• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekalahan Jepang dan Berita Proklamasi

Pematangsiantar Ibukota Provinsi Sumatera

3.1. Kekalahan Jepang dan Berita Proklamasi

Masa penjajahan Jepang atas Indonesia berlangsung selama tiga tahun lima bulan enam hari (9 Maret 1942-14 Agustus 1945). Tepat jam 12.00 siang waktu Tokyo dari tanggal tersebut, Jepang dengan tanpa syarat menyerah kepada tentara Sekutu.46

46

EdiSaputra, Simalungun Jogja-nya Sumatera Dalam Perang Kemerdekaan, Medan: U.P. Bina Satria 45, 1977, hal. 66.

Latar belakang penyerahan Jepang secara tiba-tiba tersebut, karena pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan dua buah bom atom ke Hirosima dan Nagasaki. Hal ini sekaligus menjadi akhir dari Perang Dunia ke-II di Asia Pasifik.

Berakhirnya Perang Dunia ke-II menjadi sebuah awal baru bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia Sukarno-Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Namun berita proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak sampai ke seluruh Indonesia secara bersamaan. Hal ini disebabkan seluruh alat komunikasi dikuasai Jepang. Tidak ada satu berita pun yang disiarkan tanpa melalui sensor dari tentara Jepang dan berita Proklamasi termasuk dalam kategori berita terlarang.

Pemerintah Militer Jepang tidak hanya melakukan sensor terhadap berita Proklamasi Indonesia, bahkan berita tentang kekalahan mereka pun disembunyikan dari masyarakat. Seperti halnya di daerah lain, sensor ketat yang dijalankan Jepang terhadap berita radio dan surat kabar di Pematangsiantar dan Simalungun berdampak pada masayarakat yang menjadi buta informasi terhadap pada yang terjadi disekitarnya. Sensor ketat ini dilakukan Jepang untuk menjaga agar tidak mendapat serangan mendadak dari rakyat yang dijajahnya.

Upaya pengawasan ketat militer Jepang terhadap perkembangan yang terjadi dapat terlihat ketika pada tanggal 19 Agustus 1945 sebuah pesawat menyebarkan pamflet-pamflet di wilayah Sumatera Timur terutama Medan, Pematangsiantar, dan Tanjung Balai. Isi pamflet yang ditanda tangani oleh H.J. Van Mook ini menyatakan:

Saudara-saudara bangsa Indonesia yang kami cintai. Telah lama saudara-saudara bangsa Indonesia menderita dibawah kekuasaan Jepang. Sekarang perang telah selesai dengan kemenangan yang gemilang dipihak Sekutu. Tak lama lagi pemerintah Belanda akan kembali untuk memperbaiki kehidupan saudara-saudara sesuai janji Sri Ratu Welhelmina pada tanggal 7 Desember 1942. Tetap setialah kepada Seri Ratu dan bersiaplah menyambut kedatangan si Tiga Warna. Terhadap setiap orang yang tidak setia kepada Seri Ratu akan kami ambil tindakan-tindakan tegas.47

Pamflet-pamflet di tiga kota tersebut dengan sekejap dapat disita oleh pihak tentara Jepang. Bahkan orang-orang yang sempat membaca dan menyerahkan pamflet tersebut kepada Jepang mendapat ancaman untuk tidak memberitahukan isinya

47 Ibid, hal. 69

kepada orang lain. Beberapa yang mendapatkan pamflet itu bahkan langsung mengoyaknya karena takut oleh pihak Jepang.

Sensor ketat Jepang terhadap berita-berita ini sempat pula mengalami kebobolan, terutama berita proklamasi Indonesia. Hal ini terjadi ketika kantor berita “Domei”

Jepang di Jakarta menyiarkan berita proklamasi atas desakan para buruh Indonesia. Baru setengah jam kemudian Jepang menyadari bahwa berita proklamasi telah mengudara dan langsung melakukan penarikan serta mengklarifikasi bahwa berita tersebut keliru. Namun berita proklamasi telah menyebar keseluruh Indonesia dan menjadi sebuah babak baru bagi perjuangan disetiap daerah.48

Setelah mendengar pemberitahuan ini para Gyugun dan Heiho banyak yang mengalami kegelisahan. Mereka meninggalkan asrama dengan keadaan bingung ketujuan masing-masing. Bahkan banyak dari mereka yang tidak mempunyai tujuan dan terlantar karena tidak berani pulang kampung. Di Pematangsiantar sendiri mulai Pada tanggal 22 Agustus 1945 terjadi sebuah peristiwa yang menggemparkan diseluruh asrama Gyugun-Heiho. Ketika pada apel pagi komandan Gyugun-Heiho

setempat membacakan pemberitahuan yang ditanda tangani oleh Panglima Militer Jepang se-Sumatera Jendral Moritake Tanabe. Pemberitahuan itu menyatakan bahwa Perang Asia Timur Raya telah selesai dan para Gyugun dan Heiho dipersilahkan kembali kekampung halamannya masing-masing.

48 Ibid, hal. 70

terjadi kepadatan dipusat-pusat pengangkutan seperti bis dan kereta api yang disebabkan oleh para Gyugun dan Heiho yang ingin pulang kampung. Namun banyak dari mereka yang masih berpencar di penjuru Pematangsiantar karena tidak kebagian angkutan dan tidak ingin pulang kampung. Suasana kota pun menjadi ramai dengan keberadaan para Gyugun dan Heiho yang tanpa arah tujuan.49

Berita ini yang kemudian merubah sikap orang-orang Cina tersebut terhadap warga Pematangsiantar. Namun insiden ini malah melecut sikap sentimen kebangsaan masyarakat. Dengan segera dilakukan pengorganisiran Gyugun dan Heiho serta perkumpulan para pemuda Pematangsiantar untuk melakukan penyerangan terhadap orang-orang Cina tersebut. Klimaks dari peristiwa ini adalah ketika dilakukan penyerbuan kedalam kota. Para orang-orang Cina yang sebenarnya tidak terorganisir langsung terdesak dan bersembunyi ditoko mereka. Bahkan para pemuda telah menyiapkan drum-drum minyak untuk melakukan pembakaran terhadap toko-toko

Pada awal September 1945 sebelum pidato Tenno Haika disiarkan secara luas kedaerah-daerah, terjadi suatu peristiwa di Pematangsiantar. Para orang-orang Cina didalam kota tiba-tiba mulai bertindak melakukan pengroyokan dan pemukulan terhadap Gyugun dan Heiho yang mengakibatkan terjadinya insiden baku hantam antar mereka. Kebringasan orang-orang Cina ini disebabkan oleh adanya desas desus tentang tentara Cung King yang mendarat di Bagan Siapi-api dan akan datang ke Pematangsiantar.

49 Ibid, hal. 70-75

tersebut sebelum dihentikan oleh para pemilik dari bangsa Indonesia karena sebagian besar toko tersebut milik bangsa Indonesia yang disewa orang Cina.

Atas insiden ini, kapitan-kapitan Cina seluruh Sumatera Timur akhirnya turun tangan datang ke Pematangsiantar menghadap Wakil Bonsuco Maja Purba untuk melakukan perundingan damai. Namun Maja Purba selaku perwakilan pemerintah Jepang di Pematangsiantar menolaknya karena yang dirugikan atas prilaku orang-orang Cina tersebut adalah bangsa Indonesia bukan Pemerintah. Melalui Maja Purba perundingan dilakukan antara orang-orang Cina dan Barisan rakyat yang diwakili pengetua-pengetua. Dalam perdamaian ini dilakukan acara makan bersama yang dibiayai oleh kapitan-kapitan Cina. Seluruh warga Simalungun pun berpesta hingga empat hari empat malam. Dari perundingan ini didapat beberapa keputusan seperti menghapus sebutan “Tuan” kepada orang Cina dan tidak boleh berkibarnya bendera Kuo Min Tang.50

Setelah kejadian tersebut, tepat tanggal 7 September 1945 terjadi sebuah kegemparan akibat dari pidato Tenno Haika yang disiarkan secara luas tentang kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya. Jelaslah sudah berita tentang kekalahan Jepang tersebut bagi seluruh masyarakat.

50 Ibid, hal. 75-79