• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR

DAFTAR LAMPIRAN

2.6. Adopsi Inovas

Inovasi adalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Pengambilan keputusan inovasi adalah proses mental sejak seorang mulai mengenal suatu inovasi sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan proses itu memerlukan waktu (Rogers dan Schoemaker, 1986 dalam Nahraeni, 2000). Dalam hal mengambil keputusan, seseorang dapat menerima atau menolak inovasi. Bila ia menerima inovasi (mengadopsi) artinya ia

19 menggunakan ide baru, barang baru, dan praktek baru dan menghentikan ide-ide yang digantikan oleh inovasi itu. Namun, sebelum mengambil keputusan inovasi, biasanya petani memperoleh keyakinan akan keberhasilan metode itu. Terdapat lima tahap proses adopsi yaitu (Rogers dan Schoemaker, 1986 dalam Nahraeni, 2000) :

1. Tahap kesadaran; seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informasi mengenai hal itu.

2. Tahap menaruh minat; seseorang mulai menaruh minat terhadap inovasi dan mencari informasi lebih banyak mengenai inovasi tersebut.

3. Tahap penilaian; seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru tersebut dihubungkan dengan situasi dirinya sendiri saat ini dan masa datang mencobanya atau tidak.

4. Tahap percobaan; seseorang menerapkan ide-ide baru itu dalam skala kecil untuk menentukan kegunaan apakah sesuai dengan situasi dirinya.

5. Tahap penerimaan (adopsi); seseorang menggunakan ide baru itu secara tetap dalam skala yang luas.

2.7. Pengambilan Keputusan Adopsi

Penerapan teknik pengendalian erosi pada lahan-lahan pertanian pada umumnya belum memadai baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga sistem pertanian yang lestari dan berwawasan lingkungan belum tercapai. Aspek-aspek sosial dan ekonomi, termasuk peningkatan kesejahteraan petani dan peningkatan kelembagaan penyuluhan, khususnya penyuluh konservasi tanah, perlu mendapat perhatian yang lebih besar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan

20 Agroklimat, 2005). Namun, peran yang paling penting tetap dipegang oleh para petani sebagai pelaku utama di sektor pertanian.

Reijntjes et al. (1992) menyatakan bahwa cara yang ditempuh suatu rumah tangga petani dalam pengambilan keputusan pengelolaan usaha tani tergantung pada ciri-ciri rumah tangga yang bersangkutan, misalnya jumlah anggota keluarga, usia, kondisi kesehatan, kemampuan, keinginan, kebutuhan, pengalaman bertani, pengetahuan, dan keterampilan serta hubungan antaranggota rumah tangga. Selain itu, pengambilan keputusan dalam rumah tangga petani meliputi faktor-faktor yang kompleks, termasuk ciri biofisik usahatani, ketersediaan dan kualitas input luar dan jasa serta proses sosioekonomi dan budaya di dalam masyarakat. Tujuan suatu rumah tangga berkenaan dengan proses dan hasil usahatani merupakan pusat sekaligus obyek pengambilan keputusan. Rumah tangga petani secara bersama memiliki berbagai macam tujuan yang bisa digolongkan sebagai produktivitas, keamanan, kesinambungan, dan identitas.

Menurut Pattanayak et al. (2003) terdapat lima faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pertanian dan kehutanan, yaitu:

1. Preferensi petani, secara eksplisit efek dari preferensi petani sulit untuk diukur, maka digunakan pendekatan berdasarkan faktor sosial demografi seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan status sosial. Masih terdapat berbagai pertentangan akan pendekatan mana yang terbaik, sebagai contoh adalah faktor pendidikan digunakan untuk mengukur opportunity cost terhadap pekerja pada investasi teknologi agroforestri

2. Resources endowment, digunakan untuk mengukur ketersediaan sumberdaya pada adopsi teknologi untuk diimplementasikan pada teknologi baru. Contoh:

21 kepemilikan aset, seperti lahan, tenaga kerja, ternak, dan tabungan. Umumnya resources endowment memiliki korelasi positif dengan adopsi teknologi 3. Insentif pasar, merupakan faktor yang berhubungan dengan rendahnya biaya

atau tingginya penerimaan dari adopsi teknologi. Insentif pasar fokus pada faktor-faktor ekonomi seperti harga, ketersediaan pasar, transportasi dan pendapatan potensial. Faktor ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan sehingga akan memberikan pengaruh positif terhadap adopsi teknologi

4. Faktor biofisik, faktor ini diharapkan dapat mempengaruhi proses produksi yang berhubungan dengan pertanian dan kehutanan. Contohnya kualitas lahan, kemiringan lahan dan ukuran lahan. Umumnya jika kondisi biofisik rendah (seperti tingginya tingkat erosi) akan berkorelasi positif dengan kesediaan untuk menerima adopsi teknologi.

5. Resiko dan ketidakpastian, faktor ini memperlihatkan ketidaktahuan pasar dan pemerintah terhadap kebijakan yang dibuat. Dalam jangka pendek contoh dari resiko dan ketidakpastian adalah fluktuasi harga komoditi, output dan curah hujan. Pada jangka panjang contohnya adalah hak sewa menyewa yang tidak aman. Adopsi teknologi akan menurunkan resiko dan ketidakpastian pada investasi pertanian dan kehutanan selama periode pertumbuhan.

Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010) mengidentifikasikan faktor- faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang dalam mengadopsi inovasi yakni: 1. Umur: petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan

petani yang lebih muda.

2. Pendidikan: melalui pendidikan meningkatkan pengetahuan tentang teknologi pertanian yang baru, diasumsikan lembaga pendidikan memfasilitasi

22 pembelajaran, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung semakin mudah menerima praktek-praktek baru.

3. Karakteristik psikologis: rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatism, orientasi pada usahatani dan kemudahan inovasi. Ketika rasionalitas didefinisikan sebagai keuntungan maksimum dalam usahatani, ini mungkin dilakukan sebagai peubah antara (intervening variable) antara kontak dengan penyuluh dan adopsi praktek-praktek baru pertanian. Dengan kata lain, sumber informasi pertanian yang dapat dipercaya, dapat mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi praktek-praktek baru.

4. Pendapatan usahatani: semakin tinggi pendapatan usahatani, maka petani cenderung lebih cepat mengadopsi inovasi.

5. Luas usahatani: semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi inovasi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.

6. Prestise dalam masyarakat: semakin tinggi prestise seseorang cenderung semakin cepat mengadopsi praktek-praktek pertanian yang baru (demi mendapatkan simbol status).

7. Sumber informasi yang digunakan, golongan inovatif cenderung banyak memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti instansi pemerintah (dinas- dinas terkait), perguruan tinggi dan lembaga penelitian pertanian. Sebaliknya masyarakat yang kurang inovatif bergantung pada informasi sesama petani. 8. Sifat-sifat dasar praktek: semakin rumit suatu inovesai maka akan semakin

lambat tingkat adopsinya. Berikut contoh yang paling cepat diterima, hingga yang paling rumit:

23 a. Perubahan hanya dibahan dan alat, tanpa perubahan di teknik atau

pelaksanaan (misalkan : varietas baru suatu benih)

b. Perubahan dalam pelaksanaan, dengan atau tanpa perubahan dalam alat atau bahan (misal: perubahan dalam rotasi tanaman)

c. Perubahan dalam teknik-teknik atau pelaksanaan baru (misal: contour cropping)

d. Perubahan total kegiatan usaha (misal dari usaha tanaman ke peternakan) Secara umum kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh penerapan praktek pertanian, seperti:

a. Praktek baru yang memerlukan modal besar cenderung lebih lambat diadopsi dibading modal kecil.

b. Lebih sesuai dengan kegiatan yang telah dipraktekan, maka akan lebih cepat diadopsi.

c. Ciri-ciri atau praktek yang siap dikomunikasikan dengan metode konvensional yang digunakan oleh petani akan lebih cepat diadopsi d. Lebih sulit untuk mengambil keputusan dan konsekuensi berikutnya,

lebih lambat diadopsi

e. Praktek yang rumit dan mahal yang dapat dilakukan dalam waktu singkat akan memungkinkan diadopsi lebih cepat daripada yang tidak mungkin dilakukan.

9. Interaksi faktor-faktor yang berhubungan: beberapa faktor tersebut diatas dapat dikombinasikan untuk menjelaskan tingkat kecepatan adopsi suatu inovasi.

24 2.8. Penelitian Terdahulu

Berbagai penelitian yang berhubungan dengan adopsi teknologi konservasi telah banyak dilakukan di beberapa lokasi seperti Pangalengan, Garut, dan Gunung Kidul. Selain itu, topik mengenai adopsi teknologi konservasi pun telah dilakukan di berbagai Negara seperti Zimbabwe dan Sri Lanka.

Pertanian komunal dihadapkan pada tantangan mengupayakan peningkatan produksi sebaik seperti melestarikan sumberdaya alam. Produktivitas yang rendah, degradasi lahan, sumberdaya pertanian yang tidak memenuhi syarat, dan ketidaklayakan teknik pertanian menandai pertanian komunal di Zimbabwe. Joseph et al. (2012) melakukan penelitian untuk memastikan faktor apa yang mempengaruhi adopsi praktik konservasi pertanian di area pertanian komunal Madziva, Zimbabwe, dan menilai efisiensi ekonomi dan efisiensi teknis dari praktik konservasi tersebut. Fungsi produksi transidental digunakan untuk mengestimasi efisiensi ekonomis dan efisiensi teknis, sedangkan untuk menetukan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan adopsi konservasi digunakan model regresi logit.

Berdasarkan data dari 75 petani terpilih, didapat nilai Marginal Physical Product (MPP) dan Value of Marginal Product (VMP) yang masing-masing mengindikasi efisiensi teknis dan ekonomis. Teknik konservasi pertanian efisien secara teknis karena MPP > 0, dan nilai VMP menunjukkan terjadinya efisiensi ekonomi. Petani dapat menutupi investasi awal mereka dalam satu atau dua tahun, sehingga investasi dalam konservasi pertanian dikatakan berhasil. Namun, hanya 27 persen petani yang mengadopsi konservasi pertanian. Usia, luas lahan, dan

25 lama pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan adopsi teknologi konservasi.

Menurut Lapar dan Pandey (1999) degradasi lahan di dataran tinggi Asia adalah sebuah masalah yang serius yang menjadi kendala dalam keberlanjutan dalam pertanian. Meskipun beberapa teknologi konservasi lahan sudah dibangun dan dipromosikan, namun adopsinya belum tersebar. Sebuah analisis ekonomi mikro dari adopsi konservasi kontur oleh petani dataran tinggi di Philipina dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang menentukan adopsi. Hasil empiris dengan menggunakan model probit menunjukkan bahwa adopsi dipengaruhi oleh beberapa karakteristik usahatani dan petani dan kepentingan relatif dari faktor tersebut berbeda untuk setiap daerah. Biaya tinggi saat pembuatan, perawatan dan kehilangan lahan untuk konservasi dianggap sebagai kendala utama untuk melakukan adopsi oleh non-adopter.

Komoditas kentang merupakan tanaman yang menarik secara ekonomi, tetapi menyebabkan erosi tanah di daerah perbukitan di Nuwara Eliya, Sri Lanka. Untuk mengatasi terjadinya erosi yang serius dibutuhkan program konservasi tanah. Namun, belum ada penelitian tentang konservasi tanah dan tingkat adopsi konservasi tanah. Oleh karena itu, Bandara dan Thiruchelvam (2008) menganalisis faktor yang mempengaruhi pemilihan adopsi praktik konservasi tanah oleh petani kentang di Nuwara Eliya, Sri Lanka. Tujuan dari penelitian ini mencari perbedaan tentang konservasi tanah, tingkat adopsi, dan faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi keputusan petani di Nuwara Eliya. Analisis data menggunakan multinomial logit. Hasil menyatakan bahwa 30 persen, 52 persen, dan 18 persen dari petani kentang mengkonservasi tanahnya pada tingkat baik,

26 rata-rata dan buruk. Tingkat adopsi konservasi lahan yang baik dapat meningkatkan produksi kentang dan pendapatan petani kentang. Biaya usahatani dipengaruhi oleh adopsi program konservasi petani. Peluang adopsi dipengaruhi positif dan signifikan oleh pendidikan, dan luas lahan. Sekitar 60 persen dari petani kentang mempunyai pendirian yang baik kearah pentingnya meningkatkan konservasi tanah. Kepemilikan lahan merupakan faktor penting untuk konservasi lahan. Pendekatan training (pelatihan), penyuluhan, dan subsidi konservasi direkomendasikan untuk meningkatkan konservasi lahan guna keberlanjutan pengusahaan kentang.

Katharina (2007a) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kentang untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi di Pangalengan Jawa Barat. Hasil analisis menggunakan model logit menunjukkan kecuraman lereng, status lahan dan jumlah anggota keluarga dewasa berpengaruh secara nyata terhadap keputusan petani sayuran untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi. Kecuraman lereng berpengaruh positif terhadap peluang adopsi konservasi. Semakin curam lereng lahan yang diusahakan, semakin tinggi peluang petani mengadopsi teknik konservasi tanah. Status lahan sewa berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi dan mengurangi peluang petani untuk melakukan adopsi konservasi tanah. Jumlah anggota keluarga di Pangalengan berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi. Semakin besar jumlah angkatan kerja tersedia dalam keluarga, semakin rendah peluang untuk mengadopsi teknik konservasi tanah.

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2006) bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk

27 mengkonservasi atau tidak mengkonservasi lahan dan untuk mengevaluasi secara simultan pengaruh keputusan mereka terhadap output. Penelitian menggunakan data petani sawah sekitar Taman Nasional Lore Lindu. Hasil penelitian menunjukkan hanya 13,5 persen petani yang mengkonservasi lahannya. Hasil dari spesifikasi logit, faktor yang berpengaruh nyata terhadap keputusan petani mengkonservasi (atau tidak mengkonservasi) adalah jumlah output yang dihasilkan, persepsi kualitas lahan, jumlah anggota keluarga petani, dan usia petani. Dengan menggunakan pendekatan instrument variabel ditemukan bahwa keputusan untuk mengkonservasi atau tidak, mempengaruhi secara nyata terhadap jumlah output yang dihasilkan. Output juga dipengaruhi oleh luas areal dan jumlah kredit. Salah satu saran yang diajukan agar usahatani berkelanjutan adalah pemerintah memperbaiki akses petani terhadap kredit mikro.

Keuntungan finansial dari konservasi pertanian belum dapat diprediksi. Walaupun biaya yang dikeluarkan untuk konservasi pertanian lebih kecil dibandingkan dengan pertanian konvensional, tetapi hasil yang didapatkan sangat berfluktusi pada wilayah yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Hardjanto (2010), pendapatan usahatani konservasi di Kecamatan Pangalengan, Jawa Barat lebih kecil daripada pendapatan usahatani non-konservasi. Hal ini terjadi karena belum diperhitungkannya nilai jasa lingkungan.

Sabarman (2006) meneliti aspek ekonomi (fungsi produksi) usahatani akar wangi, yaitu pola petani, introduksi, dan konservasi. Hasil analisis finansial dari ketiga pola menunjukkan bahwa pola usahtani petani, introduksi, dan konservasi layak untuk dikembangkan karena B-C rasio > 1, NPV positif dan IRR di atas bunga bank (15 persen/tahun). Berdasarkan penelitian, dari ketiga pola tersebut,

28 pola konservasi memeberikan pendapatan tertinggi yaitu sebesar Rp 17.220.000 pertahun diikuti oleh pola usahatani petani dengan pendapatan Rp 13.740.000 pertahun. Sedangkan pola usahatani introduksi menghasilkan pendapatan sebesar Rp 10.185.000 pertahun dengan luasan satu hektar.

Selain dapat mempengaruhi pendapatan petani, kegiatan konservasi lahan pun dapat menurunkan tingkat erosi lahan. Dewi dan Handayana (2002) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui usaha konservasi tanah dan air sebagai alternatif upaya peningkatan pendapatan petani di agroekosistem lahan kering. Penelitian dilakukan di Desa Rejosari Kecamatan Semin kabupaten Gunung Kidul.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teknis, tingkat erosi menurun antara 3,75 persen sampai 86,68 persen dengan rata-rata 75,20 persen. Dalam kaitannya dengan tingkat pendapatan masyarakat, analisis dilakukan berdasarkan dampak potensial, yaitu perhitungan dilakukan menggunakan proksi-proksi keberhasilan tanaman yang diusahakan dalam rangka melakukan konservasi tanah dan air dalam hutan rakyat. Jika tidak dilakukan konservasi, tanah kering marjinal di lokasi desa ini tidak produktif sama sekali, sehingga dengan dilakukannya penanaman tanaman tahunan produkstif yang komersial seperti jambu mete, kayu akasia, jati, sonokeling, dan mahoni, petani mendapatkan nilai tambah dari lahan tersebut.

Topik penelitian mengenai perhitungan nilai ekonomi pengendalian erosi telah dilakukan oleh Yana (2010) di IUPHHK-HA PT. Austral Byna, kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Tujuan dari penelitian tersebut adalah menentukan nilai ekonomi pengendalian hutan terhadap erosi. Analisis dilakukan

29 dengan menggunakan metode penilaian berdasarkan harga barang pengganti, yaitu melalui harga pupuk yang dibutuhkan untuk mengembalikan kandungan unsur hara yang hilang. Nilai ekonomi pengendalian erosi melalui pendekatan biaya pengganti di lima lokasi penelitian seluas 8.060,6 ha sebesar Rp 3.596.806.591 per tahun.

Beberapa penelitian mengenai adopsi sistem konservasi telah banyak diteliti di berbagai tempat. Namun, di Kecamatan Pasirwangi penelitian mengenai adopsi konservasi pada usahatani kentang belum pernah dilakukan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk mengadopsi konservasi merupakan aplikasi dari teori dan beberapa penelitian terdahulu. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah ada karena menghitung nilai ekonomi dari sistem konservasi usahatani kentang yang dilakukan petani.

30 III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran dalam sebuah penelitian merupakan struktur pelaksanaan penelitian yang mengaitkan setiap tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan tujuan penelitian yang ingin dicapai.

3.1.1. Model Regresi Logit

Di sebagian besar survey mengenai perilaku manusia, tanggapan yang banyak diberikan berbentuk kualitatif, dapat berupa jawaban ya atau tidak sebagai pilihan. Peubah kualitatif yang hanya mempunyai dua kemungkinan nilai ini disebut peubah biner. Ketika satu atau lebih explanatory variabel dalam model regresi adalah binary, hal ini dapat digambarkan sebagai dummy variable. Namun ketika dependent variable berupa peubah biner, maka penyelesaiannya akan menjadi lebih kompleks ketika kita membangun model karena binary choice model mengasumiskan bahwa individu dihadapkan pada pilihan diantara dua alternatif pilihan yang tergantung pada karakteristik mereka. Untuk menyelesaikan masalah yang memiliki pilihan biner, terdapat beberapa model yang dapat digunakan, yaitu: liner probability model, model logit, dan model tobit (Pindyck and Rubinfeld, 1998).

Untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani dalam menerapkan pola konservasi digunakan model fungsi logit. Model logit digunakan karena dari sisi matematika merupakan fungsi yang sangat fleksibel dan mudah digunakan serta parameter koefisiennnya mudah diinterpretasikan (Juanda, 2009). Alat analisis ini telah banyak digunakan Siregar (2006), Katharina (2007a), Bandara dan Thiruchelvam (2008), dan Joseph et al. (2012). Secara teoritis,

31 model Logit didasarkan pada cumulative logistic probability function dan dispesifikasikan menjadi (Pindyck and Rubinfeld, 1998):

Dari persamaan 7, diperoleh

Selanjutnya, dengan membaginya dengan Pi, diperoleh

Dengan mendefinisikan , maka diperoleh:

Dengan menggunakan logaritma natural dari kedua sisi, diperoleh:

Atau dari persamaan (1) diperoleh

Pi = Peluang melakukan pilihan-1 1-Pi = Peluang tidak melakukan pilihan-1 α,β = Parameter dugaan

Xi = Peubah bebas

3.1.2. Pengambilan Keputusan Adopsi

Rogers dan Schoemaker (1986) dalam Nahraeni (2000) menyatakan bahwa terdapat empat paradigma proses keputusan inovasi yaitu tahap pengenalan, persuasi, keputusan, dan konfirmasi. Pada tahap keputusan seseorang

32 terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima dan menolak inovasi. Rogers (1983) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi adopsi, yaitu karakteristik sosialekonomi, karakteristik diri petani, dan tingkah laku dalam komunikasi. Karakteristik sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, tingkat melek huruf, tingkat status sosial, mobilitas sosial, luas lahan, orientasi ekonomi, akses terhadap kredit, dan spesialisasi. Variabel yang termasuk kedalam karakteristik diri petani adalah empati, dogmatis, kemampuan berfikir abstrak, rasionalitas, intelegensi, perilaku kearah perubahan, kemampuan mengatasi ketidakpastian, sikap yang lebih terhadap pendidikan, sikap yang lebih terhadap ilmu pengetahuan, fatalism, aspirasi yang lebih tinggi terhadap pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Tingkah laku dalam komunikasi terdiri dari beberapa variabel, yaitu partisipasi sosial, keterkaitan dengan sistem sosial, wawasan yang luas, hubungan dengan agen pengubah, pemasaran media massa, komunikasi interpersonal, pencarian informasi secara aktif, pengetahuan mengenai inovasi, kepemimpinan, kesesuaian dengan sistem yang saling terkait.

Lebih lanjut, Rogers (1983) menyatakan bahwa seluruh variabel diatas berpengaruh positif terhadap adopsi kecuali umur, dogmatis, dan fatalism. Berdasarkan penelitian mengenai adopsi, ada hasil penelitian yang mendukung dan tidak mendukung karakteristik dari kategori adopter tersebut. Adopsi suatu teknologi petani berkaitan erat dengan perilaku petani sebagai pengelola usahatani yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Karakteristik pengambilan keputusan itu meliputi umur, pendidikan, pengalaman, jumlah anggota keluarga, status sosial, status penguasaan lahan, informasi teknologi yang meliputi frekuensi penyuluhan dan kontak lembaga. Faktor lain yang mempengaruhi pengambilan

33 keputusan petani adalah luas lahan, jumlah tenaga kerja, pendapatan, status lahan, keanggotaan dalam kelompok tani, resiko, tersedianya kredit, serta kelembagaan.

Menurut Rogers (1983), terjadi ketidakkonsistenan dalam hubungan antara umur dan inovasi. Pengaruh dari umur petani dalam adopsi konservasi dapat diangggap merangkum pengaruh dari pengalaman petani dan rencana jangka panjang. Petani yang lebih tua dianggap memiliki pengalaman bertani yang lebih baik sehingga mudah menerima adopsi (Lapar dan Pandey, 1999). Hal ini tampak pada penelitian Siregar (2006), serta Lapar dan Pandey (1999) di Cebu, Filipina. Namun, dilain pihak petani muda dianggap memiliki pemikiran jangka panjang yang lebih baik, sehingga adopsi lebih mudah diterima (Lapar dan Pandey, 1999). Ini sesuai dengan pendapat Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010), petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan petani yang lebih muda, dan terlihat pada hasil peneltian Lapar dan Pandey (1999) di Claveria, Filipina dan D’Souza, et al. (1993) di Virginia Barat.

Jumlah Tangggungan Keluarga berpengaruh negatif terhadap keputusan konservasi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka eksploitasi terhadap sumberdaya tanah semakin besar dengan harapan meperoleh keuntungan yang lebih banyak lagi. Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan tentang teknologi pertanian yang baru, sehingga diasumsikan lembaga pendidikan memfasilitasi pembelajaran, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung semakin mudah menerima praktek-praktek baru. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bandara dan Thiruchelvam (2008). Pengalaman bertani berpengaruh positif terhadap keputusan petani untuk mengadopsi konservasi. Petani yang

34 berpengalaman mempunyai kapabilitas manajerial yang lebih baik karena mereka belajar dari pengelolaan usahataninya tahun-tahun sebelumnya (Nahraeni, 2012)

Status lahan milik bagi petani, akan mempercepat adopsi konservasi, artinya status lahan milik berpengaruh positif terhadap adopsi konservasi. Menurut Lapar dan Pandey (1999) rendahnya status property right di dataran tinggi Filipina diangggap sebagai faktor utama yang menyebabkan erosi tanah di dataran tinggi. Hwang et al. (1994) dalam Katharina (2007b) menyatakan bahwa status lahan sewa akan mempercepat terjadinya erosi karena pengelolaannya bersifat jangka pendek. Keputusan bentuk penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh status kepemilikan lahan. Bila lahan berstatus milik maka lahan akan lebih memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan fisik lahan (Feder dan Onchan, 1987 dalam Katharina, 2007b) dibandingkan dengan status sewa. Selain itu, bila petani tidak yakin dengan hak-hak mereka untuk memanfaatkan lahan yang dibudidayakan, perangsang-perangsang untuk menginvestasikan dalam praktek- praktek konservasi sumberdaya seperti pengendalian erosi, akan menjadi lemah (Reijntjes, et al. 1992).

Luas lahan berpengaruh secara positif terhadap keputusan adopsi konservasi. Semakin luas lahan yang digarap, maka adopsi lebih cepat dilakukan karena petani memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik (Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010). Hal ini sesuai dengan pernyataan Rogers (1983) bahwa luas lahan memberikan pengaruh positif terhaadap adopsi teknologi, serta hasil penelitian Bandara dan Thiruchelvam (2008).

Petani dengan pendapatan yang lebih tinggi akan lebih mudah mengadopsi konservasi, karena memiliki modal yang cukup untuk mengadopsi suatu teknik

35 konservasi. Selain itu, petani dengan pendapatan rendah cenderung akan menghindari resiko dalam mencoba suatu inovasi karena jika ternyata keputusan