(Kisah Tentang Pemimpin Golongan)
Bahkan meskipun dihadapan bencana yang mengancam, orang yang baik tak akan berpaling dari melakukan amal dana. Siapakah, yang lalu ketika aman dan bahagia, tak mau beramal dana?
Pada suatu ketika, saat Sang Buddha masih sebagai Bodhisattva, ia lahir sebagai putra dari sebuah keluarga yang baik. Diberkati dengan semangat yang tiada terhingga dan juga keberuntungan, ia menjadi pemimpin golongannya. Ia memiliki perkebunan yang luas, dan berkat kejujuran serta kepandaiannya dalam berdagang, ia mendapat penghormatan yang tinggi dari semua orang. Singkatnya, ia mempelajari berbagai cabang pengetahuan serta keterampilan, memurnikan pikirannya, menciptakan kemuliaan bersama dengan kemuliaannya, memberi kehormatan baginya bahkan oleh sang raja.
Menekuni ajaran tentang dana, ia terus menerus berusaha berbagi kekayaan yang dimilikinya bersama-sama masyarakat. Orang-orang miskin memuji-mujinya hingga kemana-mana, menyebarluaskan reputasinya sebagai seorang dermawan ke segala penjuru; mereka sangat mempercayainya, sehingga mau mengutarakan apa yang mereka inginkan dengan leluasa kepadanya. Bagi dirinya, yang tak terpengaruh oleh ketamakan, ia tidak lagi mempertahankan hartanya – baik bagi kesenangannya sendiri, ataupun untuk menciptakan pengaruh bagi orang lain – karena ia merasa, tidak mungkin bagi dirinya melihat penderitaan bagaimanapun namun menolak untuk membantu.
Pada suatu hari seorang pengemis, yaitu seorang Pratyekabuddha di mana api pengetahuan telah membakar segala noda nafsunya, mendekati kediaman Bodhisattva. Ketika itu keinginan pengemis tersebut hanyalah demi berkembangnya kebajikan Bodhisattva, dan untuk tujuan tersebut ia muncul di pintu gerbang pada saat makan siang, tepat ketika Mahasattva, baru saja mandi dan menghiasi dirinya, hendak duduk untuk bersantap siang. Terdapat bermacam makanan dalam jumlah banyak yang telah dipersiapkan oleh juru masak terbaiknya, makanan-makanan yang rupa, aroma, rasa, bentuknya serta segala halnya menyenangkan. Pada siang yang tenang itu, sang pertapa berdiri di luar rumah tanpa dipersilahkan ataupun di usir, melihat dengan jelas dan tenang tak berapa jauh di hadapannya, tangannya yang bagaikan bunga padma memegang mangkok kayu pindapatra.
Ketika itu Mara, si jahat, tak tahan melihat Bodhisattva menikmati kesenangan dari memberi dana makanan. Bermaksud hendak mencegah perbuatan berdana, Mara mewujudkan sebuah neraka yang sangat dalam, dengan lebar beberapa depa, dimana menjadi pemisah antara pengemis dengan gerbang pintunya. Didalam neraka itu, tampak beratus-ratus orang diantara nyala api,
menimbulkan suara keras yang mengerikan: Yang benar-benar merupakan pemandangan menakutkan.
Akan tetapi Bodhisattva, hanya melihat Pratyekabuddha, lalu berkata dengan lembut kepada istrinya: “Pergilah, istriku, berilah orang suci itu makanan.” Saat itu juga istrinya mendekati pintu dengan membawa sebuah tempayan penuh makanan yang sesuai bagi pengemis. Tetapi di dekat pintu, ia menengok ke arah neraka tersebut, merasakan ketakutan dan memekik histeris. Begitu takutnya hingga tenggorokannya terkunci saat Bodhisattva bertanya kepadanya apa yang terjadi, ia tergagap tak dapat berbicara.
Tak mau ada orang suci yang pergi dari rumahnya dengan tangan hampa, Bodhisattva tak menghiraukan ketakutan istrinya. Meraih tempayan makanan tersebut dengan tangannya sendiri, baru saja ia akan melewati pintu ia juga melihat neraka yang mengerikan tersebut. Pada saat ia berdiri disitu, keheranan pada arti kejadian tersebut, Mara, si jahat, tiba-tiba menampakkan dirinya. Menyamar sebagai seorang dewa agung, Mara keluar dari tembok rumah dan melayang diudara, berbicara yang kedengarannya baik kepada Bodhisattva:
“Perumah tangga, lihatlah neraka Maharaurava ini, dari situ sungguh sangat sulit untuk membebaskan diri! Ini adalah neraka bagi mereka yang merasa senang terhadap pujian dari para pengemis, mereka yang diliputi nafsu jahat kemurahan hati, dan memberikan seluruh hartanya yang dikumpulkan dengan baik. Disini mereka akan berdiam selama beribu-ribu tahun.
“Harta adalah sebab yang membawa pemurnian bagi ketiga dunia. Jika seseorang memberikan hartanya, bagaimana mungkin ia tidak merusak Dharma? Barang siapa yang merusak harta ia
merusak kebenaran. Tidak pantaskah orang yang menghancurkan Dharma, dengan menghancurkan harta, harus pergi ke alam neraka? “Dan neraka ini yang tampak seperti jilatan Narakantaka ditangga pintumu, akan menelanmu - karena dosa-dosamu yang tiada terbilang akibat membagi-bagikan hartamu, yang menjadi akar dari segala Dharma. Sejak sekarang hentikan memberi dana, dengan begitu akan menahan kejatuhanmu yang langsung kedalam jilatan kobaran api ini, berbagi nasib dengan pemberi dana makanan malang itu – yang menggeliat kesakitan dan menangis tiada henti.
“Kekayaan, sebaliknya, dari mereka yang mengurangi kebiasaan buruknya memberi, akan mencapai alam para dewa! Bebaskan dirimu dari usaha beramal dana, yang menjadi rintangan kebahagiaan surgawi. Jalankan ketidak pedulian!”
Bodhisattva mengetahui bahwa orang yang mengatakan hal seperti ini pastilah orang yang jahat. “Ini pastilah rintangan kemurahan hatiku,” pikirnya. Tetap gigih namun baik, dan sesuai kebajikan, ia menjawab:
“Pada intinya yang telah engkau tunjukkan kepadaku adalah jalan orang-orang jahat. Singkatnya, itu sesuai hingga para dewa harus menunjukkan belas kasihnya melalui perbuatan mereka serta kecakapannya dalam menolong makhluk lain. Bukankah lebih baik mencegah penyakit sebelum ia berjangkit, atau setidak-tidaknya menggunakan obat penawar segera setelah tanda-tanda pertama muncul. Mengingat bahwa jika penanganan yang salah akan membuat penyakitnya semakin berkembang, terlambat menggunakan obat penyembuh hanya akan menyebabkan bencana. Keinginanku untuk berdana telah tumbuh, ketakutanku, jauh melampaui jangkauan pertolongan – karena pikiranku kini tak dapat
berpaling dari perbuatan memberi, mengabaikan nasihatmu sungguh suatu sikap yang tepat.
“Mengingat bahwa ucapanmu menganggap kemurahan hati sebagai dosa dan harta sebagai kebenaran, aku khawatir kemampuan pemahaman manusiawiku yang lemah tak mampu memahaminya. Bagaimana bisa kekayaan tanpa kemurahan hati, dapat disebut sebagai jalan kebajikan? Katakan kepadaku, jika demikian kapan kekayaan akan membawa kebajikan? Seperti halnya harta karun yang terpendam, barangkali? Atau ketika telah dicuri oleh para pencuri jahat? Atau ketika hilang didasar laut, atau ketika menjadi bahan bakar api?
“Bahkan, dengan berkata bahwa para pemberi dana akan pergi ke neraka dan yang menerima akan pergi ke surga, engkau hanya membuat ke inginanku untuk berdana semakin kuat. Semoga kata-kata itu benar adanya! Semoga mereka yang mengemis kepadaku langsung muncul dialam surga! Mengingat bahwa bukan demi kebahagiaanku sendiri aku berdana, akan tetapi demi kebahagiaan semua makhluk.”
Lalu Mara, si jahat, memeluk Bodhisattva, seperti sahabat karib mengucapkan sesuatu yang menyenangkan ditelinganya: “Terserah padamu apakah kata-kataku bohong atau demi baikmu. Lakukan yang kauinginkan. Bersyukur atau menyesal, engkau tak akan cepat melupakanku.”
Bodhisattva menjawab: “Pak, maafkan aku. Atas kemauanku sendiri aku akan menjatuhkan diri kedalam api neraka yang berkobar dan merasakan jilatan apinya. Daripada memilih mengabaikan kebajikan para pengemis yang telah menunjukkan rasa percayanya pada diriku dengan datang mengemis kepadaku.”
Sehingga Bodhisattva, bersandar pada kekuatan keberuntungan yang baik (yang sepenuhnya memahami dengan baik bahwa akibat sesungguhnya dari kemurahan hati bukanlah keburukan), melangkah menuju neraka yang terhampar dihadapannya. Dan dalam melakukannya, hatinya tak tersentuh oleh perasaan takut, dan kehendaknya untuk memberi jauh melampaui yang sebelumnya, mengabaikan pendapat maupun usul dari para sanak keluarga serta para pelayannya.
Berkat kekuatan kebajikan Bodhisattva, bunga padma bermekaran ditengah neraka tersebut; kuntum bunganya melambai-lambai seolah-olah menertawakan Mara, ia membawa Mahasattva menyeberangi samudra api tersebut. Berdiri dihadapan Pratyekabuddha, perumahtangga mengisi mangkok pindapatra sang pertapa dengan makanan, sementara perasaan hatinya sendiri diliputi oleh kebahagiaan dan kesukacitaan.
Pratyekabuddha, memperlihatkan rasa puasnya, terbang tinggi keangkasa, hujan turun dengan lebatnya, menyala dengan keagungan bagaikan awan yang terang oleh kilasan kilat. Kalah dan kecewa, Mara kehilangan kekuatannya. Tak sanggup menatap wajah Bodhisattva, ia lenyap bersama dengan nerakanya.
Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana orang baik tidak surut dari melakukan pemberian bahkan meskipun berada dalam bahaya; lalu siapa, yang berada dalam keadaan aman dan bahagia tak melaksanakan amal dana? Orang yang pemberani dan yang berhati mulia, tak akan berjalan melewati jalan yang salah, meskipun dalam ketakutan.