• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agastya Jâtaka

Dalam dokumen Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni (Halaman 59-70)

(Kisah Tentang Resi Agastya)

Mengingat bahwa kemurahan hati menjadi perhiasan utama bahkan bagi seorang pertapa, betapa mengagumkannya bila hal itu ditunjukkan oleh perumah tangga!

Suatu ketika saat Sang Buddha masih sebagai Bodhisattva mengembara di dalam samsara demi kebajikan dunia, ia lahir sebagai seorang anak dalam sebuah keluarga brahmana mulia yang kemurnian silanya menjadi perhiasan bagi bumi. Seperti bulan penuh di musim gugur yang tanpa awan memperindah alam surga, demikian pula halnya dengan kelahiran dari Agastya, menambah kecemerlangan keluarganya. Sesaat setelah ia mendapatkan diksa pemberian nama sesuai kitab suci serta tradisi, dan setelah ia mempelajari Veda berikut berbagai ritualnya, ketenaran pengetahuannya tersebar luas dan jauh.

Persembahan yang diterimanya dari mereka yang senang memberi dengan segera berlipat ganda hingga menjadi suatu harta kekayaan. Juga sebaliknya, laksana awan tebal yang mengguyur daratan, ia membagi-bagikan harta kepada sanak keluarga dan para sahabatnya, para pengemis, tamu serta para guru, yang tertimpa kesulitan serta yang pantas untuk dihormati. Begitu agung pengetahuannya, ditambah lagi dengan kedermawanannya, memancarkan segala keagungannya, bagai keindahan bulan yang terjadi di musim gugur.

Setelah Mahasattva menyadari bahwa kehidupan rumah tangga adalah sumber penderitaan dan hanya memberi sedikit kesenangan. Seorang perumah tangga harus membuat dirinya mengerjakan berbagai kegiatan yang membawa pada ketidakpuasan dan bahkan kesulitan yang lebih besar lagi. Kesulitan mengelilingi dalam usaha untuk mendapatkan keberuntungan dan segala hal untuk menjaganya; tertusuk oleh beratus-ratus panah penderitaan, seseorang secara perlahan-lahan akan tidak memedulikan urusan Dharma, hingga ketenangannya menjadi kacau.

Setelah merasa lelah terhadap segala sesuatu yang melingkupi kehidupan rumah tangga, Agastya mengetahui bahwa meninggalkan keduniawian akan dapat membawanya pada kebebasan dari situasi buruk tersebut dan akan memberikan kebahagiaan yang sesungguhnya. Pelepasan hidup duniawi, sangat perlu bagi kepentingan spiritual, jalan benar satu-satunya bagi pengembangan batin dan pembebasan. Karenanya, meskipun kekayaan telah membuatnya begitu terhormat, ia membuangnya seperti jerami dan menerapkan pada dirinya sikap berpaling serta aturan-aturan penolakan duniawi sebagai pertapa.

Bahkan meskipun setelah meninggalkan kehidupan duniawinya, banyak orang yang tetap meminta nasihat darinya; baik bagi mereka

yang telah mendengarnya, dan juga mereka yang mengingatnya sejak semula – semuanya mengunjunginya disebabkan oleh penghormatan mereka pada kebajikan serta ketenangannya. Ia mendapati bahwa hubungan dengan masyarakat seperti ini mengganggu serta menjadi rintangan bagi ketidakterikatan yang dicita-citakannya. Sehingga, bermaksud hendak menyepi, Agastya pindah ke pulau Kara di daerah Laut Selatan.

Agastya mendirikan pertapaannya di Kara, sebuah pulau yang dikelilingi oleh buih gelombang putih kebiruan bagaikan permata indranila. Pantainya tertutup oleh pasir putih; pulau tersebut dihiasi oleh pepohonan yang sarat dengan bunga serta buah, di situ juga terdapat telaga yang airnya sangat menyegarkan di dekat tempatnya berdiam. Di pertapaannya ia menjalankan praktek bertapa dan memperlihatkan kemuliaannya melalui tubuhnya yang kurus, ia bagaikan bulan sabit di angkasa, yang mengundang perasaan senang meskipun ukurannya kecil.

Melihat keseimbangan batinnya, dan juga tingkah lakunya yang santun, bahkan binatang liar serta burung di hutan menghargai manusia ini, yang larut dalam ikrar serta praktiknya, sebagai seorang Muni. Atas kehendak mereka sendiri, binatang-binatang tersebut berusaha untuk menirukan tata cara hidupnya.

Selagi berdiam dalam hutan pertapaan tersebut, Mahasattva terus menyambut siapa pun yang bertamu yang secara kebetulan melewati jalannya. Ia akan memberi mereka umbi-umbian serta buah-buahan yang dikumpulkannya dari hutan, air segar dan tegur sapa yang ramah serta berkah; ia sendiri kemudian hanya akan menggunakan makanan apa pun yang tersisa, membatasi makannya hanya untuk mempertahankan tubuhnya.

Keagungan keluhuran pertapaannya tersebar ke segala penjuru, bahkan juga sampai ketelinga Shakra, Raja Para Dewa, yang dalam kegembiraannya mendengar kebajikan yang demikian, terbersit niat untuk turut mendorong keteguhan tapanya. Untuk itu, ia lalu membuat seluruh umbi-umbian serta buah-buahan lenyap dari seluruh kawasan hutan. Akan tetapi Bodhisattva, seolah larut dalam meditasinya, hingga sama sekali tak terganggu oleh rasa laparnya; ia telah terbiasa cukup dengan sesuatu yang sedikit, tiada beda antara tubuh dengan makanannya. Ia lalu tak peduli lagi. Merebus sedikit dedaunan dalam air, ia telah memuaskan kebutuhan tubuh jasmaninya tanpa sedikit pun merasa tidak puas. Tetap tenang seperti sebelumnya, ia hidup dalam kesederhanaan. Sesungguhnya, mereka yang memiliki sedikit keperluan dengan mudah mendapatkan kebutuhannya. Di manakah rerumputan, daun-daunan dan telaga tak dapat ditemukan?

Shakra, Raja Para Dewa, sangat takjub atas sikap Bodhisattva, rasa hormat kepadanya semakin besar. Namun demikian ia tetap bermaksud untuk mengujinya dengan cara yang lain. Bagaikan hembusan angin di musim kemarau, Shakra telah menyebabkan semua daun terlepas dari tangkainya, semak serta ilalang hilang dari hutan. Akan tetapi Agastya hanya memunguti daun yang masih segar yang jatuh ke tanah, merebusnya, dan tetap dapat bertahan hidup dengan sedikit sayuran tanpa sedikitpun merasa kecewa. Menikmati kebahagiaan meditasi, bahkan ia telah menikmati amrtha. Karena sesungguhnya, pengendalian dan pengetahuan, tiadanya keterikatan terhadap harta benda serta merasa puas dengan kehidupan tapa, adalah merupakan hartanya yang terbesar.

Kini kehebatan Bodhisattva terus menantang Shakra, yang hampir saja marah, untuk maju selangkah lagi. Dengan menyamar sebagai seorang brahmana yang kelaparan serta kehausan, Shakra muncul di hadapan Agastya pada waktu yang sangat

menguntungkan bagi seorang tamu, waktu saat doa serta persembahan sedang di panjatkan sesaat sebelum waktu makan. Bodhisattva, wajahnya menunjukkan perasaan gembira, dengan senang hati menyambut tamunya. Mengucapkan kata-kata selamat datang, lalu ia mengajaknya turut makan. Dengan ucapan yang jelas serta menyentuh baik pikiran mapun perasaan, Agastya memberikan kepada tamunya semua rebusan daun yang telah di kumpulkannya dengan begitu sulit; sedangkan dirinya sendiri sudah merasa puas hanya dengan menikmati perasaan gembiranya. Setelah itu, meninggalkan tamunya, ia beristirahat di pondok meditasinya, dan melewatkan siang malam dengan merasakan perasaan gembira yang tiada hentinya.

Dengan cara yang sama, Shakra muncul kembali pada saat yang sama keesokan harinya, demikian pula hari-hari berikutnya. Setiap hari Agastya menerima tamunya tetap dengan sikap gembira; tiada sedih, bahkan juga tiada membahayakan hidupnya sendiri, yang dapat mendorong orang baik meninggalkan kecintaannya dalam memberi, yang di teguhkan dengan praktik belas kasihnya yang dalam.

Shakra diliputi oleh perasaan sangat takjub, mengetahui bahwa demikian teguhnya praktik pertapaan Bodhisattva hingga dengan mudah dapat mendapatkan kedudukan Shakra berkuasa di alam surga yang berkilauan: Apa yang sesungguhnya perlu ia lakukan adalah bertanya. Khawatir dan takut, Shakra menanggalkan penyamarannya sebagai manusia, kembali ke dalam wujud surgawinya yang memukau. Muncul di hadapan Mahasttva, lalu bertanya kepadanya:

“Apakah yang ingin kaudapatkan dengan meninggalkan keluarga yang kaucintai, rakyat serta hartamu, yang kesemuanya telah memberimu kebahagiaan besar? Tentu bukanlah tujuan biasa

yang membuat orang bijaksana meninggalkan kebahagiaan serta kekayaannya, membiarkan keluarganya dalam kedukaan dengan meninggalkannya dengan menjalani kehidupan pertapa yang berat. Kami mohon, jika engkau berkenan, hapuskan rasa ingin tahu kami dan mohon ungkapkanlah kemuliaan yang seperti apa yang engkau usahakan dengan begitu gigihnya.”

Bodhisattva menjawab: “Dengarlah, Pak, apa yang kuperjuangkan. Mengulang-ulang kelahiran membawa pada berulangnya penderitaan, sebagaimana ketakutan pada wabah usia tua serta penyakit; kepastian datangnya kematian begitu mengganggu pikiran. Aku menempuh hidup seperti ini agar aku dapat menjadi perlindungan bagi semua makhluk hidup!”

Shakra, Raja Para Dewa, akhirnya paham bahwa istana surgawinya aman dari tujuan Bodhisattva, ia menjadi begitu terhibur. “Bagus sekali!” Ujarnya, merasa senang atas penjelasan yang menjadi tujuan Bodhisattva. “Pertapa, atas pembicaraan yang baik ini aku akan memberikan apa pun yang engkau inginkan. Mintalah apa yang kauinginkan.”

Bodhisattva tak menginginkan apa pun yang berhubungan dengan kesenangan duniawi, ia berkata kepada Shakra: “Jika engkau akan memberikan kepadaku apa yang membuatku senang, berikan aku ini: ‘Semoga api ketidakpuasan yang membakar hati manusia didunia berakhir, meski setelah mereka mendapatkan suami istri, anak, kedudukan dan harta yang melampaui impian mereka yang tiada batas, semoga api yang yang tak kunjung habis dan membakar segala sesuatu itu tak memasuki hatiku!”

Sikap puas diri sepenuhnya yang tergambar dari harapan tersebut menyenangkan Shakra. Memuji Bodhisattva, ia mendesaknya untuk mengutarakan keinginannya yang kedua.

Agastya, dengan maksud untuk mengungkapkan betapa sulitnya mengatasi noda nafsu secara menyeluruh, sekali lagi mengajarkan ajaran yang diminta oleh tamunya:

“Keberadaanmu memang sungguh agung, Wahai Raja Para Dewa, seandainya engkau dapat memberiku pemberian besar seperti ini: ‘Semoga kebencian, yang bagaikan bala tentara penakluk, menghancurkan harta, kedudukan dan nama baik, senantiasa berada jauh dariku!”

Mendengar jawaban yang demikian, Shakra semakin merasa senang.”Pantaslah tenar, bagai seorang kekasih yang dapat dipercaya, hendak mengikuti mereka yang telah berpaling dari keduniawian. Pada keinginan yang di sampaikan demikian tepatnya, silahkan terimalah pemberian yang lain dariku.”

Demikianlah Bodhisattva, atas di terimanya permintaannya oleh tamunya, disebabkan oleh ketidaksenangannya terhadap noda keinginan dan bersama dengan orang yang terpengaruh oleh emosi-emosinya, ia berkata: “Semoga aku tak pernah mendengar kebodohan, melihat yang bodoh, berbicara kepada yang bodoh, atau menanggung rasa jengkel serta derita dari mereka yang diliputi kebodohan! Demikianlah yang kuminta.”

“Apa itu?” Teriak Shakra. “Siapa pun yang dalam kesulitan pasti mengharapkan bantuan dari orang baik. Dan ketidaktahuan merupakan akar segala penderitaan. Bagaimana bisa dirimu, seorang pertapa yang sangat berbelas kasih, bisa tidak senang melihat orang yang bodoh, orang yang sangat membutuhkan belas kasih?”

Bodhisattva menjawab: “Karena, wahai kawan, tak akan ada pertolongan bagi yang bodoh. Ketahuilah, bila orang bodoh dapat ditolong, akankah aku memegangi apa pun yang dapat memberi

mereka manfaat? Sebaliknya, orang yang bodoh tak akan memperoleh apa pun atas pertolonganku. Terbakar oleh api kesombongan, menganggap dirinya bijak, menjalankan kelakuan salah seolah-olah benar, mereka menganjurkan para tetangganya untuk juga melakukannya. Tak biasa berkelakuan baik dan kurangnya menjalankan kesusilaan, mereka marah meskipun ketika dirinya mujur, dan terpengaruh oleh apa pun yang sangat diinginkannya. Adakah orang didunia ini yang dapat menolong orang bodoh seperti itu? Karenanya, Oh Dewa Yang Sangat Terpuji, aku memohon semoga tak akan pernah meski hanya melihat, orang yang bodoh! Karena tak ada pertolongan bagi orang bodoh, mereka benar-benar bukanlah tujuan usahaku.”

Shakra kembali memuji sang tapa dengan berkata: “Kata-katamu yang tiada ternilai bagaikan permata, tak ada imbalan yang setimpal. Tapi mohon terimalah pemberian yang lain, seolah ia seraup bunga, yaitu persembahan rasa hormat.”

Bodhisattva menjawab dalam kalimat yang dimaksudkan untuk mengungkapkan kebahagiaan yang berasal dari kebajikan: “Semoga aku memperoleh keadilan, hanya mendengar para bijaksana, dan berdiam hanya dengan mereka yang waspada. Oh Shakra, semoga aku melewatkan hari-hariku dengan bahagia, berbicara dengan benar! Semoga engkau memberikan hal ini!”

“Engkau tampak sebagai memihak para bijaksana!” sahut Shakra. “Katakan kepadaku, apa yang telah dilakukan mereka kepadamu? Mengapa engkau menunjukkan keinginan sedemikian rupa untuk melihat para bijaksana?”

Bodhisattva dengan kehendak menunjukkan kepada Shakra bagaimana berharganya kebajikan, menjawab: “Dengarlah, sahabat, yang menjadi alasanku ingin melihat orang bijaksana. Orang

bijaksana berjalan di jalan kebajikan, dan memberi teladan bagi yang lain untuk mengikutinya. Kata-kata yang di ucapkan terhadap kebajikannya, meskipun keras, tak akan membuatnya tak sabar, karena mereka di hiasi oleh disiplin diri, keramahan dan kemantapan. Orang akan mendapatkan kebajikan dari orang seperti itu. Karena itulah aku merasa gemetar terhadap mereka yang bijaksana.”

“Benar sekali!” Ujar Shakra. “Sejak saat ini engkau pasti akan mendapatkan segala yang kauinginkan, seluruhnya memuaskan seperti yang telah ada pada dirimu. Namun demikian silahkan terimalah satu lagi pemberian, sekedar untuk membuatku bahagia. Hadiah yang dipersembahkan karena rasa hormat, dari kekuatan yang tanpa batas, dan juga harapan untuk dapat membawa kebajikan, menjadi sebuah sumber kesedihan besar bila tidak diterima.”

Mengamati keinginan kuat Shakra, dengan maksud untuk menolong dan menyenangkannya, dengan harapan menunjukkan kepadanya kebajikan dari pemberian, Bodhisattva kemudian menjawab: “Makananmu senantiasa bebas dari kekurangan serta kerusakan, pikiranmu diperindah oleh praktik kemurahan hati, dan para pengiringmu berhiaskan dengan kemurnian silanya, semoga engkau memberiku itu semua!”

“Engkaulah tambang permata kebijaksanaan,” ujar Shakra. “Bukan saja segala yang kauinginkan akan diberikan, akan tetapi karena jawabanmu merupakan ungkapan yang begitu indah, aku akan memberimu satu lagi permintaan.”

“Jika engkau dengan begitu baik akan memberiku hadiah besar, Oh Dewa Yang Maha Mulia,” jawab Bodhisattva, ‘berilah aku hal ini, Oh Penakluk Para Ashura: jangan lagi mendatangiku dengan kemegahanmu!”

Sangat terperanjat, serta tertegun beberapa saat, Shakra menjawab: “Jangan berkata seperti itu, Pak. Dengan berbagai cara pemujaan, berbagai macam doa, dan juga pantangan, pengorbanan serta penebusan dosa, orang-orang di seluruh dunia berusaha untuk melihatku. Sedang engkau tak menginginkannya! Bagaimana bisa begini? Aku datang hanya untuk mengabulkan segala permintaanmu!”

“Jangan menghardikku, wahai Raja Para Dewa,” ujar Agastya. “Yang kuinginkan hanya membuatmu senang. Bukan karena kurang tata krama hingga aku meminta yang demikian, bukan pula karena kurangnya penghargaan ataupun rasa hormat kepada Yang Mulia. Namun karena penampilanmu yang luar biasa, dengan prabha yang menyilaukan, yang bahkan memancar dengan sangat terang, diriku khawatir mengingat keajaiban seperti itu akan membuatku tergelincir dari menjalankan tugas Dharma.”

Shakra bersujud pada Bodhisattva, berpradaksina kepadanya dari kiri ke kanan, lalu menghilang. Ketika hari telah menyingsing Agastya mendapatkan makanan serta minuman surgawi yang di antarkan kepadannya oleh Shakra, yang mengundang beratus-ratus Pratyekabuddha, serta beribu-ribu dewaputra.

Semuanya dilihat oleh Bodhisattva. Tiada terbilang persembahan yang dipersembahkan, Sang Muni mendapatkan kebahagiaan yang sedemikian luhurnya. Ia terus bergembira menjalani hidup yang sesuai bagi seorang pertapa dan berdiam dalam meditasi, serta batin yang sangat seimbang.

Dari kisah ini, orang dapat melihat bagaimana keberanian praktik berdana menjadi perhiasan bahkan bagi seorang pertapa, yang juga sangat diperlukan bagi yang berumah tangga. Itu juga menunjukkan mengapa manusia harus menghiasi dirinya dengan

keberanian dan pemberian secara terus-menerus. Kisah ini dapat diceritakan pada saat mencela kehendak jahat, kebencian, kegilaan dan kebodohan; ketika mengajarkan kebajikan guru, atau mengajarkan tentang kepuasan. Kisah ini juga sesuai pada waktu membicarakan keagungan Sang Tathagata, dan membicarakan keindahan ajaran yang diberikan oleh Sang Bhagavan dalam kehidupan masa lampaunya, dimana beliau bahkan kemudian, menjadi sebuah tambang permata ungkapan-ungkapan yang berharga yang tak pernah habis, apa lagi yang perlu dikatakan setelah Sang Buddha mencapai kesempurnaan?

Dalam dokumen Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni (Halaman 59-70)

Dokumen terkait