• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kulmâshapindí Jâtaka

Dalam dokumen Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni (Halaman 29-36)

(Kisah Tentang Sedikit Bubur)

Pemberian apa pun yang keluar dari ketulusan hati, dan diberikan kepada penerima yang pantas, akan mengakibatkan pahala yang besar. Tiada pemberian yang seperti ini, betapapun kecilnya, yang tidak mendatangkan kebajikan.

Pada suatu ketika, saat Sang Buddha masih sebagai Bodhisattva, beliau hidup sebagai seorang raja agung di Koshala. Bersemangat, bijak, mulia, berkuasa, hal-hal tersebut serta berbagai kebajikan kerajaan lainnya telah membuatnya begitu berada dalam keagungan. Namun demikian kekuatan kemuliaannya yang melampaui semua lain; adalah bakatnya dalam mengumpulkan kekayaan. Diperkaya oleh kecakapannya yang demikian, kemuliaannya yang lain juga bersinar terang, bagai cahaya agung bulan yang membubung di musim gugur.

Keberuntungan mengikutinya ke mana pun seperti seorang kekasih, menjauhi musuh-musuhnya dan memperlakukan para punggawanya dengan kasih sayang. Meskipun rasa keadilannya mencegahnya melakukan kejahatan terhadap makhluk hidup, nasib baiknya seolah musuh-musuhnya tak berkembang meski ia tidak berusaha menindas mereka.

Ketika itu secara kebetulan pada suatu hari sang raja teringat kembali pada kehidupannya yang lampau, dimana hal tersebut begitu mengejutkannya. Akibat ingatan itu ia kemudian meningkatkan kegiatan beramal dananya yang ditujukan pada para sramana serta brahmana, orang-orang miskin, cacat dan yang tanpa penolong. Mengingat bahwa pemberian merupakan dasar dan sebab bagi kebahagiaan. Meningkat dari yang sebelumnya, ia berusaha untuk melaksanakan perilaku yang baik; jauh melampaui yang pernah di jalaninya, yang hanya di tekankan pada hari-hari suci saja.

Berusaha memberikan suri teladan terhadap rakyatnya mengenai kekuatan perbuatan baik, setiap hari ia membuat pernyataan yang sama didalam balai pertemuannya maupun di dalam istananya. Demikianlah ucapan yang keluar dari lubuk hatinya dengan penuh perasaan:

“Berikan hormat pada Sang Buddha, tak soal betapapun kecil tampaknya itu, akan membawa pahala yang tak terlukiskan. Ini pernah didengar sebelumnya, tapi sekarang usahakan agar meningkat. Lihatlah di sekelilingmu, dan ketahuilah kekayaan yang diakibatkan oleh sedikit bubur, tanpa garam, kasar dan kering!

“Bala tentaraku yang kuat dengan kereta-keretanya yang mengagumkan, kuda-kudanya yang tangguh dan gajah-gajahnya yang ganas dengan belalai biru gelap; kekayaanku yang tak

terhingga; keberuntungan; berkuasa diatas bumi; istriku yang terpuji, lihatlah pahala kebajikan, semuanya berasal dari sedikit bubur!”

Bahkan meskipun raja telah biasa mengucapkan kata-kata itu setiap hari, tak seorang pun, termasuk para menterinya, para brahmana sepuh yang terhormat, dan juga penduduk kota – tak seorang pun yang berusaha untuk menanyakan maksudnya, meski semua di liputi oleh kebingungan.

Tak terkecuali permaisuri sendiri juga bingung pada apa yang terus-menerus diucapkan oleh raja tersebut. Merasa bebas untuk bertanya kepada suaminya, suatu hari, pada saat berlangsung suatu pertemuan yang lengkap, ia melihat kesempatan untuk bertanya:

“Suamiku, sekarang sepanjang waktu, siang dan malam, engkau terus-menerus mengulang-ulang kata-kata tentang sedikit bubur. Engkau mengucapkannya dengan penuh perasaan hingga membuat kami dipenuhi perasaan bingung. Kata-kata Anda pasti tidak menunjuk pada suatu rahasia, karena diucapkan dengan cara yang begitu terbuka; apa yang dimaksud pastilah sesuatu agar diketahui oleh umum. Jika kami diijinkan untuk mendengar, kami mohon dengan segala kerendahan hati apa makna dari yang Anda ucapkan kepada kami.”

Raja sambil memandang istrinya, wajahnya berseri dalam kasih sayang. Sambil tersenyum ia berkata: “Engkau bukanlah satu-satunya yang bingung terhadap maksud, sebab dan latar belakang ucapanku. Seluruh pejabat, ratu dan seluruh penduduk kota semua diliputi keheranan dan kebingungan. Untuk itu dengarkanlah kata-kataku:

“Mengapa aku tidak tahu, sebagaimana biasa seperti jika seseorang bangun dari tidur lelapnya, ingatan akan salah satu

kehidupan masa lampau tiba-tiba muncul pada diriku. Aku hidup sebagai seorang pelayan dikota ini. Aku menyenangkan dan pantas untuk dipercaya, tetapi terhenti oleh suramnya keadaan, lalu bekerja pada orang yang terhormat hanya karena hartanya. Seluruhnya tanah, menjengkelkan dan merana. Setiap hari aku berjuang untuk menghidupi keluargaku, selalu cemas kalau-kalau tak sanggup menghidupi mereka.

“Lalu pada suatu siang aku berjumpa dengan empat orang sramana yang sedang berpindapatra. Mereka tampak terkendali, mereka memancarkan aura keagungan seorang pertapa. Hatiku terpana pada mereka, seolah aku siswanya; aku bersujud kepada mereka dan memintanya agar datang ke rumahku.

“Aku mempersembahkan apa yang kunamakan sedikit bubur. Dan dari tunas yang kecil itu tumbuhlah pohon keagungan ini – yang begitu lebatnya hingga membuat mahkota permata raja lain seakan-akan seperti debu di kakiku.

“Itulah pikiranku saat aku mengucapkan kalimat itu, permaisuriku, dan itulah alasannya mengapa aku merasa senang dalam melakukan kebajikan dan bergaul dengan para praktisi Dharma.

Wajah sang ratu berseri takjub bercampur bahagia. Rasa hormat kepada raja terpancar dari matanya, ia berkata: “Kini aku mengerti, Raja Agung, mengapa Anda begitu gigih dalam melakukan kebajikan – karena dirimu sendiri telah menjadi saksi pahala perbuatan baik. Oleh sebab itu, engkau berusaha melindungi rakyatmu bagaikan seorang ayah, bahkan penuh kesadaran berusaha menjauhi perbuatan jahat dan berusaha mencapai segala sifat yang mendatangkan kebajikan.

“Kini engkau bersinar dengan keagungan tak terperikan diperindah oleh kemurahan hati, hingga bahkan para raja pesaingmu menunggu perintahmu, hendak memberikan penghormatannya. Semoga Anda memerintah di bumi dengan keadilan selama-lamanya, dari tempat ini hingga di mana angin menyapu batas samudra.”

Sang raja menjawab: “Karena aku telah melihat tanda-tanda yang menyenangkan itu, aku akan senantiasa berusaha menunjukkan jalan keselamatan. Bagaimana aku tak akan bebas, permaisuriku, setelah mengalami sendiri pahala kemurahan hati? Sekarang, setelah mendengar kisah tentang pahala kemurahan hati ini, di mana pun manusia akan menyukai perbuatan memberi.”

Raja, memandang penuh kasih sayang kepada ratunya, mengetahui bahwa ia telah mulai diliputi oleh keagungan seperti seorang dewi. “Engkau bersinar di antara para pengiringmu bagaikan bulan sabit cemerlang di antara bintang-bintang. Kebajikan apakah yang telah engkau lakukan yang menyebabkan aura sedemikian rupa?”

Ratu menjawab: “Demikian pula diriku, suamiku, juga ingat akan beberapa hal kehidupan yang lampau, samar seperti sesuatu yang teringat ketika aku masih kecil. Aku adalah seorang budak yang pada suatu hari setelah memberikan sepiring dana makanan kepada seorang pertapa suci, jatuh tertidur. Dan kejadian itu seolah seperti aku bangun di sini.

“Dari perbuatan baik memberi tersebut aku ingin menjadikanmu sebagai suami serta pelindungku, berbagi hidup bersamamu. Kata-kata yang sama yang telah kauucapkan – ‘Tak ada kebajikan kecil bilamana diberikan kepada mereka yang telah bebas dari klesha’ – itu adalah kata-kata yang diucapkan oleh pertapa tersebut.”

Seluruh yang hadir dalam pertemuan diliputi oleh rasa takjub; setelah menyaksikan pahala kebajikan yang begitu mengagumkan, mereka sangat menghargai kegiatan berdana. Melihat hal ini, raja berkata kepada mereka semua: “Setelah melihat betapa luar biasanya pahala kebajikan seseorang, betapapun kecilnya, bagaimana bisa ada orang yang tidak tekun dalam melaksanakan perbuatan kemurahan hati dan sila? Pastilah orang seperti itu di kuasai oleh kegelapan ketidaktahuan, malas berdana meskipun kekayaannya cukup untuk melaksanakannya, tidak patut untuk di pedulikan sekejap pun.

“Kekayaan, juga semua hal yang lain, tentulah pada akhirnya harus ditinggalkan, setelah itu sama sekali tak berguna lagi. Namun dengan mendanakannya dengan cara yang benar, berbagai keuntungan akan diperoleh. Sebenarnya, terdapat berbagai macam kebajikan – kebahagiaan, reputasi yang baik dan seterusnya – itu seluruhnya timbul berkat dana. Siapakah, yang lalu, mengerti akan hal ini, memilih cara hidup mementingkan diri sendiri?

“Dana adalah harta terbesar. Tak ada pencuri yang dapat mencurinya, tak ada api yang dapat menghancurkannya, tak ada air yang dapat menghanyutkannya, tak ada raja yang dapat merampasnya. Dana membersihkan pikiran dari sikap mementingkan diri sendiri serta keserakahan, menghentikan kemelaratan sepanjang hidup kita. Itulah sahabat terbaik dan terdekat kita, yang tiada henti memberi kesenangan dan kenyamanan.

“Dana akan mendatangkan apa pun yang engkau inginkan: kekayaan atau kekuasaan, keindahan fisik, atau istana surgawi. Siapakah yang tidak mau melakukan dana?

Dana disebut kekayaan yang pantas, inti dari kekuatan, jalan menuju keagungan. Bahkan meskipun baju usang yang diberikan

dengan didasari oleh pikiran iklas akan mendatangkan berkah yang luar biasa.”

Semua yang hadir dalam pertemuan mendengarkan ceramah sang raja dengan penuh hormat, sehingga sejak saat itu setiap orang semakin bergairah untuk melakukan kegiatan berdana.

Dari kisah ini orang dapat melihat bagaimana setiap pemberian yang dilakukan dengan hati yang tulus, pemberian kepada yang pantas untuk menerima, membawa pahala yang besar; pemberian seperti itu tak ada yang dapat disebut kecil. Karena itu, jika seseorang memberi dengan hati yang penuh keyakinan pada Sangha, kumpulan para makhluk suci, yang merupakan sahabat terbaik, yang menunjukkan jalan kebajikan, seseorang akan dapat memperoleh kemuliaan utama; atau bahkan kedudukan sangat tinggi. Berkahnya bahkan lebih besar dibandingkan akibat yang juga akan muncul.

Dalam dokumen Bhatara Hyang Buddha Sakyamuni (Halaman 29-36)

Dokumen terkait