• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.2. Pengambilan Keputusan Adops

Rogers dan Schoemaker (1986) dalam Nahraeni (2000) menyatakan bahwa terdapat empat paradigma proses keputusan inovasi yaitu tahap pengenalan, persuasi, keputusan, dan konfirmasi. Pada tahap keputusan seseorang

32 terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima dan menolak inovasi. Rogers (1983) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi adopsi, yaitu karakteristik sosialekonomi, karakteristik diri petani, dan tingkah laku dalam komunikasi. Karakteristik sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, tingkat melek huruf, tingkat status sosial, mobilitas sosial, luas lahan, orientasi ekonomi, akses terhadap kredit, dan spesialisasi. Variabel yang termasuk kedalam karakteristik diri petani adalah empati, dogmatis, kemampuan berfikir abstrak, rasionalitas, intelegensi, perilaku kearah perubahan, kemampuan mengatasi ketidakpastian, sikap yang lebih terhadap pendidikan, sikap yang lebih terhadap ilmu pengetahuan, fatalism, aspirasi yang lebih tinggi terhadap pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Tingkah laku dalam komunikasi terdiri dari beberapa variabel, yaitu partisipasi sosial, keterkaitan dengan sistem sosial, wawasan yang luas, hubungan dengan agen pengubah, pemasaran media massa, komunikasi interpersonal, pencarian informasi secara aktif, pengetahuan mengenai inovasi, kepemimpinan, kesesuaian dengan sistem yang saling terkait.

Lebih lanjut, Rogers (1983) menyatakan bahwa seluruh variabel diatas berpengaruh positif terhadap adopsi kecuali umur, dogmatis, dan fatalism. Berdasarkan penelitian mengenai adopsi, ada hasil penelitian yang mendukung dan tidak mendukung karakteristik dari kategori adopter tersebut. Adopsi suatu teknologi petani berkaitan erat dengan perilaku petani sebagai pengelola usahatani yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Karakteristik pengambilan keputusan itu meliputi umur, pendidikan, pengalaman, jumlah anggota keluarga, status sosial, status penguasaan lahan, informasi teknologi yang meliputi frekuensi penyuluhan dan kontak lembaga. Faktor lain yang mempengaruhi pengambilan

33 keputusan petani adalah luas lahan, jumlah tenaga kerja, pendapatan, status lahan, keanggotaan dalam kelompok tani, resiko, tersedianya kredit, serta kelembagaan.

Menurut Rogers (1983), terjadi ketidakkonsistenan dalam hubungan antara umur dan inovasi. Pengaruh dari umur petani dalam adopsi konservasi dapat diangggap merangkum pengaruh dari pengalaman petani dan rencana jangka panjang. Petani yang lebih tua dianggap memiliki pengalaman bertani yang lebih baik sehingga mudah menerima adopsi (Lapar dan Pandey, 1999). Hal ini tampak pada penelitian Siregar (2006), serta Lapar dan Pandey (1999) di Cebu, Filipina. Namun, dilain pihak petani muda dianggap memiliki pemikiran jangka panjang yang lebih baik, sehingga adopsi lebih mudah diterima (Lapar dan Pandey, 1999). Ini sesuai dengan pendapat Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010), petani yang lebih tua kurang menerima perubahan dibandingkan petani yang lebih muda, dan terlihat pada hasil peneltian Lapar dan Pandey (1999) di Claveria, Filipina dan D’Souza, et al. (1993) di Virginia Barat.

Jumlah Tangggungan Keluarga berpengaruh negatif terhadap keputusan konservasi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka eksploitasi terhadap sumberdaya tanah semakin besar dengan harapan meperoleh keuntungan yang lebih banyak lagi. Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan tentang teknologi pertanian yang baru, sehingga diasumsikan lembaga pendidikan memfasilitasi pembelajaran, sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung semakin mudah menerima praktek-praktek baru. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bandara dan Thiruchelvam (2008). Pengalaman bertani berpengaruh positif terhadap keputusan petani untuk mengadopsi konservasi. Petani yang

34 berpengalaman mempunyai kapabilitas manajerial yang lebih baik karena mereka belajar dari pengelolaan usahataninya tahun-tahun sebelumnya (Nahraeni, 2012)

Status lahan milik bagi petani, akan mempercepat adopsi konservasi, artinya status lahan milik berpengaruh positif terhadap adopsi konservasi. Menurut Lapar dan Pandey (1999) rendahnya status property right di dataran tinggi Filipina diangggap sebagai faktor utama yang menyebabkan erosi tanah di dataran tinggi. Hwang et al. (1994) dalam Katharina (2007b) menyatakan bahwa status lahan sewa akan mempercepat terjadinya erosi karena pengelolaannya bersifat jangka pendek. Keputusan bentuk penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh status kepemilikan lahan. Bila lahan berstatus milik maka lahan akan lebih memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan fisik lahan (Feder dan Onchan, 1987 dalam Katharina, 2007b) dibandingkan dengan status sewa. Selain itu, bila petani tidak yakin dengan hak-hak mereka untuk memanfaatkan lahan yang dibudidayakan, perangsang-perangsang untuk menginvestasikan dalam praktek- praktek konservasi sumberdaya seperti pengendalian erosi, akan menjadi lemah (Reijntjes, et al. 1992).

Luas lahan berpengaruh secara positif terhadap keputusan adopsi konservasi. Semakin luas lahan yang digarap, maka adopsi lebih cepat dilakukan karena petani memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik (Lionberger (1968) dalam Indraningsih (2010). Hal ini sesuai dengan pernyataan Rogers (1983) bahwa luas lahan memberikan pengaruh positif terhaadap adopsi teknologi, serta hasil penelitian Bandara dan Thiruchelvam (2008).

Petani dengan pendapatan yang lebih tinggi akan lebih mudah mengadopsi konservasi, karena memiliki modal yang cukup untuk mengadopsi suatu teknik

35 konservasi. Selain itu, petani dengan pendapatan rendah cenderung akan menghindari resiko dalam mencoba suatu inovasi karena jika ternyata keputusan inovasi tidak memberikan keuntungan yang lebih baik, maka modal untuk usatani berikutnya akan berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Lionberger (1968), yang menyatakan semakin tinggi pendapatan usahatani, maka petani cenderung lebih cepat mengadopsi inovasi.

Adopsi terhadap konservasi bertujuan untuk mengurangi terjadinya erosi. Menurut Arsyad (2000) erosi bergantung pada iklim, topografi, tumbuh- tumbuhan, tanah, dan manusia. Di daerah beriklim basah faktor iklim yang mempengaruhi erosi adalah hujan. Unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi adalah panjang lereng dan kemiringan lereng. Semakin tinggi kecuraman lerang, maka semakin meningkatkan potensi terjadinya erosi. Sehingga kecuraman lereng diharapkan dapat berpengaruh positif terhadap keputusan adopsi konservasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lapar dan Pandey (1999) serta Katharina (2007a) yang menyatakan bahwa kebutuhan untuk mengadopsi konservasi tanah, dalam bentuk teras baku maupun membuat guludan searah kontur, semakin meningkat apabila kemiringan lahan semakin besar.

Pengaruh tumbuh-tumbuhan (vegetasi) terhadap aliran permukaan dan erosi yaitu intersepsi hujan oleh tanjuk tanaman, mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kekuatan perusak air, stabilitasi struktur dan proporsi tanah, dan transpirasi yang mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Berbagai tipe tanah mempunyai kepekaan berbeda terhadap erosi. Faktor manusia menentukan perlakuan dalam penguasaan tanah, faktor tersebut antara lain, luas lahan

36 pertanian yang diusahakan, sistem pengusahaan tanah, status pengusahaan tanah, tingkat pengetahuan dan penguasaan teknologi, harga hasil pertanian, akses kredit, dan akses pasar Arsyad (2000). Keputusan petani untuk menerapkan teknologi baru dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor sosial yang berasal dari dalam diri petani dan faktor ekonomi yang berasal dari luar usahataninya (Rogers dan Schoemaker, 1986 dalam Nahraeni, 2000).