• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vishvantara Jâtaka

Dalam dokumen Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni (Halaman 87-109)

(Kisah Tentang Vishvantara)

Jika makhluk biasa tak sanggup bahkan memahami perbuatan Bodhisattva, bagaimana mungkin mereka mengikuti teladannya?

Suatu ketika bangsa Shibi diperintah oleh seorang raja yang setiap perbuatannya berhiaskan kebajikan. Namanya Raja Samjaya, pria yang keberanian, kebijaksanaan serta kerendahan hatinya telah menyebabkan nafsu-nafsunya berada dalam pengendalian, dan membuatnya menjadi seorang pemenang serta mulia. Berkat kebajikannya yang agung, keagungan serta keyakinan, bagai seorang kekasih setia, mengikuti dirinya dengan setia sebagaimana singa yang menjaga sarangnya.

Berkat sikap hormatnya yang terus-menerus dan teguh terhadap para tetua, ia menjadi ahli dalam kerahasiaan Veda serta metafisika, dan telah menjadi pandai dalam tata peraturan peradilan. Sehingga

para rakyatnya mengenyam rasa aman serta damai, menjalankan kewajiban mereka masing-masing dengan perasaan gembira, penuh bakti. Raja menghargai siapa pun yang menghadapnya, apakah mereka menunjukan kebajikannya dalam praktek agama, ilmu pengetahuan ataupun seni.

Yang setara dengan keadaannya, bahkan dalam kebajikannya adalah Vishvantara, putranya yang juga pewarisnya. Meskipun masih muda, ia memiliki batin yang seimbang dibandingkan yang lebih tua; meskipun penuh semangat, ia secara alami telah menjadi seorang penyabar; meskipun terpelajar, ia bebas dari kesombongan; dan meskipun ia mulia dan terhormat, ia tak ternoda oleh kebanggaan diri. Ketenaran semua yang lain yang menelusuri jalan kebajikan menjadi redup disisinya; ia dipuji diseluruh triloka.

Vishvantara tak dapat berdiam diri menanggung derita hebat dan tak terbilang kesengsaraan umat manusia. Terhadap musuh tersebut ia berperang dengan sengit, dengan melepaskan tiada terhitung anak panah pemberian dari busur belas kasihnya. Setiap hari ia terus memberi orang-orang miskin tanpa bertanya dan juga tanpa henti, lebih dari yang mereka harapkan; ia juga menghiasi setiap pemberiannya dengan kata-kata yang menyenangkan.

Pangeran juga cermat dalam memperhatikan hari-hari suci. Setelah mandi dan mengenakan busana linen putih, dengan batin yang seimbang, ia akan mengendarai gajah putihnya yang besar, yang tangkas serta tangguh, yang badannya memiliki tanda-tanda keberuntungan, yang warna serta ukurannya bagaikan puncak Gunung Himawat. Di atas binatang yang istimewa tersebut, pangeran hendak mengunjungi balai dana yang telah dibangunnya diseluruh kota, yang menjadi tujuan bagi mereka yang kekurangan, dimana mereka akan mendapat apa pun yang mereka inginkan.

Berkat kegemarannya beramal dana, timbulah perasaan gembira yang luar biasa ketika memberi pada mereka yang membutuhkan. Dan kesenangan dari pemberian seperti itu tak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan biasa.

Kata kemurahan hati yang luar biasa tersebut, dinyatakan di mana-mana oleh para para pengemis yang kegirangan, sehingga tersebar luas serta jauh. Dengan segera raja tetangga mendengar kabar kemurahan hati pangeran, lalu menyusun rencana untuk merampas gajah kerajaan milik pangeran dengan cara menipunya melalui kegemarannya dalam memberi. Untuk menjalankan rencana tersebut, raja pesaing itu mengutus serombongan para brahmana pergi ke negeri Shibi.

Saat Vishvantara mengunjungi balai dananya, kebahagiaannya yang terus-menerus meningkat, menyebabkan wajahnya yang tampan semakin berseri, para brahmana penipu tersebut, mengucapkan puji-pujian dengan melambai-lambaikan tangannya, dengan menghadang dijalan yang dilewatinya. Dengan hormat, pangeran menghentikan gajah besarnya, lalu bertanya tentang keinginan mereka: “Katakan kepadaku apa yang membuatmu datang kemari,” ujarnya, “Aku tentu akan memenuhinya.”

“Kami melihat kesenangan Anda dalam memberi,” ujar para brahmana, “demikian pula keunggulan gajah Anda dengan kecepatannya yang mengagumkan. Itu membuat kami tampak seperti seorang pengemis yang sangat menginginkannya. Penuhilah dunia dengan ketakjuban, Oh Pangeran. Berilah kami dengan binatang agung ini, yang indah bagai puncak Gunung Kailasha, semoga bersukacita.”

Bodhisattva dipenuhi kebahagiaan, mengingat bahwa telah begitu lama ia tidak dimintai memberikan pemberian yang

sedemikian besar. Meskipun ia menyadari: “Apa gunannya brahmana memiliki gajah seperti itu? Tak ragu lagi, pastilah itu tipu muslihat raja tertentu, yang pikirannya diliputi oleh kabut kedengkian, iri hati dan kebencian yang menyedihkan.

“Namun demikian ia tak boleh kecewa. Dalam memberi kesempatan kepadaku, dengan mengabaikan nama baiknya sendiri serta ajaran tentang perbuatan benar, ia menambah kebajikanku.” Kemudian Mahasattva turun dari gajahnya yang besar, berdiri di hadapan para brahmana, mengangkat kendi emas, sambil mengucapkan kalimat: “Mohon terimalah pemberian ini.”

Meskipun bahkan pangeran sendiri mengetahui dengan baik bahwa ilmu politik tidak mengikuti jalan benar, dimana yang menjadi tujuannya hanyalah harta, ia tetap merasa gembira memberikan gajahnya sebagai bentuk kesungguhannya pada Dharma. Ia memandang dengan gembira saat gajah besarnya, dihiasi dengan pegas duduk emas bagusnya, gugusan awan samar yang terang oleh kilasan kilat, berjalan pergi ditangan orang asing.

Para penduduk, sebaliknya, mengingat bahwa mereka berpegang pada ketentuan politik, mendengar berita tentang apa yang telah diberikan oleh sang pangeran, semua diliputi oleh perasaan kecewa. Para brahmana yang telah lanjut, para menteri, para perwira, serta penduduk kota datang ke istana Raja Samjaya. Di penuhi oleh kemarahan serta kekesalan, mereka mengabaikan tata krama kerajaan mereka, dengan mengungkapkan kemarahannya: “Bagaimana bisa Baginda hanya duduk saja tanpa berbuat sesuatu! Keberuntungan kerajaan Anda telah dibawa pergi, kerajaan anda benar-benar akan tak berdaya!”

Raja terkejut, bertanya apa maksudnya, lalu mereka menjawab: “Apakah Anda tidak sadar atas apa yang telah dilakukan oleh putra

Anda? Hewan besar itu, yang keharumannya membuat mabuk lebah dan memenuhi udara dengan bau harum yang membuat gila keangkuhan gajah lain; gajah perang itu, yang kekuatannya menakjubkan, menaklukan musuh anda serta menyebabkan kesombongan mereka tidur; yang merupakan wujut kemenangan, telah dilepaskan oleh Vishvantara dan saat ini telah dibawa pergi!

“Biji-bijian, pakaian, makanan, emas, semua itu memang pantas untuk didanakan kepada para brahmana! Berpisah dengan gajah besar kita, yang menjadi simbol kejayaan agung, bukanlah perbuatan kemurahan hati, sebaliknya merupakan perbuatan yang tak dapat di terima akal sehat! Pangeran tak akan dapat berhasil memerintah, ia telah melanggar prinsip-prinsip dasar ilmu politik. Bersabar dalam melihat kejadian ini benar-benar tak dapat di benarkan. Baginda, mohon lakukanlah sesuatu, ia telah membuat musuh Anda lebih kuat.”

Raja begitu mencintai putranya; mendengar kata-kata seperti itu, ia tidak memperlihatkan rasa senangnya pada yang berbicara. Namun mengangguk untuk menunjukkan tata krama, dengan harapan agar dapat mengurangi kekesalan mereka, raja berkata kepada mereka, bahwa apa yang di katakan mereka memang benar: “Aku mengerti saat itu Vishvantara sedang di liputi oleh semangatnya dalam memberi sebanyak-banyaknya, hingga mengabaikan kekuasaan negara. Dan juga benar bahwa cara seperti itu tidaklah bijaksana dilakukan oleh mereka yang akan memerintah. Akan tetapi semua telah terjadi. Ia telah membuang gajahnya sendiri seperti segumpal dahak, siapa yang bisa mengambilnya kembali? Di waktu nanti kalian dapat mempercayai bahwa aku akan menjelaskan kepadanya, mengenai batasan dalam berdana; semoga ini cukup untuk meredakan kemarahan kalian.”

Tetapi orang-orang Shibi menjawab: “Tidak, Baginda. Hanya begitu saja tidaklah cukup. Bukanlah cara yang tepat memberi alasan dengan mengutarakan celaan begitu saja.” “Lalu apa lagi yang harus dilakukan?” tanya Raja Samjaya. “Bukan karena kesalahannya, tapi karena keterikatannya terhadap berdana begitu besarnya. Sebagai hukuman atas perbuatannya, yang telah memberikan gajahnya apakah kalian ingin memenjarakannya atau menghukumnya mati? Tenangkan diri kalian. Sejak saat ini, aku akan melarang Vishvantara melakukan perbuatan yang sama.”

Dengan tetap marah, orang-orang Shibi mendesak: “Tak seorangpun yang menginginkan hal itu, Oh Baginda, yang menghendaki agar puteramu dihukum mati atau di penjarakan, ataupun juga di dera. Namun karena apa yang dilakukannya adalah wujud kesungguhan hatinya dalam beribadah, Vishvantara tidak cocok memanggul kerajaan; kelembutan hatinya serta kedalaman belas kasihnya membuatnya tak sesuai memangku kedudukan itu. Serahkan singgasana kerajaan kepada salah seorang pangeran yang telah menguasi ilmu politik, yang ketangguhannya dalam berperang tak perlu dipertanyakan lagi. Putramu, yang begitu mencintai kebajikan telah mengabaikan aturan, sepatutnya hanya berdiam dihutan menjadi pertapa.

“Jika pangeran melanggar peraturan, rakyat yang akan menanggung derita. Kita dapat menerima kesalahan tersebut, sebagaimana yang telah kita lalui dalam sejarah, akan tetapi kasalahan yang demikian telah mencabut akar kekuatan kerajaan. Karenanya, kami tidak dapat hanya berdiri melihat kejatuhan Anda, dan kami telah menemukan jalan keluarnya: Putra mahkota seharusnya mengasingkan diri ke Gunung Vanka, yang menjadi tempat para siddha. Di sana, tak akan merugikan pemerintahan, ia akan dapat melaksanakan kemurahan hati untuk menyenangkan hatinya.”

Demikianlah orang-orang, tergerak oleh keharuan serta kasihnya terhadap raja, berbicara sejujurnya dalam kata-kata yang dimungkinkan. Raja, merasa malu serta sedih, sangat berat serta menunjukan kegundahan, dipengaruhi oleh pikiran-pikiran perpisahan dengan putranya. “Baiklah jika demikian,” ujarnya. “Apa yang kalian inginkan akan dilaksanakan. Tapi biarlah putraku sehari-semalam bersamaku; besok saat fajar menyingsing ia akan menjalani apa yang kalian inginkan.” Demikianlah orang-orang Shibi lalu merasa puas hatinya.

Kepada petugas istana raja berkata: “Pergilah dan sampaikan kepada Vishvantara apa yang telah terjadi.” Setelah itu, wajahnya basah oleh air mata, menteri langsung menemui sendiri pangeran dan menjatuhkan dirinya dikaki Bodhisattva. “Apa yang terjadi?” Tanya Vishvantara. “Apakah ada yang sakit?” Yang lain menjawab dengan suara penuh haru: “Tidak, keluarga raja semua sehat.” “Lalu ada masalah apa?” Tanya pangeran. Dengan suara yang bergetar disertai cucuran air mata, petugas kerajaan tersebut mengutarakan: “Pangeran, orang-orang Shibi, tidak mengindahkan kehendak raja meskipun telah disampaikan dengan kata-kata yang jelas, dengan marah mereka menginginkan Anda diasingkan dari kerajaan.”

“Mengapa rakyat Shibi marah?” tanya Vishvantara. “Apa yang kalian katakan tak bisa dimengerti. Aku tak pernah menyimpang dari peraturan, tak pernah melalaikan tugas kewajibanku. Apa yang telah kulakukan hingga rakyat begitu marah kepadaku?”

Pembantu istana menjawab: “Mereka terluka oleh kemurnian hati Anda. Anda telah memberikan gajah Anda yang sangat masyhur, Oh Pangeran Mulia, memutuskan kesabaran mereka serta menggerakkan mereka melangkahi batas kewajibannya. Mengingat

bahwa kepuasan yang Anda rasakan berasal dari sepenuhnya bebas dari keterikatan, apa yang menggerakkan orang yang mengemis tiada lain hanyalah keinginan. Tak mengerti akan hal yang demikian, Anda telah menyebabkan kemarahan seluruh kota. Sekarang Anda tak memiliki pilihan lain kecuali pergi menjadi seorang pertapa.”

Kemudian, untuk menunjukkan kesabarannya yang teguh, sebagaimana perhatiannya terhadap orang miskin, yang telah berakar sangat dalam, yang dengan kokoh diteguhkan oleh belas kasihnya yang begitu dalam, Vishvantara menjawab: “Orang-orang Shibi tak dapat diandalkan, mereka juga tidak mengerti sifatku. Hanya demi kebajikan semua makhluk semata aku menjaga tubuh ini; apa perlunya bagiku harta kekayaan? Karena aku menghargai setiap permintaan pengemis bahkan meski anggota tubuhku sendiri, mataku, kepalaku jika memang diperlukan, mengapa hartaku tidak? Orang-orang Shibi, marah pada orang miskin, mencoba untuk menjauhkanku dengan menakut-nakuti, menyangka mungkin aku bahkan akan memberikan tubuhku. Tapi apa yang mereka lakukan malah menunjukan kebodohannya.

“Meskipun jika mereka hendak membunuh ataupun menghukumku, tak akan dapat menghentikan diriku dari melaksanakan amal dana. Dengan ketetapan hati ini, aku akan pergi ke hutan menjadi pertapa.” Lalu Bodhisattva berpaling kepada istrinya: “Sudahkah engkau mendengar keputusan orang Shibi?” “Kami telah mendengarnya,” ujar Madri. “Untuk itu lepaskah, wahai orang yang bermata bening, seluruh yang kau miliki, semua yang telah kauterima dariku juga dari ayahmu.” “Apa yang harus kulakukan suamiku dengan semua itu?” “Berikanlah semua itu sebagai dana kepada yang bertingkah laku baik, sertai pemberianmu dengan sikap hormat. Kebajikan yang didapatkan dari tindakan demikian sungguh tiada banding, akan mengikuti kita bahkan setelah kita mati. Jadilah puteri kesayangan bagi orang tuamu dan juga

bagiku, jadilah ibu yang penuh perhatian bagi anak-anak kita. Lanjutkan berjalan dijalan kebajikan, waspadalah terhadap segala kelengahan. Tetapi yang lebih penting, jangan bersedih atas kepergianku.”

Sebagai jawaban, agar tidak menimbulkan ketidaksenangan suaminya, Madri, menyembunyikan kesedihannya yang dalam dengan berkata: “Ini sungguh tidak benar, Yang Mulia, engkau pergi ke hutan seorang diri. Ke mana engkau akan pergi, aku harus ikut, suamiku. Bersamamu, bahkan kematian akan menjadi kegembiraan bagiku; hidup tanpamu tak mungkin dapat kujalani. Aku tak takut hidup dihutan. Mempertimbangkan baiknya: kita akan berdiam jauh dari orang-orang jahat, berteman dengan rusa, mendengar nyanyian suara burung. Hutan dengan karpet rerumputannya, sungguh menyenangkan bagai lantai yang dilapisi dengan lapis lazuli, akan jauh menyenangkan daripada taman buatan kita.

“Sesungguhnya, pangeranku, engkau tak akan pernah memikirkan kehilangan istana saat melihat anak-anak kita berpakaian rapi, dihiasi karangan bunga, bermain diantara pepohonan. Air mengalir melintas diatas gubuk, yang keindahannya berubah-ubah oleh musim, yang tentu akan membawa kegembiraan. Nyanyian burung yang menginginkan cinta, tarian burung merak yang terbawa oleh nafsunya, dengung merdu lebah madu, semuanya akan membuat berbagai suara menyenangkanmu.

“Batu yang diselubungi oleh sutra lapisan cahaya bulan, diterpa oleh angin sepoi-sepoi membawa keharuman bunga pepohonan, air mengalir melintasi bebatuan menimbulkan suara seperti gemerincingnya benturan gelang serta cincin, segala yang ada di hutan akan membuat takjub hati anda.”

Dengan kata-kata yang demikian istrinya memenuhi hati Vishvantara dengan keinginan untuk segera memulai perjalanannya. Tetapi terlebih dahulu ia bersiap-siap mendanakan segala yang dimilikinya kepada mereka yang membutuhkan.

Di istana raja, kabar tentang hukuman telah menimbulkan keresahan luar biasa, para pengemis hampir semuanya membuat diri mereka sendiri sedih serta kecewa. Seolah-olah seperti mabuk atau gila, mereka meratapi: “Aduh! Ketidak adilan telah datang, kebajikan jatuh tertidur atau mati, Pangeran Vishvantara telah dibuang dari istananya! Bumi sendiri tertegun! Mereka telah mencabut tunasnya yang kecil, pohon teduh yang menyegarkan itu, yang telah memberikan buah terbaik, kini ia tak memilikinya lagi. Bagaimana ia tak merasa malu?

“Mereka telah membendung air yang menyegarkan kita, yang murni serta sejuk! Para pelindung dunia telah salah menyandang nama, ataukah mereka memang tak ada, nama mereka hanyalah sebutan! Siapakah yang begitu jahat dan menjadi musuh bagi hidupnya sendiri sehingga mereka menghancurkan cara hidup kita, kita yang tak berbuat jahat, yang hidup hanya dengan mengemis?” Tapi kini Vishvantara muncul di hadapan mereka untuk membagi-bagikan kekayaannya.

Dengan demikian pangeran telah menumpahkan sisa harta kekayaannya kepada para pengemis, yang memenuhi wadah mereka dengan emas dan perak serta batu permata yang tiada ternilai. Lalu gudang penimbunan benda-benda serta biji-bijian, memenuhinya hingga luber, lalu pelayan baik pria maupun wanita, binatang pengangkut beban, kereta, busana serta yang lain-lainnya. Semua ia bagi-bagikan sesuai dengan kebajikan penerimanya.

Akhirnya, setelah menyampaikan hormat kepada kedua orang tuanya yang sangat berduka, ia menaiki kereta kerajaan, dan bersama dengan istri serta anak-anaknya, berangkat meninggalkan ibu kota. Sepanjang jalan tampak ramai seolah sedang berlangsung perayaan, beratus-ratus orang bertangisan sedih, mengikutinya berkat kecintaan serta kekaguman mereka, mengucurkan air mata kesedihan. Hanya setelah berusaha sedemikian sulitnya hingga memungkinkan Vishvantara dapat membuat kerumunan orang-orang tersebut pulang. Benar-benar tenang serta lega, ia melihat untuk terakhir kalinya batas kota dengan taman serta hutan yang memikat; lalu mengambil kendali, menuju ke arah Gunung Vanka. Kerumunan di jalanan telah bubar, dengan segera bunyi gareng memberi tahu pangeran bahwa hutan telah makin dekat. Rimbunan pepohonan mulai tampak, kepala rusa yang berlarian tampak dari kejauhan. Lalu, secara kebetulan, serombongan brahmana mendekat. Mendekati pangeran, mereka meminta kuda yang menarik keretanya.

Meskipun ia sedang dalam perjalanan berkilo-kilo meter tanpa pengiring, dan juga meskipun dirinya dibebani oleh keluarganya, Vishvantara tetap saja merasa senang atas munculnya kesempatan untuk memberi. Tanpa memedulikan apa yang akan terjadi, ia dengan senang hati memberikan keempat kudanya kepada para pengemis tersebut, dan tali pengikat kudanya dilingkarkannya disekeliling pinggangnya, ia lalu menarik kereta tersebut seorang diri. Akan tetapi sebelum dapat bergerak, empat orang yaksa muda dalam wujud rusa merah serta-merta keluar dari semak, dan bahkan seolah bagai kuda yang terlatih menarik beban tersebut.

“Lihatlah kekuatan hebat dari mereka yang hidup dihutan yang terberkati ini, tempat para pertapa,” ujar Bodhisattva. “Bersikap mengasihi pada yang datang telah menjadi kebiasaan bagi rusa yang

bagus ini!” Sebaliknya Madri, yang memandang kearah binatang menyenangkan tersebut, dengan gembira serta kekaguman, menjawab: “Bukankah ini pahala kebajikan yang telah kau lakukan. Yang bahkan seorang praktisi agung sekalipun tak dapat menandinginya. Ketika cahaya bayangan bintang didalam air kalah oleh cemerlangnya kuntum bunga teratai malam, apakah engkau menganggap bungalah yang menjadi sebabnya, ataukah pantulan cahaya bulan?”

Sementara mereka terus berbicara dengan kata-kata menyenangkan karena keheranan, brahmana lain datang mendekat dan meminta kereta kerajaan kepada Bodhisattva. Pangeran, tanpa menghiraukan kenyamanannya sendiri, oleh karena ia sangat bermurah hati kepada semua pengemis, mengabulkan permintaan brahmana tersebut. Dengan perasaan gembira ia meminta keluarganya untuk turun dari kereta, dan dengan ramah memberikan kendaraan tersebut langsung kepada brahmana. Pangeran menggendong Galin, putranya di tangannya, melanjutkan perjalanannya, sementara Madri juga bebas dari perasaan tertekan, menggendong putrinya Krishnagina mengikuti disampingnya.

Dengan keramahan, pepohonan dihutan mengulurkan rantingnya yang sarat dengan buah kepada Bodhisattva seolah mereka menyambut seorang tamu. Memberi hormat pada wujud kekuatan kebajikan dihadapannya, pepohonan menunduk bagaikan penghormatan seorang siswa saat melihatnya. Dan ketika Bodhisattva menginginkan air, telaga teratai muncul, bertabur dengan madu putih serta kecoklatan yang tumpah dari bunga karena sayap-sayap angsa. Demikian pula awan membentangkan kanopi yang indah serta teduh, diharumkan oleh angin yang bertiup lembut, perjalanannya dipendekkan oleh para yaksa yang tak sanggup melihat jerih payah serta keletihannya. Dengan cara tersebut

perjalanannya berubah menjadi sangat menyenangkan seperti berkeliling ditaman yang indah.

Hinga akhirnya Gunung Vanka mulai terlihat, menunjukan jalannya melalui hutan, mereka mendaki menuju hutan para pertapa. Di sana mereka menjumpai sebuah tempat yang sangat menyenangkan, dikelilingi oleh sungai jernih kebiru-biruan, diberkati dengan hawa segar menyejukkan, dan rindangnya pepohonan dengan kulit yang halus sarat dengan bunga-bungaan cerah serta buah yang enak. Burung-burung menyanyikan suara merdu, berbagai macam rusa, dan pekikan kumpulan merak menambah keindahan tempat tersebut. Di tengah hutan terdapat sebuah pondok yang tertutup dedaunan, indah untuk dilihat dan sesuai dengan segala musim, dibangun atas perintah Shakra sendiri.

Di taman itu, dengan di temani oleh istrinya, menikmati canda tawa anak-anaknya, tiada memikirkan urusan kerajaan, Bodhisattva mencurahkan dirinya sepenuh hati pada praktik Dharma selama setengah tahun penuh.

Hingga pada suatu hari ketika sang puteri pergi kehutan untuk mencari akar-akaran serta buah-buahan, sedangkan sang pangeran tetap berada di dalam pertapaan mengawasi anak-anaknya, muncul di hadapannya seorang brahmana yang sudah lanjut usia serta kelelahan yang di kirim oleh istrinya dengan sebuah pesan penting untuk mendapatkan pembantu yang melakukan pekerjaannya. Telapak kaki serta mata kakinya penuh debu akibat perjalanannya, mata serta pipinya cekung kelelahan, dan ia memanggul kantong air pengemis di bahunya.

Memang pengemis tersebut, yang baru pertama kalinya dilihatnya setelah waktu yang sangat lama, Bodhisattva kemudian merasa girang. Dengan mata yang berbinar serta wajah tersenyum,

ia berjalan menyambut sang brahmana. Ia mengucapkan selamat datang kepadanya dengan kata-kata yang menyenangkan, lalu mengajak orang tua itu masuk kedalam pondoknya, dimana ia memperlakukannya dengan sikap hormat sebagai tamunya. Pangeran selanjutnya bertanya kepada brahmana tersebut: “Apa yang telah membawa anda kedalam hutan ini?”

Sang Brahmana, yang kebajikan serta rasa malunya telah terabaikan akibat kecintaannya yang membuta terhadap istrinya, tidak sabar untuk mengutarakan dan menerima apa yang membuatnya datang, ia menjawab: “Di manakah terdapat cahaya terang, dan bahkan jalan, begitu mudah untuk dilalui. Namun di dunia ini kegelapan mementingkan diri sendiri telah menutupi, karenanya tak ada yang akan menanggapi permintaanku. Kemasyhuran mu sebagai pemberani dalam memberi telah menjangkau seluruh dunia, untuk itulah aku datang kemari untuk meminta dari mu. Berikan kepadaku kedua anakmu untuk menjadi pelayanku.”

Bodhisattva, Mahasattva, yang terbiasa memberi dengan gembira, dan tak pernah belajar untuk berkata tidak, begitu saja

Dalam dokumen Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni (Halaman 87-109)

Dokumen terkait