantumkan dalam pedoman pelayanan kesehatan (s6.3). Selanjutnya kurang dari 10% yang melaporkan bahwa tersedianya ruang dan alat yang dibutuhkan unuk menyiapkan susu formula dan pilihan pemberian makan lain (s6.6).
Langkah 7. Melaksanakan praktik rawat gabung, mengupayakan ibu dan bayi tetap bersama 24 jam sehari
Gambar 9. Implementasi langkah 7 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso
Berdasarkan langkah 7 terkait dengan praktik rawat gabung antara ibu dengan bayi. Walaupun semua pimpinan fasilitas kesehatan menyatakan bahwa ibu dan bayi mulai rawat gabung segera sesudah persalinan (s7.1), tetapi hanya 81.8% [58.1%-93.6%] ibu bersalin yang mengonfirmasi hal ini (v7.1). Begitu pula, satu rumah sakit yang diwawancari menyampaikan bahwa ibu dengan sectio cesaria atau prosedur dengan anestesi umum mulai rawat gabung segera sesudah ibu sadar (s7.2), dan hasil validasi menunjukkan hasil yang lebih rendah (v7.4).Selanjutnya, persentase pimpinan yang menyatakan bahwa ibu dan bayi rawat gabung 24 jam sehari sebanyak 94.1% [87.4%-100.0%] (s7.3), tetapi hasil validasi menunjukkan semua ibu bersalin dirawat gabung dengan bayinya 24 jam sehari (v7.2). Persentase terendah untuk langkah 7 yaitu ibu bersalin diminta menantangani surat pernyataan jika memutuskan untuk tidak rawat gabung yaitu 11.8% [2.6%-20.9%] (s7.4), dan hasil dari validasi sedikit lebih tinggi yaitu 13.7% [4.0%-37.2%] (v7.3).
Langkah 8. Mendorong menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan terhadap lama dan frekuensi menyusui
Gambar 10. Implementasi langkah 8 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso
Berdasarkan langkah 8 terkait dengan dorongan menyusui semau bayi dan ibu, hasil self-appraisal menunjukkan bahwa semua pimpinan fasilitas kesehatan menyatakan bahwa ibu menyusui mendapatkan pengetahuan tentang tanda bayi lapar (s8.1), ibu dimotivasi untuk menyusui bayinya sesering dan selama bayi mau (s8.2), dan ibu juga dimotivasi untuk menyusui jika bayi payudara terasa penuh (s8.3). Namun, validasi oleh ibu bersalin menunjukkan hasil yang sedikit
lebih rendah di beberapa kriteria, seperti hanya 95.5% [70.4%-99.5%] ibu yang menyatakan memperoleh pengethauan tentang tanda bayi lapar (v8.1) dan 90.9%
[67.3%-97.8%] ibu yang dimotivasi menyusui jika payudara terasa penuh (v8.3).
Langkah 9. Tidak memberikan botol-dot atau empeng kepada bayi yang disusui
Gambar 11. Implementasi langkah 9 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso
Langkah 9 terkait dengan larangan memberikan dot, botol, atau kempeng juga menunjukkan hasil validasi yang rendah dibandingkan dengan hasil self-apprasial. Walaupun hampir semua pimpinan (98.0%) [94.1%-100.0%]
menyatakan bahwa petugas memberikan informasi kepada ibu tentang resiko susu formula yang diberikan melalui botol atau dot (s9.2), tetapi hanya 77.3%
[53.5%-90.9%] ibu bersalin yang setuju dengan hal tersebut (v9.2). Begitu pula, sebanyak 94.1% [87.4%-100.0%] pimpinan menyatakan bahwa bayi menyusu dirawat tanpa penggunaan botol, dot, atau empeng (s9.1), tetapi sedikit lebih rendah, yaitu 90.9% [67.3%-97.8%] ibu bersalin yang setuju dengan hal tersebut (v9.1).
Langkah 10. Mengupayakan terbentuknya KPASI dan merujuk ibu kepada kelompok tersebut ketika pulang dari fasilitas kesehatan
Gambar 12. Implementasi langkah 10 dari 10 LMKM di Kabupaten Bondowoso
Langkah 10 menyoroti peranan fasilitas kesehatan dalam membentuk KPASI. Hasil self-appraisal menunjukkan semua pimpinan setuju bahwa petugas telah mendiskusikan dengan ibu yang akan keluar dari fasilitas kesehatan tentang bagaimana mereka akan memberikan ASI setelah sampai di rumah (s10.1), 98.2% menyatakan bahwa fasilitas kesehatan memiliki sistem untuk menindaklanjuti ibu yang keluar dari fasilitas kesehatan seperti pemeriksaan postnatal dan laktasi, kunjungan rumah (s10.2), dan 96.1% yang menyatakan ibu dimotivasi untuk mendapat dukungan menyusui dari KPASI atau kelas ibu (s10.4). Persentase yang sama yaitu 94.1% untuk kriteria fasilitas kesehatan mendorong terbentuknya KPASI (s10.3) dan ibu dimotivasi untuk menemui petugas kesehatan setelah keluar dari layanan (s10.6), Selain itu, 84.3% pimpinan fasilitas kesehatan memperbolehkan konseling dilakukan oleh konselor KPASI di kamar bersalin, ruang nifas, atau ruang rawat (s10.7), dan capaian terendah yaitu 62.7% untuk kriteria media cetak tersedia untuk ibu sebelum keluar fasilitas kesehatan yang dapat memberikan informasi untuk mendapat dukungan lanjutan (s10.5).
Tabel 7. Perbandingan tingkat kepatuhan implementasi 10 LMKM berdasarkan hasil self-appraisal oleh pimpinan fasilitas kesehatan dan validasi oleh ibu bersalin di Kabupaten Bondowoso
Langkah Self-appraisal(n=51) Validasi (n=22)
p-value
% patuh 95% CI % patuh 95% CI Langkah 1 41.2 27.2 – 55.2
Langkah 2 15.7 5.4 – 26.0
Langkah 3 82.4 71.5 – 93.2 50.0 28.7 – 71.3 0.004(a) Langkah 4 17.6 9.2 – 31.3 13.6 4.0 – 37.2 1.0(b) Langkah 5 64.7 51.1 – 78.3 63.6 40.5 – 81.8 0.930(a) Langkah 6 52.9 38.8 – 67.1
Langkah 7 9.8 4.0 – 22.0 13.6 4.0 – 37.2 0.691(b)
Langkah 8 100 86.4 62.8 – 96.0 0.007(b)
Langkah 9 92.2 84.5 – 99.8 68.2 44.7 – 85.0 0.009(b) Langkah 10 82.4 71.5 – 93.2
Kepatuhan 10 LMKM Patuh
Tidak Patuh
7.8 92.2
2.9 – 19.7 80.3 – 97.1
(a)Chi-square test; (b)Fisher’s exact test
Tingkat kepatuhan untuk tiap langkah ditentukan jika setidaknya 80% dari total kriteria terpenuhi oleh fasilitas kesehatan, baik melalui hasil self-appraisal maupun dari validasi. Validasi hanya dilakukan terhadap langkah 3, 4, 5, 7, 8, dan 9. Tingkat kepatuhan tertinggi yaitu 100% pada langkah 8, yaitu terkait mendorong menyusui semau bayi dan ibu, namun hasil validasi secara signifikan lebih rendah, sebesar 86.4% [62.8%-96.0%]. Begitu pula, kepatuhan terhadap langkah 9 terkait tidak memberikan botol-dot atau empeng kepada bayi yang mencapai 92.2% [84.5%-99.8%], tetapi hasil validasi yaitu secara signifikan lebih rendah, hanya 68.2% [44.7%-85.0%]. Perbedaan yang signifikan juga ditemui pada langkah 3, yaitu hasil self-appraisal menunjukkan sebesar 82.4% [71.5%-93.2%], sedangkan hasil validasi hanya menunjukkan sebesar 50.0% [28.7% – 71.3%].Kepatuhan terendah yaitu ada pada kriteria 7 terkait pelaksanaan rawat gabung yang hanya sebesar 9.8% [4.0%-22.0%] dan dengan hasil validasi yang lebih tinggi, yaitu 13.6% [4.0%-37.2%], tetapi perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik.Berdasarkan kepatuhan terhadap seluruh langkah, hanya 4 dari 51 fasilitas kesehatan (7.8%) yang patuh terhadap seluruh langkah dalam 10 LMKM.
Analisis lebih mendalam selanjutnya dilakukan untuk memahami faktor yang mendukung dan menghambat implementasi kebijakan 10 LMKM di daerah.
Hasil analisis dirangkum berdasarkan framework yang dipakai, meliputi faktor-faktor pada level kebijakan, komunitas, kelompok, dan individu, yaitu sebagai berikut.