• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gejolak Konflik di Kota Medan

Medan Ibukota Provinsi Sumatera

2.3. Gejolak Konflik di Kota Medan

Pernyataan para pemuda ini kemudian disampaikan kepada Gubernur Sumatera untuk disampaikan keapada perwira penghubung sekutu di Medan.

Keraguan terhadap janji pihak sekutu ini kemudian terbukti, ketika para buruh bongkar muat di pelabuhan menerima uang pembayaran dari mereka dengan uang NICA. Seketika hal ini ditolak oleh para buruh dan meminta dibayar dengan uang Jepang. Dalam perdebatan inilah beberapa buruh berbicara dengan bahasa Inggris yang membuat serdadu tersebut kebingungan, dan ketika dipancing berbahasa Belanda baru dijawab dengan lancar. Hal ini yang kemudian di ketahui bahwa para serdadu NICA berada diantara tentara Sekutu.

Pendaratan tentara Sekutu pada tanggal 10 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigjend TED Kelly yang diikuti oleh para pembesar NICA menjadi sebuah awal dari timbulnya konflik di Medan dan seluruh wilayah Sumatera Timur. Setelah melakukan serah terima kekuasaan dengan pihak Jepang, tentara Sekutu dan NICA segera berangkat ke Medan dan menyebar ke tempat yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh Letnan Brondgeest yang sudah berada di Medan.

Keberadaan pasukan Sekutu pimpinan Brigjend TED Kelly menimbulkan sikap ketidaksukaan di kalangan rakyat Indonesia. Tindakan mereka yang memboncengi

tentara NICA dan sering bertindak profokatif, banyak memicu perkelahian dengan para pemuda. Tidak adanya penengah persilisihan mengakibatkan perkelahian-perkelahian tersebut sering memicu pertempuran. Bahkan persoalan ini tidak hanya terjadi di Medan saja, tapi di daerah lain di Sumatera Timur.

Peristiwa terbesar terjadi pada tanggal 13 Oktober 1945 yang di kenal dengan peristiwa Jalan Bali. Peristiwa yang bermula dari sikap profokatif tentara sekutu terhadap seorang pemuda yang memakai lencana merah putih didadanya. Oleh tentara sekutu lencana tersebut direbut lalu diinjak-injak oleh mereka. Persoalan tersebut bertambah parah ketika para pemuda yang mendengar hal tersebut bergerak kemarkas Sekutu mendapat sebuah tembakan yang menewaskan seorang penduduk.

Peristiwa ini kemudian memicu kemarahan para pemuda dan rakyat yang dalam sekejap menyerbu markas Pasukan Sekutu/Belanda di Pansion Wilhelmina, dengan berbekal bambu runcing, tombak, parang dan lainnya. Perkelahian ini kemudian menjadi pertempuran antara rakyat dan tentara Belanda. Menanggapi persoalan ini, pihak Tentara Sekutu dan pihak Jepang akhirnya menyelesaikannya dengan cara berunding damai dengan para pimpinan pemuda.28

Peristiwa jalan Bali ini kemudian tersiar kepenjuru Medan dan Sumatera Utara, yang menjadikan sinyal bagi para pemuda bahwa perjuangan menegakkan proklamasi telah dimulai. Peristiwa ini kemudian memicu terjadinya peristiwa lain seperti insiden

28

Siantar Hotel di Pematangsiantar dan serangan pasukan Bedjo terhadap gudang senjata Jepang di Pulo Brayan dan markas tentara Belanda Glugur Hong dan Helvetia. Pertempuran yang banyak menewaskan korban terutama para tentara KNIL. Hal ini kemudian memunculkan anggapan bahwa darah orang Belanda dan kaum kolonialis harus ditumpahkan demi kemerdekaan.

Serangakaian peristiwa tersebut kemudian membuat pihak tentara Sekutu melalui Brigjend TED Kelly mengambil tindakan dengan mengeluarkan ultimatum kepenjuru Sematera Timur yang berbunyi sebagai berikut :

Bahwa bangsa Indonesia dilarang keras membawa senjata, termasuk senjata tajam, seperti pedang, tombak, keris, rencong, dan sebagainya. Senjata-senjata itu harus diserahkan kepada tentara Sekutu. Kepada para komandan pasukan Jepang diperintahkan untuk tidak menyerahkan senjatanya kepada TKR dan laskar rakyat, dan harus menyerahkan daftar senjata api yang dimilikinya.29

Keadaan semakin memanas ketika pada tanggal 1 Desember 1945 tentara Sekutu memperkuat kedudukan mereka di Medan dan memampangkan tulisan Fixed Boundaries yang menjadi tanda kekuasaan tentara Sekutu, wilayah inilah yang Hal ini dilakukan tentara Sekutu karena mereka beranggapan ditugaskan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Bahkan sejak dikeluarkannya maklumat tersebut, pihak tentara Sekutu mulai gencar melakukan razia. Tindakan ini kemudian menambah kecurigaan masyarakat terhadap tentara sekutu.

29

Kementerian Penerangan RI, Republik Indonesia Provinsi Sumatera Utara, Jakarta: Kementerian Penerangan, 1953, hal. 42

kemudian dikenal dengan Medan Area. Persoalan ini telah menjadikan keadaan semakin tegang dan memicu permusuhan yang tidak dapat didamaikan antara tentara Sekutu dengan pemuda Indonesia, hal yang kemudian menjadi awal bagi insiden-insiden lainnya.

Keadaan ini terus berlanjut dengan banyaknya pertempuran yang terjadi antara tentara Sekutu dengan TKR dan laskar rakyat di sekitar kota Medan. Pergolakan yang terjadi ini menjadikan keadaan kota Medan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera kian bertambah panas. Teror terhadap rakyat dan pemuda Indonesia tidak hanya di dapat dari pasukan Sekutu, namun para pengikut-pengikut kolonialis, NICA dan Poh An Tui30. Tindakan pasukan Sekutu mulai disadari sebagai upaya penjajahan ketika mereka mulai melakukan penggempuran, penggeledahan, penyerkapan, penangkapan dan pembunuhan terhadap beberapa penduduk dengan dalih sebagai ancaman keamanan. Bahkan tentara Sekutu juga mulai merampas gedung-gedung milik pemerintah Republik Indonesia.31

Krisis yang terus berlanjut di Kota Medan yang kemudian diikuti oleh peristiwa Revolusi Sosial pada Maret 1946 menjadikan situasi kota Medan semakin tidak aman. Pasukan Sekutu juga mulai melakukan serangan militer terahadap basis-basis militer

30

“Poh An Tui (Barisan Pengawal Tionghoa), dibentuk dan diresmikan Sekutu pada tanggal 1 Januari 1946. Tujuan semula adalah untuk menjaga keamanan orang-orang Cina, tetapi kenyataannya turut ambil bagian bersama tentara Sekutu dan NICA untuk menumpas Republik Indonesia. Bahkan mereka juga menjadi Pasukan V Belanda di daerah pedalaman. Hal ini terlihat ketika Agresi Militer dimana mereka membantu Belanda dengan melakukan kekacauan.” Lihat Edisaputra, Op.cit, hal. 226-228

Republik di perbatasan Medan Area. Dalam serangan-serangan ke basis-basis tentara Republik ini beberapa tokoh politik bahkan ditawan, seperti M. Saleh Umar.

Kerasnya tindakan Inggris di Medan Area menimbulkan beberapa permasalahan bagi pemimpin pemerintahan Republik. Baik dr. Amir maupun Ahmad Tahir menyadari bahwa konfrontasi besar dengan Inggris akan mengancam keselamatan Pemerintahan Republik di Sumatera Timur. Beberapa upaya pun dilakukan dr. Amir untuk mencari solusi damai dengan Inggris, yakni jalur diplomasi seperti yang dilakukan pemerintah pusat.

Keadaan kota Medan yang semakin tidak kondusif akibat dari konflik tersebut akhirnya menjadi alasan dilakukannya pemindahan pusat pemerintahan provinsi Sumatera dari Medan ke Pematangsiantar pada April 1946. Pindahnya Ibukota juga diikuti oleh seluruh jawatan pemerintahan dan juga Markas TRI Divisi IV, hal ini kemudian juga diikuti oleh penduduk Medan dan sekitarnya yang merasa keadaan sudah tidak lagi aman akibat teror dari pasukan Sekutu.