• Tidak ada hasil yang ditemukan

Avishahyasreshthi Jâtaka

Dalam dokumen Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni (Halaman 42-50)

(Kisah Tentang Orang Yang Tiada Banding)

Bukannya takut akan kehilangan keberuntungan ataupun harapan imbalan dikemudian hari yang dapat menghalangi orang baik dari melaksanakan dana.

Pada suatu ketika, saat Sang Buddha masih sebagai Bodhisattva, ia lahir dalam sebuah keluarga mulia dan kemudian menjadi pemimpin kelompoknya. Ia memancarkan kemurahan hati dan kesusilaan, diperunggul dalam mempelajari ajaran suci, disiplin diri, pengetahuan agama, menghayati baik kebijaksanaan maupun kerendahan hati.

Diberkati dengan kekayaan yang tiada terbilang, ia hampir menyamai Sang Hyang Kuwera. Amal dana merupakan praktik utama baginya, karena itu ia lalu menjadi sumber kekayaan yang tiada pernah habis. Pemberi derma terbaik, hidupnya hanya bagi kemanusiaan; sungguh jauh dari segala sikap pelit dan

mementingkan diri sendiri, dengan segera ia dikenal sebagai Avishahya, ‘Orang Yang Tiada Banding’.

Ia begitu bahagia melihat para pengemis, sebagaimana perasaan bahagia para pengemis saat melihat dirinya: dalam sekilas pandang, keduanya sama-sama mengetahui bahwa keinginannya yang terdalam telah terpenuhi. Singkatnya ia tak dapat menolak permintaan apa pun, dan belas kasihnya yang agung tak menyisakan tempat bagi keterikatan terhadap harta, sehingga kebahagiaan utamanya adalah menyaksikan orang-orang miskin membawa barang-barang bagus dari rumahnya. Ia melihat bahwa apa yang disebut sebagai barang-barang bagus seperti adanya, menjadi sumber bagi keinginan dan kekecewaan, yang dengan cepat membawa pada ketidakpuasan tanpa adanya sebab musabab sebelumnya.

Sesungguhnya, kekayaan bercampur dengan ketamakan dapat disebut sebagai arak-arakan dijalan keputusasaan. Kekayaannya, di lain pihak membawa manfaat yang sesungguhnya baik bagi dirinya maupun pada yang lain. Mahasattva kepada para pengemis memberikan apa pun yang mereka perlukan sekaligus menghiasi pemberiannya dengan sikap hormat, dan bebas dari kekesalan, dengan cara demikian membuat mereka semua merasa puas.

Ketika Dewa Shakra, Raja Para Dewa, mendengar kebajikan sang Bodhisattva, ia benar-benar sangat kagum, dan saat itu juga memutuskan untuk menguji keteguhan Bodhisattva dalam melaksanakan kebajikannya. Dari hari ke hari, sedikit demi sedikit, jumlah uang, biji-bijian, permata dan bahan pakaian mulai menghilang dari rumah Avishahya. “Barangkali,” ujar Shakra, “mengetahui hartanya habis akan membuatnya menunjukkan sedikit sikap mementingkan diri sendiri.” Sebaliknya Mahasattva tetap gigih melaksanakan dana. Tak lama kemudian seluruh hartanya habis bagaikan air hujan yang kering oleh sinar matahari, ia lalu

memerintahkan agar lebih banyak lagi yang dikeluarkan dari rumahnya, hingga menyerupai penyelamatan barang-barang dari bahaya api.

Melihat hal ini Shakra semakin takjub, ia mempersiapkan ujian bagi keagungan ketulusan hatinya. Di malam hari ia mengambil seluruh harta Avishahya, kecuali seutas tali dan sebuah sabit. Bodhisattva bangun dari tidurnya mendapati segalanya telah habis, seluruh barang-barang rumah tangganya, furnitur, uang, biji-bijian, pakaian, bahkan para pelayannya. Rumahnya kosong, sepi dan menyedihkan, seakan-akan telah di jarah para raksasha, tak ada yang tersisa kecuali tali dan sabit.

“Mungkin beberapa orang miskin tidak lebih dulu menyampaikan permintaan, tapi dengan inisiatifnya sendiri dan membantu dirinya sendiri. Dalam kejadian ini, mereka telah memilih rumahku serta barang-barangku berguna,” ujarnya. “Tetapi bila sebaliknya, karena kurangnya keberuntunganku, seseorang yang iri pada nasib baikku telah begitu saja mencuri semua barangku, bukan untuk menggunakannya, itu sungguh disayangkan.

“Tidak langgengnya keberuntungan tidaklah mengherankanku, tetapi yang melakukannya patut disesalkan, membuat aku iba. Mereka telah lama menikmati pemberian dan kedermawananku; kini, mendapati rumahku yang kosong, bagaimana perasaan mereka? Tak ada bedanya dengan mereka yang tersiksa oleh haus, menemukan kolam yang kering.”

Setelah menjaga keadaan batinnya, Bodhisattva tak mau jatuh ke dalam kesedihan. Tak pernah mengemis, ia tidak dapat mengajak dirinya sendiri meminta bantuan pada orang lain, bahkan dari mereka yang ia kenal baik. Karenanya ia kemudian memahami betapa sulitnya menjadi pengemis. Belas kasihnya kepada para pengemis

lebih kuat dari sebelumnya, dengan pikiran yang bermaksud membantu orang-orang miskin yang begitu kuat dalam hatinya, ia meraih tali dan sabit, pergi ke ladang untuk mengumpulkan rumput. Hari demi hari ia berjemur di bawah terik matahari, dan dengan sedikit penghasilan dari menjual rumputnya, ia berusaha memberi kepada banyak pengemis.

Menyaksikan ketenangan yang tak tergoyahkan tersebut, serta keteguhannya memberi dalam keadaan yang sangat kekurangan, Dewa Shakra dipenuhi oleh perasaan takjub serta penyesalan. Namun demikian ia belum menghentikan cobaannya. Dalam terangnya cahaya pelangi, ia menampakkan diri di angkasa di hadapan Bodhisattva, memamerkan wujud kedewataannya yang mengagumkan, untuk membuat Bodhisattva berpaling dari melakukan dana, ia berkata:

“Perumah tangga! Tiada pencuri ataupun air, tiada api ataupun pangeran yang telah merampok hartamu. Kemurahan hatimu pada orang-orang Candalalah yang membuatmu mengalami keadaan ini, para sahabatmu telah banyak memberi peringatan. Untuk itulah aku menganjurkanmu agar menghentikan kegemaranmu memberi. Jika engkau berhenti berdana, sangat mungkin bagi orang miskin seperti dirimu sekarang, akan dapat kaya lagi seperti sebelumnya. Dengan memakainya secara langsung, kekayaan akan ludes; sebaliknya dengan mengumpulkan bukit akan terciptalah gunung. Dengan bersikap mementingkan diri sendiri engkau akan dapat membuat hartamu bertambah.”

Untuk menunjukkan ketekunannya dalam berdana, Bodhisattva menjawab: “Oh Yang Bermata Seribu, yang berhati mulia, betapapun sulitnya, tak akan membiarkan diri sendiri melakukan perbuatan yang tidak mulia. Semoga tak ada kesempatan bagiku untuk melakukan sesuatu yang menyedihkan seperti itu. Para pengemis

berada dalam penderitaan berat, hampir seperti kematian. Karena mengemis adalah satu-satunya harapan mereka, siapakah yang akan melempari orang-orang miskin dengan batu kebencian penolakan? Sesungguhnya, siapakah yang memperoleh batu permata, kekayaan, bahkan surga para dewa, dan tidak menggunakannya untuk menghentikan penderitaan dari mereka yang mulai pucat karena pekerjaan sebagai mengemis? Jika seseorang tidak berdana, orang memperkuat keserakahannya. Dalam memperkuat kemurahan hati, orang akan terlindung dari bahaya tersebut.

“Kakayaan seperti kilasan kilat. Ia mungkin saja akan mengenai siapa saja, bila itu terjadi, ia hanya akan menyebabkan kesakitan serta bencana; karena hanya ada kebahagiaan dan kesukacitaan yang berasal dari berdana. Mengerti akan hal ini, bagaimana mungkin orang mulia menginginkan keserakahan? Dewa Shakra, aku mengucapkan terima kasih atas nasihat baik serta perhatianmu, namun demikian hatiku telah terbiasa dengan kegembiraan yang ditimbulkan oleh kegiatan memberi. Bagaimana mungkin aku dapat memperoleh kegembiraan dari hal lain? Mohon jangan marah pada sikapku; sifat utamaku tidak mudah menyerah.”

Dewa Shakra menjawab: “Perumah tangga, kata-katamu seolah-olah dirimu masih menjadi orang kuat dan kaya, yang di ikuti oleh banyak pelayan, dengan harta dan kemewahan yang terus mengalir, yang masa depannya pasti. Sikapmu tidak sesuai dengan keadaanmu. Sekarang saatnya engkau memulihkan kekayaanmu. Ambillah bidang pekerjaan yang sesuai bagi mereka yang keadaannya seperti dirimu! Dengan segera engkau akan mengumpulkan kekayaan seluas sinar matahari, sehingga dengan kekayaan itu engkau akan membuat keberuntungan lawan-lawanmu diliputi oleh gerhana. Setelah itu engkau akan dapat menikmati kenikmatannya seperti memeluk kekasihmu. Setelah mendapatkan kehormatan bahkan oleh raja, engkau akan dapat memamerkan

keadaanmu pada masyarakat, dan membuat para sahabatmu kagum dengan pemberian atau keduanya. Jika dalam keadaan tersebut, engkau merasa perlu melaksanakan kegiatan amal dana, tak jadi masalah, tak ada yang akan mencelamu?

“Sebaliknya, senang memberi tanpa sarana untuk melakukannya seperti kebodohan seekor burung yang sayapnya baru berkembang setengah berkehendak terbang. Keinginanmu berdana akan meruntuhkanmu; hanya dengan menjalani ketidakterikatan, akan tercapai tujuan yang rendah, sedangkan meninggalkan kegiatan berdana memungkinkanmu memiliki harta. Tanpa harta apa yang dapat kauberikan? Apa salahnya tidak memberi, jika memang nyatanya tak ada yang dapat kauberikan?”

Bodhisattva menjawab: “Shakra, tak ada waktu untuk mengikuti nasihatmu! Bahkan, meskipun mereka yang hanya peduli pada kepentingannya sendiri, dibandingkan kepentingan orang lain, akan menyadari bahwa dengan menjalankan kemurahan hati mereka akan memperoleh lebih banyak dari apa yang didapatkannya dari harta. Perasaan sangat puas akan muncul dengan mengalahkan ketamakan melalui praktik dana. Ingatlah selalu hal ini dalam hati, orang akan mengetahui betapa bodohnya berusaha untuk memperkaya diri, karena hal itu tak akan dapat membawa seseorang ke alam-alam surga. Kemurahan hati sendiri memberi seseorang reputasi mulia dan mengalahkan sikap-sikap keserakahan. Memahami akan hal ini, siapakah yang tak mau melaksanakan dana? “Siapa pun yang tergerak oleh belas kasih, siapapun yang berkehendak melindungi makhluk hidup yang diliputi oleh usia tua dan kematian, akan memberikan dirinya sendiri sebagai dana. Orang seperti itu tidak terpengaruh oleh kebahagiaan duniawi biasa lagi; penderitaan orang lain mencegahnya merasakan kebahagiaan yang

demikian. Bagi orang seperti ini, tiada artinya lagi keagungan yang engkau miliki di alam surga?

“Dengarkan kembali hal ini, Oh Raja Para Dewa: masa hidup sungguh tak dapat di tentukan, sebagaimana keadaan kekayaan. Bilamana orang paham akan hal ini, jelas sekali tak perlu memedulikan pahala dari perbuatan amal dana. Ketika sebuah kereta telah meninggalkan jejaknya di atas tanah, kereta yang berikutnya akan pergi dengan lebih yakin. Untuk alasan itulah, aku tak akan beranjak dari jalan baik ini, aku tak akan membawa keretaku ke jalan yang salah.”

“Bila aku harus sekali lagi menimbun harta, itu sudah pasti akan menggembirakan orang-orang miskin. Saat ini, bagaimanapun, bahkan meskipun dalam kesendirian, aku akan tetap berdana semampuku. Semoga aku tak akan lemah dalam menjaga ikrar kemurahan hatiku!”

Dengan kata-kata tersebut Dewa Shakra akhirnya merasa puas. “Benar sekali, benar sekali!” teriaknya, sambil memandang Bodhisattva dengan rasa hormat serta perasaan kasih sayang, ia lalu menjelaskan: “Sebagian besar orang tunduk pada harta dengan berbagai alasan, tak peduli bagaimanapun hina, kasar ataupun menyakitkannya, tak soal bagaimana buruk nama baiknya. Tak memedulikan bahaya, terikat pada kesenangannya, mereka membutakan diri sendiri dengan sikap mementingkan dirinya. Sebaliknya engkau tak memedulikan hartamu yang hilang, dan juga hilangnya kesenanganmu. Engkau sama sekali tak terpengaruh oleh cobaanku, tetap teguh dalam mengembangkan keberuntungan orang lain. Dengan begitu engkau telah menunjukkan keagungan sifatmu! “Betapa bersinar kelembutan hatimu! Betapa sempurna engkau telah melenyapkan kegelapan batin rasa mementingkan diri sendiri!

Meskipun hartamu telah habis, keinginanmu untuk memberi tidak juga surut, dengan berharap dapat melakukannya lagi. Begitu besarnya deritamu atas penderitaan makhluk lain, begitu besar kekuatan belas kasih dan keinginanmu untuk membawa kebajikan bagi dunia, tak heran bila aku tak dapat menghalangimu. Begitu tak berarti bagai Himalaya yang digetarkan oleh terpaan angin!

“Akulah yang telah menyembunyikan hartamu, namun demikian dengan cobaan itu kemasyhuranmu akan tersebar. Hanya dengan diuji maka sebuah batu permata, betapapun bagusnya, baru akan mendapat nilai yang sangat mahal sebagai permata termasyhur. Maafkan aku, dari sekarang tumpahkan pemberianmu kepada yang membutuhkan sebebas awan hujan memenuhi kolam. Atas anugerahku, engkau tak akan pernah lagi kehilangan hartamu.”

Setelah memperoleh maaf dari Avishahya, Dewa Shakra mengembalikan seluruh miliknya, kemudian menghilang.

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana orang baik tak akan surut praktik dananya, baik karena rasa khawatir kehilangan keberuntungannya atau karena keinginan untuk memperoleh lebih banyak.

Dalam dokumen Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni (Halaman 42-50)

Dokumen terkait