• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR

DAFTAR LAMPIRAN

2.1. Lahan kering

Lahan kering dapat didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang tahun (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Berdasarkan penggunaan lahan untuk pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan luas lahan kering menjadi lahan tegal atau kebun, ladang atau huma, lahan sementara tidak diusahakan, dan rawa yang tidak ditanami. Kadekoh (2007) mendefinisikan lahan kering sebagai lahan dimana pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang sepanjang tahun. Sementara menurut Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air.

2.1.1 Jenis Lahan Kering

Berdasarkan ketinggian tempat (elevasi) dan topografi, lahan kering dibedakan menjadi dataran rendah (elevasi < 700 m dpl.) dan dataran tinggi (elevasi > 700 m dpl.), dengan luasan masing-masing sebesar 87,3 juta Ha dan 56,7 juta Ha. Lahan kering dataran rendah pada umumnya datar berombak, berombak bergelombang, dan berbukit, sedangkan lahan kering dataran tinggi umumnya bergelombang, berbukit, sampai bergunung (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005). Berdasarkan relief atau bentuk wilayah, lahan kering dibedakan menjadi lahan datar berombak dengan lereng 3-8

10 persen, berombak bergelombang dengan lereng 8-15 persen, berbukit dengan lereng 15-30 persen, dan bergunung dengan lereng 30 persen. Berdasarkan kondisi iklim, lahan kering dibedakan menjadi lahan iklim basah dan iklim kering. Lahan kering dataran rendah berada pada kondisi iklim basah pada ketinggian 700 m dpl dengan curah hujan tinggi (> 1500 mm/th) dengan masa hujan relatif panjang. Sedangkan iklim kering mempunyai curah hujan relatif rendah (< 1500 mm/th) dengan masa curah yang pendek (3,5 bulan) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2005).

2.2. Erosi

Pertanian lahan kering umumnya terdapat di daerah hulu (up land) hingga daerah-daerah pertengahan dengan keadaan lahan yang berlereng (Harijaya 1995 dalam Ladamay 2010). Keadaan lahan seperti ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya erosi dan aliran permukaan yang berlebihan. Erosi adalah peristiwa pindah atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (air atau angin). Erosi dapat menyebabkan terdegradasinya lahan melalui hilang atau terkikisnya lapisan tanah atas, sehingga dapat berdampak buruk terhadap tanah. Dampak buruk dari erosi ada dua, yaitu dampak di tempat kejadian erosi (on-site) dan dampak di luar tempat kejadian erosi (off-site). Dampak langsung erosi on-site antara lain kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman, kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah, rusaknya bangunan konservasi atau bangunan lainnya, dan turunnya pendapatan petani. Dampak tidak langsung erosi on-site adalah berkurangnya alternatif penggunaan tanah, timbulnya dorongan membuka lahan baru, serta munculnya biaya lain untuk perbaikan lahan dan bangunan yang rusak.

11 Dampak langsung diluar tempat kejadian erosi (off-site) adalah pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya, tertimbunnya lahan pertanian, jalan, dan bangunan lainnya, rusaknya mata air dan kualitas air, rusaknya ekosistem perairan serta meningkatnya frekuensi masa kekeringan. Dampak tidak langsung erosi off-site yaitu kerugian akibat memendeknya umur waduk, meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir (Arsyad, 2000).

Erosi yang terbanyak terjadi adalah erosi yang disebabkan oleh air. Erosi oleh air terjadi dimana tanahnya terbuka terhadap terpaan butir air hujan (erosi percikan), terhadap aliran air yang meluas sehingga terkikisnya permukaan tanah secara merata (erosi kulit), atau terhadap aliran air yang terkumpul dalam suatu alur (erosi alur dan erosi parit). Menurut Rahim (2003) terdapat tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi erosi, yaitu: (1) energi, meliputi hujan, air limpasan, angin, kemiringan, dan panjang lereng, (2) ketahanan, meliputi erodibilitas tanah (ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah),dan (3) proteksi yaitu penutupan tanah baik oleh vegetasi atau lainnya serta ada atau tidaknya tindakan konservasi.

Selain itu, Arsyad (2000) mengemukakan bahwa pada dasarnya faktor- faktor penyebab erosi dibedakan atas; (1) faktor-faktor yang dapat diubah oleh manusia seperti tumbuhan yang tumbuh diatas tanah, sebagai sifat-sifat tanah seperti kesuburan, ketahanan agregat, kapasitas infiltrasi dan panjang lereng, serta (2) faktor-faktor yang tidak dapat diubah seperti iklim, tipe tanah dan kecuraman lereng. Pengendalian erosi sangat bergantung pada pengelolaan yang baik melalui upaya penutupan lahan atau penanaman tanaman penutup tanah yang baik disertai dengan penyeleksian tindakan pembajakan atau pengelolaan tanah yang tepat.

12 2.3. Biaya Erosi Tanah

Dampak erosi tanah di lokasi yang terpenting adalah berkurangnya kesuburan tanah akibat hilangnya bahan organik dan unsur hara tanah, berkurangnya kedalaman lapisan tanah atas (topsoil), dan menurunnnya kapasitas tanah untuk menahan air yang selanjutnya juga akan menyebabkan penurunan produktivitas lahan yang terkena erosi. Sedangkan dampak erosi tanah di luar lokasi adalah merupakan nilai sekarang dari manfaat ekonomi yang hilang akibat erosi lahan (Katharina, 2007a).

Menurut Barbier (1996), dari persfektif petani, ada dua komponen utama yang menjadi biaya dari erosi tanah, yaitu biaya langsung dan output yang hilang. Biaya langsung adalah biaya bagi petani untuk upaya (contohnya tenaga kerja), material, peralatan, struktur fisik, dan sebagainya yang dibutuhkan untuk melakukan konservasi tanah. Output yang hilang adalah kehilangan dari output saat ini karena menggunakan lebih sedikit tanah atau lahan saat ini.

Pendekatan yang umum digunakan untuk menghitung biaya erosi tanah di lokasi (on site), menurut Barbier (1996) antara lain adalah pendekatan perubahan produktivitas (productivity change approach) dan pendekatan biaya pengganti (replacement cost approach). Menurut pendekatan perubahan produktivitas, biaya erosi tanah di lahan usahatani setara dengan nilai produktivitas yang hilang yang dinilai sesuai dengan harga pasar. Dengan kata lain, perubahan produktivitas merupakan perbedaan hasil panen antara lahan yang mempunyai tingkat erosi tinggi dan erosi rendah. Metode pendugaan biaya erosi tanah dengan pendekatan biaya pengganti (replacement cost approach) adalah mengukur unsur hara tanah yang hilang melalui erosi dan menghitung nilai unsur hara tanah yang hilang yang

13 ditunjukkan dengan penggunaan pupuk. Pendekatan biaya pengganti didasarkan pada asumsi bahwa erosi tanah dan aliran permukaan menyebabkan terjadinya pencucian hara dan efektivitas pupuk bagi tanaman lebih rendah yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan produksi. Pemberian pupuk buatan atau pupuk organik, pergiliran tanaman dengan tanaman leguminosa dan menghindari dari pembakaran vegetasi atau sisa-sisa tanaman terus-menerus adalah cara-cara untuk mencegah kerusakan dan memulihkan kesuburan tanah (Arsyad, 2000). 2.4. Konservasi

Salah satu cara pengendalian erosi yang tepat untuk digunakan yaitu dengan melakukan konservasi tanah. Konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Selain untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi, usaha konservasi tanah ditujukan untuk memperbaiki tanah yang rusak, dan memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat dipergunakan secara lestari. Selanjutnya, menurut Arsyad (2000), konservasi tanah tidak berarti penundaan penggunaan tanah atau pelarangan penggunaan tanah, tetapi menyesuaikan macam penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan, agar tanah dapat berfungsi secara lestari.

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2005), teknik pengendalian erosi dapat dibagi dua, yaitu mekanis dan biologis atau vegetatif. Namun keduanya sering digabung sehingga lebih efektif. Pengendalian erosi secara mekanis dapat dilakukan dengan menerapkan teras

14 baku dan teras gulud. Secara teknis, teras baku merupaka pengendalian erosi yang efektif. Teras baku memotong panjang lereng dan menghambat laju permukaan aliran permukaan, sehingga pengangkutan partikel-partikel tanah pun terhambat. Teknik konservasi menggunakan teras gulud dianggap lebih mudah dan lebih sederhana dalam pembuatannya dibanding teras baku. Teras gulud merupakan modifikasi dari guludan untuk bertanam ubi jalar pada lahan-lahan datar yang diterapkan pada lahan miring. Secara vegetatif, teknik pengendalian erosi yang dapat digunakan adalah strip rumput, mulsa, tanaman penutup tanah, olah tanah konservasi, dan pertanaman lorong,