• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agresi Militer Belanda dan Jatuhnya Ibukota Sumatera

Peranan Kota Pematangsiantar dalam Mengisi Kemerdekaan (1946-1947)

4.4. Agresi Militer Belanda dan Jatuhnya Ibukota Sumatera

Perjuangan panjang bangsa Indonesia kembali mendapat tantangan dengan hasil sebuah diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dengan pihak Belanda, yang bernama perjanjian Linggarjati. 17 November 1946, disebuah daerah

pegunungan Linggarjati dekat Cirebon untuk pertama kalinya pemerintah Belanda, mengakui kebenaran adanya wibawa pemerintah Negara Republik Indonesia secara resmi. Perundingan yang berjalan diantara perwakilan delegasi Indonesia yang diketuai Sutan Sjahrir dengan perwakilan Belanda yang diketuai Prof. Schermerhorn diawasi oleh pihak Inggris yang diwakili oleh Lord Killearn sebagai pihak ketiga.

Perundingan yang menghasilkan Naskah Linggarjati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak ini merupakan reaksi atas desakan dunia internasional yang bersimpati terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Reaksi-reaksi yang memunculkan permintaan kepada Dewan Keamana PBB untuk ikut campur, pada akhirnya menjadi menghasilkan Naskah Linggarjati ini.

Pemerintah Indonesia semula sangat yakin bahwa Belanda akan mematuhi Naskah Linggarjati ini. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Mr. Amir Syarifuddin ketika berkunjung ke Pematangsiantar, yakni:

“Nasykah Persetujuan Linggarjati antara Indonesia dan Belanda telah diparaf. Semua kota-kota di Jawa, Madura, dan Sumatera yang sekarang berada di tangan Belanda, otomatis akan diserahkan kepada kita.

Karena itu semenjak hari ini, kita hendaklah sudah bersedia-sedia untuk mengambil alih pemerintahan sipil di kota-kota yang kini sedang diduduki Belanda dan segera memasukkan badan-badan dan pemerintahan sipil yang lengkap kedalam kota, sehingga jika kelak Naskah persetujuan tersebut sudah disahkan oleh Parlemen kedua belah pihak, kota-kota itupun, termasuk kota

Medan , sudah teratur didalam tangan kita.

Dalam situasi demikian, tentulah kita sangat memerlukan suasana aman dan tentram. Janganlah dilakukan insiden-insiden. Semua insiden-insiden itu tidak ada artinya bagi kita, karena sudah terang kota-kota di Jawa, Madura, dan Sumatera akan terima kembali secara otomatis.”69

1. Belanda mengakui kekuasaan Indonesia secara de facto atas Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera

Namun keyakinan pemerintah ini tidak disetujui oleh laskar rakyat. Para laskar rakyat masih mencurigai Belanda tidak akan menepati janji mereka walaupun Perjanjian Linggarjati telah ditandatangai nantinya. Hal ini karena banyaknya kejanggalan yang terjadi terutama wilayah Sumatera Timur. Bahkan pihak Belanda juga masih melakukan provokasi terhadap laskar rakyat dan TRI diwilayah Sumatera Timur.

Peresmian Naskah Linggarjati menjadi Perjanjian Linggarjati akhirnya ditandatangin pada tanggal 25 Maret 1947. Dalam perundingan ini pihak Indonesia dipimpin oleh Sutan Sjahrir dan pemerintah Belanda diwakili oleh Van Mook. Pokok perjanjian Linggarjati ini berisi:

2. Daerah yang diduduki Belanda akan dimasukkan ke dalam suatu pemerintahan federasi, dan dibentuk suatu Negara Indonesia Serikat

69

3. Republik Indonesia Serikat bersama-sama dengan Curacao dan Suriname dimasukkan dalam suatu Uni dengan Belanda yang pemerintahannya dikepalai Ratu Kerajaan Belanda

4. Pemerintah Indonesia dan Belanda akan berusaha menetapkan bentuk Negara Republik Indonesia Serikat dan Uni Indonesia-Belanda sebelum tanggal 1 Januari 1949.

Dalam prakteknya, perjanjian Linggarjati merupakan strategi Belanda untuk mengulur waktu melancarkan kekuasaannya di Indonesia. Selama tenggang waktu tiga bulan Belanda telah mempersiapkan segala sesuatuyang berhubungan dengan usaha mendatangkan bala bantuan dari Belanda yang kemudian didaratkan di Jakarta. Kemudian serdadu-serdadu beserta peralatannnya disebarkan ke kota-kota yang didudukinya seperti Medan, Semarang, dan lainnya.

Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda secara umum melancarkan agresi militernya ke wilayah Jawa dan Sumatera. Dalam serangan di Sumatera, pasukan Belanda berhasil menguasai front Medan Area dan kemudian dilanjutkan ke daerah-daerah lainnya di Sumatera Timur, terkhusus Kota Pematangsiantar. Pembukaan agresi militer I ini berupa serbuan-serbuan keseluruh garis pertahanan pasukan Indonesia dan menyebarkan pamflet-pamflet dengan pesawat terbang mereka. Dalam pamflet tersebut Belanda menjelaskan bahwa tentaranya akan melancarkan “Polisionil-Aksi” untuk membersihkan para pengacau dalam tubuh Republik Indonesia. Dengan

pamflet ini Belanda mencoba menghasut rakyat agar berpihak dan membantu Belanda.

Sebelum Belanda melancarkan serangannya ke Simalungun, 29 Juli 1947 Belanda telah menyusupkan pasukan bersenjata yang akan memberi bantuan serangan ke Pematangsiantar. Penyusupan ini melalui organisasi Poh An Tui Simalungun yang berkedudukan di Pematangsiantar dan bertugas memberikan bantuan kepada Belanda. Mereka diberi intruksi untuk menyerang pasukan Republik Indonesia dari arah berlawanan bila pasukan Belanda memasuki kota. Pasukan Belanda akan memasuki Pematangsiantar melalui jalan Merdeka sekarang, sementara Poh An Tui akan memberikan bantuan serangan sejajar jalan Cipto, jalan Sutomo, dan jalan Merdeka sekarang. Dengan demikian pasukan republik akan menghadapi dua kekuatan pasukan bersenjata yakni pasukan Belanda dan Poh An Tui.70

Di samping Poh An Tui, Belanda juga menempatkan pasukannya yang menyamar sebagai laskar rakyat. Pasukan ini datang pada 29 Juli 1947 pada pukul 11.00 tengah hari dengan menggunakan dua bus umum yang dihiasi spanduk-spanduk yang berbunyi “Mara ke Medan Area”. Para penumpang yang terlihat menggunakan atribut lengkap laskar rakyat dengan dril kuning, ini kemudian berhenti di depan setasiun kereta api. Setelah tiba mereka segera menyebar ke sudut-sudut kota Pematangsiantar seperti, Siantar Hotel, dan sepanjang jalan merdeka hingga ke dekat kantor gubernur

70

T. Besler Simamora, Agresi Militer Belanda I (1947) di Simalungun, Skripsi sarjana Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Usu, Medan: Tidak diterbitkan, 1986, hal 70

Sumatera. Keanehan terlihat pada penampilan dan gerak-gerik mereka, walaupun mereka berpakaian sama dengan laskar rakyat tapi perlengkapan mereka terlihat masih baru dan membawa senapan dengan peluru lengkap.71

1. Untuk menangkap/menawan hidup-hidup wakil Presiden yang saat itu sedang berada di Pematangsiantar dan Gubernur Sumatera. (Tugas ini gagal, karena sesaat sebelum tanda gerakan dimulai wakil Presiden Moh. Hatta dan Gubernur Sumatera sudah berangkat ke Kabanjahe untuk menghadiri Rapat Umum yang bakal dilangsungkan disana keesokan harinya).

Pasukan memiliki tugas tersendiri yakni:

2. Untuk melakukan serangan tiba-tiba dari belakang bila serangan umum Belanda sudah memasuki kota Pematangsiantar. Tugas ini berhasil mereka lakukan sehingga situasi menjadi panik.

3. Untuk mencegah jangan sampai terjadi gerakan bumi hangus, baik terhadap bangunan-bangunan dan alat-alat penting maupun terhadap Kota Pematangsiantar. (Tugas ini juga berhasil mereka laksanakan, sehingga bangunan dan alat penting tidak ada yang dibumi hanguskan).72

Penyusupan yang dilakukan Belanda ke daerah Simalungun dan Pematangsiantar dilakukan setelah Belanda melanggar perjanjian Linggarjati dengan agresi militer I

71

Edisaputra, Op.cit, hal 337-338 72 Ibid, hal 347-348

pada tanggal 21 Juli 1947 yang telah berhasil menguasai front Medan Area dan daerah sekitarnya. Penguasaan front ini dilakukan dengan cara menjepit pasukan Indonesia dari serangan depan dan belakang. Pasukan Belanda yang berada di Medan melakukan penyerangan dari depan yang kemudian dibantu oleh pasukan mereka yang baru mendarat dari Pantai Cermin. Hal inilah yang juga coba dilakukan pasukan Belanda dalam upaya menguasai Pematangsiantar dengan dibantu oleh Poh An Tui

dan pasukan yang telah mereka sisipkan.

Serangan Belanda ke Pematangsiantar sendiri didahului dengan pengeboman dan penembakan oleh pesawat udara mulai dari sepanjang jalan Tebing Tinggi-Pematangsiantar guna mempermudah pergerakan pasukannya menuju Pematangsiantar. Pasukan Belanda yang menuju ke Pematangsiantar ini dipimpin oleh seorang Kapten Belanda bernama Van Gelder. Pasukan ini terdiri dari tank-tank ringan dan kendaran lapis baja.

Pasukan Belanda memasuki Pematangsiantar pada tanggal 29 Juli 1947 sekitar pukul 15.00 dan memulai serangan terhadap sektor-sektor pertahanan pasukan republik. Jumlah kekuatan Belanda yang terdiri dari 35 tank, 80 truk, 20 jeep, 25 panser dan dibantu tiga pesawat mustang terasa sangat kuat bagi kekuatan pasukan republik. Hal ini ditambah lagi dengan keberadaan pasukan Poh An Tui dan pasukan Belanda yang menyamar mulai ikut menyerang pasukan republik dari belakang membuat mereka terjepit dan terpaksa mundur dari Pematangsiantar.

Serangan pasukan Belanda ini menyasar setiap markas pasukan republik dan laskar di setiap sudut Pematangsiantar. Bahkan serangan pasukan Belanda ini tidak lagi pandang bulu, rakyat biasa dan orang-orang yang memakai tanda palang merah tetap dibantai. Pos-pos pasukan republik seperti markas Polisi di jalan Sutomo, asrama Barisan Polisi Istimewa di jalan Pematang, markas Pesindo dan Divisi Panah di jalan Gereja dengan cepat jatuh ketangan pasukan Belanda. Selain markas pasukan republik, Belanda juga menyasar jalan-jalan utama sebagai sasaran utama. Hasil dari serangan ini banyak menimbulkan korban jiwa tidak hanya dari pasukan republik tetapi juga rakyat yang tidak berdosa.

Serangan pasukan Belanda yang berlangsung dalam satu hari ini pada akhirnya berhasil melumpuhkan Pematangsiantar. Pada sore itu pula Ibukota Sumatera resmi jatuh ketangan Belanda dan para pegawai pemerintahan republik menjadi tahanan pasukan Belanda. Peristiwa serangan ini pun terjadi tanpa diketahui oleh wilayah-wilayah lain seperti Parapat.

BAB V