• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. Uji Wald

6.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Adopsi Konservas

konservasi sebanyak 14 petani (28 persen). Dari 14 petani yang tidak melakukan pola konservasi, diperoleh informasi bahwa salah satu alasan mereka melakukan sistem penanaman guludan searah lereng adalah lebih mudah dibuat, jalur-jalur yang dibuat mempermudah pemeliharaan tanaman, dan dapat menghemat tenaga kerja.

6.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Adopsi Konservasi

Analisis regresi logit digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi konservasi pada usahatani kentang di Kecamatan Pasirwangi. Beberapa literatur (Solis et all, 2009; Katharina, 2007a). menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi adopsi konservasi yaitu umur petani, pendidikan petani, pengalaman, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan, status penguasaan lahan, pendapatan, informasi teknologi yang didapat dari penyuluhan dan keanggotaan dalam kelompok, dan akses terhadap kredit. Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi adopsi konservasi meliputi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi erosi yaitu jenis tanah, tingkat kecuraman lereng, iklim (curah hujan), dan panjang lereng.

Berdasarkan literatur yang diperoleh, sumber informasi mengenai konservasi dapat diperoleh melalui kegiatan penyuluhan dan keikutsertaan dalam kegiatan kelompok tani. Namun, di daerah penelitian, meskipun penyuluhan cukup sering dilaksanakan, materi penyuluhan yang disampaikan lebih sering mengarah pada praktik budidaya, yaitu pembibitan, pemupukan, serta perawatan tanaman, penyemprotan tanaman, tanpa membahas mengenai praktik konservasi.

66 Selain itu, kelompok tani yang ada jarang melakukan kegiatan, bahkan jika ada kegiatan, petani enggan ikut serta meskipun terdaftar sebagai anggota. Hal ini disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan lebih banyak berbentuk penyuluhan atau bahkan promosi pupuk dan obat yang banyak dilakukan oleh dealer pupuk/obat. Petani lebih banyak mendapat informasi mengenai tindakan konservasi dari petani lain. Oleh karena itu, penyuluhan dan keanggotaan dalam kelompok tani tidak dimasukkan ke dalam model.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi adopsi konservasi adalah akses terhadap kredit. Akses terhadap kredit penting karena berhubungan dengan modal yang dimiliki petani. Tindakan konservasi yang harus dilakukan petani membutuhkan lebih banyak tenaga kerja sehingga modal yang diperlukan lebih banyak. Namun pada praktiknya petani di Kecamatan Pasriwangi sulit mengakses lembaga-lembaga keuangan formal karena keterbatasan syarat-syarat yang harus dipenuhi, seperti agunan serta pola angsuran yang wajib dibayar per bulan, padahal petani melakukan panen minimal tiga bulan untuk satu musim. Oleh karena itu petani lebih memilih mengakses kredit informal, yaitu dengan meminjam dalam bentuk saprodi, seperti pupuk dan pestisida. Sistem ini telah menjadi kebiasaan bagi petani, karena untuk menanam kentang, modal yang diperlukan cukup besar. Karena seluruh petani yang menjadi sampel dalam penelitian ini mengakses kredit dengan cara yang sama, maka variabel ini tidak dimasukkan kedalam model karena dianggap tidak ada variasi data,.

Faktor penyebab erosi dapat mempengaruhi petani dalam keputusan adopsi konservasi karena tujuan dari konservasi adalah mencegah atau mengurangi erosi yang terjadi (Kataharina, 2007). Pada penelitian ini jenis tanah

67 dan iklim (curah hujan) dianggap sama untuk setiap petani karena berada pada lokasi yang sama. Sehingga variabel ini tidak dimasukan kedalam model. Selain itu, informasi mengenai panjang lereng cukup sulit didapat karena mayoritas petani tidak yakin akan panjang lereng dari lahan mereka. Pada saat dilakukan wawancara para petani hanya dapat mennjawab panjang lereng hanya dengan perkiraan saja. Selain itu, kurangnya informasi mengenai panjang lereng karena adanya keterbatasan peneliti dalam mengakses lahan garapan petani. Oleh karena itu panjang lereng tidak dimasukkan kedalam model. Satu-satunya variabel lingkungan yang masuk kedalam model adalah tingkat kecuraman lereng, faktor ini didapat secara sederhana dengan bertanya langsung kepada petani dengan menggunakan ilustrasi gambar.

Dengan demikian dalam penelitian ini variabel-variabel penjelas yang digunakan dalam model logit yaitu umur (UMR), pendidikan petani (PDKN), luas lahan (LLHN), pendapatan (PDPT), jumlah tanggungan keluarga (JTK), tingkat kecuraman lereng (CURM), pengalaman bertani (PLMN), dan satu variabel dummy, yaitu status kepemilikan lahan (SLHN). Untuk variabel pendapatan, pendapatan yang dihitung adalah pendapatan tunai yang diperoleh petani, yaitu selisih produksi kentang yang dijual dan biaya tunai yang dikeluarkan. Pemilihan penggunaan perhitungan pendapatan tunai karena pada tingkat petani, keputusan petani untuk melanjutkan atau melakukan alternatif lain dari usahatani mereka dipengaruhi oleh pendapatan tunai yang secara riil diterima. Variabel respon yang digunakan dalam analisis ini adalah peluang petani melakukan pola konservasi. Jika petani melakukan pola konservasi, maka diberi nilai satu dan jika petani tidak dilakukan pola konservasi, maka diberi nilai nol.

68 Berdasarkan hasil pengolahan regresi logit diperoleh bahwa 57,1 persen pengamatan aktual (Y = 0) diprediksi dengan benar dan 91,7 persen pengamatan aktual (Y = 1) diprediksi dengan benar. Secara keseluruhan, 82,0 persen pengamatan aktual (Y = 0 atau Y = 1) diprediksi dengan benar (Lampiran 4). Tabel 15 menyajikan data hasil analisis regresi logit.

Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Logit untuk Mengadopsi Konservasi pada Usahatani Kentang Dataran Tinggi di Kecamatan Pasirwangi, 2011 Variabel Koefisien Sig. Odds Ratio

Constant 0,981 0,766 2,666 UMR 0,026 0,669 1,027 PNDKN -0,178 0,509 0,837 LLHN c -4,727 0,184 0,009 SLHN a 2,583 0,046 13,233 PDPT c 0,000 0,171 1,000 JTK -0,375 0,259 0,687 CURM a 0,125 0,021 1,133 PNGLMN b -0,079 0,138 0,924 -2 Log likelihood 41,293 Chi-Square 18,002

Hosmer and Lemeshow test

(signifikansi) 0,541

Sumber : Data primer,dioleh (2012)

Keterangan : a = Signifikan pada α = 5 persen b = Signifikan pada α = 15 persen c = Signifikan pada α = 20 persen

Berdasarkan Tabel 15, hasil pengujian Hosmer and Lemeshow test, menunjukkan nilai signifikasi 0,541, lebih besar dari α = 5 persen maka terima H0.

Artinya model regresi layak dipakai untuk analisis selanjutnya dan model yang dihasilkan dapat dikatakan model yang baik, karena tidak ada perbedaan nyata antara klasifikasi yang diprediksi dengan yang diamati. Selanjutnya, didapatkan nilai -2 Log likelihood sebesar 41,293 dan nilai Chi-square sebesar 18,002 dengan

69 signifikasi 0,021. Angka ini menunjukkan bahwa hipotesis nol yang menyatakan bahwa semua slope dalam model sama dengan nol harus ditolak pada taraf nyata α = 5 persen. Artinya, terdapat minimal satu slope model yang tidak sama dengan nol atau variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap peluang mengadopsi atau tidak mengadopsi konservasi. Berdasarkan hubungan antar variabel (korelasi) masalah multikolinearitas tidak ditemukan pada model regresi logit, karena hubungan antar variabel independen tidak ada yang bernilai lebih dari 0,8 (Lampiran 4).

Hasil analisis regresi logit digunakan untuk membangun model yang menjelsakan pengaruh masing-masing variabel penjelas terhadap variabel respon. Nilai koefisien (β) menunjukkan pengaruh variabel penjelas terhadap peluang melakukan adopsi konservasi, yaitu dapat meningkatkan peluang adopsi atau mengurangi peluang adopsi. Nilai Odds ratio adalah perbandingan antara besarnya peluang melakukan adopsi konservasi dengan peluang tidak melakukan adopsi konservasi. Jika nilai Odds ratio sama dengan satu, maka peluang untuk mengadopsi dan tidak mengadopsi konservasi adalah sama. Nilai Odds ratio lebih dari satu, maka peluang untuk mengadopsi konservasi lebih besar dari peluang tidak mengadopsi konservasi. Sebaliknya, jika nilai Odds ratio kurang dari satu, maka peluang melakukan adopsi konservasi lebih kecil daripada peluang tidak melakukan adopsi konservasi. Berdasarkan hasil analisis model regresi pada Tabel 15, persamaan model yang dihasilkan adalah:

70 6.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam Adopsi

Konservasi

Dilihat dari kriteria ekonomi, berdasarkan hasil regresi logit pada Tabel 15 dari delapan variabel yang dimasukan ke dalam model, empat variabel bertanda positif (umur, status kepemilikan lahan, pendapatan, dan tingkat kecuraman lereng), dan empat variabel bertanda negatif (pendidikan petani, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga, dan pengalam bertani). Dilihat dari kriteria statistik, luas lahan, status kepemilikan lahan, pendapatan, tingkat kecuraman lereng, dan pengalaman bertani secara signifikan mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi pola konservasi. Selain itu, faktor lain yang tidak berpengaruh secara signifikan pada keputusan petani adalah umur, pendidikan, dan jumlah

tanggungan keluarga.

Variabel tingkat kecuraman lereng memiliki P-value 0,021 berpengaruh nyata secara signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Koefisien tingkat kecuraman lereng memiliki tanda positif, artinya semakin tinggi kecuraman lereng, peluang untuk melakukan konservasi semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yaitu semakin tinggi tingkat kecuraman lereng, maka diharapkan semakin tinggi kesediaan petani untuk melakukan konservasi, karena semakin tinggi kecuraman lereng, maka potensi erosi pun semakin besar yang akhirnya akan menurunkan produktivitas. Nilai odds ratio pada variabel tingkat kecuraman lereng sebesar 1,133, artinya semakin tinggi tingkat kecuraman lereng, peluang untuk mengadopsi konservasi lebih tinggi daripada peluang tidak melakukan adopsi konservasi. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Katharina (2007a) yang menyatakan peluang petani Pangalengan untuk melakukan konservasi meningkat seiring dengan meningkatnya kecuraman lereng.

71 Variabel pendapatan berpengaruh secara signifikan karena memiliki nilai P-value yang lebih kecil dari α = 0,20, yaitu 0,171. Nilai odds ratio pada variabel pendapatan adalah 1,00, artinya pengaruh pendapatan terhadap peluang petani untuk melakukan konservasi sama dengan peluang petani tidak melakukan konservasi. Hal ini disebabkan oleh pendapatan yang dihitung adalah pendapatan tunai yang tidak merangkum penerimaan petani dari keseluruhan hasil produksi.

Variabel status kepemilikan lahan memiliki P-value 0,046 berpengaruh nyata secara signifikan pada taraf nyata α = 0,05. Variabel ini mempunyai tanda positif, artinya status lahan milik dapat meningkatkan peluang petani untuk mengadopsi pola konservasi. Selain itu, hasil analisis menunjukkan nilai odds ratio untuk status kepemilikan lahan sebesar 13,233. artinya, peluang petani pemilik untuk melakukan konservasi lebih besar dibandingkan dengan petani penyewa.

Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Katharina (2007a) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi sistem pertanian konservasi di Pangalengan. Status sewa lahan yang berdurasi pendek menyebabkan kurangnya insentif untk melakukan konservasi di lahan yang diusahakannya. Manfaat dari menerapkan konservasi tanah biasanya akan nyata dalam jangka menengah atau panjang. Sebaliknya, kerugian dari tidak menerapkan konservasi pun tidak akan terasa dalam jangka pendek. Selain itu, menurut Reijntjes (1992) bila petani tidak yakin dengan hak-hak mereka untuk memanfaatkan lahan yang dibudidayakan, perangsang-perangsang untuk menginvestasikan dalam praktek-praktek konservasi sumberdaya seperti pengendalian erosi, akan menjadi lemah.

72 Variabel luas lahan berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan petani dalam mengadopsi pola konservasi. Hal ini ditunjukkan dengan P-value 0,184 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata α = 0,20. Variabel ini memiliki koefisien yang bertanda negatif, artinya peningkatan luas lahan dapat mengurangi peluang petani untuk mengadopsi pola konservasi. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal, yaitu luas lahan diharapkan berpengaruh secara positif terhadap adopsi pola konservasi. Nilai odds ratio pada variabel luas lahan adalah sebesar 0,009, artinya apabila luas lahan semakin meningkat, maka peluang petani untuk tidak mengadopsi konservasi lebih besar dari peluang untuk mengadopsi konservasi.

Berdasarkan pengamatan lapang seperti ditunjukkan pada bab gambaran umum, rata-rata luas lahan garapan petani konservasi lebih luas dibandingkan petani non-konservasi (Tabel 12). Selain itu, luas lahan yang ada di Kecamatan Pasirwangi untuk lahan pertanian terbatas, sehingga jika petani ingin memperluas lahan garapan ushatani kentang, petani banyak memanfaatkan lahan di lereng pegunungan dengan tingkat kecuraman lereng tinggi yang sebenarnya tidak cocok untuk usahatani kentang. Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa rata-rata luas lahan garapan petani yang terbesar berada pada tingkat kecuraman lereng lebih dari 30 persen.

Tabel 16. Rata-rata Luas Garapan Petani Kentang Dataran Tinggi pada Berbagai Tingkan Kecuraman Lereng di Kecamatan Pasirwangi, 2011

Tingkat Kecuraman Lereng (%)

Jumlah Petani (persen)

Rata-rata Luas Lahan Garapan (ha)

< 14 44 0,292

15-30 42 0,294

>31 14 0,551

73 Salah satu alasan mengapa luas lahan bertanda negatif atau tidak sesuai dengan harapan karena di daerah penelitian dengan semakin meningkatnya luas lahan garapan, maka petani kentang membutuhkan modal yang lebih banyak terutama untuk biaya tenaga kerja. Peningkatan biaya ini disebabkan oleh semakin tinggi kecuraman lereng pengelolaan usahatani semakin sulit sehingga lebih banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Disamping itu pada lahan berlereng untuk mempertahankan produktivitas yang sama petani harus menambahkan pupuk yang tidak sedikit sehingga memerlukan tambahan biaya yang besar.

Variabel pengalaman berpengaruh secara signifikan karena memiliki nilai p-value yang lebih kecil dari α = 0,15, yaitu 0,138. Koefisien ini bertanda negatif, yang berbeda dengan hipotesis awal bahwa pengalaman akan berpengaruh positif terhadap adopsi konservasi. Pengalaman memiliki nilai odds ratio sebesar 0,924. ini artinya bahwa peluang petani untuk mengadopsi konservasi lebih kecil dari peluang petani tidak mengadopsi.

Pengalaman berpengaruh negatif terhadap peluang adopsi konservasi karena pengalaman yang dimasukkan dalam model adalah lama bertani petani melakukan usahatani kentang, bukan melakukan usahatani dengan konservasi. Rata-rata lama bertani petani yang melakukan konservasi lebih tinggi daripada petani yang tidak melakukan konservasi, yaitu 25,29 tahun dan 16,81 tahun (Tabel 9). Terhambatnya penerimaan praktik adopsi konservasi karena banyak petani yang enggan mencoba inovasi baru akibat kurangnya informasi yang mereka dapat sehingga masih berfikir bahwa apa yang mereka lakukan selama bertahun- tahun adalah usaha terbaik untuk melakukan usahatani kentang. Semakin banyak pengalaman, petani semakin mengetahui risiko produksi dan biaya yang harus

74 ditanggung. Berdasarkan pengalaman petani, untuk melakukan konservasi, yaitu membuat guludan searah kontur sulit dalam pengerjaan sehingga membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Selain itu dalam pengelolaan tanaman, seperti penyiraman, pemupukan, penyiangan, dan juga saat panen pun memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak, dan menurut petani penanaman searah kontur akan menimbulkann penyakit, karena adanya genangan air yang terhambat oleh guludan.

Variabel umur, pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga yang termasuk faktor internal dalam mempengaruhi keputusan petani tidak berpengaruh nyata terhadap kesediaan petani mengadopsi konservasi. Variabel-variabel tersebut tidak berpengaruh nyata karena memiliki nilai p value yang lebih besar dari α = 0,20, yaitu masing-masing sebesar 0,669, 0,509, dan 0,259.

Jumlah Tanggungan Keluarga memiliki nilai odds ratio sebesar 0,687 dengan koefisien yang beratnda negatif. Artinya peluang petani untuk melakukan adopsi lebih kecil daripada peluang tidak melakukan adopsi, atau semakin banyak jumlah tanggungan petani, maka peluang adopsi semakin kecil. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal, bahwa jumlah tanggungan keluarga dapat menurunkan peluang adopsi konservasi. Tidak berpengaruh nyatanya jumlah tanggungan keluarga terhadap keputusan adopsi konservasi karena rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani di Kecamatan Pasirwangi hampir sama antar petani yaitu sebanyak 3 orang (Lampiran 3), sehingga jumlah tanggungan keluarga bukan penentu keputusan adopsi.

Variabel umur memiliki nilai odds rasio sebesar 1,027. Artinya dengan meningkatnya umur petani, peluang untuk mengadopsi konservasi lebih tinggi

75 daripada tidak mengadopsi konservasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siregar (2006) dan Lapar dan Pandey (1999). Namun, secara statistik umur tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan adopsi konservasi. Pendidikan memiliki nilai odds rasio sebesar 0,837. Artinya semakin tinggi pendidikan petani peluang mengadopsi konservasi cenderung lebih kecil daripada tidak mengadopsi konservasi.

Variabel umur, pendidikan, dan jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh karena mayoritas petani di Kecamatan Pasirwangi adalah petani pengikut (Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Garut, 2010). Status ini mengakibatkan petani hanya mengikuti usaha-usaha yang telah secara nyata memberikan hasil yang lebih baik bagi petani lain yang telah menjalankan inovasi baru, karena menghindari risiko yang mungkin didapat. Selain itu, tidak signifikannya variabel-variabel tersebut kemungkinan terkait dengan sifat dan karakteristik teknik konservasi tersebut yang merupakan program pemerintah, sehingga kesadaran pentingnya konservasi sangat kurang.