• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Nilai Ekonomi Konservasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Adopsi Konservasi Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Nilai Ekonomi Konservasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Adopsi Konservasi Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi Kabupaten Garut"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

1 I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian memegang peranan yang cukup penting dalam pembangunan. Sektor pertanian merupakan penyedia kebutuhan pangan, penyedia bahan baku industri, penyumbang devisa, penyerap tenaga kerja, serta penunjang utama kelestarian lingkungan hidup. Upaya peningkatan sektor pertanian merupakan langkah strategis dalam pembangunan nasional mengingat peranannya yang besar dalam mendukung pertumbuhan sektor pertanian khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya.

Pada tahun 2011, perekonomian nasional tumbuh sebesar 6,5 persen yang didukung oleh pertumbuhan sektor pertanian sebesar 3,6 persen (Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI, 2011). Dilihat dari sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), pada tahun 2011 sektor pertanian menyumbang 14,7 persen terhadap PDB nasional (Badan Pusat Statistik (BPS), 2012). Sektor pertanian berkaitan erat dengan wilayah pedesaan. Berdasarkan data BPS (2012) sekitar 46 persen masyarakat Indonesia terlibat dalam berbagai bentuk kegiatan pertanian seperti pertanian tanaman pangan, non-pangan, peternakan, dan perikanan air tawar sebagai pekerjaan utama.

(2)

2 pertanian memberikan manfaat tidak saja untuk petani sebagai penyedia jasa, tetapi juga masyarakat luas yang berada di sekitarnya (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005).

Lahan pertanian Indonesia terdiri atas lahan sawah dan lahan kering. Lahan Kering mendominasi luas lahan di Indonesia. Pada tahun 2007, hampir 82 persen dari luas lahan keseluruhan merupakan lahan kering dan hampir semua pulau didominasi oleh lahan kering (Lampiran 1). Dengan demikian lahan kering merupakan salah satu sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk mendukung pembangunan pertanian di Indonesia, baik ditinjau dari luas areal maupun peluang produksi komoditas yang diusahakan. Peluang produksi tersebut tidak hanya untuk tanaman pangan tetapi juga untuk tanaman hortikultura, tanaman industri, dan tanaman perkebunan.Pada usahatani berbasis lahan kering, usahatani yang paling berkembang adalah pada usahatani tanaman perkebunan, usahatani komoditas sayuran bernilai ekonomi tinggi dan peternakan khususnya unggas.

(3)

3 kurang berkembang (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005).

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil komoditas sayuran terbesar di Indonesia (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2010). Jenis sayuran unggulan di Jawa Barat meliputi bawang merah, cabe merah, kentang, kubis, dan tomat. Diantara komoditas hortikultura lainnya, kentang merupakan tanaman yang banyak diusahakan petani. Kentang dipilih karena nilai ekonomis kentang yang tinggi dan harga yang cenderung stabil. Selain itu, kentang merupakan komoditas yang memiliki daya tahan simpan cukup lama, yaitu sampai 5 tahun (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2003)

(4)

4 Tabel 1. Perkembangan Produktivitas Kentang di Kabupaten Bandung dan Garut

Tahun 2006-2010 Keterangan : * perkembangan

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2006-2010)

Luas area panen di Kabupaten Garut cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun kecuali pada tahun 2009 yang mengalami penurunan sebanyak 12,86 persen. Selain itu, produksi kentang dari tahun ke tahun pun mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2009 yang mengalami penurunan sebanyak 13,05 persen. Penurunan produksi kentang yang lebih tinggi daripada penurunan luas area tanam berimbas pada menurunnya produktivitas kentang sejak tahun 2009 hingga tahun 2010 (Tabel 2).

Tabel 2. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang di Kabupaten Garut Tahun 2006-2010

Keterangan : * perkembangan

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2006-2010)

(5)

5 Sehingga untuk mengatasinya petani memberikan pupuk dan pestisida dalam dosis tinggi (Haryati dan Erfandi, 2011). Oleh karena itu, untuk melestarikan sumber daya lahan didaerah-daerah sentra produksi ini perlu dilakukan pengelolaan lahan yang tepat dengan menerapkan tindakan konservasi tanah (Katharina, 2007a).

1.2 Perumusan Masalah

Kabupaten Garut merupakan salah satu tempat yang memanfaatkan lahan pegunungan untuk pertanian. Jenis tanah andisol yang mendominasi bagian utara Kabupaten Garut memberikan peluang terhadap potensi usaha sayur mayur.1 Sifat-sifat tanah tersebut cukup baik, namun karena terletak pada lereng yang curam, disertai curah hujan yang tinggi (>2000 mm th-1) dan pengusahaan yang intensif, maka kepekaan tanahnya terhadap erosi sangat tinggi (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Sehingga walaupun menguntungkan, namun usahatani tanaman semusim pada lahan pegunungan, memiliki dampak negatif.

Menurut Abdurrachman dan Sutono dalam Katharina (2007a), di areal pertanian, proses erosi banyak terjadi pada lahan berlereng yang dikelola untuk budidaya tanaman semusim yang tidak dilengkapi dengan tindakan-tindakan konservasi tanah. Hal ini terjadi karena pengelolaan tanah dilakukan pada waktu sebelum tanam, dan setelah panen, sehingga tanah menjadi terbuka terhadap pukulan air hujan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Akibat langsung dari besarnya erosi adalah produktivitas lahan yang cenderung turun (Arsyad, 2000), hal ini ditunjukkan oleh produksi yang

(6)

6 cenderung terus menurun dari tahun ke tahun, seperti ditunjukkan pada pertanaman kentang di Kabupaten Garut.

Oleh karena itu perlu dilakukan upaya konservasi yang dapat menahan laju erosi dan memperbaiki produktivitas tanaman kentang. Menurut Dewi dan Hendayana (2002) keberhasilan penerapan konservasi di lahan kering mampu menciptakan kondisi lahan yang kondusif untuk menghasilkan produksi secara lestari dan terpeliharanya produktivitas lahan sehingga pada akhirnya berpengaruh positif pada peningkatan pendapatan petani. Sehingga pada tahun 2006 menteri pertanian mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/Ot.140/10/2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan (Departemen Pertanian, 2006).

(7)

7 Selain erosi, saat ini pertanian sayuran di lahan pegunungan dihadapkan kepada masalah besarnya pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan sehingga menyebabkan usahatani relatif tidak efisien. Praktek pemupukan di tingkat petani sangat bervariasi, mulai dari input rendah, sampai sangat tinggi. Sering kali suatu jenis unsur diberikan secara berlebihan sedangkan unsur lain diberikan kurang dari yang semestinya sehingga efisiensi penggunaan pupuk menjadi rendah. Pemberian satu atau dua unsur yang berlebihan sering disebabkan oleh pemberian pupuk yang hanya berdasarkan kebiasaan atau berdasarkan rekomendasi dari produsen pupuk (Haryati dan Erfandi, 2011).

Pemberian pupuk dan pestisida yang berlebihan ini akan menyebabkan produktivitas lahan menurun dan menambah biaya yang harus dikeluarkan. Hal lainnya adalah kecilnya kepemilikan lahan usahatani, status kepemilikan, sehingga sayuran yang dihasilkan menjadi tidak optimal dan efisien. Selain lahan, faktor sumber daya manusia khususnya dikaitkan dengan kapabilitas manajerial petani juga menyebabkan inefisiensi produksi. Kapabilitas manajerial petani ini akan menentukan rasionalitas petani dalam mengambil keputusan dalam pengelolaan usahataninya (Nahraeni, 2012).

Dari penjabaran di atas, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keputusan petani kentang dataran tinggi untuk mengadopsi konservasi?

(8)

8 1.3 Tujuan

Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kentang

dataran tinggi untuk mengadopsi konservasi

2. Menghitung nilai ekonomi konservasi dari usahatani kentang dataran tinggi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat memberikan manfaaat akademik yang memperkaya penelitian ekonomi pertanian. Selain itu, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi para pengambil kebijakan dan pemerhati pertanian dalam pengembangan pertanian di lahan kering, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan petani kentang.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(9)

9 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lahan kering

Lahan kering dapat didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang tahun (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Berdasarkan penggunaan lahan untuk pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan luas lahan kering menjadi lahan tegal atau kebun, ladang atau huma, lahan sementara tidak diusahakan, dan rawa yang tidak ditanami. Kadekoh (2007) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan dimana pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang sepanjang tahun. Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air.

2.1.1 Jenis Lahan Kering

(10)

10 persen, berombak bergelombang dengan lereng 8-15 persen, berbukit dengan lereng 15-30 persen, dan bergunung dengan lereng 30 persen. Berdasarkan kondisi iklim, lahan kering dibedakan menjadi lahan iklim basah dan iklim kering. Lahan kering dataran rendah berada pada kondisi iklim basah pada ketinggian 700 m dpl dengan curah hujan tinggi (> 1500 mm/th) dengan masa hujan relatif panjang. Sedangkan iklim kering mempunyai curah hujan relatif rendah (< 1500 mm/th) dengan masa curah yang pendek (3,5 bulan) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005).

2.2. Erosi

Pertanian lahan kering umumnya terdapat di daerah hulu (up land) hingga daerah-daerah pertengahan dengan keadaan lahan yang berlereng (Harijaya 1995

(11)

11 Dampak langsung diluar tempat kejadian erosi (off-site) adalah pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya, tertimbunnya lahan pertanian, jalan, dan bangunan lainnya, rusaknya mata air dan kualitas air, rusaknya ekosistem perairan serta meningkatnya frekuensi masa kekeringan. Dampak tidak langsung erosi off-site yaitu kerugian akibat memendeknya umur waduk, meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir (Arsyad, 2000).

Erosi yang terbanyak terjadi adalah erosi yang disebabkan oleh air. Erosi oleh air terjadi dimana tanahnya terbuka terhadap terpaan butir air hujan (erosi percikan), terhadap aliran air yang meluas sehingga terkikisnya permukaan tanah secara merata (erosi kulit), atau terhadap aliran air yang terkumpul dalam suatu alur (erosi alur dan erosi parit). Menurut Rahim (2003) terdapat tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi erosi, yaitu: (1) energi, meliputi hujan, air limpasan, angin, kemiringan, dan panjang lereng, (2) ketahanan, meliputi erodibilitas tanah (ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah),dan (3) proteksi yaitu penutupan tanah baik oleh vegetasi atau lainnya serta ada atau tidaknya tindakan konservasi.

(12)

12 2.3. Biaya Erosi Tanah

Dampak erosi tanah di lokasi yang terpenting adalah berkurangnya kesuburan tanah akibat hilangnya bahan organik dan unsur hara tanah, berkurangnya kedalaman lapisan tanah atas (topsoil), dan menurunnnya kapasitas tanah untuk menahan air yang selanjutnya juga akan menyebabkan penurunan produktivitas lahan yang terkena erosi. Sedangkan dampak erosi tanah di luar lokasi adalah merupakan nilai sekarang dari manfaat ekonomi yang hilang akibat erosi lahan (Katharina, 2007a).

Menurut Barbier (1996), dari persfektif petani, ada dua komponen utama yang menjadi biaya dari erosi tanah, yaitu biaya langsung dan output yang hilang. Biaya langsung adalah biaya bagi petani untuk upaya (contohnya tenaga kerja), material, peralatan, struktur fisik, dan sebagainya yang dibutuhkan untuk melakukan konservasi tanah. Output yang hilang adalah kehilangan dari output saat ini karena menggunakan lebih sedikit tanah atau lahan saat ini.

(13)

13 ditunjukkan dengan penggunaan pupuk. Pendekatan biaya pengganti didasarkan pada asumsi bahwa erosi tanah dan aliran permukaan menyebabkan terjadinya pencucian hara dan efektivitas pupuk bagi tanaman lebih rendah yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan produksi. Pemberian pupuk buatan atau pupuk organik, pergiliran tanaman dengan tanaman leguminosa dan menghindari dari pembakaran vegetasi atau sisa-sisa tanaman terus-menerus adalah cara-cara untuk mencegah kerusakan dan memulihkan kesuburan tanah (Arsyad, 2000). 2.4. Konservasi

Salah satu cara pengendalian erosi yang tepat untuk digunakan yaitu dengan melakukan konservasi tanah. Konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Selain untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi, usaha konservasi tanah ditujukan untuk memperbaiki tanah yang rusak, dan memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat dipergunakan secara lestari. Selanjutnya, menurut Arsyad (2000), konservasi tanah tidak berarti penundaan penggunaan tanah atau pelarangan penggunaan tanah, tetapi menyesuaikan macam penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan, agar tanah dapat berfungsi secara lestari.

(14)

14 baku dan teras gulud. Secara teknis, teras baku merupaka pengendalian erosi yang efektif. Teras baku memotong panjang lereng dan menghambat laju permukaan aliran permukaan, sehingga pengangkutan partikel-partikel tanah pun terhambat. Teknik konservasi menggunakan teras gulud dianggap lebih mudah dan lebih sederhana dalam pembuatannya dibanding teras baku. Teras gulud merupakan modifikasi dari guludan untuk bertanam ubi jalar pada lahan-lahan datar yang diterapkan pada lahan miring. Secara vegetatif, teknik pengendalian erosi yang dapat digunakan adalah strip rumput, mulsa, tanaman penutup tanah, olah tanah konservasi, dan pertanaman lorong,

2.5. Konsep Usahatani

Menurut Prof. Tb. Banchtiar Rifai (1960) dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1983), usahatani adalah setiap kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Soekartawi et al. (1985) menyatakan bahwa usahatani merupakan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, kerja, modal, waktu, dan pengelolaan) yang terbatas untuk mencapai tujuannya. Pada awalnya manusia mengenal usaha bertani dengan cara-cara yang sederhana dengan tujuan utamanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga sendiri (subsisten). Disini, bertani dipandang sebagai suatu cara hidup (way of life) daripada suatu bisnis (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983).

2.5.1 Konsep Pendapatan Usahatani

(15)

15 nilai positif dan semakin besar nilainya maka semakin baik, meskipun besar pendapatan tidak selalu mencerminkan efisiensi yang tinggi karena pendapatan yang besar mungkin saja diperoleh dari investasi yang jumlahnya besar pula. Suatu usahatani dikatakan berhasil apabila dapat memenuhi kewajiban membayar bunga modal, alat-alat yang digunakan, upah tenaga luar serta sarana produksi lain termasuk kewajiban terhadap pihak ketiga dan dapat menjaga kelestarian usahanya (Suratiyah, 2011). Beberapa istilah yang biasanya dipergunakan dalam menganalisis pendapatan usahatani menurut Soekartawi et al. (1985), yaitu: 1. Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai yang diterima dari penjualan

produk usahatani.

2. Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.

3. Pendapatan tunai usahatani adalah selisih antara penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani

4. Penerimaan kotor usahatani adalah produk usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.

5. Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang diperhitungkan. 6. Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan kotor usahatani

dengan pengeluaran total usahatani.

Menurut Soekartawi (2002) Biaya usahatani dapat di bedakan atas:

(16)

16 2. Biaya yang diperhitungkan, merupakan pengeluaran yang secara tidak tunai dikeluarkan petani. Biaya yang diperhitungkan dapat berupa faktor produksi yang digunakan petani tanpa mengeluarkan uang tunai seperti biaya untuk sewa lahan yang diperhitungkan atas lahan milik sendiri, penggunaan tenaga kerja keluarga yang dinilai berdasarkan upah yang berlaku, penggunaan benih dari hasil produksi sebelumnya dan penyusutan dari sarana produksi.

Analisis terhadap pendapatan usahatani juga dapat digunakan untuk mengukur efisisensi usahatani terhadap penerimaan yang diperoleh untuk setiap rupiah yang dikeluarkan (Revenue Cost Rasio atau R-C Rasio). Analisis R-C rasio digunakan untuk mengetahui keuntungan relatif usahatani berdasarkan keuntungan finansial, yang menunjukan besarnya penerimaan yang diperoleh dengan pengeluaran tertentu dalam satu satuan biaya. Semakin besar nilai R-C rasio maka semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan usahatani tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan.

(17)

17 2.5.2 Usahatani Kentang Kabupaten Garut

Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan di Jawa Barat yang banyak ditanam di daerah dataran tinggi karena kentang cocok ditanam pada ketinggian 500-3000 mdpl. Selain itu, tanaman kentang cocok ditanam pada jenis tanah Andosol dan Grumosol dengan tekstur sedang dan struktur gembur, dengan pH tanah 5,0 – 6,5. kondisi iklim yang cocok untuk tanaman kentang adalah tempat dengan curah hujan 1000 mm/th dan temperatur 15-25°C (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat, 2003) .

Jawa Barat mengalami penurunan luas panen tanaman kentang sejak tahun 2007 hingga tahun 2011. Hal ini diikuti dengan penurunan produksi pada tahun yang sama. Namun, pada tahun 2009 luas panen dan produksi kentang mengalami peningkatan, masing-masing 10,60 persen dan 9,84 persen dari jumlah tahun 2008. Berbeda dengan luas panen dan produksi, produktivitas tanaman kentang di Jawa Barat mengalami peningkatan sejak tahun 2007 hingga tahun 2008, namun terus mengalami penurunan sejak tahun 2009 hingga tahun 2011. Hal ini terjadi karena pada tahun 2007 dan 2008, laju penurunan luas panen lebih besar dari laju penurunan produksi. Sedangkan pada tahun 2009 hingga 2011, laju penurunan luas panen lebih kecil daripada laju penurunan produksi (Tabel 3).

(18)

18 Jawa Barat memiliki beberapa sentra produksi kentang, yaitu di Bandung dan Garut, dengan kecamatan utama yaitu Lembang, Kertasari dan Cimenyan untuk Kawasan Bandung, dan Pasirwangi, Cikajang, Cisurupan, Samarang, dan Bayongbong untuk Kawasan Garut. Selain itu, pada tahun 2010 Jawa Barat sedang mengembangkan Majalengka, Bandung Barat, Kuningan, Cianjur, dan Sumedang untuk menjadi sentra produksi kentang (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2010).

Kabupaten Garut merupakan penghasil kentang terbesar kedua di Jawa Barat setelah Kabupaten Bandung. Namun, dibandingkan dengan Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut memiliki produktivitas yang lebih tinggi sejak tahun 2006 hingga 2010 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2010). Pada tahun 2010, dengan luas panen 6.442 hektar, produksi kentang yang dihasilkan di Kabupaten Garut adalah 140,029 ton. Dengan kata lain pada tahun 2010 produktivitas kentang adalah 21,74 Ton/Hektar. Produksi ini masih dapat dikembangkan, karena Kabupaten Garut masih memiliki 3400 hektar area yang masih berpotensi untuk ditanami kentang (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut, 2009).

2.6. Adopsi Inovasi

(19)

19 menggunakan ide baru, barang baru, dan praktek baru dan menghentikan ide-ide yang digantikan oleh inovasi itu. Namun, sebelum mengambil keputusan inovasi, biasanya petani memperoleh keyakinan akan keberhasilan metode itu. Terdapat lima tahap proses adopsi yaitu (Rogers dan Schoemaker, 1986 dalam Nahraeni, 2000) :

1. Tahap kesadaran; seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informasi mengenai hal itu.

2. Tahap menaruh minat; seseorang mulai menaruh minat terhadap inovasi dan mencari informasi lebih banyak mengenai inovasi tersebut.

3. Tahap penilaian; seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru tersebut dihubungkan dengan situasi dirinya sendiri saat ini dan masa datang mencobanya atau tidak.

4. Tahap percobaan; seseorang menerapkan ide-ide baru itu dalam skala kecil untuk menentukan kegunaan apakah sesuai dengan situasi dirinya.

5. Tahap penerimaan (adopsi); seseorang menggunakan ide baru itu secara tetap dalam skala yang luas.

2.7. Pengambilan Keputusan Adopsi

(20)

20 Agroklimat, 2005). Namun, peran yang paling penting tetap dipegang oleh para petani sebagai pelaku utama di sektor pertanian.

Reijntjes et al. (1992) menyatakan bahwa cara yang ditempuh suatu rumah tangga petani dalam pengambilan keputusan pengelolaan usaha tani tergantung pada ciri-ciri rumah tangga yang bersangkutan, misalnya jumlah anggota keluarga, usia, kondisi kesehatan, kemampuan, keinginan, kebutuhan, pengalaman bertani, pengetahuan, dan keterampilan serta hubungan antaranggota rumah tangga. Selain itu, pengambilan keputusan dalam rumah tangga petani meliputi faktor-faktor yang kompleks, termasuk ciri biofisik usahatani, ketersediaan dan kualitas input luar dan jasa serta proses sosioekonomi dan budaya di dalam masyarakat. Tujuan suatu rumah tangga berkenaan dengan proses dan hasil usahatani merupakan pusat sekaligus obyek pengambilan keputusan. Rumah tangga petani secara bersama memiliki berbagai macam tujuan yang bisa digolongkan sebagai produktivitas, keamanan, kesinambungan, dan identitas.

Menurut Pattanayak et al. (2003) terdapat lima faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pertanian dan kehutanan, yaitu:

1. Preferensi petani, secara eksplisit efek dari preferensi petani sulit untuk diukur, maka digunakan pendekatan berdasarkan faktor sosial demografi seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan status sosial. Masih terdapat berbagai pertentangan akan pendekatan mana yang terbaik, sebagai contoh adalah faktor pendidikan digunakan untuk mengukur opportunity cost

terhadap pekerja pada investasi teknologi agroforestri

(21)

21 kepemilikan aset, seperti lahan, tenaga kerja, ternak, dan tabungan. Umumnya

resources endowment memiliki korelasi positif dengan adopsi teknologi 3. Insentif pasar, merupakan faktor yang berhubungan dengan rendahnya biaya

atau tingginya penerimaan dari adopsi teknologi. Insentif pasar fokus pada faktor-faktor ekonomi seperti harga, ketersediaan pasar, transportasi dan pendapatan potensial. Faktor ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan sehingga akan memberikan pengaruh positif terhadap adopsi teknologi

4. Faktor biofisik, faktor ini diharapkan dapat mempengaruhi proses produksi yang berhubungan dengan pertanian dan kehutanan. Contohnya kualitas lahan, kemiringan lahan dan ukuran lahan. Umumnya jika kondisi biofisik rendah (seperti tingginya tingkat erosi) akan berkorelasi positif dengan kesediaan untuk menerima adopsi teknologi.

5. Resiko dan ketidakpastian, faktor ini memperlihatkan ketidaktahuan pasar dan pemerintah terhadap kebijakan yang dibuat. Dalam jangka pendek contoh dari resiko dan ketidakpastian adalah fluktuasi harga komoditi, output dan curah hujan. Pada jangka panjang contohnya adalah hak sewa menyewa yang tidak aman. Adopsi teknologi akan menurunkan resiko dan ketidakpastian pada investasi pertanian dan kehutanan selama periode pertumbuhan.

Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang dalam mengadopsi inovasi yakni: 1. Umur: petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan

petani yang lebih muda.

(22)

22 pembelajaran, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung semakin mudah menerima praktek-praktek baru.

3. Karakteristik psikologis: rasionalitas, fleksibilitas mental, dogmatism, orientasi pada usahatani dan kemudahan inovasi. Ketika rasionalitas didefinisikan sebagai keuntungan maksimum dalam usahatani, ini mungkin dilakukan sebagai peubah antara (intervening variable) antara kontak dengan penyuluh dan adopsi praktek-praktek baru pertanian. Dengan kata lain, sumber informasi pertanian yang dapat dipercaya, dapat mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi praktek-praktek baru.

4. Pendapatan usahatani: semakin tinggi pendapatan usahatani, maka petani cenderung lebih cepat mengadopsi inovasi.

5. Luas usahatani: semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi inovasi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik.

6. Prestise dalam masyarakat: semakin tinggi prestise seseorang cenderung semakin cepat mengadopsi praktek-praktek pertanian yang baru (demi mendapatkan simbol status).

7. Sumber informasi yang digunakan, golongan inovatif cenderung banyak memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti instansi pemerintah (dinas-dinas terkait), perguruan tinggi dan lembaga penelitian pertanian. Sebaliknya masyarakat yang kurang inovatif bergantung pada informasi sesama petani. 8. Sifat-sifat dasar praktek: semakin rumit suatu inovesai maka akan semakin

(23)

23 a. Perubahan hanya dibahan dan alat, tanpa perubahan di teknik atau

pelaksanaan (misalkan : varietas baru suatu benih)

b. Perubahan dalam pelaksanaan, dengan atau tanpa perubahan dalam alat atau bahan (misal: perubahan dalam rotasi tanaman)

c. Perubahan dalam teknik-teknik atau pelaksanaan baru (misal: contour cropping)

d. Perubahan total kegiatan usaha (misal dari usaha tanaman ke peternakan) Secara umum kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh penerapan praktek pertanian, seperti:

a. Praktek baru yang memerlukan modal besar cenderung lebih lambat diadopsi dibading modal kecil.

b. Lebih sesuai dengan kegiatan yang telah dipraktekan, maka akan lebih cepat diadopsi.

c. Ciri-ciri atau praktek yang siap dikomunikasikan dengan metode konvensional yang digunakan oleh petani akan lebih cepat diadopsi d. Lebih sulit untuk mengambil keputusan dan konsekuensi berikutnya,

lebih lambat diadopsi

e. Praktek yang rumit dan mahal yang dapat dilakukan dalam waktu singkat akan memungkinkan diadopsi lebih cepat daripada yang tidak mungkin dilakukan.

(24)

24 2.8. Penelitian Terdahulu

Berbagai penelitian yang berhubungan dengan adopsi teknologi konservasi telah banyak dilakukan di beberapa lokasi seperti Pangalengan, Garut, dan Gunung Kidul. Selain itu, topik mengenai adopsi teknologi konservasi pun telah dilakukan di berbagai Negara seperti Zimbabwe dan Sri Lanka.

Pertanian komunal dihadapkan pada tantangan mengupayakan peningkatan produksi sebaik seperti melestarikan sumberdaya alam. Produktivitas yang rendah, degradasi lahan, sumberdaya pertanian yang tidak memenuhi syarat, dan ketidaklayakan teknik pertanian menandai pertanian komunal di Zimbabwe. Joseph et al. (2012) melakukan penelitian untuk memastikan faktor apa yang mempengaruhi adopsi praktik konservasi pertanian di area pertanian komunal Madziva, Zimbabwe, dan menilai efisiensi ekonomi dan efisiensi teknis dari praktik konservasi tersebut. Fungsi produksi transidental digunakan untuk mengestimasi efisiensi ekonomis dan efisiensi teknis, sedangkan untuk menetukan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan adopsi konservasi digunakan model regresi logit.

(25)

25 lama pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan adopsi teknologi konservasi.

Menurut Lapar dan Pandey (1999) degradasi lahan di dataran tinggi Asia adalah sebuah masalah yang serius yang menjadi kendala dalam keberlanjutan dalam pertanian. Meskipun beberapa teknologi konservasi lahan sudah dibangun dan dipromosikan, namun adopsinya belum tersebar. Sebuah analisis ekonomi mikro dari adopsi konservasi kontur oleh petani dataran tinggi di Philipina dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang menentukan adopsi. Hasil empiris dengan menggunakan model probit menunjukkan bahwa adopsi dipengaruhi oleh beberapa karakteristik usahatani dan petani dan kepentingan relatif dari faktor tersebut berbeda untuk setiap daerah. Biaya tinggi saat pembuatan, perawatan dan kehilangan lahan untuk konservasi dianggap sebagai kendala utama untuk melakukan adopsi oleh non-adopter.

(26)

26 rata-rata dan buruk. Tingkat adopsi konservasi lahan yang baik dapat meningkatkan produksi kentang dan pendapatan petani kentang. Biaya usahatani dipengaruhi oleh adopsi program konservasi petani. Peluang adopsi dipengaruhi positif dan signifikan oleh pendidikan, dan luas lahan. Sekitar 60 persen dari petani kentang mempunyai pendirian yang baik kearah pentingnya meningkatkan konservasi tanah. Kepemilikan lahan merupakan faktor penting untuk konservasi lahan. Pendekatan training (pelatihan), penyuluhan, dan subsidi konservasi direkomendasikan untuk meningkatkan konservasi lahan guna keberlanjutan pengusahaan kentang.

Katharina (2007a) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kentang untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi di Pangalengan Jawa Barat. Hasil analisis menggunakan model logit menunjukkan kecuraman lereng, status lahan dan jumlah anggota keluarga dewasa berpengaruh secara nyata terhadap keputusan petani sayuran untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi. Kecuraman lereng berpengaruh positif terhadap peluang adopsi konservasi. Semakin curam lereng lahan yang diusahakan, semakin tinggi peluang petani mengadopsi teknik konservasi tanah. Status lahan sewa berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi dan mengurangi peluang petani untuk melakukan adopsi konservasi tanah. Jumlah anggota keluarga di Pangalengan berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi. Semakin besar jumlah angkatan kerja tersedia dalam keluarga, semakin rendah peluang untuk mengadopsi teknik konservasi tanah.

(27)

27 mengkonservasi atau tidak mengkonservasi lahan dan untuk mengevaluasi secara simultan pengaruh keputusan mereka terhadap output. Penelitian menggunakan data petani sawah sekitar Taman Nasional Lore Lindu. Hasil penelitian menunjukkan hanya 13,5 persen petani yang mengkonservasi lahannya. Hasil dari spesifikasi logit, faktor yang berpengaruh nyata terhadap keputusan petani mengkonservasi (atau tidak mengkonservasi) adalah jumlah output yang dihasilkan, persepsi kualitas lahan, jumlah anggota keluarga petani, dan usia petani. Dengan menggunakan pendekatan instrument variabel ditemukan bahwa keputusan untuk mengkonservasi atau tidak, mempengaruhi secara nyata terhadap jumlah output yang dihasilkan. Output juga dipengaruhi oleh luas areal dan jumlah kredit. Salah satu saran yang diajukan agar usahatani berkelanjutan adalah pemerintah memperbaiki akses petani terhadap kredit mikro.

Keuntungan finansial dari konservasi pertanian belum dapat diprediksi. Walaupun biaya yang dikeluarkan untuk konservasi pertanian lebih kecil dibandingkan dengan pertanian konvensional, tetapi hasil yang didapatkan sangat berfluktusi pada wilayah yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Hardjanto (2010), pendapatan usahatani konservasi di Kecamatan Pangalengan, Jawa Barat lebih kecil daripada pendapatan usahatani non-konservasi. Hal ini terjadi karena belum diperhitungkannya nilai jasa lingkungan.

(28)

28 pola konservasi memeberikan pendapatan tertinggi yaitu sebesar Rp 17.220.000 pertahun diikuti oleh pola usahatani petani dengan pendapatan Rp 13.740.000 pertahun. Sedangkan pola usahatani introduksi menghasilkan pendapatan sebesar Rp 10.185.000 pertahun dengan luasan satu hektar.

Selain dapat mempengaruhi pendapatan petani, kegiatan konservasi lahan pun dapat menurunkan tingkat erosi lahan. Dewi dan Handayana (2002) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui usaha konservasi tanah dan air sebagai alternatif upaya peningkatan pendapatan petani di agroekosistem lahan kering. Penelitian dilakukan di Desa Rejosari Kecamatan Semin kabupaten Gunung Kidul.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teknis, tingkat erosi menurun antara 3,75 persen sampai 86,68 persen dengan rata-rata 75,20 persen. Dalam kaitannya dengan tingkat pendapatan masyarakat, analisis dilakukan berdasarkan dampak potensial, yaitu perhitungan dilakukan menggunakan proksi-proksi keberhasilan tanaman yang diusahakan dalam rangka melakukan konservasi tanah dan air dalam hutan rakyat. Jika tidak dilakukan konservasi, tanah kering marjinal di lokasi desa ini tidak produktif sama sekali, sehingga dengan dilakukannya penanaman tanaman tahunan produkstif yang komersial seperti jambu mete, kayu akasia, jati, sonokeling, dan mahoni, petani mendapatkan nilai tambah dari lahan tersebut.

(29)

29 dengan menggunakan metode penilaian berdasarkan harga barang pengganti, yaitu melalui harga pupuk yang dibutuhkan untuk mengembalikan kandungan unsur hara yang hilang. Nilai ekonomi pengendalian erosi melalui pendekatan biaya pengganti di lima lokasi penelitian seluas 8.060,6 ha sebesar Rp 3.596.806.591 per tahun.

(30)

30 III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran dalam sebuah penelitian merupakan struktur pelaksanaan penelitian yang mengaitkan setiap tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan tujuan penelitian yang ingin dicapai.

3.1.1. Model Regresi Logit

Di sebagian besar survey mengenai perilaku manusia, tanggapan yang banyak diberikan berbentuk kualitatif, dapat berupa jawaban ya atau tidak sebagai pilihan. Peubah kualitatif yang hanya mempunyai dua kemungkinan nilai ini disebut peubah biner. Ketika satu atau lebih explanatory variabel dalam model regresi adalah binary, hal ini dapat digambarkan sebagai dummy variable. Namun ketika dependent variable berupa peubah biner, maka penyelesaiannya akan menjadi lebih kompleks ketika kita membangun model karena binary choice model mengasumiskan bahwa individu dihadapkan pada pilihan diantara dua alternatif pilihan yang tergantung pada karakteristik mereka. Untuk menyelesaikan masalah yang memiliki pilihan biner, terdapat beberapa model yang dapat digunakan, yaitu: liner probability model, model logit, dan model tobit (Pindyck and Rubinfeld, 1998).

(31)

31 model Logit didasarkan pada cumulative logistic probability function dan dispesifikasikan menjadi (Pindyck and Rubinfeld, 1998):

Dari persamaan 7, diperoleh

Selanjutnya, dengan membaginya dengan Pi, diperoleh

Dengan mendefinisikan , maka diperoleh:

Dengan menggunakan logaritma natural dari kedua sisi, diperoleh:

Atau dari persamaan (1) diperoleh

Pi = Peluang melakukan pilihan-1 1-Pi = Peluang tidak melakukan pilihan-1

α,β = Parameter dugaan Xi = Peubah bebas

3.1.2. Pengambilan Keputusan Adopsi

(32)

32 terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima dan menolak inovasi. Rogers (1983) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi adopsi, yaitu karakteristik sosialekonomi, karakteristik diri petani, dan tingkah laku dalam komunikasi. Karakteristik sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, tingkat melek huruf, tingkat status sosial, mobilitas sosial, luas lahan, orientasi ekonomi, akses terhadap kredit, dan spesialisasi. Variabel yang termasuk kedalam karakteristik diri petani adalah empati, dogmatis, kemampuan berfikir abstrak, rasionalitas, intelegensi, perilaku kearah perubahan, kemampuan mengatasi ketidakpastian, sikap yang lebih terhadap pendidikan, sikap yang lebih terhadap ilmu pengetahuan, fatalism, aspirasi yang lebih tinggi terhadap pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Tingkah laku dalam komunikasi terdiri dari beberapa variabel, yaitu partisipasi sosial, keterkaitan dengan sistem sosial, wawasan yang luas, hubungan dengan agen pengubah, pemasaran media massa, komunikasi interpersonal, pencarian informasi secara aktif, pengetahuan mengenai inovasi, kepemimpinan, kesesuaian dengan sistem yang saling terkait.

(33)

33 keputusan petani adalah luas lahan, jumlah tenaga kerja, pendapatan, status lahan, keanggotaan dalam kelompok tani, resiko, tersedianya kredit, serta kelembagaan.

Menurut Rogers (1983), terjadi ketidakkonsistenan dalam hubungan antara umur dan inovasi. Pengaruh dari umur petani dalam adopsi konservasi dapat diangggap merangkum pengaruh dari pengalaman petani dan rencana jangka panjang. Petani yang lebih tua dianggap memiliki pengalaman bertani yang lebih baik sehingga mudah menerima adopsi (Lapar dan Pandey, 1999). Hal ini tampak pada penelitian Siregar (2006), serta Lapar dan Pandey (1999) di Cebu, Filipina. Namun, dilain pihak petani muda dianggap memiliki pemikiran jangka panjang yang lebih baik, sehingga adopsi lebih mudah diterima (Lapar dan Pandey, 1999). Ini sesuai dengan pendapat Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010), petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan petani yang lebih muda, dan terlihat pada hasil peneltian Lapar dan Pandey (1999) di

Claveria, Filipina dan D’Souza, et al. (1993) di Virginia Barat.

(34)

34 berpengalaman mempunyai kapabilitas manajerial yang lebih baik karena mereka belajar dari pengelolaan usahataninya tahun-tahun sebelumnya (Nahraeni, 2012)

Status lahan milik bagi petani, akan mempercepat adopsi konservasi, artinya status lahan milik berpengaruh positif terhadap adopsi konservasi. Menurut Lapar dan Pandey (1999) rendahnya status property right di dataran tinggi Filipina diangggap sebagai faktor utama yang menyebabkan erosi tanah di dataran tinggi. Hwang et al. (1994) dalam Katharina (2007b) menyatakan bahwa status lahan sewa akan mempercepat terjadinya erosi karena pengelolaannya bersifat jangka pendek. Keputusan bentuk penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh status kepemilikan lahan. Bila lahan berstatus milik maka lahan akan lebih memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan fisik lahan (Feder dan Onchan, 1987 dalam Katharina, 2007b) dibandingkan dengan status sewa. Selain itu, bila petani tidak yakin dengan hak-hak mereka untuk memanfaatkan lahan yang dibudidayakan, perangsang-perangsang untuk menginvestasikan dalam praktek-praktek konservasi sumberdaya seperti pengendalian erosi, akan menjadi lemah (Reijntjes, et al. 1992).

Luas lahan berpengaruh secara positif terhadap keputusan adopsi konservasi. Semakin luas lahan yang digarap, maka adopsi lebih cepat dilakukan karena petani memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik (Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010). Hal ini sesuai dengan pernyataan Rogers (1983) bahwa luas lahan memberikan pengaruh positif terhaadap adopsi teknologi, serta hasil penelitian Bandara dan Thiruchelvam (2008).

(35)

35 konservasi. Selain itu, petani dengan pendapatan rendah cenderung akan menghindari resiko dalam mencoba suatu inovasi karena jika ternyata keputusan inovasi tidak memberikan keuntungan yang lebih baik, maka modal untuk usatani berikutnya akan berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Lionberger (1968), yang menyatakan semakin tinggi pendapatan usahatani, maka petani cenderung lebih cepat mengadopsi inovasi.

Adopsi terhadap konservasi bertujuan untuk mengurangi terjadinya erosi. Menurut Arsyad (2000) erosi bergantung pada iklim, topografi, tumbuh-tumbuhan, tanah, dan manusia. Di daerah beriklim basah faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi adalah panjang lereng dan kemiringan lereng. Semakin tinggi kecuraman lerang, maka semakin meningkatkan potensi terjadinya erosi. Sehingga kecuraman lereng diharapkan dapat berpengaruh positif terhadap keputusan adopsi konservasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lapar dan Pandey (1999) serta Katharina (2007a) yang menyatakan bahwa kebutuhan untuk mengadopsi konservasi tanah, dalam bentuk teras baku maupun membuat guludan searah kontur, semakin meningkat apabila kemiringan lahan semakin besar.

(36)

36 pertanian yang diusahakan, sistem pengusahaan tanah, status pengusahaan tanah, tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi, harga hasil pertanian, akses kredit, dan akses pasar Arsyad (2000). Keputusan petani untuk menerapkan teknologi baru dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor sosial yang berasal dari dalam diri petani dan faktor ekonomi yang berasal dari luar usahataninya (Rogers dan Schoemaker, 1986 dalam Nahraeni, 2000).

3.1.3. Nilai Ekonomi Konservasi

Pendapatan usahatani dibedakan menjadi pendapatan tunai usahatani dan pendapatan total usahatani. Pendapatan tunai usahatani adalah nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani dikurangi jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Sedangkan pendapatan total usahatani adalah penerimaan dari produk usahatani baik yang dijual maupun yang tidak dijual dikurangi nilai semua yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang diperhitungkan (Soekartawi et al.,1985).

Biaya atau cost juga dibagi menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya total. Biaya tunai di dalam usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi kebutuhan usahatani. Biaya total adalah seluruh nilai yang dikeluarkan bagi usahatani, baik tunai maupun yang diperhitungkan.

Rumus penerimaan, biaya dan pendapatan adalah :

………...………... (7)

………...………... (8)

(37)

37 ... (12) Dimana :

TRtunai = Total penerimaan tunai usahatani (Rupiah)

TRtotal = Total penerimaan semua produksi usahatani (Rupiah)

TCtunai = Total biaya tunai usahatani (Rupiah)

TCtotal = Total biaya usahatani (Rupiah) π = Pendapatan (Rupiah)

Bd = Biaya yang diperhitungkan (Rupiah) Py = Harga output (Rupiah)

Y = Jumlah produksi (Kg)

TVC = Total biaya variabel (Rupiah) TFC = Total biaya tetap (Rupiah)

Nilai ekonomi konservasi merupakan tambahan pendapatan (incremental net benefit) yang diperoleh oleh petani jika melakukan konservasi. Sehingga nilai ekonomi konservasi merupakan perbedaan total pendapatan usahatani kentang konservasi dan non-konservasi.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

(38)

38 Kabupaten Garut dari tahun ke tahun dan akhirnya menurunkan pendapatan petani. Untuk itu, perlu diadakan suatu upaya konservasi untuk dapat meminimalisir terjadinya erosi yang lebih besar.

Pola konservasi untuk mencegah laju erosi pada usahatani kentang sudah banyak disosialisasikan oleh para pakar dan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Namun, kenyataannya tidak semua petani melakukan pola konservasi yang dianjurkan. Sehingga, perlu diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi pola konservasi atau tidak mengadopsi. Pendekatan dilakukan melalui wawancara kepada petani secara langung dan dianalisis dengan model logit.

Faktor ekonomi sangat mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan usahatani. Jika sistem usahatani tertentu dianggap lebih menguntukan dari sisi pendapatan, maka petani lebih mudah untuk mengadopsi sistem usahatani tersebut. Salah satu cara melihat manfaat dari sistem usahatani konservasi adalah adanya nilai ekonomi yang dihasilkan. Penghitungan nilai ekonomi konservasi dianggap perlu dilakukan agar dapat terlihat secara riil manfaat dari sistem konservasi. Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari wawancara langsung terhadap petani.

(39)

39 sebagai unit sampel dan data sekunder yang berasal dari instansi terkait. Alur proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

(40)

40 3.3. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kerangka pemikiran yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hipotesis.

1. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap keputusan petani dalam mengadopsi pola konservasi adalah pendidikan, luas lahan yang digarap, pendapatan tunai petani, status kepemilikan lahan, tingkat kecuraman lahan usahatani, dan pengalaman bertani. Selain itu, jumlah tanggungan keluarga dan umur petani berpengaruh negatif terhadap keputusan adopsi konservasi. 2. Sistem konservasi usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi memiliki

(41)

41 IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengumpulan data primer penelitian dilakukan di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan Kabupaten Garut merupakan sentra produksi kentang terbesar kedua di Jawa Barat. Kecamatan terpilih yang dijadikan lokasi penelitian adalah Kecamatan Pasirwangi, karena merupakan salah satu kecamatan yang memiliki luas panen kentang terbesar di Kabupaten Garut namun memiliki produktivitas yang lebih rendah dibanding sentra produksi lainnya. Selain itu Kecamatan Pasirwangi memiliki karakteristik kemiringan lahan yang bervariasi (Tabel 4). Tabel 4. Kemiringan Lahan, Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang

Beberapa Sentra Produksi di Kabupaten Garut, 2009

Kecamatan Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut, 2012

(42)

42 4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data cross section. Sumber data berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung kepada petani melalui kuesioner dan pengamatan lapang. Data primer yang diambil adalah data yang diperlukan dalam analisis pendapatan dan biaya erosi dalam usahatani kentang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi pola konservasi. Data tersebut meliputi data mengenai karakteristik petani (umur, pendidikan, pengalaman, jumlah tanggungan keluarga), luas lahan, kecuraman lereng, tingkat produksi, penerimaan, penggunaan input, dan lainnya. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, dan literatur-literatur yang relevan dalam penelitian, seperti jumlah produksi kentang dari tahun ke tahun, luas panen usahatani kentang, produktivitas kentang, penggunaan pupuk ideal untuk pertanaman kentang, dan sebagainya. 4.3 Kerangka Sampling dan Penentuan Responden

(43)

43 sampel (30 sampel) yang dapat digunakan untuk menduga karakteristik dari populasi. Karakteristik Desa Padaawas dan Desa Barusari tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Karakteristik Desa Terpilih di Kecamatan Pasirwangi, 2011

Kriteria Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut (2012)

Keterangan : * urutan pertama menunjukkan tanaman utama 4.4 Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui survey dan wawancara langsung kepada petani kentang dataran tinggi, dengan menggunakan kuesioner yang telah disediakan. 4.5 Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ditabulasi menggunakan Excell. Analisis yang dilakukan yaitu analisis nilai ekonomi konservasi dan untuk melihat faktor yang mempengaruhi adopsi digunakan model Logit. Pengolahan data menggunakan SPSS 16.0. Berikut ini tabel keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data, dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.

Tabel 6. Keterkaitan Tujuan, Sumber Data dan Metode Analisis Data

(44)

44 4.5.1 Model Regresi Logistik

Untuk melihat peluang petani dalam mengadopsi pola konservasi, dilakukan model regresi logit. Berdasarkan teori ekonomi dan analisis empiris, faktor-faktor yang diduga berpengaruh adalah umur, pendidikan formal petani, status kepemilikan lahan, pendapatan petani, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, tingkat kecuraman lahan, dan pengalaman bertani. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka model logit dapat dijabarkan sebagai berikut:

Keterangan:

Pi = peluang kesediaan petani mengadopsi pola konservasi (Pi = 1 jika

petani mengadopsi konservasi, dan Pi = 0 jika petani tidak

mengadopsi konservasi

1 – Pi = peluang ketidaksediaan petani mengadopsi pola konservasi

Zi = keputusan petani

β0 = intersep

βi = parameter peubah (i = 1, 2, 3, …, 10)

UMR = umur (tahun)

PDKN = lamanya petani menempuh pendidikan formal (tahun) LLHN = luas lahan garapan (Ha)

SLHN = status kepemilikan lahan D = 1, lahan milik sendiri; D = 0, lainnya

(45)

45 JTK = jumlah tanggungan keluarga (jiwa)

CURM = tingkat kecuraman lahan usahatani (persen) PLMN = pengalaman bertani (tahun)

Pendugaan parameter koefisien model logit menggunakan metode pendugaan kemungkinan maksimum atau maximum likelihood estimator (MLE). Pendugaan MLE memfokuskan fakta bahwa populasi-populasi (yang dicirikan dengan parameternya) berbeda membangkitkan contoh-contoh berbeda; suatu conoth apapun yang sedang dikaji kemungkinan (peluang)nya lebih besar berasal dari beberapa populasi daripada populasi lainnya (Juanda, 2009).

4.5.2 Analisis Nilai Ekonomi

Persamaan berdasarkan teori ekonomi dan hasil analisis empiris yang telah dilakukan sebelumnya, diperoleh rumusan yang ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Perhitungan Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Kentang

(46)

46 Selanjutnya, diperoleh rumusan untuk menghitung nilai ekonomi konservasi (Incremental Net Benefit) yang ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Perhitungan Nilai Ekonomi Adopsi Konservasi

Deskripsi Sistem Penanaman

Konservasi Non Konservasi

A Penerimaan 1 3

B Biaya 2 4

C Net Benefit dengan Konservasi (Rp) 1-2

D Net Benefit Tanpa Konservasi (Rp) 3-4

E Incremental Net Benefit (Nilai Ekonomi) (Rp) C-D 4.5.3. Pengujian Hipotesis

1. Uji Multikolinearitas

(47)

47

2. Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test

Uji ini digunakan untuk menguji kelayakan model regresi. Jika nilai signifikasi Hosmer and Lemeshow’s Test lebih besar dari 0,05 maka hipotesis nol maka terima hipotesis nol, artinya model regresi layak digunakan untuk analisis selanjutnya dan model yang dihasilkan dapat dikatakan model yang baik, karena tidak ada perbedaan nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan yang diamati.

3. Uji Likelihood Ratio

Untuk menguji apakah model logit secara keseluruhan dapat menjelaskan keputusan kualitatif (Y), statistik uji yang digunakan adalah dengan likelihood ratio. Uji Likelihood ratio adalah uji secara keseluruhan model logit dimana rasio fungsi kemungkinan modelUR (lengkap) terhadap

fungsi kemungkinan modelR (H0 benar) (Juanda, 2009). Hipotesis yang

digunakan adalah:

H0: β2= β3= … = βn

H1: minimal ada βj≠ 0, untuk j= 2,3, … n

Statistik uji-G dibawah ini menyebar menurut sebaran khi-kuadrat dengan derajat bebas (k-1)

(48)

48

4. Omnibus Test of Model Coefficient

Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah variabel-variabel yang diuji secara simultan berpengaruh terhadap variabel independent. Hipotesis nol yang menyatakan bahwa semua slope pada model sama dengan nol harus ditolak jika nilai signifikasi pada nilai Chi-square lebih kecil dari 0,05.

5. Uji Wald

Untuk menguji faktor mana (βj ≠ 0) yang berpengaruh nyata terhadap pilihannya, dapat menggunakan statistik uji Wald yang serupa dengan statistik uji-t atau uji-Z dalam regresi linear biasa (Juanda, 2009). Hipotesis yang diuji adalah:

H0: βj= 0, untuk j= 2,3, …, n

H1: βj≠ 0

Statistik uji yang digunakan adalah: Dimana βj = koefisien regresi

Se (βj) = standard error of β(galat kesalahan dari β)

6. Odds Ratio

(49)

49 Dimana : P = peluang kejadian yang terjadi

P – 1 = peluang kejadian yang tidak terjadi

4.5.4. Definisi Operasional

1. Konservasi adalah sistem penanaman yang dilakukan oleh petani yaitu dengan membuat guludan melintang searah kontur. Sedangkan apabila petani membuat guludan searang lereng, petani dikatakan tidak melakukan konservasi.

2. Jumlah produksi kentang adalah jumlah produk kentang yang dihasilkan dalam produksi, baik yang dijual, dikonsumsi, diberikan, dan dijadikan bibit diukur dalam kilogram (Kg).

3. Jumlah produksi kentang yang dijual adalah jumlah produk kentang yang dijual, diukur dalam kilogram (Kg)

4. Harga kentang adalah harga kentang di tingkat petani, diukur dalam Rupiah/Kg.

5. Penerimaan total adalah jumlah produksi yang diukur dalam kilogram dikalikan dengan harga kentang di tingkat petani yang diukur dalam rupiah 6. Biaya total adalah jumlah biaya tunai usahatani dan biaya-biaya yang

diperhitungkan dan diukur dalam rupiah

7. Pendapatan total adalah selisih antara total penerimaan usahatani dengan biaya total dan diukur dalam rupiah

(50)

50 9. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan selama usahatani dan diukur

dalam rupiah

10. Pendapatan tunai adalah selisih antara penerimaan tunai dan biaya tunai yang dikeluarkan petanidan diukur dalam rupiah.

11. Benih adalah jumlah benih yang digunakan petani dalam proses produksi dikalikan dengan harga benih diukur dalam rupiah (Rp).

12. Pupuk Organik adalah jumlah pupuk kandang (kotoran ayam) dikalikan harga pupuk kandang. Harga pupuk kandang adalah harga yang diterima petani ditambah dengan biaya transport dan biaya angkut, diukur dalam rupiah. 13. Pupuk An-Organik adalah jumlah pupuk Urea, ZA, TSP/SP36, KCL, dan

NPK, dikalikan harga masing-masing jenis pupuk. Harga pupuk an-organik adalah harga yang diterima petani ditambah dengan biaya transport dan biaya angkut, diukur dalam rupiah.

14. Pestisida adalah jumlah penggunaan pestisida, baik cair maupun padat dikalikan dengan harga pestisida. Dalam penelitian ini jumlah pestisida dihitung dengan penggunaan pestisida terbanyak oleh petani, yaitu Daconil. Harga pestisida adalah harga Daconil yang berlaku di daerah penelitian diatambah dengan transport, diukur dalam rupiah.

15. Tenaga Kerja adalah jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam pengelolaan kentang, meliputi tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga diukur dalam hari kerja setara pria (HKP). Harga tenaga kerja adalah upah yang berlaku di daerah penelitian diukur dalam rupiah.

(51)

51 17. Sewa Lahan adalah besarnya uang sewa yang berlaku di daerah penelitian,

diukur dalam rupiah.

18. Umur, merupakan umur petani sampai wawancara dilakukan, diukur dalam tahun

19. Pendidikan Formal Petani, merupakan lamanya pendidikan formal yang diselesaikan oleh petani, diukur dalam tahun

20. Luas Lahan, Luas lahan merupakan input tetap adalah luas lahan garapan yang digunakan untuk menanam kentang, diukur dalam hektar.

21. Status Kepemilikan Lahan yang dimaksud adalah status kepemilikan lahan yang digarap petani untuk menanam kentang. Dibedakan antara petani pemilik dan petani penyewa. Petani pemilik dalah petani yang akses untuk dapat menggarap lahan tersebut tanpa hambatan dari orang lain, meskipun tidak ada status hukum atas lahan tersebut. Petani penyewa adalah petani yang mengusahakan lahan orang lain dengan memberi imbalan berupa hasil panen sesuai dengan perjanjian sewa.

22. Pendapatan Petani, pendapatan yang dihitung adalah pendapatan tunai yang dihasilkan dari usahatani kentang pada musim tanam tahun terakhir.

23. Jumlah Tanggungan Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang secara ekonomi masih dalam tanggungan petani.

24. Tingkat Kecuraman Lahan Usahatani, Kecuraman lahan yang digunakan untuk usahatani kentang petani yang diukur dalam persentase.

(52)

52 V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN

5.1. Gambaran Lokasi Penelitian

Kecamatan Pasirwangi merupakan pemekaran dari Kecamatan Samarang yang diresmikan pada 20 Januari 2001, terletak 27 km sebelah barat dari Ibu Kota Kabupaten Garut dan 80 km sebelah selatan dari Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, kecamatan ini terletak pada 7010’-7015’ Lintang Selatan dan 107041’ – 107050’ Bujur Timur. Luas wilayah Kecamatan Pasirwangi adalah 5.002,888 Ha yang terdiri dari perumahan dan pekarangan seluas 347,359 Ha (6,94 persen), sawah 1.211,42 Ha (24,21 persen), tanah ladang 1.720,651 Ha (34,39 persen), empang/kolam 38 Ha (0,76 persen), sarana pemerintahan dan sosial 16,920 Ha (0,34 persen), Hutan 1.167 Ha (33,32 persen), sarana perdagangan dan jasa 1,25 (0,03 persen), dan lainnya 0,288 Ha (0,01 persen).

Kecamatan Pasirwangi berada pada ketinggian antara 900 – 1400 m diatas permukaan laut dengan bentuk wilayah, 23 persen datar sampai berombak, 57 persen berombak sampai berbukit, dan 20 persen berbukit sampai bergunung). Jenis tanah didominasi oleh jenis asosiasi andosol (60 persen), dan podsolik (40 persen) dengan derajat keasaman (PH) tanah umumnya berkisar 4,5 – 6,5. Suhu udara berkisar antara 200C- 340C dengan Curah hujan rata-rata adalah 1.592,7 mm per tahun (132,7 mm per bulan). Bulan basah terjadi selama 6,3 bulan, yaitu periode Oktober sampai dengan April, bulan kering 4,3 bulan, yaitu periode Mei sampai dengan September. Kondisi ini membuat Kecamatan Pasirwangi merupakan salah satu wilayah potensial penghasil sayur-mayur.

(53)

53 Sarimukti, Talaga, Barusari, Padamukti, dan Sirnajaya. Batas wilayah administratif sebagi berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Samarang - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sukaresmi - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung

- Sebelah Timur berbatasn dengan Kecamatan Samarang dan Kecamatan Bayongbong

5.2. Karakteristik Sosial Ekonomi

Jumlah penduduk di Kecamatan Pasirwangi pada tahun 2011 adalah 66.561 jiwa terdiri dari 33.640 jiwa penduduk laki-laki (50,54 persen) dan 32.921 jiwa penduduk perempuan (49,46 persen). Jumlah kepala keluarga yang berada di Kecamatan Pasirwangi sebanyak 16.161 jiwa. Mata pencarian yang dominan terdapat di kawasan ini adalah agribisnis dan perdagangan. Jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani sebanyak 10.027 jiwa (15,06 persen), sebagai buruh tani sebanyak 1.152 jiwa (1,37 persen), dan pedagang sebanyak 914 jiwa (1,373 persen) dari total penduduk.

5.2.1. Petani

(54)

54 ha sebanyak 6.378 orang, 0,8 – 1,0 ha sebanyak 3.189 orang, 1,0 – 1,5 ha sebanyak 1.430 orang, dan lebih dari 1,5 ha sebanyak 1.427 orang.

Berdasarkan karakteristik tanah dan iklim yang dimiliki, Kecamatan Pasirwangi sangat cocok untuk pengembangan hampir semua komoditi pertanian, terutama kembang kol, labu siam, kubis, dan kentang. Selain itu, berdasarkan bentang lahan, lahan yang berada pada kemiringan 0 – 10 persen sebanyak 287,62 ha, 11 –20 persen sebanyak 579,645 ha, 21 – 30 persen sebanyak 928,405 ha, 31 – 45 persen sebanyak 1.216,125 ha, dan lebih dari 45 persen sebanyak 1.437,015 ha. 5.2.2. Tanaman Kentang

Luas penanaman kentang di Kecamatan Pasirwangi tahun 2009 adalah 2.250 ha dengan luas panen 2.200 ha. Produktivitas yang dicapai oleh petani 175 kw/ha. Masalah teknis yang terjadi pada usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi adalah penggunaan bibit unggul sesuai anjuran yang dilaksanakan rata-rata 73 persen akibat harga benih unggul yang relative mahal, dan hanya 34 persen petani yang melaksanakan OPT sesuai anjuran. Sebagian petani mengendalikan hama dan penyakit dengan menggunakan pestisida dengan dosis yang berlebihan dengan frekuensi aplikasi yang terlalu sering, bahkan sebelum hama/penyakit menyerang. Hal ini berpengaruh pada pemborosan biaya produksi yang ditanggung petani (Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Garut, 2010). 5.3. Karakteristik Responden

(55)

55 petani. Karakteristik umum responden dilihat dari beberapa variabel meliputi jenis kelamin dan usia, pendidikan formal, luas lahan, status kepemilikan lahan, serta lama bertani. Selain itu, digambarkan bagaimana kondisi penyuluhan di daerah penelitian.

5.3.1. Jenis Kelamin dan Usia

Petani yang menjadi sample sebanyak 50 orang yang keseluruhannya adalah pria dengan tingkat usia yang bervariasi, mulai dari 25 tahun hingga 67 tahun. Petani yang memiliki usia pada kisaran 30-50 tahun sebanyak 64 persen, diatas 50 tahun sebanyak 28 persen, dan berusia dibawah 30 tahun sebanyak 8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi kurang diminati oleh pria berusia muda. Persentase petani berdasarkan usia dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: Data Primer (2012)

Gambar 2. Karakteristik Petani berdasarkan Usia

Selanjutnya, berdasarkan keputusan untuk melakukan konservasi, mayoritas petani yang melakukan konservasi dan tidak melakukan konservasi berusia 30-50 tahun yaitu sebanyak 63,89 persen dan 64,29 persen. Selain itu, yang menarik dari umur petani adalah tidak adanya petani berusia kurang dari 30 yang tidak melakukan konservasi. Hal ini menunjukkan bahwa petani muda

< 30 th 8%

31 - 50 th 64% >51 th

(56)

56 cenderung lebih mudah menerima penggunaan konservasi untuk usahatani mereka (Tabel 9).

Tabel 9. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Usia di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011

Usia Rata-rata (Tahun) 42,94 47,14

Usia Maksimum (Tahun) 67,00 60,00

Usia Minimum (Tahun) 25,00 32,00

Sumber: Data Primer (2012)

5.3.2. Lama Bertani

Pengalaman petani yang ditunjukkan dengan lamanya bertani cukup variatif, yaitu antara 2 tahun hingga 49 tahun. Responden yang telah bertani dalam waktu kurang dari 10 tahun sebanyak 26 persen, antara 10 tahun – 20 tahun sebanyak 36 persen, antara 20 tahun – 30 tahun sebanyak 20 persen, dan yang lebih dari 30 tahun sebanyak 18 persen. Persentase lama bertani petani dapat dilihat pada Gambar 3. Selanjutnya, karakteristik petani berdasarkan lama bertani disajikan padaTabel 10.

Sumber: Data Primer (2012)

Gambar 3. Karakteristik Petani berdasarkan Lama Bertani

(57)

57 Petani yang berpengalaman lebih dari 20 tahun lebih banyak tidak melakukan konservasi, yaitu sebanyak 57,14 persen dibandingkan petani yang melakukan konservasi yang hanya sebanyak 30,55 persen (Tabel 10). Artinya, di Kecamatan Pasirwangi adopsi pola konservasi kurang diterima oleh petani yang lebih berpengalaman. Hal ini terjadi karena petani merasa usahatani yang mereka telah jalankan selama bertahun-tahun lebih mudah untuk dilakukan, dan hasil yang didapat pun tidak jauh berbeda dengan usahatani yang dilakukan dengan pola konservasi.

Tabel 10. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Lama Bertani di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011

Interval

Lama Bertani Rata-rata (Tahun) 16,81 25,29

Lama Bertani Maksimum (Tahun) 36,00 49,00

Lama Bertani Minimum (Tahun) 2,00 3,00

Sumber: Data Primer (2012)

5.3.3. Pendidikan Formal

(58)

58 Sumber : Data Primer (2012)

Gambar 4. Karakteristik Petani berdasarkan Pendidikan Formal

Berdasarkan adopsi konservasi, petani yang melakukan konservasi maupun tidak melakukan konservasi mayoritas menempuh pendidikan sampai dengan tamat SD yaitu 61,11 persen petani melakukan konservasi dan 64,29 persen petani tidak melakukan konservasi. Namun, yang menarik adalah tidak ada petani non-konservasi yang menyelesaikan pendidikan sampai dengan SMA (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kesadaran pentingnya konservasi semakin mudah diterima.

Tabel 11. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Pendidikan Formal di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011

Interval

5.3.4. Luas dan Status Kepemilikan Lahan

Persentase terbesar penguasaan lahan dari responden yaitu sebesar 46 persen menggarap lahan kurang dari 0,25 ha. Petani dengan lahan garapan antara

(59)

59 0,26 -0,50 ha dan antara 0,51-0,75 ha masing-masing sebanyak 38 persen dan 6 persen. Sebanyak 10 persen responden mengarap lahan lebih dari 0,75 ha. Persentase lusas lahan garapan dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber: Data Primer (2012)

Gambar 5. Karakteristik Petani berdasarkan Luas Lahan

Selanjutnya, luas lahan petani yang melakukan konservasi maupun tidak melakukan konservasi pun bervariasi. Mayoritas petani menggarap lahan kurang dari 0,5 ha, yaitu 88,88 persen untuk petani yang melakukan konservasi, dan 71,43 persen untuk petani yang tidak melakukan konservasi (Tabel 12). Hal ini menunjukkan bahwa petani menggarap lahan sempit.

Tabel 12. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Luas Lahan di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011

(60)

60 petani (42 persen) sisanya berstatus penyewa. Namun, dari 29 petani yang mengakui lahan tersebut adalah lahan milik mereka, hanya 18 petani yang benar-benar milik sendiri, sedangkan 11 petani sisanya sebenar-benarnya adalah penggarap lahan kehutanan. Hal ini terjadi karena tidak ditentukannya biaya sewa lahan oleh kehutanan karena lahan tersebut sebenarnya memang tidak diperuntukan untuk lahan pertanian, terutama untuk tanaman semusim. Selain itu, petani merasa telah mengeluarkan biaya yang tinggi untuk membuka lahan, sehingga mereka menggap bahwa lahan tersebut secara otomatis telah menjadi lahan milik mereka.

Namun, jumlah petani pemilik yang digunakan dalam analisis adalah sebanyak 58 persen petani. Hal ini dikarenakan pembagian status lahan didasarkan pada upaya pengelolaan, bukan status hukum. Selain itu, petani yang merasa sebagai pemilik lebih mudah dalam melakukan adopsi konservasi, hal ini ditunjukkan pada Tabel 13.

Tabel 13. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Status Kepemilikan Lahan di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011

Interval

(61)

61 konservasi, karena mereka telah sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lahan garapan mereka untuk menunjang keberanjuran usahatani mereka.

5.3.5. Penyuluhan

Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator Petugas Penyuluh Lapang (PPL), diakui bahwa bahwa dalam melaksanakan tugasnya hampir 75 persen waktunya habis untuk rapat, membuat laporan dan kegiatan administrasi lainnya sehingga waktu untuk memberikan penyuluhan berkurang. Pada umumnya kelembagaan penyuluhan yang ada di daerah penelitian sudah terbentuk dengan baik. Namun kelemahan yang ada, selain pada materi penyuluhan, juga jumlah penyuluh di lapangan yang relatif kurang. Para penyuluh yang ada sekarang sebagian besar mendekati umur pensiun, dan para penyuluh Tenaga Harian Lepas (THL) yang pada umumnya relatif masih muda.

(62)

Gambar

Gambar 1.  Alur Kerangka Pemikiran Operasional
Tabel 7. Perhitungan Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Kentang
Tabel 9. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Usia di
Tabel 10. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Lama Bertani
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga diharapkan petani dapat memperoleh keuntungan sesuai yang diharapkan dan terhindar dari kerugian yang dialami dari usaha pembesaran udang vannamei (

The aim of this study are to analyze the text of female sexuality articles that realized in the women magazines (i.e. vocabulary, grammar, cohesion and text

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lidah buaya ( Aloe vera ) dan waktu penutupan luka sayat pada mukosa rongga mulut tikus wistar.. Lidah buaya diambil

Pengukuran nilai produktivitas yang dilakukan pada PD.SURYA WAHANA MANDIRI yaitu dengan menggunakan metode OMAX dan setelah di lakukan pengukuran produktivitasnya maka

lemak, dan uji organoleptik terhadap warna, rasa, dan aroma keripik sukun pada tiap taraf perlakuan. tekanan dan lama penggorengan dapat dilihat pada pembahasan penelitian

Rangsangan saraf parasimpatis pada simpul sinus, cenderung memperlambat kecepatan pembentukan impuls pada pusat pacu jantung, hal ini terjadi karena ujung-ujung saraf

Histopatologi biopsi renal sangat berguna untuk menentukan penyakit glomerular yang mendasari (Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2008). Bukti

PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA THAM VITYA DI PROVINSI YALA THAILAND SELATAN.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu