• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sasa Jâtaka

Dalam dokumen Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni (Halaman 50-59)

(Kisah Tentang Kelinci)

Jika bahkan meskipun hidup sebagai binatang, Mahacitta telah dikenal dengan baik dalam praktik kemurahan hati, siapakah yang kemudian, sebagai manusia, tak mau bermurah hati?

Di tengah sebuah hutan terdapat tempat yang telah dibuka oleh para pertapa. Ditempat itu bumi telah dilapisi oleh rerumputan lembut; tanah yang subur telah menumbuhkan bunga serta buah dalam kelebatan, pohon serta tanaman hijau seluruhnya begitu subur. Di batas tempat yang menyenangkan ini terdapat sebuah sungai yang jernih biru bagai lapis lazuli.

Di dalam hutan, sang Bodhisattva hidup sebagai seekor kelinci, seekor binatang yang memancarkan kebajikan, begitu bersemangat, begitu kuat serta begitu indah hingga seluruh binatang lain di hutan menganggapnya sebagai raja, tak ada yang takut kepadanya demikian pula tak ada yang menakutinya. Menghidupi dirinya hanya

dengan rerumputan, memakai bulunya sendiri sebagai jubah tapa, ia begitu tenang bagai seorang Mahasattva. Segala yang dipikirkannya, segala yang diucapkannya, segala yang dilakukannya didorong oleh rasa persahabatan murni serta ketulusan, hingga bahkan binatang buas yang biasanya menimbulkan kekacauan, menjadi murid atau sahabatnya.

Di antara para pengikutnya yang berbakti, terdapat tiga yang secara khusus tertarik pada belas kasih dan sikap hormat, sifat utama yang mempengaruhinya, dan mereka yang lalu senantiasa menemaninya: yaitu berang-berang, serigala dan kera. Ketiganya mengasihi kelinci seolah ia keluarganya sendiri, rasa hormatnya yang tulus mengikat mereka dalam kesukacitaan kebersamaan. Mereka melewatkan hari-hari bersamanya, segera melupakan sifat rendahnya, rasa belas kasih kepada semua makhluk tumbuh dari lubuk hatinya. Kebencian tidak lagi mempengaruhinya, mereka lupa bagaimana mencuri, perbuatan mereka semakin dekat dengan Dharma. Pikiran mereka menjadi terkendali, bersih dan teguh.

Betapa mengesankannya mendengar seorang manusia yang telah memilih jalan kebajikan melalui dua macam perbuatan, perbuatan yang sesuai kesenangan namun menuju pada kebajikan, atau perbuatan yang sejalan dengan kebajikan namun tidak dengan kesenangan, bayangkan betapa mengagumkannya mendengar tentang empat binatang yang telah membuat pilihan itu! Ketenarannya dengan cepat tersebar, khususnya kabar di antara makhluk hidup yang berwujud kelinci, belas kasihnya pada makhluk lain sungguh tiada banding. Kemasyhurannya bahkan menjangkau hingga ke alam para dewa.

Pada suatu sore, kera, serigala dan berang-berang yang sedang duduk di dekat kaki kelinci, dengan sabar menunggunya mengajarkan Dharma. Bulan sedang purnama, seperti cermin perak

tanpa gagang, cahaya keindahannya mendorong kelinci untuk berbicara kepada para sahabatnya:

“Lihatlah! Bulan malam ini tampak berwajah tersenyum, sangat bulat, mengingatkan kita bahwa besuk adalah hari kelima belas, hari suci. Kita jangan sampai lupa untuk menjalankan kegiatan yang di anjurkan pada hari itu. Yang lebih penting, kita jangan sekali-kali berpikir tentang kebutuhan diri kita sendiri, sebelum kita menyambut tamu dengan makanan lezat yang di dapatkan dengan cara yang benar.

“Ingat: hidup tidak pasti dan hanya sekejap seperti kilasan kilat. Bahkan hidup mereka yang telah memiliki status muliapun akan berakhir dalam kejatuhan. Setiap pertemuan berakhir dalam perpisahan. Karenanya sadarilah, dan waspadalah terhadap kelengahan. Berusahalah untuk mengembangkan kebajikanmu dengan melakukan dana, iringilah dengan sikap yang terpuji, mengingat bahwa perbuatan baik merupakan penopang terkuat bagi orang yang berada di dunia. Terangnya sinar bulan memudarkan bintang-bintang, namun pancaran sinar matahari memudarkan mereka semua. Begitu pulalah kekuatan serta keindahan kebajikan. “Karena itu raja agung, berkat kekuatan kebajikannya, dapat mengendalikan kegiatan seluruh pejabat dan para pangeran yang sangat angkuh, membuat mereka menjalankan perintahnya dengan tunduk, seperti kuda terbaik. Pemimpin yang membenci kebajikan adalah bodoh, karena betapapun ia bijak di mana mungkin ia memangku jabatan kerajaan, mereka tentulah akan tertimpa kemalangan serta menyia-nyiakan seluruh hidupnya.

“Karenanya, jauhi jalan yang menuju perbuatan salah, yang hanya akan membawa pada penderitaan dan kehinaan. Teguhkan hatimu pada setiap kesempatan untuk menimbun kebajikan, karena

kebajikan adalah sumber yang sesungguhnya dan juga jalan sesungguhnya yang membawa pada kebahagiaan.”

Ketiga siswanya berterima kasih pada kelinci atas ajarannya, bersujud padanya dengan penuh rasa hormat. Setelah berpradaksina kepadanya, mereka kembali ke kediamannya masing-masing. Seorang diri, kelinci mulai merenungkan keadaan dirinya sendiri:

“Ketiga sahabatku telah mencari cara untuk menyambut siapa pun yang mungkin akan berkunjung besok, akan tetapi keadaanku sungguh menyedihkan. Ujung rumput yang kupotong dengan gigiku tidaklah cukup untuk menyambut tamu siapa pun. Aduh! Betapa malangnya aku! Apa gunanya hidup bagiku bila seorang tamu yang menjadi sebab bagi kebahagiaan hanya membawa derita? Bagaimana bisa tubuhku yang tak patut ini, yang tak dapat bahkan memberi kepuasan bagi tamu, berguna bagi siapa pun!”

Selanjutnya kelinci menemukan jawabnya: “Oh, Bagus sekali! Ini dibanding semua yang lain, dalam kemampuanku memberi pada tamu! Aku dapat menggunakan tubuhku sendiri! Ia bukan milik siapa pun, aku tak akan menyakiti tubuh siapa pun dengan memberikannya. Tubuhku ini bisa menjadi makanan bagi tamuku yang datang. Kini aku dapat bersenang hati!” Dengan kegembiraan seolah dirinya baru saja mendapat hadiah besar, kelinci menunggu pagi.

Pada pikiran mulia yang muncul di batin seorang Mahasattva, seluruh kekuatan bumi dan langit saling bergolak. Bumi menggetarkan gunungnya dengan kegembiraan; samudra menderukan gelombangnya bagai pakaian. Beduk para dewata terdengar di angkasa, cakrawala tampak diliputi oleh cahaya lembut. Awan diliputi oleh kilat gelegar petir sayup-sayup, terjadi hujan bunga tiada terbilang. Dewa Bayu meniupkan aroma serbuk sari

dari pohon berbunga ke dalam helai garis-garis seperti benang sebagai tanda sangat aman, bagai kumpulan persembahan.

Keputusan mengejutkan dari kelinci menimbulkan kegemparan sedemikian rupa di antara para dewa termasuk Dewa Shakra, Raja Para Dewa, yang menjadi takjub, dan memutuskan untuk pergi membuktikan bahwa keputusan kelinci tersebut memang nyata.

Pada hari berikutnya, tepat di siang hari, saat matahari memancarkan sinarnya yang paling panas; saat jala cahaya tergantung di cakrawala, saat matahari memancarkan cahaya menyilaukan serta tak sanggup untuk di pandang; saat bayangan tampak jelas, burung-burung bersembunyi; saat ketika pepohonan bergema oleh lengkingan suara gareng; saat ketika orang yang bepergian merasa kepanasan serta keletihan, saat itulah Dewa Shakra, Raja Para Dewa, menyamar sebagai seorang brahmana tua, menampakkan diri di tempat yang tak jauh dari keempat sekawan berdiam. Menangis dan mengeluh, ia dengan sempurna meniru suara orang yang sedang tersesat, orang yang dalam perjalanan didera oleh kehausan serta kelaparan, putus asa dan menderita.

“Tolong, adakah orang yang mau menolongku, tolonglah diriku!” Teriaknya. “Temanku telah pergi; aku kehilangan arah; aku bingung sendirian di hutan lebat, lapar dan lelah. Aku benar-benar tak tahu arah; aku tak dapat melihat arah yang benar karena ragu. Aku kepanasan, haus, kering. Siapa yang akan membantuku? Tak adakah orang yang mau memberiku perlindungan?”

Sang Mahasattva, mendengar suara yang demikian memilukan, segera berlari menuju datangnya suara. Setelah ia sampai di hadapan orang yang tersesat dan menderita, ia mendekatinya dengan sopan dan berkata menghibur demikian:

”Jangan cemas meskipun engkau tersesat di hutan belantara. Kami adalah temanmu, kami peduli pada keselamatanmu seperti halnya para pengikutmu. Tolong Pak, beri kami kesempatan, terimalah bantuan kami, besok baru lanjutkan lagi perjalananmu.” Orang tersesat itu diam, demikian pula berang-berang, menganggap itu sebagai tanda setuju, lari gembira, tak lama kemudian kembali dengan membawa tujuh ekor ikan. Ia memberikannya kepada tamu tersebut. Ia berkata:

“Aku menemukan ketujuh ikan itu tergeletak di tanah, tidak bergerak, seolah tidur. Mungkin ditinggalkan di sana oleh beberapa penangkap ikan yang kelupaan, atau ia telah melompat ke tepi karena takut, bagaimanapun sebabnya, ia sekarang menjadi milikmu. Silahkan makan dan tenanglah.”

Serigala juga membawa makanan yang di perolehnya. Menunduk hormat, ia berkata: “Ini, pak, seekor kadal dan sekuali bubur susu yang ditinggalkan dihutan oleh orang yang tidak diketahui. Beri kesempatan aku melihatmu menikmati makanan ini, setelah itu istirahatlah semalam di sini, wahai orang baik.” Dengan perasaan belas kasih yang kuat dalam hati, ia memberikan persembahannya kepada brahmana tersebut.

Berikutnya kera mendekat, membawa buah mangga matang yang lembut bulat sempurna dan sebuah jeruk yang berlubang begitu dalam yang telah mengering. Dengan beranjali ia memberi hormat lalu berkata: “Aku punya mangga matang untukmu, bulat dan halus, melegakan seperti bayangan (pohon), melegakan seperti kesenangan para pengiring yang baik. Wahai orang mulia yang di sebut brahmana, nikmatilah dan tinggallah di sini malam ini.”

Akhirnya kelinci mendekat, setelah memberi salam hormat, ia berkata: “Aku tak lain kelinci yang telah tumbuh di hutan ini; aku tak punya kacang, biji wijen, ataupun biji padi untuk dipersembahkan. Pada hari yang menguntungkan, orang yang kesulitan datang, seseorang harus memberi tamu yang jarang ini dengan apa pun yang membuatnya senang. Hartaku hanyalah tubuhku: ambillah, dan itulah seluruh kepunyaanku. Silahkan siapkan api dan makanlah, setelah itu menginaplah semalam di sini.”

Dewa Shakra menjawab: “Bagaimana mungkin orang sepertiku membunuh makhluk hidup, apalagi makhluk hidup seperti dirimu, yang telah bersikap ramah kepadaku?”

Kelinci menjawab: “Jelas sekali bahwa Anda adalah seorang brahmana yang berbelas kasih. Setidak-tidaknya berilah kami hadiah dengan beristirahat di sini malam ini. Sementara itu aku akan mencari cara untuk membantumu.”

Lalu Dewa Shakra, Raja Para Dewa, memahami maksud kelinci yang tidak diucapkan, menumpuk gundukan arang menyala, nyalanya panas dan apinya tanpa asap, warnanya bagai emas murni, menyautkan lidah apinya yang kecil serta percikannya ke segala penjuru. Kelinci, yang setelah melihat kesegala arah agar maksud hatinya dapat di laksanakan, merasa gembira memandang ke arah api, ia berkata kepada Dewa Shakra:

“Inilah cara untuk menunjukkan kepadamu kehendak baikku. Kini terpenuhilah harapanku dan nikmatilah dagingku. Engkau harus tahu, wahai brahmana mulia, bahwa aku telah larut dalam keinginan untuk memberi. Kepadamu aku telah menemukan tamu yang tepat, hatiku tak menganggap adanya cara lain. Kesempatan untuk berdana seperti ini sungguh tak mudah didapat. Jangan biarkan pemberianku sia-sia; itu tergantung padamu.”

Setelah menyampaikan penghargaan serta penghormatan kepada tamu tersebut, kelinci melemparkan diri ke dalam api, seperti orang miskin yang tiba-tiba menemukan gundukan harta, atau seperti angsa menyelam ke dalam kolam yang tertutup teratai.

Raja Para Dewa melihat dengan penuh takjub ketika bunga surgawi tertabur dari angkasa dan jatuh tepat di tempat dimana kelinci berada. Shakra kemudian kembali ke wujud aslinya dan memuji dengan ucapan serta nyanyian yang pantas. Lalu dengan tangannya yang lembut berseri bagai kuntum bunga kumuda, jarinya bercahaya bagai permata, Shakra membawa tubuh kelinci ke surga dan memamerkannya kepada para dewa.

“Menyaksikan dan bersukacita atas perbuatan menakjubkan, keberanian yang ditunjukkan oleh Mahasattva tersebut! Hari ini, ketika sebagian besar manusia, dengan bodohnya mereka, tak dapat melepaskan bahkan bunga layu tanpa kesalahan dalam memberi, sementara makhluk ini, tanpa ragu, memberikan tubuhnya sendiri sebagai pemberian berkat belas kasihnya kepada seorang tamu. Betapa bedanya tubuh binatang ini dengan kelembutan sejati pengorbanan dirinya, kemurnian hatinya! Singkatnya, ia memberi contoh bagi mereka yang lamban dalam berusaha melakukan kebajikan, baik dewa maupun manusia. Sangat harum batin yang di tujukan untuk mengusahakan kebajikan! Betapa mengagumkan praktik kebajikannya, ia menunjukkan dirinya melalui perbuatannya yang sungguh menakjubkan.”

Selanjutnya, dengan maksud untuk mengagungkan kejadian menakjubkan itu, demi kebajikan dunia, Shakra menghiasi puncak istananya, Vayayanta dan Sudharma, istana dari para dewa, dengan gambar kelinci. Ia juga menghiasi wajah bulan dengan gambar yang sama.

Bahkan hingga hari ini, pada saat purnama, gambar itu terlihat di angkasa, seperti bayangan yang tampak di dalam cermin. Sejak saat itu, Candra, Dewa Bulan, juga dikenal sebagai penghias malam atau Ia Yang Membuka Teratai Malam, juga telah dikenal sebagai Shashanka, Ia Yang Bertanda Kelinci.

Sedangkan ketiga binatang lainnya, berang-berang, serigala dan kera, atas kedekatannya dengan sahabat suci tersebut, setelah kejadian itu juga segera menghilang dari bumi dan terlahir kembali di alam surga para dewa.

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana Mahasattva, meskipun dalam wujud sebagai binatang, melaksanakan dana dengan cara yang dapat dilakukannya. Siapakah yang lalu, setelah menjadi manusia, tak mau melakukan amal dana? Meskipun seekor binatang, akan dipuja setinggi-tingginya jika yang menjadi sifatnya adalah kebajikan. Karena itu orang harus giat dalam kebajikan.

Dalam dokumen Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni (Halaman 50-59)

Dokumen terkait