• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Bodhisattva selama tiga mahakalpa, akhirnya beliau mencapai Kebuddhaan Yang Sempurna demi kebahagiaan semua makhluk.

(3)

Untaian Kelahiran Bodhisattva

Oleh:

Acharya Aryasura

2004

(4)

Kebajikan dari penerbitan kitab Jatakamala ini, di dedikasikan kepada seluruh penganut ajaran Sang Bud-dha di Indonesia, semoga meneguhkan tekad dalam mengupayakan kebajikan dan melapangkan jalan bagi bangkitnya kehendak untuk membawa kebahagiaan bagi semua makhluk.

(5)

Upashaka Pandita Sumatijnana

Di terbitkan oleh: CV. Pustaka Berlian Biru © 2003. Upashaka Pandita Sumatijnana

Editor: Meta Puspa Devi Setting dan lay out: Pustaka Berlian Biru

Edisi I: Januari 2004

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang memperbanyak sebagian ataupun seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Gambar Cover: Sang Buddha.

ISBN KTD

(6)

Kata Pengantar ... viii Pendahuluan ... x Stotra ... 2 1. Vyâghri Jâtaka ... 4 2. Shibi Jâtaka ... 11 3. Kulmâshapindí Jâtaka ... 22 4. Sreshthi Jâtaka ... 29 5. Avishahyasreshthi Jâtaka ... 35 6. Sasa Jâtaka ... 43 7. Agastya Jâtaka ... 52 8. Maitribhala Jâtaka ... 63 9. Vishvantara Jâtaka ... 80 10. Yajña Jâtaka ... 102 11. Shakra Jâtaka ... 112 12. Brâhmana Jâtaka ... 117 13. Unmâdayanti Jâtaka ... 123 14. Supâraga Jâtaka ... 139

(7)

18. Aputra Jâtaka ... 161 19. Bisa Jâtaka ... 168 20. Sreshthi Jâtaka ... 180 21. Kuddabodhi Jâtaka ... 190 22. Hamsa Jâtaka ... 199 23. Mahâbodhi Jâtaka ... 218 24. Mahâkapi Jâtaka ... 238 25. Sarabha Jâtaka ... 248 26. Ruru Jâtaka ... 255 27. Mahâkapi Jâtaka ... 267 28. Kshânti Jâtaka ... 277 29. Brâhmaloka Jâtaka ... 293 30. Hasti Jâtaka ... 306 31. Sutasoma Jâtaka ... 317 32. Ayogriha Jâtaka ... 342 33. Mahisha Jâtaka ... 352 34. Satapattra Jâtaka ... 360 Bibliography ... 366

Biografi Acharya Âryasura ... 367

Glossary ... 375

Index ... 390

Bhumisambhara Study Program ... 393

(8)
(9)

Stotra

Om namo sarvabuddha bodhisattvabhyah!

Agung serta mulia, tiada habis-habisnya pujian serta doa-doa terhadap kebajikan utama yang sedemikian membawa keberuntungan, pengulangan menakjubkan terhadap kegiatan yang di lakukan oleh sang muni dalam kehidupannya yang lampau. Baginya, aku akan memuja dengan seraup bunga slokha-slokhaku. Melalui kegiatannya yang pantas untuk dipuji tersebut, jalan yang diajarkan, yang membawa pada tercapainya Kebuddhaan; yang merupakan arah sang jalan sendiri. Bahkan meskipun mereka yang berhati keras, semoga dapat dilembutkan olehnya. Kisah suci ini semoga juga mendapat perhatian yang besar. Demikianlah harapanku, dan demi kebajikan seluruh umat manusia, hendak menemukan pendengar yang tepat atas kemahiranku, dengan memperlakukan kenyataan luar biasa dari Sang Bhagavan didunia

(10)

dalam cara yang sesui dengan kenyataan yang sebenarnya sebagaimana yang tertulis didalam sutra maupun sastra.

Beliau, yang keindahan praktek kebajikannya akan menjadi kebajikan bagi orang lain, tak seorangpun yang dapat meniru, disebabkan keterikatan pada sikap mementingkan diri sendiri; Beliau, yang sinar keagungannya menyatu dalam namanya yang sesungguhnya; Yang Maha Mengetahui; Beliau, makhluk yang tiada banding, bersama Dharma serta Sangha, aku bersujut dengan menundukan kepala.

(11)

Vyâghri Jâtaka

(Kisah Tentang Harimau)

Belas kasih Sang Buddha menjangkau seluruh makhluk hidup. Belas kasihnya yang sempurna, tiada terlukiskan serta tiada terbatas. Di kumandangkan dalam seluruh kelahiran masa lampaunya.

Sebelum beliau menjadi seorang Buddha, Bodhisattva dalam rangkaian kelahirannya yang terlalu banyak untuk diingat, berdasarkan kebijaksanaannya, memberkati dunia dengan tiada terhitung peragaan belas kasihnya, yang ditunjukkan melalui perbuatan dana, kata-kata yang menyenangkan, pertolongan serta kesatuan ucapan dengan perbuatannya.

Dalam salah satu kelahirannya, Bodhisattva terlahir dalam sebuah keluarga brahmana yang dihormati berkat kemurnian sila serta ketekunan ibadahnya. Sebagai hasil penimbunan kebajikan

(12)

dalam kehidupannya yang lampau, ia mendapatkan dirinya bergelimang dalam kekayaan, kedudukan dan kemasyhuran.

Sebagai pemuda, kedalaman kepandaiannya dicapai berkat kegigihannya dalam belajar. Dengan segera ia mahir dalam seni serta pengetahuan sedemikian hebatnya hingga bahkan para brahmana menghormatinya sebagai suri teladan, seperti ajaran sendiri; bagi para kesatria perang, ia dihormati laksana seorang raja. Bagi mereka yang dahaga akan pengetahuan, ia tampak sebagai mata air pengetahuan yang tak akan pernah mengering; dan bagi rakyat banyak, ia bagaikan seorang dewa.

Namun demikian dirinya tak merasa senang pada kekuasaan, kekayaan maupun kemasyhuran. Karma masa lalunya dan perenungannya terhadap Dharma yang terus-menerus, telah membuat batinnya murni; ia melihat segala sesuatu dengan jelas bahwa penderitaan yang tiada akhirlah yang menyertai kebahagiaan duniawi, di samping sikap penolakan terhadap samsara telah mengakar dalam dirinya. Tanpa merasa ragu, ia telah menjauhkan diri dari kehidupan rumah tangga, seolah sebagai suatu penyakit, pindah ke tempat pengasingan dihutan sepi, yang menjadi terhias dengan kehadirannya.

Ditempat tersebut, bebas keterikatan dan seimbang, ia memancarkan ketenangan. Ia mempengaruhi bahkan orang-orang duniawi yang tak tertarik pada kebajikan sekalipun, membuat mereka berpaling dari keterikatannya pada perilaku jahat. Kebijaksanaan serta kebajikan beliau tersebar kesegala penjuru, melembutkan bahkan hati seekor binatang yang sangat buas sekalipun, hingga mereka berhenti saling menyakiti satu sama lain, sebaliknya, bahkan mulai menjalani hidup seperti sang pertapa sendiri. Melalui kekuatan kemurnian sila, pengendalian indriawi, kepuasan dan belas kasihnya, Bodhisattva, saat tak berhubungan

(13)

dengan makluk-makhluk duniawi, tetap menunjukkan belas kasihnya kepada semua makhluk.

Mengingat bahwa keinginannya hanya sedikit, sikap kepura-puraan tidak dikenalnya; penghormatan, perolehan dan kesenangan, tidak menarik baginya. Ia bahkan membuat kagum para dewa, yang datang kepadanya untuk menyampaikan hormat. Mendengar tentang penolakan duniawi yang dilakukannya, para sahabat dekatnya, yang telah tertarik padanya karena kebajikannya, meninggalkan keluarga mereka dan bergabung menjadi siswanya. Ia menerima mereka dengan senang hati dan mengajari mereka apa yang mereka sebut sebagai tingkah laku utama, rasa puas, penyucian indriawi, sikap sadar, ketidakterikatan, meditasi pada maitri karuna serta ajaran-ajaran semacam lainnya.

Kenyataan kebahagiaannya menarik para siswa yang mempunyai kualitas seperti dirinya. Dan, melalui ajaran-ajarannya, sebagian besar dari para siswanya berhasil mencapai realisasi serta berdiam dalam kebajikan, dengan demikian pintu yang menuju ke alam rendah telah ditutup dan gerbang kebahagiaan telah terbuka lebar.

Pada suatu hari, Mahasattva, dengan di iringi oleh seorang siswanya bernama Ajita, pergi menyusuri jalan menuju ke gunung, ke tempat yang sesuai untuk melakukan meditasi. Ketika mereka melintasi sebuah jurang yang tertutup semak belukar, perenungan mereka terganggu oleh suara binatang buas menggeram.

Bodhisattva mencarinya melalui jalan setapak ditepi jurang menuju ke sebuah ngarai kecil yang berada jauh dibawah, lalu melihat seekor harimau muda dengan mata sayu dan tubuh lunglai. Jelas sekali bahwa ia lemas, tidak makan selama beberapa hari disebabkan karena kesulitan sehabis melahirkan. Tersiksa oleh rasa lapar, ia ia

(14)

mulai memandangi anaknya sendiri untuk dimakan. Bodhisattva melihat bahwa anaknya haus, tanpa rasa takut, penuh rasa percaya, mendekati ibunya yang menatapnya tajam dan menggeram seolah-olah ia anak harimau lain.

Tergeraklah hati Bodhisattva, bagaikan pohon besar yang terguncang oleh sebuah gempa bumi, terguncang oleh derita yang dilihatnya. Demikianlah orang yang sungguh berbelas kasih tersentuh penderitaan kecil makhluk lain, meski tak menghiraukan penderitaan berat dirinya sendiri.

Didorong oleh belas kasihnya yang agung, ia berkata kepada siswanya: “Oh, lihatlah betapa buruknya mengasihi diri sendiri; seorang ibu akan memakan anaknya demi memuaskan rasa laparnya! Beginilah, saudaraku ketidakpatutan dalam samsara. Siapakah yang lalu akan menuruti kecintaannya pada diri sendiri, bila mereka melihat apa yang akan diakibatkannya! Cepatlah pergi dan carikan mereka makanan, agar ia tidak menyakiti anaknya sendiri, dengan begitu juga tidak menyakiti dirinya sendiri. Aku akan berusaha menghalanginya sampai engkau kembali.”

Siswanya pergi seperti yang diperintahkannya, tak menyangka bahwa Bodhisattva telah menjauhkan dirinya dengan alasan yang sama sekali berbeda. Karena Bodhisattva berpikir; “Mengapa aku harus mencari daging dari tubuh makhluk lain bila tubuhku sendiri tersedia? Mencari daging makhluk lain belum dapat di pastikan, dan aku akan kehilangan kesempatan untuk menolong. Tubuh sesungguhnya lemah, tak memuaskan, selamanya kotor dan penyebab derita. Sungguh bodoh tak menggunakannya demi kebajikan makhluk lain.”

“Hanya dua alasan yang membuat orang mengabaikan penderitaan makhluk lain; adanya keterikatan, dan ketidaksanggupan

(15)

untuk memberikan yang dibutuhkan. Sebaliknya aku tidak merasa tenang selagi makhluk lain menderita, bilamana aku mempunyai kemampuan untuk menolong, mengapa aku tidak melakukannya? “Bahkan jika mereka yang menderita itu telah melakukan suatu kejahatan yang berat, aku tak dapat menahan apa yang kumiliki; hatiku akan terbakar oleh rasa sesal tiada terkira, seperti semak kering yang dilalap api. Karenanya, aku akan mencegah sebab penderitaan ini dengan menjatuhkan diriku sendiri keatas tebing ini. Tubuhku akan mencegah harimau muda itu memakan anaknya sendiri dan menghindarkan anak-anaknya mati ditaring ibunya.

“Perbuatan ini akan membesarkan hati mereka-mereka yang berusaha untuk menolong dunia, sekaligus menjadi teladan bagi mereka yang lemah dalam berusaha. Ini akan diingat oleh mereka yang mengerti arti kemurahan hati, dan akan memacu pikiran kebajikan. Perbuatan ini akan membuat kecewa Mara dan menggembirakan para sahabat yang memiliki sifat-sifat Kebuddhaan, membuat malu mereka yang mementingkan diri sendiri, sombong serta penuh nafsu. Ini akan memberikan dorongan keyakinan pada para praktisi Mahayana, membuat bingung mereka yang mencela kemurahan hati. Pada saat yang sama, ini akan membersihkan jalan menuju kelahiran dialam surga bagi mereka yang senang dalam beramal dana. Aku akan memenuhi kehendak agungku, yaitu membawa kebajikan bagi makhluk lain menggunakan tubuhku sendiri, dengan demikian aku akan dapat mencapai Pencerahan Agung.

“Sebagaimana matahari yang memupus kegelapan dan membawa terang, demikian pula semoga perbuatan ini mengakhiri penderitaan dunia, membawa kebahagiaan selama-lamanya. Aku tidak melakukan perbuatan ini demi pujian ataupun harapan akan kedudukan, juga bukan demi ketenaran serta kebahagiaan kekal,

(16)

perbuatan ini semata-mata demi kebajikan seluruh semesta, sehingga kebahagiaannya akan terus berkembang setiap kali kisah ini diungkapkan.”

Selanjutnya, untuk membuat takjub bahkan para dewa yang cinta kedamaian, Bodhisattva menjatuhkan dirinya dari bibir bukit, dan dengan demikian telah memberikan hidupnya sendiri. Tubuhnya, saat membentur bumi, menimbulkan suara gaduh yang mengejutkan harimau, mengurungkan niatnya semula, mencarinya; menemukan Bodhisattva, ia lalu mulai memakannya.

Ajita segera datang dengan tangan kosong tak dapat menemukan daging apa pun. Ia memanggil-manggil gurunya, akan tetapi tak ada jawaban yang terdengar. Lalu pandangannya jatuh kearah bawah, ia menyaksikan gurunya sedang disantap oleh harimau. Rasa sedih serta duka memenuhi hatinya, namun demikian ia merasa takjub pada perbuatan tiada mementingkan diri luar biasa yang sedemikian agungnya.

“Betapa berbelas kasihnya Mahasattva terhadap makhluk yang sengsara, dan betapa bedanya terhadap nasib dirinya sendiri! Betapa berani dan perwira wujud belas kasihnya! Ia memiliki sila kebajikan sempurna, melampaui segala keagungan makhluk lain. Tubuhnya, yang begitu berharga oleh kebajikannya, kini telah berubah menjadi bejana yang patut untuk dipuja setinggi-tingginya.

“Betapa tegar dan seimbang batinnya, sekokoh bumi, namun demikian bagaimana tergetar oleh penderitaan makhluk lain! Betapa tak sempurnanya batinku sendiri bersikap terhadap perbuatan agungnya yang penuh keberanian ini. Sesungguhnya, makhluk hidup tak perlu lagi menderita, dalam perlindungannya. Berdasarkan kekuatan penolakan samsaranya, ia menaklukan segala penderitaan dan juga Mara, sumber keinginan, tak akan bangkit dengan mudah,

(17)

telah ditundukkan serta dikalahkan. Mari menghormat dengan berbagai cara kepada Mahasattva: atas kebajikannya yang tiada terbatas dan tiada terhingga, karenanya dialah pelindung bagi semua makhluk.”

Dalam ketakjubannya atas perbuatan agung Bodhisattva, para siswanya bersama-sama dengan para gandharva, yaksa, naga dan para raja dewa menutupi tanah tempat harta tulang-belulang Bodhisattva dengan untaian bunga, kain berwarna, hiasan permata serta serbuk cendana. Memenuhi angkasa dengan lantunan puji-pujian, mereka takjub atas perbuatan tanpa keakuan yang telah dilakukan oleh Bodhisattva.

Dalam kisah ini, kita dapat mengetahui bagaimana Sang Buddha, bahkan dalam kehidupan masa lampaunya, telah menunjukkan sikap belas kasihnya kepada semua makhluk. Melihat belas kasih agung yang demikian, menimbulkan keyakinan tak tergoyahkan kepadanya, dan dengan keyakinan ini timbullah kesukacitaan yang tertuju pada Sang Buddha. Dengan jalan inilah keyakinan dikembangkan.

Kisah ini juga berguna dalam menjelaskan mengapa kita harus mendengarkan ajaran dengan seksama, karena Dharma diperoleh melalui berbagai kesulitan besar. Tergerak oleh kisah yang seperti ini, orang dapat memuji kemuliaan belas kasih yang akan membawa pada perbuatan yang mendatangkan kebajikan bagi semua makhluk.

(18)

Shibi Jâtaka

(Kisah Tentang Raja Shibi)

Hanya setelah melewati beratus-ratus kesukaran, barulah Sang Buddha mendapatkan Dharma demi kebajikan kita. Memahami akan hal ini, kita harus mendengarkan ajaran dengan sikap hormat yang mendalam serta perhatian yang kuat.

Suatu ketika saat Sang Buddha masih hidup sebagai Bodhisattva, timbunan kebajikan besar yang dikumpulkan dalam banyak kehidupan masa lampaunya, menyebabkan beliau terlahir sebagai Raja Shibi. Menghormati semua yang tua sejak masa kanak-kanak dan santun dalam tingkah lakunya, ia benar-benar sangat dicintai oleh seluruh rakyatnya.

Diberkati dengan semangat yang tak terbatas, kebijaksanaan, kemuliaan dan kekuatan, paham akan berbagai pengetahuan, juga diberkati dengan keberuntungan, ia memerintah rakyatnya seolah mereka anak-anaknya sendiri. Pada Bodhisattva, segala kemuliaan

(19)

terbaik, baik duniawi maupun Dharma, dipadukan dengan sangat yang baik, menyingkirkan segala perbedaannya. Keagungan, yang ditiru oleh mereka yang mendapatkan kedudukan tinggi melalui cara-cara tidak benar, keagungan yang menyebabkan bencana bagi orang-orang bodoh dan memabukkan bagi yang batinnya kasar, telah menemukan tempat untuk berdiam pada dirinya.

Mengalirkan belas kasihnya bahkan lebih deras daripada kekayaannya, raja terpilih ini merasa bahagia apabila memenuhi harapan para pengemis dan saat melihat wajah gembira mereka. Di seluruh kerajaannya, ia mempunyai balai rumah amal yang didirikan dan diisi dengan segala rupa barang-barang, kebutuhan serta biji-bijian, yang dapat memenuhi setiap harapan. Dengan rendah hati dan kesukacitaan yang besar, raja terus-menerus menumpahkan amal dananya bagaikan curahan air hujan.

Setiap orang miskin diberi apa yang mereka butuhkan, disertai dengan keramahan serta tegur sapa. Makanan dibagikan pada yang lapar, minuman di berikan kepada yang haus. Dengan cara yang sama, busana, tempat tinggal, pakaian, wewangian, untaian bunga, perak dan emas, diberikan kepada siapa pun yang menginginkannya, apa pun yang diminta akan diberikan. Kabar tentang kemurahan hati raja tersebar luas hingga ketempat yang jauh, sehingga menyebabkan orang-orang dari berbagai tempat jauh berdatangan ke sana dengan hati diliputi kesukacitaan, mereka takjub serta girang atas kebesarannya. Dengan hasrat yang kuat bagai seekor gajah yang menuju ketelaga luas, mereka tak ingin lagi mendapat pemberian dari tempat lain mana pun.

Raja senantiasa menyambut para pengemis, mengingat bahwa penampilan luar mereka tiada lain adalah pengharapan dan pikiran mereka hanya tentang memperoleh. Beliau menerima mereka seolah seperti seorang sahabat yang telah lama hilang, yang kembali dari

(20)

tempat jauh; matanya terbelalak berseri gembira, beliau mendengarkan permohonan mereka seolah mendengar sebuah kabar gembira. Kebahagiaan para pengemis bahkan melampaui kebahagiaan sang raja, mereka menyebarluaskan kabar gembira tentang kemurahan hati raja tersebut keseluruh negeri di sekelilingnya, hingga memudarkan keangkuhan para raja tetangga. Pada suatu hari ketika raja mengunjungi balai dananya, mendapati hanya ada sedikit pengemis di sana, yang menimbulkan kecemasan. Kehausan para pengemis pada amal dana mudah sekali dipuaskan, namun tidak demikian dengan kehausan sang raja terhadap keinginan untuk memberi. “Secepatnya juga akan semakin sedikit yang tersisa untuk didanakan.” Pikirnya. “Alangkah menyenangkan jika ada yang meminta lebih! Terberkatilah mereka yang darinya keinginan meminta apa saja, meskipun bagian tubuhnya! Dariku mereka hanya meminta hartaku, seakan takut bila aku mungkin akan menolak permintaan yang melampau kewajaran.”

Saat ia membuat pernyataan tersebut, bumi, mengetahui tiadanya keterikatan pada dirinya, bahkan terhadap tubuhnya sendiri, bergetar dengan perasaan cinta bagaikan seorang istri terhadap suaminya. Begitu kuatnya gempa yang terjadi hingga bahkan raja gunung yang bertaburan permata sekali pun, mulai bergelombang, dan Dewa Shakra, Raja Para Dewa, telah keluar untuk mengetahui yang menjadi penyebabnya. Mendapat berita bahwa Raja Shibi telah meninggalkan segala keterikatannya terhadap daging tubuhnya sendiri, Shakra berpikir dalam kekagumannya:

“Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah batin sang raja sedemikian mulianya, apakah ia sedemikian besar kegembiraannya dalam berdana, sehingga rela bahkan melepaskan anggota tubuhnya sendiri? Aku akan mengujinya.”

(21)

Raja sedang duduk disinggasana ditengah-tengah pertemuannya yang seperti biasa mendengarkan mereka-mereka yang membutuhkan. Menimbun harta, perak, emas dan juga permata, membuka peti yang berisi busana, demikian pula yang diusung oleh binatang-binatang terlatih, yang bergerak mengangkut harta. Dari segala penjuru para pengemis berkumpul riuh, di antara mereka terdapat Dewa Shakra, Raja Para Dewa, dalam penyamarannya sebagai seorang brahmana tua dan buta.

Brahmana cacat tersebut dengan segera menunjuk mata sang raja; raja dengan belas kasih dan tenang memandangnya seolah hendak merangkul sang brahmana cacat. Para punggawa kerajaan meminta sang brahmana untuk mengutarakan permintaannya, namun mengabaikan mereka, brahmana tersebut terus mendekati raja.

“Aku, seorang brahmana tua yang buta, datang dari tempat yang sangat jauh, Oh Raja Agung, dengan sangat memohon pemberian salah satu mata Anda. Kiranya satu mata cukup untuk mengatur dunia, Oh Baginda Yang Bermata Bagai Bunga Padma, Raja Dunia.”

Sang Bodhisattva merasakan kebahagiaan yang meluap: keinginan hatinya telah terpenuhi. Mengingat keinginan hatinya begitu kuatnya hingga ia bahkan telah membayangkannya? Ingin kembali mendengar permintaan tersebut, ia bertanya; “Siapakah yang menyuruhmu, wahai brahmana mulia, untuk meminta salah satu mataku? Bagaimana dirimu dapat mengira bahwa ada manusia yang bahkan akan sanggup melepaskan benda itu? Siapa yang mempercayai bahwa aku akan memenuhinya?”

Mengetahui kepedulian raja, samaran Dewa Shakra menjawab; “Dewa Shakralah yang memberi tahu kami. Sebuah arca dewa itu telah berbicara kepada kami, berkata agar kami datang kemari dan

(22)

memohon kepadamu. Yakin bawa dia benar serta mengabulkan keinginan terdalam kami; karenanya mohon berilah kami salah satu mata Anda.”

Mendengar nama Shakra, raja berpikir; “Pastilah kekuatan para dewa akan membantu memulihkan penglihatan brahmana ini.” Sehingga dengan suara yang mantap dan penuh kegembiraan ia berkata: “Brahmana, aku akan mengabulkan permintaanmu. Meski engkau hanya meminta satu mataku, aku akan memberimu keduanya! Setelah wajahmu dihiasi dengan kedua kuntum padma yang cemerlang ini, kau pergilah jauh; biarlah keajaiban ini membuat kagum setiap orang yang kau temui!”

Penasihat raja terperanjat dan diliputi kecemasan mengetahui bahwa raja bermaksud hendak memberikan matanya. “Sri Baginda,” Ucapnya, “kemurahan hati Anda telah sampai pada batas ketidak adilan sehingga menjadi sebuah keanehan! Baginda tak boleh memberikan mata Anda! Hanya demi kebajikan orang yang lahir dua kali (dwijati sebutan bagi seorang brahmana), janganlah melupakan kami semua! Engkau akan menyalakan api penderitaan pada kami semua setelah sebelumnya Anda merupakan sumber dari kenyamanan serta kemakmuran kami.

“Uang, permata yang cemerlang, kereta, tandu, gajah tangkas yang mengagumkan, kediaman yang sesuai dengan segala musim, yang bergema oleh suara para penari; pemberian yang demikian sudah pantas. Berikanlah yang demikian, tetapi mohon, jangan berikan mata Anda, Andalah mata satu-satunya bagi dunia!

“Dan sadarilah hal ini; Hanya berkat pengaruh kekuatan para dewalah yang memungkinkan mata seseorang dapat dipindahkan ke wajah orang lain. Meskipun jika hal itu terjadi, mengapa harus mata Anda? Juga, apa manfaatnya mata itu bagi orang malang

(23)

sepertinya, bagi dia yang hanya akan menjadi saksi kemakmuran orang lain? Beri saja dia uang, bagaimanapun mohon jangan lakukan tindakan yang tidak tepat itu!”

Sebagai jawaban, raja menatap menterinya dengan kelembutan serta keramahan: “Ia yang telah berjanji untuk memberi, yang lalu memegangi apa yang akan diberikannya, hanya akan mendapatkan tali keterikatan yang telah dibukanya. Ia yang telah menjanjikan sebuah pemberian, tetapi karena terdorong oleh kepelitan, lalu mengingkari janjinya, harus dianggap sebagai orang yang sangat tercela. Ia yang memberi harapan pada orang yang membutuhkan, lalu memberi mereka penolakan yang kasar, yang demikian tak patut diperlakukan lain kecuali dijauhi.

“Mengingat bahwa kekuatan para dewa untuk menimbulkan penglihatan pada mata cangkokan, ketahuilah: Bahkan dewa bergantung pada suatu keadaan untuk menimbulkan pengaruh tertentu. Siapakah di antara kita yang dapat berkata bahwa cara seperti apa yang sesuai dengan apa yang di harakan pada akhirnya? Jangan, janganlah mencoba menghalangi maksud hatiku. Aku tetap akan memberikan mataku kepadanya.”

Menterinya menjawab: “Kami tidak berusaha menghalangi Sri Baginda melakukan perbuatan apa pun yang luar biasa! Kami hanya sekedar menganalisa bahwa pemberian benda-benda, biji-bijian atau emas akan lebih sesuai daripada memberikan penglihatan Anda.”

“Apa pun yang diminta itulah yang harus diberikan,” Jawab raja. “Memberikan sesuatu yang tidak diinginkan tak akan membuat senang. Apa gunanya memberi air pada orang yang sedang hanyut? Aku akan memberi orang ini seperti apa yang diinginkannya.”

(24)

Sebagai reaksi, menteri pertama yang lebih akrab dengan raja dibandingkan para menteri lainnya berbicara hingga melampaui batas tata krama disebabkan rasa kasih sayangnya terhadap sang raja: “Jangan lakukan itu! Dibutuhkan pertapaan yang berat serta meditasi yang lama untuk memperoleh kerajaan seperti ini; kemurahan hati Anda telah memberi Anda keagungan serta kemuliaan diantara para dewa. Kerajaan Anda sebanding dengan kekayaan yang dinikmati oleh Dewa Indra, akankah Anda mengabaikannya! Kini Anda ingin memberikan kedua mata Anda, untuk maksud apa? Dibumi ini hal seperti itu belum pernah dilakukan sebelumnya! Mahkota para raja menghiasi kakimu; pengorbanan Anda menempatkan Baginda pada kedudukan dewa; kemasyhuran Anda bersinar menjangkau hingga ketempat yang sangat jauh. Apa tujuan yang hendak Anda raih dengan memberikan mata Anda?”

Raja menjawab dengan sangat menyentuh: “Aku tidak bermaksud menguasai bumi, ataupun mencapai keagungan; aku tidak menginginkan moksa atau kebahagiaan surgawi. Aku melakukan perbuatan ini semata-mata agar permohonan seorang pengemis dapat terpenuhi, dengan harapan dapat menjadi Pelindung Dunia.”

Sambil mengucapkan kata-kata tersebut, raja memerintahkan seorang tabib agar mengeluarkan salah satu matanya, perlahan-lahan dan berhasil. Dengan kegembiraan yang tiada terlukiskan ia menggenggam bulatan bola mata tersebut, yang berseri bagai kuntum bunga utpala, lalu memberikannya kepada sang pengemis. Shakra, Raja Para Dewa, kemudian dengan menakjubkan memasukkan bola mata tersebut kedalam kelopak mata brahmana tua, hingga raja bersama semua yang hadir menyaksikan sebuah mata yang membuka. Perasaan hatinya dipenuhi oleh kebahagiaan murni, raja lalu kembali memberikan matanya yang satu lagi.

(25)

Wajah raja kini menjadi bagaikan kolam teratai yang kehilangan bunga, dengan raut muka yang memancarkan kegembiraan, perasaan gembira yang tiada dirasakan oleh orang lain, yang hanya melihat bahwa raja telah menjadi buta dan brahmana telah mendapatkan penglihatannya dari raja. Dari dalam ruang istana, hingga jauh di wilayah kota, air mata kesedihan telah tumpah, sebaliknya Shakra diliputi oleh rasa penyesalan, mengetahui bahwa raja tak bergeming dari keinginannya untuk mencapai Kebuddhaan Yang Sempurna.

“Betapa teguhnya!” Pikirnya. “Betapa baiknya ingin menolong makhluk lain! Betapa berbelas kasihnya! Meskipun aku menyaksikannya, sulit bagiku untuk mempercayainya! Sangatlah tidak tepat manusia yang sedemikian baiknya harus mengalami kesulitan lebih lama lagi! Aku akan segera menunjukkan padanya cara memulihkan penglihatannya.”

Ketika waktu telah menyembuhkan lukanya, dan telah meredakan kesedihan semua orang di istana serta seluruh penduduk negeri, sang raja bermaksud pergi menyepi, pada suatu hari pergi ketaman kerajaan, duduk bersila di dekat sebuah kolam teratai. Seluruh pohon di sekelilingnya merunduk sarat oleh bunganya, riuh oleh dengung suara lebah. Angin sepoi-sepoi bertiup, sejuk serta berbau harum.

Tiba-tiba, raja merasakan ada yang datang. “Siapa itu?” Tanyanya. “Shakra, Raja Para Dewa,” Jawabnya Shakra. Menyampaikan hormat pada Shakra, raja lalu bertanya apakah yang dapat dilakukan baginya. Dewa Shakra menjawab: “Aku datang untuk mengabulkan apa yang menjadi keinginanmu. Sekarang apa yang kauinginkan, wahai Pangeran Suci? Katakan kepadaku, aku akan mengabulkannya.”

(26)

Raja terperanjat, mengingat bahwa biasanya dialah yang memberi, bukannya menerima. “Aku telah memiliki harta berlimpah, Oh Shakra, bala tentaraku juga sangat besar dan kuat. Akan tetapi kebutaanku, membuat diriku tak dapat lagi melihat wajah gembira para pengemis setelah aku memberi apa yang mereka inginkan. Karenanya hanya kematianlah yang sesuai bagiku kini. Kematianlah yang kuinginkan.”

“Jangan sampai berpikir seperti itu!” Ujar Shakra. “Lebih baik, sampaikan kepadaku apa yang sebenarnya kaurasakan, Oh Raja, apa yang kaupikirkan tentang para pengemis, hingga mereka membuatmu begitu menderita. Katakanlah! Katakan kepadaku apa yang ada didalam hatimu, mungkin engkau akan segera merasa lega.”

Sang Raja menjawab: “Mengapa engkau menyangka bahwa hanya dengan memulihkan penglihatanku akan membuatku merasa cukup? Dengarlah ini, bagaimanapun, jika engkau memaksa; sebagaimana kenyataan bahwa kegembiraan seorang pengemis adalah bagaikan berkah bagi pendengaranku, demikianlah halnya yang sangat kuinginkan adalah memulihkan kembali salah satu mataku!”

Tak lama setelah raja mengucapkan kata-kata tersebut, berkat kekuatan kebenaran kata-kata serta kebajikannya, salah satu mata sang raja pulih kembali, sebuah kuntum padma yang dilingkari oleh permata indranila. Dengan gembira raja melanjutkan; “Dan sebagaimana kenyataan kebenaran ketika aku mengetahui betapa bahagiannya memberikan kedua mataku kepada orang yang hanya meminta satu, untuk itu semoga dengan pasti aku mendapatkan mataku yang satu lagi.”

(27)

Sekali lagi, setelah ia mengucapkan kata-kata tersebut tak begitu lama matanya yang satu lagi muncul, keindahannya sebanding dengan yang pertama. Gunung berguncang; samudra bergolak, suara genderang surgawi terdengar dengan jelas dan berirama. Angkasa menjadi terang benderang oleh cahaya matahari bagaikan musim gugur, berbarengan dengan tiada terhingga bunga serta serbuk cendana terhambur dari angkasa. Para dewa serta makhluk-makhluk surgawi lainnya dengan segera menuju ketempat tersebut, mata mereka terbelalak menyaksikan apa yang terjadi, hati semua makhluk diliputi oleh perasaan sukacita yang luar biasa.

Dari kesepuluh penjuru, nyanyian puji-pujian dilantunkan oleh makhluk-makhluk yang memiliki kekuatan gaib. Dalam kegembiraan serta kesukacitaan, mereka berkata; “Betapa hebatnya belas kasihnya! Betapa lembut serta murni batinnya! Betapa kecil kepeduliannya pada kebahagiaan pribadi! Hormat padanya, sang pahlawan yang siaga, sebagaimana mata padmamu yang telah pulih, demikianlah dunia kini mendapatkan kembali pelindungnya! Setelah begitu lama, kebajikan menjadi pemenangnya!”

“Bagus, bagus,” ucap Shakra memuji. “Di sebabkan oleh perasaanmu yang memahamiku dengan baik, Oh Raja Yang Berhati Suci, aku mengembalikan kedua matamu. Dan dengan kedua mata itu engkau kini akan dapat melihat jauh kesegala penjuru, tak akan terhalang bahkan oleh gunung sekalipun.” Setelah itu Dewa Shakra menghilang.

Bodhisattva, diiringi oleh para punggawanya yang takjub tak dapat berbicara, kembali ke istana dalam sebuah arak-arakan. Di sana rakyat menegakkan bendera serta umbul-umbul seolah sedang berlangsung sebuah perayaan. Para brahmana memberkati kerajaannya dengan beribu-ribu kebajikan. Duduk di dalam balai pertemuan di hadapan sejumlah besar para menteri, brahmana, para

(28)

tetua serta rakyat dari kota maupun desa, Bodhisattva mengajarkan Dharma berdasarkan pengalaman pribadinya:

“Siapakah diantara kalian yang kini lemah dalam melakukan amal dana? Mengingat bahwa kalian telah melihat mataku, mata yang memiliki kekuatan dewa, yang di peroleh dari kebajikan beramal dana. Dengan mata ini aku dapat melihat segala sesuatu yang berada sejauh beribu-ribu kilometer; aku dapat melihat melintasi pegunungan tinggi, sejelas aku melihat ruangan balai pertemuan ini. Apakah yang lebih membawa kebajikan kebahagiaan selain kemurahan hati, belas kasih dan disiplin diri? Dengan melepaskan mata manusiaku, aku mendapatkan penglihatan dewa. “Memahami hal ini, para Shibiku, lipat gandakanlah kekayaanmu dengan menggunakannya dengan benar. Inilah jalan menuju keagungan dan kebahagiaan, baik di dunia ini maupun sesudahnya. Harta sesungguhnya tak berarti begitu saja, hingga ia menjadi kebajikan seseorang; ia dapat diberikan bagi kebajikan yang lain. Hanya dengan sikap yang demikianlah ia akan menjadi harta karun; kepelitan, membuatnya sia-sia.”

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana Sang Buddha mendapatkan Dharma dengan menjalankan berbagai pertapaan, dan betapa pentingnya mendengarkan Dharma dengan penuh hormat. Mengetahui keagungan Sang Tathagata, serta buah kebajikan semasa hidupnya, orang memuji kemuliaan belas kasihnya serta bangkit rasa hormatnya. Demikianlah, timbunan kebajikan seseorang, memungkinkan dalam hidupnya yang sekarang mendapatkan sesuatu berkat berkembangnya kekuatan agung serta mengalirnya keagungan.

(29)

Kulmâshapindí Jâtaka

(Kisah Tentang Sedikit Bubur)

Pemberian apa pun yang keluar dari ketulusan hati, dan diberikan kepada penerima yang pantas, akan mengakibatkan pahala yang besar. Tiada pemberian yang seperti ini, betapapun kecilnya, yang tidak mendatangkan kebajikan.

Pada suatu ketika, saat Sang Buddha masih sebagai Bodhisattva, beliau hidup sebagai seorang raja agung di Koshala. Bersemangat, bijak, mulia, berkuasa, hal-hal tersebut serta berbagai kebajikan kerajaan lainnya telah membuatnya begitu berada dalam keagungan. Namun demikian kekuatan kemuliaannya yang melampaui semua lain; adalah bakatnya dalam mengumpulkan kekayaan. Diperkaya oleh kecakapannya yang demikian, kemuliaannya yang lain juga bersinar terang, bagai cahaya agung bulan yang membubung di musim gugur.

(30)

Keberuntungan mengikutinya ke mana pun seperti seorang kekasih, menjauhi musuh-musuhnya dan memperlakukan para punggawanya dengan kasih sayang. Meskipun rasa keadilannya mencegahnya melakukan kejahatan terhadap makhluk hidup, nasib baiknya seolah musuh-musuhnya tak berkembang meski ia tidak berusaha menindas mereka.

Ketika itu secara kebetulan pada suatu hari sang raja teringat kembali pada kehidupannya yang lampau, dimana hal tersebut begitu mengejutkannya. Akibat ingatan itu ia kemudian meningkatkan kegiatan beramal dananya yang ditujukan pada para sramana serta brahmana, orang-orang miskin, cacat dan yang tanpa penolong. Mengingat bahwa pemberian merupakan dasar dan sebab bagi kebahagiaan. Meningkat dari yang sebelumnya, ia berusaha untuk melaksanakan perilaku yang baik; jauh melampaui yang pernah di jalaninya, yang hanya di tekankan pada hari-hari suci saja.

Berusaha memberikan suri teladan terhadap rakyatnya mengenai kekuatan perbuatan baik, setiap hari ia membuat pernyataan yang sama didalam balai pertemuannya maupun di dalam istananya. Demikianlah ucapan yang keluar dari lubuk hatinya dengan penuh perasaan:

“Berikan hormat pada Sang Buddha, tak soal betapapun kecil tampaknya itu, akan membawa pahala yang tak terlukiskan. Ini pernah didengar sebelumnya, tapi sekarang usahakan agar meningkat. Lihatlah di sekelilingmu, dan ketahuilah kekayaan yang diakibatkan oleh sedikit bubur, tanpa garam, kasar dan kering!

“Bala tentaraku yang kuat dengan kereta-keretanya yang mengagumkan, kuda-kudanya yang tangguh dan gajah-gajahnya yang ganas dengan belalai biru gelap; kekayaanku yang tak

(31)

terhingga; keberuntungan; berkuasa diatas bumi; istriku yang terpuji, lihatlah pahala kebajikan, semuanya berasal dari sedikit bubur!”

Bahkan meskipun raja telah biasa mengucapkan kata-kata itu setiap hari, tak seorang pun, termasuk para menterinya, para brahmana sepuh yang terhormat, dan juga penduduk kota – tak seorang pun yang berusaha untuk menanyakan maksudnya, meski semua di liputi oleh kebingungan.

Tak terkecuali permaisuri sendiri juga bingung pada apa yang terus-menerus diucapkan oleh raja tersebut. Merasa bebas untuk bertanya kepada suaminya, suatu hari, pada saat berlangsung suatu pertemuan yang lengkap, ia melihat kesempatan untuk bertanya:

“Suamiku, sekarang sepanjang waktu, siang dan malam, engkau terus-menerus mengulang-ulang kata-kata tentang sedikit bubur. Engkau mengucapkannya dengan penuh perasaan hingga membuat kami dipenuhi perasaan bingung. Kata-kata Anda pasti tidak menunjuk pada suatu rahasia, karena diucapkan dengan cara yang begitu terbuka; apa yang dimaksud pastilah sesuatu agar diketahui oleh umum. Jika kami diijinkan untuk mendengar, kami mohon dengan segala kerendahan hati apa makna dari yang Anda ucapkan kepada kami.”

Raja sambil memandang istrinya, wajahnya berseri dalam kasih sayang. Sambil tersenyum ia berkata: “Engkau bukanlah satu-satunya yang bingung terhadap maksud, sebab dan latar belakang ucapanku. Seluruh pejabat, ratu dan seluruh penduduk kota semua diliputi keheranan dan kebingungan. Untuk itu dengarkanlah kata-kataku:

“Mengapa aku tidak tahu, sebagaimana biasa seperti jika seseorang bangun dari tidur lelapnya, ingatan akan salah satu

(32)

kehidupan masa lampau tiba-tiba muncul pada diriku. Aku hidup sebagai seorang pelayan dikota ini. Aku menyenangkan dan pantas untuk dipercaya, tetapi terhenti oleh suramnya keadaan, lalu bekerja pada orang yang terhormat hanya karena hartanya. Seluruhnya tanah, menjengkelkan dan merana. Setiap hari aku berjuang untuk menghidupi keluargaku, selalu cemas kalau-kalau tak sanggup menghidupi mereka.

“Lalu pada suatu siang aku berjumpa dengan empat orang sramana yang sedang berpindapatra. Mereka tampak terkendali, mereka memancarkan aura keagungan seorang pertapa. Hatiku terpana pada mereka, seolah aku siswanya; aku bersujud kepada mereka dan memintanya agar datang ke rumahku.

“Aku mempersembahkan apa yang kunamakan sedikit bubur. Dan dari tunas yang kecil itu tumbuhlah pohon keagungan ini – yang begitu lebatnya hingga membuat mahkota permata raja lain seakan-akan seperti debu di kakiku.

“Itulah pikiranku saat aku mengucapkan kalimat itu, permaisuriku, dan itulah alasannya mengapa aku merasa senang dalam melakukan kebajikan dan bergaul dengan para praktisi Dharma.

Wajah sang ratu berseri takjub bercampur bahagia. Rasa hormat kepada raja terpancar dari matanya, ia berkata: “Kini aku mengerti, Raja Agung, mengapa Anda begitu gigih dalam melakukan kebajikan – karena dirimu sendiri telah menjadi saksi pahala perbuatan baik. Oleh sebab itu, engkau berusaha melindungi rakyatmu bagaikan seorang ayah, bahkan penuh kesadaran berusaha menjauhi perbuatan jahat dan berusaha mencapai segala sifat yang mendatangkan kebajikan.

(33)

“Kini engkau bersinar dengan keagungan tak terperikan diperindah oleh kemurahan hati, hingga bahkan para raja pesaingmu menunggu perintahmu, hendak memberikan penghormatannya. Semoga Anda memerintah di bumi dengan keadilan selama-lamanya, dari tempat ini hingga di mana angin menyapu batas samudra.”

Sang raja menjawab: “Karena aku telah melihat tanda-tanda yang menyenangkan itu, aku akan senantiasa berusaha menunjukkan jalan keselamatan. Bagaimana aku tak akan bebas, permaisuriku, setelah mengalami sendiri pahala kemurahan hati? Sekarang, setelah mendengar kisah tentang pahala kemurahan hati ini, di mana pun manusia akan menyukai perbuatan memberi.”

Raja, memandang penuh kasih sayang kepada ratunya, mengetahui bahwa ia telah mulai diliputi oleh keagungan seperti seorang dewi. “Engkau bersinar di antara para pengiringmu bagaikan bulan sabit cemerlang di antara bintang-bintang. Kebajikan apakah yang telah engkau lakukan yang menyebabkan aura sedemikian rupa?”

Ratu menjawab: “Demikian pula diriku, suamiku, juga ingat akan beberapa hal kehidupan yang lampau, samar seperti sesuatu yang teringat ketika aku masih kecil. Aku adalah seorang budak yang pada suatu hari setelah memberikan sepiring dana makanan kepada seorang pertapa suci, jatuh tertidur. Dan kejadian itu seolah seperti aku bangun di sini.

“Dari perbuatan baik memberi tersebut aku ingin menjadikanmu sebagai suami serta pelindungku, berbagi hidup bersamamu. Kata-kata yang sama yang telah kauucapkan – ‘Tak ada kebajikan kecil bilamana diberikan kepada mereka yang telah bebas dari klesha’ – itu adalah kata-kata yang diucapkan oleh pertapa tersebut.”

(34)

Seluruh yang hadir dalam pertemuan diliputi oleh rasa takjub; setelah menyaksikan pahala kebajikan yang begitu mengagumkan, mereka sangat menghargai kegiatan berdana. Melihat hal ini, raja berkata kepada mereka semua: “Setelah melihat betapa luar biasanya pahala kebajikan seseorang, betapapun kecilnya, bagaimana bisa ada orang yang tidak tekun dalam melaksanakan perbuatan kemurahan hati dan sila? Pastilah orang seperti itu di kuasai oleh kegelapan ketidaktahuan, malas berdana meskipun kekayaannya cukup untuk melaksanakannya, tidak patut untuk di pedulikan sekejap pun.

“Kekayaan, juga semua hal yang lain, tentulah pada akhirnya harus ditinggalkan, setelah itu sama sekali tak berguna lagi. Namun dengan mendanakannya dengan cara yang benar, berbagai keuntungan akan diperoleh. Sebenarnya, terdapat berbagai macam kebajikan – kebahagiaan, reputasi yang baik dan seterusnya – itu seluruhnya timbul berkat dana. Siapakah, yang lalu, mengerti akan hal ini, memilih cara hidup mementingkan diri sendiri?

“Dana adalah harta terbesar. Tak ada pencuri yang dapat mencurinya, tak ada api yang dapat menghancurkannya, tak ada air yang dapat menghanyutkannya, tak ada raja yang dapat merampasnya. Dana membersihkan pikiran dari sikap mementingkan diri sendiri serta keserakahan, menghentikan kemelaratan sepanjang hidup kita. Itulah sahabat terbaik dan terdekat kita, yang tiada henti memberi kesenangan dan kenyamanan.

“Dana akan mendatangkan apa pun yang engkau inginkan: kekayaan atau kekuasaan, keindahan fisik, atau istana surgawi. Siapakah yang tidak mau melakukan dana?

Dana disebut kekayaan yang pantas, inti dari kekuatan, jalan menuju keagungan. Bahkan meskipun baju usang yang diberikan

(35)

dengan didasari oleh pikiran iklas akan mendatangkan berkah yang luar biasa.”

Semua yang hadir dalam pertemuan mendengarkan ceramah sang raja dengan penuh hormat, sehingga sejak saat itu setiap orang semakin bergairah untuk melakukan kegiatan berdana.

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana setiap pemberian yang dilakukan dengan hati yang tulus, pemberian kepada yang pantas untuk menerima, membawa pahala yang besar; pemberian seperti itu tak ada yang dapat disebut kecil. Karena itu, jika seseorang memberi dengan hati yang penuh keyakinan pada Sangha, kumpulan para makhluk suci, yang merupakan sahabat terbaik, yang menunjukkan jalan kebajikan, seseorang akan dapat memperoleh kemuliaan utama; atau bahkan kedudukan sangat tinggi. Berkahnya bahkan lebih besar dibandingkan akibat yang juga akan muncul.

(36)

Sreshthi Jâtaka

(Kisah Tentang Pemimpin Golongan)

Bahkan meskipun dihadapan bencana yang mengancam, orang yang baik tak akan berpaling dari melakukan amal dana. Siapakah, yang lalu ketika aman dan bahagia, tak mau beramal dana?

Pada suatu ketika, saat Sang Buddha masih sebagai Bodhisattva, ia lahir sebagai putra dari sebuah keluarga yang baik. Diberkati dengan semangat yang tiada terhingga dan juga keberuntungan, ia menjadi pemimpin golongannya. Ia memiliki perkebunan yang luas, dan berkat kejujuran serta kepandaiannya dalam berdagang, ia mendapat penghormatan yang tinggi dari semua orang. Singkatnya, ia mempelajari berbagai cabang pengetahuan serta keterampilan, memurnikan pikirannya, menciptakan kemuliaan bersama dengan kemuliaannya, memberi kehormatan baginya bahkan oleh sang raja.

(37)

Menekuni ajaran tentang dana, ia terus menerus berusaha berbagi kekayaan yang dimilikinya bersama-sama masyarakat. Orang-orang miskin memuji-mujinya hingga kemana-mana, menyebarluaskan reputasinya sebagai seorang dermawan ke segala penjuru; mereka sangat mempercayainya, sehingga mau mengutarakan apa yang mereka inginkan dengan leluasa kepadanya. Bagi dirinya, yang tak terpengaruh oleh ketamakan, ia tidak lagi mempertahankan hartanya – baik bagi kesenangannya sendiri, ataupun untuk menciptakan pengaruh bagi orang lain – karena ia merasa, tidak mungkin bagi dirinya melihat penderitaan bagaimanapun namun menolak untuk membantu.

Pada suatu hari seorang pengemis, yaitu seorang Pratyekabuddha di mana api pengetahuan telah membakar segala noda nafsunya, mendekati kediaman Bodhisattva. Ketika itu keinginan pengemis tersebut hanyalah demi berkembangnya kebajikan Bodhisattva, dan untuk tujuan tersebut ia muncul di pintu gerbang pada saat makan siang, tepat ketika Mahasattva, baru saja mandi dan menghiasi dirinya, hendak duduk untuk bersantap siang. Terdapat bermacam makanan dalam jumlah banyak yang telah dipersiapkan oleh juru masak terbaiknya, makanan-makanan yang rupa, aroma, rasa, bentuknya serta segala halnya menyenangkan. Pada siang yang tenang itu, sang pertapa berdiri di luar rumah tanpa dipersilahkan ataupun di usir, melihat dengan jelas dan tenang tak berapa jauh di hadapannya, tangannya yang bagaikan bunga padma memegang mangkok kayu pindapatra.

Ketika itu Mara, si jahat, tak tahan melihat Bodhisattva menikmati kesenangan dari memberi dana makanan. Bermaksud hendak mencegah perbuatan berdana, Mara mewujudkan sebuah neraka yang sangat dalam, dengan lebar beberapa depa, dimana menjadi pemisah antara pengemis dengan gerbang pintunya. Didalam neraka itu, tampak beratus-ratus orang diantara nyala api,

(38)

menimbulkan suara keras yang mengerikan: Yang benar-benar merupakan pemandangan menakutkan.

Akan tetapi Bodhisattva, hanya melihat Pratyekabuddha, lalu berkata dengan lembut kepada istrinya: “Pergilah, istriku, berilah orang suci itu makanan.” Saat itu juga istrinya mendekati pintu dengan membawa sebuah tempayan penuh makanan yang sesuai bagi pengemis. Tetapi di dekat pintu, ia menengok ke arah neraka tersebut, merasakan ketakutan dan memekik histeris. Begitu takutnya hingga tenggorokannya terkunci saat Bodhisattva bertanya kepadanya apa yang terjadi, ia tergagap tak dapat berbicara.

Tak mau ada orang suci yang pergi dari rumahnya dengan tangan hampa, Bodhisattva tak menghiraukan ketakutan istrinya. Meraih tempayan makanan tersebut dengan tangannya sendiri, baru saja ia akan melewati pintu ia juga melihat neraka yang mengerikan tersebut. Pada saat ia berdiri disitu, keheranan pada arti kejadian tersebut, Mara, si jahat, tiba-tiba menampakkan dirinya. Menyamar sebagai seorang dewa agung, Mara keluar dari tembok rumah dan melayang diudara, berbicara yang kedengarannya baik kepada Bodhisattva:

“Perumah tangga, lihatlah neraka Maharaurava ini, dari situ sungguh sangat sulit untuk membebaskan diri! Ini adalah neraka bagi mereka yang merasa senang terhadap pujian dari para pengemis, mereka yang diliputi nafsu jahat kemurahan hati, dan memberikan seluruh hartanya yang dikumpulkan dengan baik. Disini mereka akan berdiam selama beribu-ribu tahun.

“Harta adalah sebab yang membawa pemurnian bagi ketiga dunia. Jika seseorang memberikan hartanya, bagaimana mungkin ia tidak merusak Dharma? Barang siapa yang merusak harta ia

(39)

merusak kebenaran. Tidak pantaskah orang yang menghancurkan Dharma, dengan menghancurkan harta, harus pergi ke alam neraka? “Dan neraka ini yang tampak seperti jilatan Narakantaka ditangga pintumu, akan menelanmu - karena dosa-dosamu yang tiada terbilang akibat membagi-bagikan hartamu, yang menjadi akar dari segala Dharma. Sejak sekarang hentikan memberi dana, dengan begitu akan menahan kejatuhanmu yang langsung kedalam jilatan kobaran api ini, berbagi nasib dengan pemberi dana makanan malang itu – yang menggeliat kesakitan dan menangis tiada henti.

“Kekayaan, sebaliknya, dari mereka yang mengurangi kebiasaan buruknya memberi, akan mencapai alam para dewa! Bebaskan dirimu dari usaha beramal dana, yang menjadi rintangan kebahagiaan surgawi. Jalankan ketidak pedulian!”

Bodhisattva mengetahui bahwa orang yang mengatakan hal seperti ini pastilah orang yang jahat. “Ini pastilah rintangan kemurahan hatiku,” pikirnya. Tetap gigih namun baik, dan sesuai kebajikan, ia menjawab:

“Pada intinya yang telah engkau tunjukkan kepadaku adalah jalan orang-orang jahat. Singkatnya, itu sesuai hingga para dewa harus menunjukkan belas kasihnya melalui perbuatan mereka serta kecakapannya dalam menolong makhluk lain. Bukankah lebih baik mencegah penyakit sebelum ia berjangkit, atau setidak-tidaknya menggunakan obat penawar segera setelah tanda-tanda pertama muncul. Mengingat bahwa jika penanganan yang salah akan membuat penyakitnya semakin berkembang, terlambat menggunakan obat penyembuh hanya akan menyebabkan bencana. Keinginanku untuk berdana telah tumbuh, ketakutanku, jauh melampaui jangkauan pertolongan – karena pikiranku kini tak dapat

(40)

berpaling dari perbuatan memberi, mengabaikan nasihatmu sungguh suatu sikap yang tepat.

“Mengingat bahwa ucapanmu menganggap kemurahan hati sebagai dosa dan harta sebagai kebenaran, aku khawatir kemampuan pemahaman manusiawiku yang lemah tak mampu memahaminya. Bagaimana bisa kekayaan tanpa kemurahan hati, dapat disebut sebagai jalan kebajikan? Katakan kepadaku, jika demikian kapan kekayaan akan membawa kebajikan? Seperti halnya harta karun yang terpendam, barangkali? Atau ketika telah dicuri oleh para pencuri jahat? Atau ketika hilang didasar laut, atau ketika menjadi bahan bakar api?

“Bahkan, dengan berkata bahwa para pemberi dana akan pergi ke neraka dan yang menerima akan pergi ke surga, engkau hanya membuat ke inginanku untuk berdana semakin kuat. Semoga kata-kata itu benar adanya! Semoga mereka yang mengemis kepadaku langsung muncul dialam surga! Mengingat bahwa bukan demi kebahagiaanku sendiri aku berdana, akan tetapi demi kebahagiaan semua makhluk.”

Lalu Mara, si jahat, memeluk Bodhisattva, seperti sahabat karib mengucapkan sesuatu yang menyenangkan ditelinganya: “Terserah padamu apakah kata-kataku bohong atau demi baikmu. Lakukan yang kauinginkan. Bersyukur atau menyesal, engkau tak akan cepat melupakanku.”

Bodhisattva menjawab: “Pak, maafkan aku. Atas kemauanku sendiri aku akan menjatuhkan diri kedalam api neraka yang berkobar dan merasakan jilatan apinya. Daripada memilih mengabaikan kebajikan para pengemis yang telah menunjukkan rasa percayanya pada diriku dengan datang mengemis kepadaku.”

(41)

Sehingga Bodhisattva, bersandar pada kekuatan keberuntungan yang baik (yang sepenuhnya memahami dengan baik bahwa akibat sesungguhnya dari kemurahan hati bukanlah keburukan), melangkah menuju neraka yang terhampar dihadapannya. Dan dalam melakukannya, hatinya tak tersentuh oleh perasaan takut, dan kehendaknya untuk memberi jauh melampaui yang sebelumnya, mengabaikan pendapat maupun usul dari para sanak keluarga serta para pelayannya.

Berkat kekuatan kebajikan Bodhisattva, bunga padma bermekaran ditengah neraka tersebut; kuntum bunganya melambai-lambai seolah-olah menertawakan Mara, ia membawa Mahasattva menyeberangi samudra api tersebut. Berdiri dihadapan Pratyekabuddha, perumahtangga mengisi mangkok pindapatra sang pertapa dengan makanan, sementara perasaan hatinya sendiri diliputi oleh kebahagiaan dan kesukacitaan.

Pratyekabuddha, memperlihatkan rasa puasnya, terbang tinggi keangkasa, hujan turun dengan lebatnya, menyala dengan keagungan bagaikan awan yang terang oleh kilasan kilat. Kalah dan kecewa, Mara kehilangan kekuatannya. Tak sanggup menatap wajah Bodhisattva, ia lenyap bersama dengan nerakanya.

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana orang baik tidak surut dari melakukan pemberian bahkan meskipun berada dalam bahaya; lalu siapa, yang berada dalam keadaan aman dan bahagia tak melaksanakan amal dana? Orang yang pemberani dan yang berhati mulia, tak akan berjalan melewati jalan yang salah, meskipun dalam ketakutan.

(42)

Avishahyasreshthi Jâtaka

(Kisah Tentang Orang Yang Tiada Banding)

Bukannya takut akan kehilangan keberuntungan ataupun harapan imbalan dikemudian hari yang dapat menghalangi orang baik dari melaksanakan dana.

Pada suatu ketika, saat Sang Buddha masih sebagai Bodhisattva, ia lahir dalam sebuah keluarga mulia dan kemudian menjadi pemimpin kelompoknya. Ia memancarkan kemurahan hati dan kesusilaan, diperunggul dalam mempelajari ajaran suci, disiplin diri, pengetahuan agama, menghayati baik kebijaksanaan maupun kerendahan hati.

Diberkati dengan kekayaan yang tiada terbilang, ia hampir menyamai Sang Hyang Kuwera. Amal dana merupakan praktik utama baginya, karena itu ia lalu menjadi sumber kekayaan yang tiada pernah habis. Pemberi derma terbaik, hidupnya hanya bagi kemanusiaan; sungguh jauh dari segala sikap pelit dan

(43)

mementingkan diri sendiri, dengan segera ia dikenal sebagai Avishahya, ‘Orang Yang Tiada Banding’.

Ia begitu bahagia melihat para pengemis, sebagaimana perasaan bahagia para pengemis saat melihat dirinya: dalam sekilas pandang, keduanya sama-sama mengetahui bahwa keinginannya yang terdalam telah terpenuhi. Singkatnya ia tak dapat menolak permintaan apa pun, dan belas kasihnya yang agung tak menyisakan tempat bagi keterikatan terhadap harta, sehingga kebahagiaan utamanya adalah menyaksikan orang-orang miskin membawa barang-barang bagus dari rumahnya. Ia melihat bahwa apa yang disebut sebagai barang-barang bagus seperti adanya, menjadi sumber bagi keinginan dan kekecewaan, yang dengan cepat membawa pada ketidakpuasan tanpa adanya sebab musabab sebelumnya.

Sesungguhnya, kekayaan bercampur dengan ketamakan dapat disebut sebagai arak-arakan dijalan keputusasaan. Kekayaannya, di lain pihak membawa manfaat yang sesungguhnya baik bagi dirinya maupun pada yang lain. Mahasattva kepada para pengemis memberikan apa pun yang mereka perlukan sekaligus menghiasi pemberiannya dengan sikap hormat, dan bebas dari kekesalan, dengan cara demikian membuat mereka semua merasa puas.

Ketika Dewa Shakra, Raja Para Dewa, mendengar kebajikan sang Bodhisattva, ia benar-benar sangat kagum, dan saat itu juga memutuskan untuk menguji keteguhan Bodhisattva dalam melaksanakan kebajikannya. Dari hari ke hari, sedikit demi sedikit, jumlah uang, biji-bijian, permata dan bahan pakaian mulai menghilang dari rumah Avishahya. “Barangkali,” ujar Shakra, “mengetahui hartanya habis akan membuatnya menunjukkan sedikit sikap mementingkan diri sendiri.” Sebaliknya Mahasattva tetap gigih melaksanakan dana. Tak lama kemudian seluruh hartanya habis bagaikan air hujan yang kering oleh sinar matahari, ia lalu

(44)

memerintahkan agar lebih banyak lagi yang dikeluarkan dari rumahnya, hingga menyerupai penyelamatan barang-barang dari bahaya api.

Melihat hal ini Shakra semakin takjub, ia mempersiapkan ujian bagi keagungan ketulusan hatinya. Di malam hari ia mengambil seluruh harta Avishahya, kecuali seutas tali dan sebuah sabit. Bodhisattva bangun dari tidurnya mendapati segalanya telah habis, seluruh barang-barang rumah tangganya, furnitur, uang, biji-bijian, pakaian, bahkan para pelayannya. Rumahnya kosong, sepi dan menyedihkan, seakan-akan telah di jarah para raksasha, tak ada yang tersisa kecuali tali dan sabit.

“Mungkin beberapa orang miskin tidak lebih dulu menyampaikan permintaan, tapi dengan inisiatifnya sendiri dan membantu dirinya sendiri. Dalam kejadian ini, mereka telah memilih rumahku serta barang-barangku berguna,” ujarnya. “Tetapi bila sebaliknya, karena kurangnya keberuntunganku, seseorang yang iri pada nasib baikku telah begitu saja mencuri semua barangku, bukan untuk menggunakannya, itu sungguh disayangkan.

“Tidak langgengnya keberuntungan tidaklah mengherankanku, tetapi yang melakukannya patut disesalkan, membuat aku iba. Mereka telah lama menikmati pemberian dan kedermawananku; kini, mendapati rumahku yang kosong, bagaimana perasaan mereka? Tak ada bedanya dengan mereka yang tersiksa oleh haus, menemukan kolam yang kering.”

Setelah menjaga keadaan batinnya, Bodhisattva tak mau jatuh ke dalam kesedihan. Tak pernah mengemis, ia tidak dapat mengajak dirinya sendiri meminta bantuan pada orang lain, bahkan dari mereka yang ia kenal baik. Karenanya ia kemudian memahami betapa sulitnya menjadi pengemis. Belas kasihnya kepada para pengemis

(45)

lebih kuat dari sebelumnya, dengan pikiran yang bermaksud membantu orang-orang miskin yang begitu kuat dalam hatinya, ia meraih tali dan sabit, pergi ke ladang untuk mengumpulkan rumput. Hari demi hari ia berjemur di bawah terik matahari, dan dengan sedikit penghasilan dari menjual rumputnya, ia berusaha memberi kepada banyak pengemis.

Menyaksikan ketenangan yang tak tergoyahkan tersebut, serta keteguhannya memberi dalam keadaan yang sangat kekurangan, Dewa Shakra dipenuhi oleh perasaan takjub serta penyesalan. Namun demikian ia belum menghentikan cobaannya. Dalam terangnya cahaya pelangi, ia menampakkan diri di angkasa di hadapan Bodhisattva, memamerkan wujud kedewataannya yang mengagumkan, untuk membuat Bodhisattva berpaling dari melakukan dana, ia berkata:

“Perumah tangga! Tiada pencuri ataupun air, tiada api ataupun pangeran yang telah merampok hartamu. Kemurahan hatimu pada orang-orang Candalalah yang membuatmu mengalami keadaan ini, para sahabatmu telah banyak memberi peringatan. Untuk itulah aku menganjurkanmu agar menghentikan kegemaranmu memberi. Jika engkau berhenti berdana, sangat mungkin bagi orang miskin seperti dirimu sekarang, akan dapat kaya lagi seperti sebelumnya. Dengan memakainya secara langsung, kekayaan akan ludes; sebaliknya dengan mengumpulkan bukit akan terciptalah gunung. Dengan bersikap mementingkan diri sendiri engkau akan dapat membuat hartamu bertambah.”

Untuk menunjukkan ketekunannya dalam berdana, Bodhisattva menjawab: “Oh Yang Bermata Seribu, yang berhati mulia, betapapun sulitnya, tak akan membiarkan diri sendiri melakukan perbuatan yang tidak mulia. Semoga tak ada kesempatan bagiku untuk melakukan sesuatu yang menyedihkan seperti itu. Para pengemis

(46)

berada dalam penderitaan berat, hampir seperti kematian. Karena mengemis adalah satu-satunya harapan mereka, siapakah yang akan melempari orang-orang miskin dengan batu kebencian penolakan? Sesungguhnya, siapakah yang memperoleh batu permata, kekayaan, bahkan surga para dewa, dan tidak menggunakannya untuk menghentikan penderitaan dari mereka yang mulai pucat karena pekerjaan sebagai mengemis? Jika seseorang tidak berdana, orang memperkuat keserakahannya. Dalam memperkuat kemurahan hati, orang akan terlindung dari bahaya tersebut.

“Kakayaan seperti kilasan kilat. Ia mungkin saja akan mengenai siapa saja, bila itu terjadi, ia hanya akan menyebabkan kesakitan serta bencana; karena hanya ada kebahagiaan dan kesukacitaan yang berasal dari berdana. Mengerti akan hal ini, bagaimana mungkin orang mulia menginginkan keserakahan? Dewa Shakra, aku mengucapkan terima kasih atas nasihat baik serta perhatianmu, namun demikian hatiku telah terbiasa dengan kegembiraan yang ditimbulkan oleh kegiatan memberi. Bagaimana mungkin aku dapat memperoleh kegembiraan dari hal lain? Mohon jangan marah pada sikapku; sifat utamaku tidak mudah menyerah.”

Dewa Shakra menjawab: “Perumah tangga, kata-katamu seolah-olah dirimu masih menjadi orang kuat dan kaya, yang di ikuti oleh banyak pelayan, dengan harta dan kemewahan yang terus mengalir, yang masa depannya pasti. Sikapmu tidak sesuai dengan keadaanmu. Sekarang saatnya engkau memulihkan kekayaanmu. Ambillah bidang pekerjaan yang sesuai bagi mereka yang keadaannya seperti dirimu! Dengan segera engkau akan mengumpulkan kekayaan seluas sinar matahari, sehingga dengan kekayaan itu engkau akan membuat keberuntungan lawan-lawanmu diliputi oleh gerhana. Setelah itu engkau akan dapat menikmati kenikmatannya seperti memeluk kekasihmu. Setelah mendapatkan kehormatan bahkan oleh raja, engkau akan dapat memamerkan

(47)

keadaanmu pada masyarakat, dan membuat para sahabatmu kagum dengan pemberian atau keduanya. Jika dalam keadaan tersebut, engkau merasa perlu melaksanakan kegiatan amal dana, tak jadi masalah, tak ada yang akan mencelamu?

“Sebaliknya, senang memberi tanpa sarana untuk melakukannya seperti kebodohan seekor burung yang sayapnya baru berkembang setengah berkehendak terbang. Keinginanmu berdana akan meruntuhkanmu; hanya dengan menjalani ketidakterikatan, akan tercapai tujuan yang rendah, sedangkan meninggalkan kegiatan berdana memungkinkanmu memiliki harta. Tanpa harta apa yang dapat kauberikan? Apa salahnya tidak memberi, jika memang nyatanya tak ada yang dapat kauberikan?”

Bodhisattva menjawab: “Shakra, tak ada waktu untuk mengikuti nasihatmu! Bahkan, meskipun mereka yang hanya peduli pada kepentingannya sendiri, dibandingkan kepentingan orang lain, akan menyadari bahwa dengan menjalankan kemurahan hati mereka akan memperoleh lebih banyak dari apa yang didapatkannya dari harta. Perasaan sangat puas akan muncul dengan mengalahkan ketamakan melalui praktik dana. Ingatlah selalu hal ini dalam hati, orang akan mengetahui betapa bodohnya berusaha untuk memperkaya diri, karena hal itu tak akan dapat membawa seseorang ke alam-alam surga. Kemurahan hati sendiri memberi seseorang reputasi mulia dan mengalahkan sikap-sikap keserakahan. Memahami akan hal ini, siapakah yang tak mau melaksanakan dana? “Siapa pun yang tergerak oleh belas kasih, siapapun yang berkehendak melindungi makhluk hidup yang diliputi oleh usia tua dan kematian, akan memberikan dirinya sendiri sebagai dana. Orang seperti itu tidak terpengaruh oleh kebahagiaan duniawi biasa lagi; penderitaan orang lain mencegahnya merasakan kebahagiaan yang

(48)

demikian. Bagi orang seperti ini, tiada artinya lagi keagungan yang engkau miliki di alam surga?

“Dengarkan kembali hal ini, Oh Raja Para Dewa: masa hidup sungguh tak dapat di tentukan, sebagaimana keadaan kekayaan. Bilamana orang paham akan hal ini, jelas sekali tak perlu memedulikan pahala dari perbuatan amal dana. Ketika sebuah kereta telah meninggalkan jejaknya di atas tanah, kereta yang berikutnya akan pergi dengan lebih yakin. Untuk alasan itulah, aku tak akan beranjak dari jalan baik ini, aku tak akan membawa keretaku ke jalan yang salah.”

“Bila aku harus sekali lagi menimbun harta, itu sudah pasti akan menggembirakan orang-orang miskin. Saat ini, bagaimanapun, bahkan meskipun dalam kesendirian, aku akan tetap berdana semampuku. Semoga aku tak akan lemah dalam menjaga ikrar kemurahan hatiku!”

Dengan kata-kata tersebut Dewa Shakra akhirnya merasa puas. “Benar sekali, benar sekali!” teriaknya, sambil memandang Bodhisattva dengan rasa hormat serta perasaan kasih sayang, ia lalu menjelaskan: “Sebagian besar orang tunduk pada harta dengan berbagai alasan, tak peduli bagaimanapun hina, kasar ataupun menyakitkannya, tak soal bagaimana buruk nama baiknya. Tak memedulikan bahaya, terikat pada kesenangannya, mereka membutakan diri sendiri dengan sikap mementingkan dirinya. Sebaliknya engkau tak memedulikan hartamu yang hilang, dan juga hilangnya kesenanganmu. Engkau sama sekali tak terpengaruh oleh cobaanku, tetap teguh dalam mengembangkan keberuntungan orang lain. Dengan begitu engkau telah menunjukkan keagungan sifatmu! “Betapa bersinar kelembutan hatimu! Betapa sempurna engkau telah melenyapkan kegelapan batin rasa mementingkan diri sendiri!

(49)

Meskipun hartamu telah habis, keinginanmu untuk memberi tidak juga surut, dengan berharap dapat melakukannya lagi. Begitu besarnya deritamu atas penderitaan makhluk lain, begitu besar kekuatan belas kasih dan keinginanmu untuk membawa kebajikan bagi dunia, tak heran bila aku tak dapat menghalangimu. Begitu tak berarti bagai Himalaya yang digetarkan oleh terpaan angin!

“Akulah yang telah menyembunyikan hartamu, namun demikian dengan cobaan itu kemasyhuranmu akan tersebar. Hanya dengan diuji maka sebuah batu permata, betapapun bagusnya, baru akan mendapat nilai yang sangat mahal sebagai permata termasyhur. Maafkan aku, dari sekarang tumpahkan pemberianmu kepada yang membutuhkan sebebas awan hujan memenuhi kolam. Atas anugerahku, engkau tak akan pernah lagi kehilangan hartamu.”

Setelah memperoleh maaf dari Avishahya, Dewa Shakra mengembalikan seluruh miliknya, kemudian menghilang.

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana orang baik tak akan surut praktik dananya, baik karena rasa khawatir kehilangan keberuntungannya atau karena keinginan untuk memperoleh lebih banyak.

(50)

Sasa Jâtaka

(Kisah Tentang Kelinci)

Jika bahkan meskipun hidup sebagai binatang, Mahacitta telah dikenal dengan baik dalam praktik kemurahan hati, siapakah yang kemudian, sebagai manusia, tak mau bermurah hati?

Di tengah sebuah hutan terdapat tempat yang telah dibuka oleh para pertapa. Ditempat itu bumi telah dilapisi oleh rerumputan lembut; tanah yang subur telah menumbuhkan bunga serta buah dalam kelebatan, pohon serta tanaman hijau seluruhnya begitu subur. Di batas tempat yang menyenangkan ini terdapat sebuah sungai yang jernih biru bagai lapis lazuli.

Di dalam hutan, sang Bodhisattva hidup sebagai seekor kelinci, seekor binatang yang memancarkan kebajikan, begitu bersemangat, begitu kuat serta begitu indah hingga seluruh binatang lain di hutan menganggapnya sebagai raja, tak ada yang takut kepadanya demikian pula tak ada yang menakutinya. Menghidupi dirinya hanya

(51)

dengan rerumputan, memakai bulunya sendiri sebagai jubah tapa, ia begitu tenang bagai seorang Mahasattva. Segala yang dipikirkannya, segala yang diucapkannya, segala yang dilakukannya didorong oleh rasa persahabatan murni serta ketulusan, hingga bahkan binatang buas yang biasanya menimbulkan kekacauan, menjadi murid atau sahabatnya.

Di antara para pengikutnya yang berbakti, terdapat tiga yang secara khusus tertarik pada belas kasih dan sikap hormat, sifat utama yang mempengaruhinya, dan mereka yang lalu senantiasa menemaninya: yaitu berang-berang, serigala dan kera. Ketiganya mengasihi kelinci seolah ia keluarganya sendiri, rasa hormatnya yang tulus mengikat mereka dalam kesukacitaan kebersamaan. Mereka melewatkan hari-hari bersamanya, segera melupakan sifat rendahnya, rasa belas kasih kepada semua makhluk tumbuh dari lubuk hatinya. Kebencian tidak lagi mempengaruhinya, mereka lupa bagaimana mencuri, perbuatan mereka semakin dekat dengan Dharma. Pikiran mereka menjadi terkendali, bersih dan teguh.

Betapa mengesankannya mendengar seorang manusia yang telah memilih jalan kebajikan melalui dua macam perbuatan, perbuatan yang sesuai kesenangan namun menuju pada kebajikan, atau perbuatan yang sejalan dengan kebajikan namun tidak dengan kesenangan, bayangkan betapa mengagumkannya mendengar tentang empat binatang yang telah membuat pilihan itu! Ketenarannya dengan cepat tersebar, khususnya kabar di antara makhluk hidup yang berwujud kelinci, belas kasihnya pada makhluk lain sungguh tiada banding. Kemasyhurannya bahkan menjangkau hingga ke alam para dewa.

Pada suatu sore, kera, serigala dan berang-berang yang sedang duduk di dekat kaki kelinci, dengan sabar menunggunya mengajarkan Dharma. Bulan sedang purnama, seperti cermin perak

(52)

tanpa gagang, cahaya keindahannya mendorong kelinci untuk berbicara kepada para sahabatnya:

“Lihatlah! Bulan malam ini tampak berwajah tersenyum, sangat bulat, mengingatkan kita bahwa besuk adalah hari kelima belas, hari suci. Kita jangan sampai lupa untuk menjalankan kegiatan yang di anjurkan pada hari itu. Yang lebih penting, kita jangan sekali-kali berpikir tentang kebutuhan diri kita sendiri, sebelum kita menyambut tamu dengan makanan lezat yang di dapatkan dengan cara yang benar.

“Ingat: hidup tidak pasti dan hanya sekejap seperti kilasan kilat. Bahkan hidup mereka yang telah memiliki status muliapun akan berakhir dalam kejatuhan. Setiap pertemuan berakhir dalam perpisahan. Karenanya sadarilah, dan waspadalah terhadap kelengahan. Berusahalah untuk mengembangkan kebajikanmu dengan melakukan dana, iringilah dengan sikap yang terpuji, mengingat bahwa perbuatan baik merupakan penopang terkuat bagi orang yang berada di dunia. Terangnya sinar bulan memudarkan bintang-bintang, namun pancaran sinar matahari memudarkan mereka semua. Begitu pulalah kekuatan serta keindahan kebajikan. “Karena itu raja agung, berkat kekuatan kebajikannya, dapat mengendalikan kegiatan seluruh pejabat dan para pangeran yang sangat angkuh, membuat mereka menjalankan perintahnya dengan tunduk, seperti kuda terbaik. Pemimpin yang membenci kebajikan adalah bodoh, karena betapapun ia bijak di mana mungkin ia memangku jabatan kerajaan, mereka tentulah akan tertimpa kemalangan serta menyia-nyiakan seluruh hidupnya.

“Karenanya, jauhi jalan yang menuju perbuatan salah, yang hanya akan membawa pada penderitaan dan kehinaan. Teguhkan hatimu pada setiap kesempatan untuk menimbun kebajikan, karena

(53)

kebajikan adalah sumber yang sesungguhnya dan juga jalan sesungguhnya yang membawa pada kebahagiaan.”

Ketiga siswanya berterima kasih pada kelinci atas ajarannya, bersujud padanya dengan penuh rasa hormat. Setelah berpradaksina kepadanya, mereka kembali ke kediamannya masing-masing. Seorang diri, kelinci mulai merenungkan keadaan dirinya sendiri:

“Ketiga sahabatku telah mencari cara untuk menyambut siapa pun yang mungkin akan berkunjung besok, akan tetapi keadaanku sungguh menyedihkan. Ujung rumput yang kupotong dengan gigiku tidaklah cukup untuk menyambut tamu siapa pun. Aduh! Betapa malangnya aku! Apa gunanya hidup bagiku bila seorang tamu yang menjadi sebab bagi kebahagiaan hanya membawa derita? Bagaimana bisa tubuhku yang tak patut ini, yang tak dapat bahkan memberi kepuasan bagi tamu, berguna bagi siapa pun!”

Selanjutnya kelinci menemukan jawabnya: “Oh, Bagus sekali! Ini dibanding semua yang lain, dalam kemampuanku memberi pada tamu! Aku dapat menggunakan tubuhku sendiri! Ia bukan milik siapa pun, aku tak akan menyakiti tubuh siapa pun dengan memberikannya. Tubuhku ini bisa menjadi makanan bagi tamuku yang datang. Kini aku dapat bersenang hati!” Dengan kegembiraan seolah dirinya baru saja mendapat hadiah besar, kelinci menunggu pagi.

Pada pikiran mulia yang muncul di batin seorang Mahasattva, seluruh kekuatan bumi dan langit saling bergolak. Bumi menggetarkan gunungnya dengan kegembiraan; samudra menderukan gelombangnya bagai pakaian. Beduk para dewata terdengar di angkasa, cakrawala tampak diliputi oleh cahaya lembut. Awan diliputi oleh kilat gelegar petir sayup-sayup, terjadi hujan bunga tiada terbilang. Dewa Bayu meniupkan aroma serbuk sari

(54)

dari pohon berbunga ke dalam helai garis-garis seperti benang sebagai tanda sangat aman, bagai kumpulan persembahan.

Keputusan mengejutkan dari kelinci menimbulkan kegemparan sedemikian rupa di antara para dewa termasuk Dewa Shakra, Raja Para Dewa, yang menjadi takjub, dan memutuskan untuk pergi membuktikan bahwa keputusan kelinci tersebut memang nyata.

Pada hari berikutnya, tepat di siang hari, saat matahari memancarkan sinarnya yang paling panas; saat jala cahaya tergantung di cakrawala, saat matahari memancarkan cahaya menyilaukan serta tak sanggup untuk di pandang; saat bayangan tampak jelas, burung-burung bersembunyi; saat ketika pepohonan bergema oleh lengkingan suara gareng; saat ketika orang yang bepergian merasa kepanasan serta keletihan, saat itulah Dewa Shakra, Raja Para Dewa, menyamar sebagai seorang brahmana tua, menampakkan diri di tempat yang tak jauh dari keempat sekawan berdiam. Menangis dan mengeluh, ia dengan sempurna meniru suara orang yang sedang tersesat, orang yang dalam perjalanan didera oleh kehausan serta kelaparan, putus asa dan menderita.

“Tolong, adakah orang yang mau menolongku, tolonglah diriku!” Teriaknya. “Temanku telah pergi; aku kehilangan arah; aku bingung sendirian di hutan lebat, lapar dan lelah. Aku benar-benar tak tahu arah; aku tak dapat melihat arah yang benar karena ragu. Aku kepanasan, haus, kering. Siapa yang akan membantuku? Tak adakah orang yang mau memberiku perlindungan?”

Sang Mahasattva, mendengar suara yang demikian memilukan, segera berlari menuju datangnya suara. Setelah ia sampai di hadapan orang yang tersesat dan menderita, ia mendekatinya dengan sopan dan berkata menghibur demikian:

(55)

”Jangan cemas meskipun engkau tersesat di hutan belantara. Kami adalah temanmu, kami peduli pada keselamatanmu seperti halnya para pengikutmu. Tolong Pak, beri kami kesempatan, terimalah bantuan kami, besok baru lanjutkan lagi perjalananmu.” Orang tersesat itu diam, demikian pula berang-berang, menganggap itu sebagai tanda setuju, lari gembira, tak lama kemudian kembali dengan membawa tujuh ekor ikan. Ia memberikannya kepada tamu tersebut. Ia berkata:

“Aku menemukan ketujuh ikan itu tergeletak di tanah, tidak bergerak, seolah tidur. Mungkin ditinggalkan di sana oleh beberapa penangkap ikan yang kelupaan, atau ia telah melompat ke tepi karena takut, bagaimanapun sebabnya, ia sekarang menjadi milikmu. Silahkan makan dan tenanglah.”

Serigala juga membawa makanan yang di perolehnya. Menunduk hormat, ia berkata: “Ini, pak, seekor kadal dan sekuali bubur susu yang ditinggalkan dihutan oleh orang yang tidak diketahui. Beri kesempatan aku melihatmu menikmati makanan ini, setelah itu istirahatlah semalam di sini, wahai orang baik.” Dengan perasaan belas kasih yang kuat dalam hati, ia memberikan persembahannya kepada brahmana tersebut.

Berikutnya kera mendekat, membawa buah mangga matang yang lembut bulat sempurna dan sebuah jeruk yang berlubang begitu dalam yang telah mengering. Dengan beranjali ia memberi hormat lalu berkata: “Aku punya mangga matang untukmu, bulat dan halus, melegakan seperti bayangan (pohon), melegakan seperti kesenangan para pengiring yang baik. Wahai orang mulia yang di sebut brahmana, nikmatilah dan tinggallah di sini malam ini.”

Referensi

Dokumen terkait

DESKRIPSI PENYEBAB KESULITAN BELAJAR SISWA KELAS XI SMA PADA MATERI SISTEM HORMON. HERMAN SOPIAN

[r]

Diketahui bahwa, pengalaman Anggota DPRD Kota Palangka Raya yang belum pernah duduk dalam lembaga legislatif sebelumnya berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas pokok dan

Menurut Vincent Gaspersz (2005, p203), kapasitas produksi merupakan suatu kemampuan dari fasilitas produksi untuk mencapai jumlah kerja tertentu dalam periode waktu tertentu

Surat Keputusan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Formasi Tahun Anggaran 2010 Tingkat D.III Kebawah sebanyak 1633 (seribu enam ratus tiga puluh tiga) CPNS telah diserahkan

Terdapat beberapa hal yang mendorong mun- culnya sistem borongan, antara lain: (1) jadwal tanam secara serentak untuk meng- hambat serangan hama wereng dan tikus

Tujuan merupakan sesuatu yang hendak dicapai dalam suatu penelitian. Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai

Berdasarkan rumusan masalah tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis dan mengkaji; (1) tingkat kelayakan isi Buku Sekolah Elektronik (BSE) Penjasorkes SD Kelas 4 yang