• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. Uji Wald

5.2. Karakteristik Sosial Ekonom

5.3.4. Luas dan Status Kepemilikan Lahan

Persentase terbesar penguasaan lahan dari responden yaitu sebesar 46 persen menggarap lahan kurang dari 0,25 ha. Petani dengan lahan garapan antara

Tidak Tamat SD 4% Tamat SD 62% Tamat SMP 30% Tamat SMA 4%

59 0,26 -0,50 ha dan antara 0,51-0,75 ha masing-masing sebanyak 38 persen dan 6 persen. Sebanyak 10 persen responden mengarap lahan lebih dari 0,75 ha. Persentase lusas lahan garapan dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber: Data Primer (2012)

Gambar 5. Karakteristik Petani berdasarkan Luas Lahan

Selanjutnya, luas lahan petani yang melakukan konservasi maupun tidak melakukan konservasi pun bervariasi. Mayoritas petani menggarap lahan kurang dari 0,5 ha, yaitu 88,88 persen untuk petani yang melakukan konservasi, dan 71,43 persen untuk petani yang tidak melakukan konservasi (Tabel 12). Hal ini menunjukkan bahwa petani menggarap lahan sempit.

Tabel 12. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Luas Lahan di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011

Interval Konservasi Non-konservasi Jumlah Petani (orang) (%) Jumlah Petani (orang) (%) ≤ 0.25 ha 16,00 44,44 7,00 50,00 0.26 - 0.50 ha 16,00 44,44 3,00 21,43 0.51 - 0.75 ha 1,00 2,78 2,00 14,29 ≥ 0.76 ha 3,00 8,33 2,00 14,29 Total 36,00 100,00 14,00 100,00

Luas Lahan Rata-rata (ha) 0,32 0,34

Luas Lahan Maksimum (ha) 1,00 0,80

Luas Lahan Minimum (ha) 0,04 0,04

Sumber: Data Primer (2012)

Berdasarkan status kepemilikan lahan, di lokasi penelitian lebih banyak petani berstatus pemilik, yaitu sebanyak 29 petani (58 persen), sedangkan 21

0.2 Ha 46% 0.26 - 0.50 Ha 38% 0.51 - 0.75 Ha 6% 0. Ha 10%

60 petani (42 persen) sisanya berstatus penyewa. Namun, dari 29 petani yang mengakui lahan tersebut adalah lahan milik mereka, hanya 18 petani yang benar- benar milik sendiri, sedangkan 11 petani sisanya sebenarnya adalah penggarap lahan kehutanan. Hal ini terjadi karena tidak ditentukannya biaya sewa lahan oleh kehutanan karena lahan tersebut sebenarnya memang tidak diperuntukan untuk lahan pertanian, terutama untuk tanaman semusim. Selain itu, petani merasa telah mengeluarkan biaya yang tinggi untuk membuka lahan, sehingga mereka menggap bahwa lahan tersebut secara otomatis telah menjadi lahan milik mereka.

Namun, jumlah petani pemilik yang digunakan dalam analisis adalah sebanyak 58 persen petani. Hal ini dikarenakan pembagian status lahan didasarkan pada upaya pengelolaan, bukan status hukum. Selain itu, petani yang merasa sebagai pemilik lebih mudah dalam melakukan adopsi konservasi, hal ini ditunjukkan pada Tabel 13.

Tabel 13. Karakteristik Petani Berdasarkan Sistem Penanaman dan Status Kepemilikan Lahan di Kecamatan Pasirwangi Tahun 2011

Interval Konservasi Non-konservasi Jumlah Petani (orang) persentase Jumlah Petani (orang) persentase Sewa 13,00 36,11 8,00 57,14 Milik 23,00 63,89 6,00 42,86 Total 36,00 100,00 14,00 100,00

Sumber: Data Primer (2012)

Berdasarkan Tabel 13 petani yang melakukan konservasi yang menggarap lahan milik lebih banyak daripada yang menggarap lahan sewa, masing-masing yaitu 63,89 persen dan 36,11 persen. Sedangkan untuk petani yang tidak melakukan konservasi, petani penggarap lahan sewa lebih banyak daripada petani penggarap lahan milik, masing-masing sebanyak 57,14 persen dan 42,86 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani pemilik lebih banyak melakukan adopsi

61 konservasi, karena mereka telah sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lahan garapan mereka untuk menunjang keberanjuran usahatani mereka.

5.3.5. Penyuluhan

Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator Petugas Penyuluh Lapang (PPL), diakui bahwa bahwa dalam melaksanakan tugasnya hampir 75 persen waktunya habis untuk rapat, membuat laporan dan kegiatan administrasi lainnya sehingga waktu untuk memberikan penyuluhan berkurang. Pada umumnya kelembagaan penyuluhan yang ada di daerah penelitian sudah terbentuk dengan baik. Namun kelemahan yang ada, selain pada materi penyuluhan, juga jumlah penyuluh di lapangan yang relatif kurang. Para penyuluh yang ada sekarang sebagian besar mendekati umur pensiun, dan para penyuluh Tenaga Harian Lepas (THL) yang pada umumnya relatif masih muda.

Digabungkannya para penyuluh dalam satu badan yaitu Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan ( BP3K) membuat para penyuluh menghadapi kendala dalam memberikan penyuluhan, karena tidak jarang penyuluh kehutanan atau perikanan harus memberikan penyuluhan tentang komoditas hortikultura. Akibatnya ada rasa kurang percaya diri dari penyuluh. Namun, tidak sebaliknya, penyuluh pertanian ataupun perikanan jarang memberikan materi mengenai kehutanan karena materi penyuluhan lebih mengarah pada budidaya pertanian, yaitu tindakan pemupukan, pengendalian hama, pemanenan, dan lain-lain. Padahal sekitar 1.393,433 ha luas areal hutan di Kecamatan Pasirwangi tahun 2009 merupakan hutan lindung yang dikelola pleh Perum Perhutani, namun sebagian besar lahannya dirambah oleh masyarakat tani untuk dijadikan lahan pertanian, hal ini menunjukkan bahwa saat ini petani perlu

62 pembinaan sebagai penyadaran untuk mengurangi bahkan menghentikan perambahan hutan yang dalam jangka panjang akan berdampak negatif. Sehingga seharusnya lebih sering diberikan materi mengenai konservasi jika memang sulit untuk menghentikan perambahan hutan lindung. Selain itu, mayoritas petani menyatakan tidak pernah bertemu penyuluh dalam satu tahun terakhir ini.

63 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak ditanam oleh petani di Kecamatan Pasirwangi. Namun, pengelolaan usahatani kentang di daerah ini banyak memanfaatkan lahan dengan tingkat kecuraman lereng tinggi yang kurang cocok untuk usahatani tanaman semusim. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 47/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan, pada lereng dengan kemiringan 15 – 25 persen, maksimal proporsi tanaman semusim yang dianjurkan adalah 50 persen, dan sisanya ditanami tanaman tahunan. Sedangkan pada kemiringan 25 – 40 persen, hanya 25 persen lahan yang direkomendasikan tanaman semusim. Bahkan pada kemiringan >40 persen, tanaman semusim tidak direkomendasikan untuk ditanam.

Berdasarkan wawancara, dari 50 petani contoh, sebagian besar petani (56 persen) menggarap lahan untuk usahatani kentang pada kemiringan 15 - 45 persen (Tabel 14). Hal ini menunjukkan bahwa peraturan Menteri Pertanian belum sepenuhnya dilaksanakan di tingkat lapangan.

Tabel 14. Kemiringan Lahan Petani Sayuran Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi, 2011 Kecuraman Lereng (%) Jumlah Petani (orang) Persentase < 14 22,00 44,00 15 – 24 14,00 28,00 25 – 40 11,00 22,00 > 41 3,00 6,00 Total 50,00 100,00

Kecuraman Lereng Rata-rata (%) 16,66 Kecuraman Lereng Maksimum (%) 45,00 Kecuraman Lereng Minimum (%) 0,00

64 Kondisi ini menggambarkan bahwa sebagian besar petani mengusahakan lahan yang kurang sesuai untuk usahatani tanaman kentang. Oleh karena itu, tindakan konservasi sangat dibutuhkan untuk meminimalisasi dampak negatif akibat pengusahaan lahan-lahan di kelerengan tinggi. Salah satu teknik konservasi yang cocok diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10 – 40 persen adalah teras gulud, yaitu membuat barisan guludan yang dilengkapi dengan saluran air di bagian belakang gulud (Permentan, 2006). Fungsi dari teras gulud untuk menahan laju aliran permukaan dan meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah.

Petani yang melakukan konservasi adalah petani yang melakukan sistem penanaman dengan membentuk jalur-jalur tumpukan tanah yang memanjang menurut kontur atau melintang lereng (guludan searah kontur) (Gambar 6). Sebaliknya apabila jalur tersebut dibuat kearah bawah lereng atau searah lereng (Gambar 7) maka petani dikatakan tidak melakukan konservasi, karena pada alur- alur diantara tumpukan tanah akan terkumpul air yang akan mengalir dengan cepat ke bawah (Arsyad, 2000) sehingga mempercepat degradasi lahan yang menyebabkan lahan kritis dan usahatani tidak berkelanjutan (Henny, 2012).

Gambar 6. Lahan dengan Penanaman Searah Kontur (Konservasi) di Kecamatan Pasirwangi, 2011

Gambar 7. Lahan dengan Penanaman Searah Lereng (Non- Konservasi) di Kecamatan PasirWangi, 2011

65 Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara, petani yang melakukan pola