• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pematangsiantar Menjadi Ibukota Sumatera

Pematangsiantar Ibukota Provinsi Sumatera

3.3. Pematangsiantar Menjadi Ibukota Sumatera

Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya dimana kondisi yang sedang bergolak akibat dari konfontasi pihak Sekutu/NICA dan revolusi sosial menjadi sebuah ancaman bagi eksistensi pemerintahan republik di Sumatera Timur. Kota Medan sendiri yang menjadi Ibukota pemerintahan provinsi Sumatera, keadaanya sudah

tidak lagi aman dengan semakin gencarnya pihak Sekutu/NICA melakukan penggempuran terhadap markas-markas TRI di sekitar Medan Area. Keadaan ini jelas disadari oleh dr. Amir dan Ahmad Tahir akan menjadi ancaman bagi pemerintahan republik di Sumatera.

Sejak pecahnya revolusi sosial, dr. Amir, Ahmad Tahir dan para pemimpin pemerintahan dan TRI lainnya di Medan terus melakukan kontak dengan pihak Sekutu/NICA untuk mecari solusi damai. Mereka terus berusaha menerapkan garis kebijaksanaan diplomasi sebagaimana diterapkan oleh pemerintah pusat. Pada tanggal 21 Maret 1946, hampir tiga minggu setelah pecahnya revolusi sosial, Mr. T.M. Hasan akhirnya kembali ke Medan dari Palembang. Sehari kemudian ia mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin TRI dan sipil. Dalam rapat ini diputuskan, bahwa dalam waktu dekat akan segera diadakan sidang KNI se-Sumatera. Dalam rapat ini juga diputuskan untuk memindahkan ibukota Provinsi Sumatera ke Pematangsiantar, mengingat semakin meningkatnya tekanan tentara Sekutu. Akan tetapi Komandan Divisi IV TRI masih dipertahankan di Medan, untuk mengawasi aktivitas pemerintahan darurat militer yang ditetapka setelah revolusi sosial oleh Ahmad Tahir.

Ahmad Tahir sebagai Komadan Divisi IV TRI segera melakukan perubahan pemerintahan. Kepala perbekalan TRI, Mahruzar diangkat sebagi residen Sumatera Timur menggantikan Junus Nasution. Ketika Mr. T.M. Hasan berangkat ke

Pematangsiantar untuk mengatur perpindahan pemerintahan, dr. Amir dan Ahmad Tahir terus meyakinkan pihak Sekutu bahwa mereka akan tetap bekerja sama dengan Inggris dalam menjaga keamanan dan ketertiban kota Medan. Merekapun menjelaskan bahwa semua kekuatan militer Republik tetap akan ditempatkan di luar batas Medan Area. Seperti diketahui sebelumnya bahwa pada tanggal 1 Januari 1946 tokoh-tokoh TRI berusaha menyatukan organisasi kemiliteran yang strukturnya masih lemah. Akibat adanya provokasi dari tentara Sekutu/NICA di Medan dan sekitarnya, maka Komandan divisi IV mengintruksikan agar pasukan yang ada dipindahakn ke luar kota. Pemindahan pasukan TRI ke luar kota bertujuan agar dapat disusun suatu kesatuan yang berdisiplin dan terkonsolidasi, sehingga latihan yang dilakukan dapat berjalan seusai rencana.

Sebagian besar anggota-anggota pasukan TRI divisi IV pindah ke luar Medan, yaitu ke Brastagi, sedangkan Radio Republik Indonesia (RRI) juga pindah ke Pematangsiantar. Penyelenggaraan berita dilaksanakan setelah membangun kembali peralatan sehingga siaran-siaran berlangsung kembali normal. Perpindahan pasukan dan peralatan radio, ternyata diikuti dengan perpindahan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya secara berangsur-angsur ke Pematangsiantar dan Tebing Tinggi.

Sementara pada tanggal 12 April 1946, Mr. T.M. Hasan memutuskan pengangkatan 100 anggota DPR Sumatera dan juga mengumumkan nama-nama anggotanya. Diantaranya dua puluh anggota diangkat dari Sumatera Timur dan

sebelas dari Tapanuli. Mereka adalah Sutan Seri Moelia, Amin Soetardjo, Lokot Batubara, Oesman Effendi, Oesman Jusuf, Ny. Moenar Sastro Hamidjojo, Abdullah Jusuf, Tama Ginting, Natar Zainuddin, Saleh Umar, S.M. Tarigan, Jusuf Abdullah, Kario Siregar, Nolong Sirait, Dr. Gindo Siregar, Marnicus Hutasoit, S.H. Simatupang, Dr. Sunaryo, Haji Abudullah Rachman Sjihab, dan Bachtiar Junus. Anggota dari Tapanuli adalah Patuan Natigos Lumbantobing, S.M. Simanjuntak, Mr. Rafinus Lumbantobing, Raja Djundjungan Lubis, Sutan Mangardja Muda, Sutan Naga, Baginda Kalidjundjung, Raja Sinambela, G. Silitonga, Abdul Hakim, dan Washington Hutagalung.58

Adapun yang masih tetap berkedudukan di Medan hanyalah Walikota Medan Negara Republik Indonesia, Mr. Mohammad Jusuf. Kedudukan Mr. Mohammad Jusuf inisecara tidak langsung adalah wakil republik dan sekaligus penghubung antara republik dan tentara Sekutu. Instansi-instansi vital tetap dipertahankan, seperti Kantor Polisi, Kantor Pos, Kantor Telepon, Stasiun Kereta Api, dan Rumah Sakit Umum walaupun selalu menadapat teror dan intimidasi. Anehnya tentara Sekutu tidak mengambil gedung-gedung ini dengam cara kekerasan, dengan alasan untuk memberikan peluang kepada pihak Belanda menyusun kekuatannya. Kebijaksanaan politik tentara Sekutu mengajak pihak republik berunding, secara tidak langsung Sidang DPR akan dilaksankan di Bukit Tinggi pada tanggal 17 April 1946. Pada saat itu Mr. T.M. Hasan telah membubarkan Pemerintahan Darurat Militer di Sumatera Timur dang mengangkat Laut Siregar sebagai Residen Sumatera Timur.

58

membuka peluang bagi Belanda menjadikan Kota Medan sebagai basis kekuatan militer setelah ditinggalkan republik.

Para anggota DPR Sumatera ini pada akhirnya dilantik di Bukit Tinggi pada tanggal 17 April 1946 sekaligus memulai rapat perdananya disana. Dalam rapat ini dipilih pula anggota Dewan Eksekutif dari DPR Sumatera ini, dengan susunan:

Ketua : Gubernur Sumatera

Wakil Ketua : Dr. Gindo Siregar (Sumatera Timur)

Anggota : Dr. R. Sunario (Sumatera Timur)

Mr. M. Nasroen (Sumatera Barat)

Mr. Rafinus L.Tobing (Tapanuli)

Soetikno Padmo Soemarto (Aceh)

K. H. Tjik Wan (Palembang)

Sidang perdana DPR ini berhasil memutuskan struktur formal Pemerintahan Republik di Sumatera. Secara mendasar DPR Sumatera memutuskan bahwa: Provinsi dikepalai oleh Gubernur, sub-provinsi dikepalai oleh wakil gubernur (Gubernur Muda), karesiden dikepalai oleh seorang residen. Kabupaten dikepalai oleh seorang bupati, kawedanan oleh seorang wedan, dan kecamatan oleh seorang camat dan

dibawahnya terdapat para kepala Nagari, Huta, Kampung, desa dan sebagainya. Disamping itu diputuskan juga undang-undang tentang pembentukan departemen-departemen pemerintahan yang bertugas menangani masalah keuangan, kesejahteraan sosial, kesehatan, komunikasi, agama, penerangan, keamanan dan pertahanan.

Selain itu, keputusan penting dari sidang ini adalah pembagian Sumatera menjadi tiga sub-provinsi (daerah administratif), yakni:

1. Sub-provinsi Sumatera Utara terdiri dari karesidenan-karesidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli

2. Sub-provinsi Sumatera Tengah terdiri dari karesidenan-karesidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi

3. Sub-provinsi Sumatera Selatan terdiri dari karesidenan-karesidenan Palembang, Bengkulu, Lampung, dan Bangka Belitung.59

Tiap-tiap provinsi merupakan daerah administratif yang tidak memiliki kekuasaan otonomi atau lembaga pemerintahan dan dikepalai oleh seorang gubernur muda. Gubernur Muda bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan berbagai pemerintahan residensi.

Dalam sidang ini juga diputuskan pemindahan ibukota provinsi Sumatera dari kota Medan ke Pematangsiantar. Faktor keamanan dan masalah perhubungan menjadi

59

dasar kuat pengambilan keputusan itu sebagaimana tampak dalam kutipan berikut ini:

“Berhubung dengan sukarnya keadaan perhubungan, sehingga perjalanan anggota-anggota Badan Pekerja dari Bukit Tinggi pulang ke tempatnya masing-masing dan dari sana ke ibukota Sumatera menghendaki waktu yang bukan sedikit.

Berhubung dengan kegentingn keadaan Medan, kantor Gubernur Sumatera ditetapkan pindah ke Pematangsiantar dan beserta dengan itu Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera harus pula berkedudukan di Pematangsiantar.”60

Berdasarkan hasil sidang ini, Gubernur Sumatera bersama-sama dengan Komandan TRI divisi IV, Pusat Persatuan Perjuangan se-Sumatera dan badan-badan lainnya mulai bertindak melakukan pemindahan ibukota provinsi sesuai dengan hasil sidang DPR Sumatera tersebut. Pelaksanaan pemindahan ini berlangsung secara bertahap dan tersembunyi untuk menghindari adanya ancaman dan tindakan dari pihak Sekutu/NICA. Kantor Gubernur Sumatera dan Markas TRI divisi IV adalah yang pertama dipindahkan pada akhir April 1946.61

Untuk melancarkan kegiatan pemerintahan republik Indonesia di Kota Medan, Gubernur Sumatera menugaskan Mr. Mohammad Jusuf selaku walikota Medan, dan dan perwakilan TRI Kapten Asmatuddin untuk tetap berada di Medan. Mereka

Perpindahan ini kemudian diikuti oleh Badan-badan Perjuangan dan pemerintahan tingkat Sumatera dan Sumatera Timur ke Pematangsiantar dan Tebing Tinggi. Dua surat kabar lokal yakni Soeloeh Merdeka dan Mimbar Umum juga memindahkan kantor beserta unit percetakannya ke dua kota tersebut.

60

Edisaputra, Op.cit, hal 228 61 Ibid, hal 229-230

berkantor di Jalan Thamrin Medan, dan sekaligus bertugas sebagai penghubung antara Sekutu dan pemerintah Republik.

Kabar perpindahan pemerintahan sipil dan militer ini menyebar dikalangan rakyat sehingga mengakibatkan mereka beramai-ramai ikut pindah dari kota Medan. Sasaran utama rakyat ini adalah kota Pematangsiantar dan wilayah sekitar Simalungun dan beberapa daerah lainnya. Perpindahan rakyat secara massal ini merupakan tindakan evakuasi pertama dalam perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Proses perpindahan yang berjalan lancar ini kemudian menemukan problemnya tersendiri. Kota Pematangsiantar yang saat itu diketahui sebagai ibukota Simalungun dan kota terbesar kedua setelah Medan, tidak memiliki cukup gedung untuk menampung seluruh orang dan kantor bagi badan-badan pemerintahan dan maskas tentara. Rumah-rumah yang akan dijadikan untuk tempat tinggal pegawai pemerintahan yang juga turut pindah, tidak dapat menampung seluruhnya.

Tetapi semangat revolusioner dapat menembus halangan tersebut. Dengan semangat gotong royong, kantor yang selayaknya dijadikan sebuah kantor jawatan, dijadikan kantor Walikota. Kantor-kantor jawatan tingkat provinsi bergabung dengan jawatan tingkat kabupaten. Sementara itu, Gubernur Sumatera menempati kantor

Balaikota Pematangsiantar kantor walikota sekarang.62

62

Dibekas kantor Gubernur Sumatera itu ditemukan tulisan yang menyatakan bahwa ”Gedung ini pernah menjadi kantor Gubernur Provinsi Sumatera dari tanggal 6 Februari 1946-29 Juli 1947. Edisaputra, Op.cit, hal 230

Markas besar TRI divisi IV sendiri menempati Gedung Nasional (Gedung Juang 45 Pematangsiantar). Percetakan dan harian Soeloeh Merdeka menempati gedung “dezon” dan disitu juga para pegawainya bertempat tinggal bersama keluarga mereka.

Keadaan ini kemudian menjadikan Pematangsiantar mendapat julukan kota revolusioner. Hal ini kerena situasi kota yang dipenuhi dengan para pejuang yang berbaur dengan para pengungsi dan para birokrat pemerintahan dan militer. Dari sini jugalah segala kebijakan pemerintahan Provinsi Sumatera dan operasi militer menghancurkan pos-pos Sekutu/NICA di Medan Area dan ancaman agresi militer Belanda dibahas dan diputuskan. Semangat itu pula yang menyebabkan penduduk Pematangsiantar dan Simalungun turut membantu para pejuang dan pengungsi dalam hal tempat tinggal dan harta benda demi keberlangsungan perjuangan republik Indonesia.

BAB IV

Peranan Kota Pematangsiantar dalam Mengisi Kemerdekaan