• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maitribhala Jâtaka

Dalam dokumen Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni (Halaman 70-87)

(Kisah Tentang Kekuatan Belaskasih)

Praktisi belas kasih sejati tak menghiraukan kesenangannya sendiri; penderitaan orang lainlah yang menjadi perhatiannya.

Ketika Bodhisattva sedang melaksanakan praktik belas kasih, berusaha menjadi tempat berlindung bagi semua makhluk, ia berusaha mengembangkan batinnya dalam sifat-sifat yang membawa kebajikan bagi dunia; dana, sila, bakti serta mengasihi semua makhluk. Sehingga ia terlahir kembali sebagai seorang raja bernama Maitribhala, ‘Ia Yang Berkekuatan Belas Kasih’.

Maitribhala merasakan penderitaan rakyatnya sebagai deritanya sendiri, sehingga ia melindungi rakyatnya dengan berbagai daya upaya. Kata-katanya bagaikan hiasan, para raja yang lain menghargai kata-katanya bagaikan suatu hukum, hukum yang mengungkapkan sejauh mana ia telah mengusahakan kebajikan bagi rakyatnya. Ia memerintah kerajaan dengan cara yang benar; bahkan hukuman

yang dijatuhkan tiada lain semata-mata demi meningkatkan kesejahteraan kerajaannya. Ia bagaikan ayah bagi rakyatnya, dalam hal ia melindungi mereka dengan Dharma. Dalam sikap toleransinya, keseimbangan, kelembutan dan kebijaksanaannya yang secara keseluruhan ditujukan bagi kesejahteraan makhluk lain, ia meningkatkan penimbunan perbuatannya sendiri yang lembut, yang pada pokoknya ditujukan bagi tercapainya pencerahan.

Hingga pada suatu hari, lima orang yaksa, diutus oleh rajanya, Kuwera, menyerang negeri Maitribhala. Mahir dalam hal mengisab daya hidup makhluk lain, para yaksa tersebut merasa senang telah mendapati sebuah kerajaan yang indah, sangat kaya, bebas dari segala bencana, yang rakyatnya penuh bahagia, sehat dan sedang berkembang. Mereka hanya memiliki satu keinginan: yaitu menguras tempat tersebut dari segala kemampuannya.

Namun demikian usaha apa pun yang telah mereka lakukan, memakai cara-cara yang biasa mereka lakukan, mereka tak dapat mengisab daya hidup dari penduduk di sana. Kekuatan sang raja begitu hebatnya; sekedar kehendaknya, telah cukup untuk melindungi seluruh rakyatnya. Menyadari bahwa mereka tak sanggup menyakiti satu orang pun di negeri tersebut, perasaan tak berdaya para yaksa membuat mereka berkerumun serta lemas ketakutan.

“Kita tak berdaya. Bagaimana ini bisa terjadi? Orang-orang itu tak terpelajar, mereka tidak menjalani pertapaan berat, mereka bukan juga para ahli mistik. Bagaimana bisa mereka melenyapkan kekuatan kita? Kita sungguh tak pantas menyandang nama kita!”

Begitulah, dengan menyamar sebagai brahmana, mereka berteriak-teriak di daerah itu. Lama-kelamaan mereka sampai di tepi sebuah hutan, di mana mereka berjumpa dengan seorang

penggembala yang sedang berteduh dibawah bayangan sebatang pohon rindang, memakai sandal di kakinya, karangan bunga di rambutnya. Sendirian, tongkat serta kapaknya tergeletak di tanah, di sisi kanannya, ia sedang menyanyi serta memukul-mukul seperti menyibukkan dirinya dengan membuat tampar.

Para yaksa mendekati penggembala itu sambil mencoba untuk berbicara, akan tetapi sulit untuk mengucapkannya, mengingat bahwa mereka tidak biasa menggunakan bahasa manusia. Akhirnya, mereka berteriak: “Hei, kamu yang di situ, gembala sapi, tidakkah engkau takut sendirian di hutan sepi ini?”

Penggembala menoleh lalu berkata: “Apa yang harus kutakutkan?” Yaksha tersebut menjawab: “Apakah engkau tak pernah mendengar adanya danawa dan yaksa yang sangat jahat? Hingga tak seorang pun manusia, betapapun ia diberkati pengetahuan, praktek tapa ataupun mantra, betapa pun ia kuat dan tak mengenal takut, dikelilingi oleh sahabat yang menyayanginya, dapat melepaskan diri dari perampok bengis yang memakan daging serta cairan manusia. Bagaimana mungkin engkau tidak takut, sendirian dihutan yang terpencil dan menakutkan ini?”

Penggembala tertawa dalam hati. “Di negeri ini,” ujarnya, “kami memiliki pusaka keberuntungan yang sangat ampuh hingga bahkan Raja Para Dewa sekalipun tak dapat mengalahkannya, apalagi beberapa danawa pemakan daging. Itulah sebabnya, kami berkelana dibelantara ini seolah dirumah kami sendiri, siang malam, sendirian seolah bersama rombongan, tiada cemas, lagi pula memang aman.” Para yaksa kini sangat keheranan, mendesak penggembala dengan berkata santun kepadanya: “Saudaraku yang baik,” Ucapnya, “Engkau orang yang pemberani, tolong katakan kepada

kami, jika dirimu berkenan, apa sesungguhnya yang menjadi pusaka sangat ajaib itu?”

Sambil kembali tertawa, penggembala menjawab: “Dengar baik-baik cerita tentang pusaka kami: dadanya bidang bagai wajah keemasan gunung Meru; senyumnya seindah bulan purnama di musim gugur; lengannya bagai busur panah emas, panjang serta padat; matanya bagaikan mata kerbau dan langkahnya bagai langkah seekor banteng. Dialah raja kami! Beliaulah pusaka ajaib kami.”

Berhadapan dengan wajah penuh minat serta takjub didepannya, ia berkomentar: “Nah, bukankah ini memang menakjubkan, benar tidak? Belum lagi kekuatannya! Kekuatan raja kami sudah sangat termasyhur, apakah engkau belum mendengarnya. Atau apakah engkau pernah mendengarnya tetapi tidak mempercayainya?

“Aku mengira orang-orang di negerimu tidak begitu peduli pada usaha kebajikan. Atau barangkali timbunan keberuntungan disana telah mengering, sehingga mereka tidak mendengar kabar tentang raja kami. Dalam berbagai kesempatan, sejak kedatanganmu disini dari negeri asing, beberapa keberuntungan kecil akan menyertaimu.” Para yaksa kembali berkata: “Bapak yang baik,” Ucapnya, “Engkau orang yang pemberani, tolong ceritakan kepada kami apa yang dimiliki oleh rajamu sehingga dapat membuat para danawa kehilangan kekuatannya untuk dapat menyakiti rakyat dinegerinya.” Penggembala sapi menjawab: “Dengarkan, wahai brahmana. Kekuatan raja kami berasal dari batinnya yang mahamulia. Kekuatannya bertumpu pada bahu belas kasihnya, bukan pada panji-panji bala tentaranya, yang tetap murni sebagai tingkah laku. Perbuatan benar adalah kebiasaannya, bukannya pengetahuan politiknya yang luas. Ia tidak mengerti kemarahan; ia tak pernah

berbicara kasar. Sehingga ia melindungi negerinya dengan cara yang tepat, serta menggunakan hartanya untuk memuliakan kebajikan.

“Dan meskipun beliau telah memiliki segala sifat yang mengagumkan seperti itu, beliau sama sekali tak ternoda oleh sikap angkuh ataupun harapan mendapat balasan dari perlindungan yang beliau berikan kepada rakyat. Beliau diberkati dengan berbagai sifat-sifat mulia seperti ini; sehingga tak ada bencana yang akan menyentuh rakyat negeri ini.

“Namun demikian, alangkah terbatasnya yang dapat kauketahui dari ku! Jika engkau ingin tahu lebih banyak lagi tentang kebajikan raja kami yang mahamulia, sangat baik bagi Anda untuk masuk ke dalam kota. Di sana Anda akan menyaksikan rakyat dalam kehidupan mereka sehari-hari: anda akan tahu betapa teguhnya ke susilaan, rasa tanggung jawab, bagaimana baiknya, bagaimana menariknya mereka; betapa berlimpahnya makanan mereka, betapa banyaknya nasib baik mereka, bagaimana menariknya pakaian mereka, busana yang mereka kenakan. Dan anda juga akan tahu bagaimana ramahnya mereka kepada orang asing yang pantas, yang datang kepada mereka sebagai tamu. Mereka terpengaruh oleh kebajikan rajanya, dimana puji-pujian kepadanya tiada pernah henti dilantunkan dengan penuh rasa bakti, seolah-olah melafalkan mantra yang sangat ampuh, yang penuh berkah.

“Setelah Anda menyaksikan semua itu, Anda baru akan tahu bagaimana memahami kebajikan raja kami. Dan bila Anda ternyata juga mulai merasa hormat pada kebajikan-kebajikannya, tak diragukan lagi setelah itu Anda akan segera akan bersaksi tentangnya, karena Anda sendiri akan berusaha menghadapnya.”

Penggembala tersenyum hangat, tetapi penjelasannya yang sangat berpengaruh sama sekali tak dapat melunakkan hati yang

mendengarnya. Atas pujian terhadap yang dibencinya, sebagaimana kebenaran yang tidak menerangi batin orang yang bodoh. Para yaksa semakin besar kemarahannya kepada raja yang telah menghancurkan kekuatan mereka, meninggalkan penggembala, mereka mengapak dengan geram pepohonan.

Mengetahui kebajikan belas kasih sang raja, dan dengan tujuan utama ingin menyakitinya, mereka berencana untuk mendekati raja pada saat beliau mengadakan pertemuan. Dalam penyamarannya, mereka akan meminta makan kepadanya.

Dengan segera dan gembira raja memerintahkan juru masak serta pelayannya untuk menyiapkan makanan istimewa kepada tamunya. Akan tetapi setelah semua dihidangkan, berbagai makanan hingga memenuhi meja istana, para yaksa menolaknya, seperti seekor harimau yang membenci rumput hijau. “Kami tidak makan makanan seperti ini,” Ujar mereka. “Baiklah, jenis makanan apa yang membuat kalian senang jika demikian, agar kami dapat mempersiapkannya untukmu?” Tanya sang raja.

Yaksa menjawab: “Daging mentah manusia, yang baru dipotong, juga darah orang yang masih hangat, seperti itulah makanan serta minuman yaksa, Wahai Raja Bermata Padma, engkau yang sangat berpegang pada janji.” Segera setelah berkata demikian, mereka membuang penyamaran manusianya dan memperlihatkan wujud aslinya; wujudnya yang tidak karuan, mulut menganga dengan gigi-gigi yang runcing, mata merah bengis, menyala dan juling, berhidung lebar, datar dan sangat ganjil, rambut serta janggutnya berwarna merah menyala, tubuhnya gelap kelam dan tak menyenangkan seperti awan hujan.

Memandangnya, raja segera mengetahui bahwa mereka bukanlah manusia, tetapi yaksa. Kini beliau paham mengapa mereka

tidak mau menyantap hidangan makan serta minumnya. Tergerak oleh hatinya yang murni, beliau hanya merasakan belas kasih serta iba terhadapnya. Dengan memandang mereka, beliau berkata:

“Orang yang penuh kasih tak akan mendapatkan makanan dan minuman seperti itu, dan bilamana berusaha mendapatkannya, betapa tak terkatakannya penyesalan yang akan di akibatkannya! Kejahatan didalam hati bisa berhasil bisa pula tidak; bila tidak, usahanya tak akan berakibat apa-apa, namun bila ia berhasil, apa manfaat yang dapat di peroleh dari membunuh kebajikannya sendiri hari demi hari?

“Singkatnya seperti itu adalah cara hidup para yaksa, hati mereka keji serta tiada berperasaan. Setiap saat tiada yang di lakukannya selain menghancurkan kebahagiaan dirinya sendiri. Kapankah penderitaan mereka akan pernah berhenti? Aku harus membantu mereka, namun bagaimana mungkin aku dapat mengumpulkan makanan seperti itu? Sekejab pun aku tak dapat menyakiti makhluk lain atau pun menghancurkan seatu kehidupan. “Sekali pun aku tak ingat, bahwa aku pernah meski pun hanya sekali mengecewakan permintaan orang; tak seorang pun yang pernah datang kehadapanku pergi dengan tangan hampa, seperti bunga padma yang diterpa oleh angin musim semi.

“Daging binatang yang telah mati secara alami dagingnya telah dingin dan tak lagi berdarah; itu tak akan berguna. Tapi bagaimana aku harus merampas daging dari makhluk hidup mana pun? Sementara, bagaimana mungkin aku menolak mereka, memutuskan harapan mereka dan membuat mereka lebih menderita lagi?

“Tapi mengapa menunggu lama? Jelas sekali apa yang harus kulakukan. Dari tubuhku sendirilah aku akan memberi mereka darah,

juga dari tubuhku sendirilah gumpalan dagingnya, padat dan tebal. Mereka kelaparan, mereka telah datang kepadaku meminta makanan; aku tak mungkin mencari daging dari yang lain. Mata mereka kosong, wajahnya pucat, sakit oleh derita usahanya yang sia-sia. Karenanya, inilah saatnya untuk bertindak. Untuk apa lagi tubuh ini, selamanya hanya diperuntukan bagi penyakit, seperti bisul bernanah, sebagai tempat berdiamnya penyakit? Aku akan menggunakan derita itu untuk di manfaatkan dengan baik, aku akan melakukan perbuatan istimewa untuk membawa kegembiraan.”

Dengan keputusan tersebut, wajah serta mata Mahasattva mulai memancarkan kegembiraan. Bermandikan kemuliaan, ia menunjuk pada tubuhnya sambil berkata kepada yaksa:

“Makanlah daging serta darah ini. Aku menggunakan tubuh ini hanya demi kebajikan makluk lain. Untuk menyenangkan tamu menggunakannya dengan cara ini, akan menjadi keberuntunganku, juga akan berakibat besar bagi seluruh dunia.”

Para yaksa, melihat keputusan raja, sulit untuk mempercayainya, merasa seakan-akan tak mampu melakukannya. Sehingga mereka seketika berkata: “Setelah orang yang membutuhkan mendapatkan apa yang diperlukannya, tentulah yang memberi yang harus melakukannya.”

Dengan sangat bahagia, raja memanggil seorang tabib untuk menyayat uratnya. Tetapi para mentri kerajaan, sangat terperanjat dan merasa tidak bisa menerima keputusan raja untuk memberikan daging serta darahnya sendiri, berulang kali mereka memohon kepada raja disebabkan oleh kasih sayang mereka: “Kami mohon, Baginda, jangan biarkan kecintaan Anda terhadap amal dana membuat Anda harus mengalami akibat perbuatan yang tak dapat dipahami! Pahamilah akibat buruknya bagi rakyat Anda yang penuh

bakti, Anda tentu sudah tak salah lagi memahami sifat para raksasa. Anda selalu berusaha demi kesejahteraan kerajaan Anda; Anda senantiasa tiada terikat pada kesenangan Anda sendiri. Jangan berikan daging Anda, kami rasa itu tidaklah tepat!

“Anda bertindak karena ketidaktahuan, Sri Baginda. Anda sangat memahami bahwa para raksasha itu telah melakukan berbagai upaya untuk mengganggu serta mempersulit rakyat Anda. Sifat mereka sesungguhnya hanyalah hendak menyakiti makhluk lain. Hingga saat ini kekuatan Anda telah menjadi pelindung bagi kami, dan mereka tak berdaya; tak dapat menjalankan kekejamannya dengan cara yang lain, mereka telah merencanakan kejadian ini untuk membuat kita tertimpa bencana besar.

“Bahkan para dewa sekalipun merasa senang dengan persembahan yang sudah biasa Anda berikan, makanan terbaik serta murni, yang dipersiapkan dengan seksama. Mengapa yang hanya para yaksa, tidak merasa puas dengan pemberian seperti itu! Kami tak dapat mengerti pikiran Anda! Di sebabkan keterikatan kami pada tugas kewajiban kami, menghalangi kami menjalankan perintah seperti biasa.

“Apakah dapat dibenarkan perbuatan yang menyebabkan seluruh negeri anda menjadi kacau, hanya demi kelima orang yaksa itu? Dan mengapa Anda membuat kami merasa tak dipedulikan? Bagaimana lagi dengan daging tubuh kami, darah kami telah mengering tak di ketahui? Mengapa terpikir pada Anda untuk memberikan tubuh Anda sendiri, sementara kami semua berada di bawah perintah Anda?”

Raja menjawab: “Aku telah mendapat permintaan yang jelas sekali. Bagaimana aku harus mengatakakan: ‘Aku tak akan memberikannya?’ Bagaimana bisa aku berkata tidak benar dengan

berkata: ‘Aku tak mempunyai itu untuk diberikan?’ Aku memang bukan pembimbingmu dalam melakukan perbuatan benar? Baiklah jika demikian, jika aku sendiri harus berjalan dijalan yang salah, apa yang akan terjadi pada rakyatku? Contoh bagaimana lagi yang akan mereka ikuti?

“Singkatnya, sebenarnya karena ingat pada rakyatkulah sehingga aku akan merelakan sari tubuhku dikeluarkan. Jika aku mementingkan diri sendiri, terbelenggu kecintaan pada diri sendiri, kekuatan bagaimana yang akan aku miliki untuk membawa kebajikan bagi rakyatku?

“Seperti kecintaan kalian hingga membuat kalian merelakan daging sendiri, aku tak bermaksud menghalangi kalian menunjukkan kecintaan mu, aku juga tidak membuat tertutupnya berbagai kecurigaan. Sangat menyenangkan dapat memberi sesuatu kepada sahabat, khususnya bila kekayaan mereka musnah karena musibah. Namun demikian tidaklah tepat bagi orang miskin berusaha menyokong orang yang kaya.

“Tubuhku kuat, kekar dan padat dengan daging. Aku telah memeliharanya hanya semata-mata demi kebajikan bagi yang membutuhkannya. Bahkan, jika aku tak sanggup menanggung penderitaan orang yang tak dikenal, bagaimana mungkin aku dapat memikul penderitaanmu?

“Lagi pula akulah yang mendapat permintaan mereka, bukan kalian. Untuk itu aku akan memberikan dagingku. Karenanya, menyadari kecintaan kalian kepadaku telah memberi kalian keberanian hingga berusaha menghentikanku, janganlah halangi aku lagi. Lihatlah dengan baik atas apa yang kalian lakukan, karena kalian tak mengerti cara tepat untuk menghadapi orang yang membutuhkan!

“Bagaimana kalian memandang seseorang, yang akibat sikap mementingkan dirinya, mencegah orang lain melakukan pemberian? Akankah kalian menganggap orang yang seperti itu jahat atau baik? Masih adakah keragu-raguan? Lihatlah lebih seksama atas yang terjadi, pikiranmu akan mengikuti jalan benar yang sesuai bagi mereka yang bekerja dalam pelayananku. Persetujuan kini akan jauh lebih sesuai daripada memperlihatkan kecemasan. Mengapa? Karena pengemis yang menginginkan uang atau barang-barang dapat di temui setiap hari, tapi orang yang membutuhkan seperti mereka tak akan dijumpai bahkan dengan memohon kepada para dewa sekalipun.

“Bahkan, menyadari kerapuhan tubuh manusia, serta betapa banyaknya derita yang ditimbulkannya, bagaimana bisa seorang membenci kedatangan mereka yang membutuhkan sesuatu yang tidak biasa itu? Kesedihan karena kecintaan pada diri sendiri menjatuhkan kita kedalam kegelapan yang dalam. Janganlah, para penasehat, jangan halangi aku.”

Setelah sedemikian rupa meyakinkan semua yang hadir dalam pertemuan, raja memerintahkan seorang tabib agar menyayat uratnya. Raja lalu berkata kepada para yaksa: “Dengan menerima pemberian dari tubuhku ini, engkau telah bertindak sebagai teman dalam Dharma. Engkau akan memberiku keagungan kebahagiaan dengan menerima pemberian ini.”

Para yaksa membuat darah raja mengucur ditelapak tangan mereka yang menadah, mereka mulai meminum cairan yang merah darah, yang aromanya bagaikan kayu cendana. Saat mereka minum, istana memancarkan cahaya ke emasan indah, bagaikan Gunung Meru yang diliputi oleh awan hujan lebat terang benderang dikala senja.

Karena kebahaggiaan raja yang sedemikian besarnya, di sebabkan oleh kesabaran dan kekuatan tubuhnya, tubuhnya tidak menjadi lemas, pikirannya juga tidak menjadi ngeri, melihat darahnya mengucur tanpa henti. Akhirnya, ketika para yaksa telah memuaskan rasa haus mereka yang kuat, mereka mengatakan kepada raja bahwa mereka sudah merasa cukup. Raja merasa senang dimana tubuhnya, sumber dari berbagai derita, akhirnya dapat menemukan penggunaannya yang tepat sebagai sarana untuk memberi mereka yang membutuhkan.

Wajahnya berseri bahagia, lalu raja menghunus pedangnya, pedang yang sangat tajam, dengan bilah yang berkilau seperti teratai biru, ia bersinar cemerlang bersama dengan kemilau permata. Dengan tenang raja memotong daging tubuhnya sendiri, lalu memberikannya kepada para yaksa.

Setiap kali ia memotong dagingnya, raja merasakan kebahagiaan yang demikian kuatnya, hingga dalam dirinya tiada tempat bagi rasa sedih atau kesakitan. Rasa sakit, yang timbul setiap kali menggoreskan pedang tajamnya, kembali dipalingkan oleh perasaan bahagianya, hingga begitu lemah mempengaruhi pikirannya, seolah kelelahan saat dipaksa berbolak-balik berulang kali (dari rasa sakit ke perasaan bahagia). Begitu kuatnya kebahagiaan ini dirasakan oleh raja berkat perbuatan tersebut hingga dapat menyentuh serta melembutkan bahkan hati kejam para yaksa. Demikianlah, mereka yang berdasarkan belas kasih serta kasih sayangnya pada Dharma, memberikan tubuhnya sendiri demi kebajikan makluk lain, membangkitkan kembali hati yang telah terbakar hangus oleh api kebencian, mengubahnya menjadi emas yang berharga serta berkeyakinan. Melihat raja tetap tenang seperti sebelumnya, tak terpengaruh rasa sakit karena pedangnya,

penampilannya yang menggambarkan keteguhan yang tak tergoyahkan, para yaksa diliputi kekaguman serta ketakjuban.

“Sungguh luar biasa! Betapa ajaibnya!” teriak mereka. “Benarkah ini nyata, ataukah ini hanya sebuah hayalan?” Kebengisan yang telah mereka jaga dengan begitu hati-hati telah hilang, mereka mulai memuji-muji serta menunduk-nunduk pada Mahasattva. “Cukup, Oh Baginda!” teriak mereka. “Berhentilah menyakiti dirimu sendiri! Perbuatan menakjubkan yang telah engkau lakukan dengan membawa kesukacitaan terhadap para pengemis lain juga telah memuaskan kami.” Dengan berbagai anjuran, mereka menundukan kepala dengan hormat, mereka memohon kepada raja untuk berhenti. Dan ketika mereka melakukannya, mereka memandang raja dengan mata yang basah oleh air mata yang terus bercucuran. “Pantaslah bila dimana-mana orang dengan penuh bakti mengungkapkan keagungan Anda, bahkan Dewi Shri sekalipun akan meninggalkan teratai di telaganya untuk pergi ke hadapanmu! Jika surga, dilindungi oleh Dewa Shakra sendiri, tidak merasa iri pada bumi yang dilindungi oleh keberanian Anda, pastilah surga akan diabaikan.

“Apalagi yang harus kami katakan? Umat manusia sungguh sangat beruntung berada dalam perlindungan mu! Kami menyatakan menyesal telah membuatmu sedemikian menderita. Tetapi terlepas dari kejahatan kami, pastilah dengan bersandar kepadamu, kami akan mendapatkan pembebasan kami!

“Dengan harapan itu, kami ingin tahu: Apakah yang engkau perjuangkan hingga engkau melakukan perbuatan yang mengabaikan kebahagiaan Anda sendiri? Dengan menggunakan praktik tapa, apakah Anda berharap untuk menguasai seluruh dunia? Atau harta Dewa Kuwera? Atau singgasana Dewa Indra? Apa pun

itu, pastilah semua itu tak jauh lagi dari jangkauan Anda. Bila kami boleh mendengar, mohon beri tahu kami.”

Raja menjawab: “Kalau begitu dengarlah, mengapa aku mengabaikan diriku. Kedudukan tinggi tidaklah abadi; dibutuhkan usaha besar untuk mendapatkannya, lalu mudah sekali hilang. Itu tidak memberi kepuasan, lalu bagaimana bisa ia memberikan kepuasan hati? Untuk itu aku tidak menginginkan singgasana raja para dewa, demikian pula dengan kerajaan di bumi. Sekarang akankah hatiku merasa puas hanya dengan mengakhiri deritaku sendiri, tujuan utamaku adalah demi semua makhluk hidup yang tanpa pertolongan di rundung oleh penderitaan yang tak tertanggungkan. Demi mereka aku akan mencapai segala pengetahuan melalui kebajikan-kebajikanku. Dan dalam menaklukkan musuh-musuhku, nafsu kejahatan, aku akan menyelamatkan makhluk-makhluk itu dari samudra samsara, samudra ganas yang bergelombang dengan usia tua, sakit dan mati didalamnya.

Setiap helai rambut di tubuh para yaksa merinding bercampur perasaan gembira serta yakin, lalu mereka bersujud kepada raja. “Hanya makhluk yang berciri sepertimulah yang dapat melakukan perbuatan agung itu. Apa pun yang engkau usahakan sudah pasti tak akan lama lagi tercapai. Sama pastinya dengan segala usahamu demi kebajikan semua makhluk, mohon jangan abaikan kami ketika

Dalam dokumen Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni (Halaman 70-87)

Dokumen terkait