• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kota Pematang Siantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kota Pematang Siantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

KOTA PEMATANG SIANTAR PADA MASA AWAL

KEMERDEKAAN 1945-1947

Skripsi Sarjana

O

L

E

H

NAMA : Ardia Gemala Irawan

NIM : 100706005

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

Kota Pematang Siantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947

Yang dikerjakan oleh:

Nama : Ardia Gemala

Nim : 100706005

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:

Pembimbing,

Dr. Suprayitno, M.Hum. Tanggal:

NIP. 1961011911988031004

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M.Hum. Tanggal:

NIP. 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

Kota Pematang Siantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947

Skripsi Sarjana

Yang Dikerjakan Oleh:

Nama : Ardia Gemala Irawan

Nim : 100706005

Pembimbing,

Dr. Suprayitno, M.Hum.

NIP. 1961011911988031004

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan,

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu

Sejarah.

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(4)

Lembar Persetujuan Ketua Jurusan

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen

Drs. Edi Sumarno M.hum NIP. 196409221989031001

(5)

Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya

Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada :

Hari : Jum’at

Tanggal : 20 Februari 2015

Fakultas Ilmu Budaya USU

Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A NIP. 195110131976031001

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M.Hum (………)

2. Dra. Nurhabsyah, M.Si (………)

3. Dr. Suprayitno, M.Hum (………)

4. Dra. Lila Pelita Hati, M.Si (………)

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Juga penulis ucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung baik dari segi moril dan materil.

Atas segala usaha dan bantuan dari berbagai pihak, skripsi dengan judul “Kota

Pematangsiantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947” ini telah selesai

ditulis. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan pendidikan perkuliahan sekaligus untuk meraih gelar kesarjanaan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Penulis juga menyadari bahwa hasil karya ilmiah ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Maka dari itu, dengan kerendahan hati penulis meminta maaf serta mengharapkan segala kritik dan saran demi perbaikan serta menuju kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat dinikmati bagi kita sekalian sebagai pemerhati sejarah.

Akhir kata penulis ucapkan terimakasih atas perhatian para pembaca dan pemerhati sejarah, kiranya Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepada kita semua.

Medan, Februari 2015 Penulis

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada orang-orang yang telah mendorong penulis sekaligus juga yang telah meluangkan waktunya dalam membantu penulis meyelesaikan tugas akhir ini sehingga penulis dapat memperoleh banyak bantuan, kritik, saran, motivasi, serta doa dari berbagai pihak. Rasa syukur yang sungguh tak terhingga nilainya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terutama kepada kedua orang tua penulis yang senantiasa membimbing sejak kecil hingga dewasa dan memberikan nasihat yang bijaksana. Bapak saya Bambang Irawan, yang memberi dorongan berupa masukan-masukan dalam melengkapi penulisan ini dan sebagai teman yang selalu bisa diajak berbicara akan banyak hal. Serta ibu saya Suwani yang membesarkan dengan segala kasih sayangnya hingga penulis termotivasi untuk menjadi lebih baik deminya dan mendorong penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dalam memperoleh gelar sarjana, dan ketiga adik saya Biwanti Irawan, Cendratriana Irawan, dan Dhiyaa Nuzulul Irawan yang selalu bisa menghadirkan canda tawa ketika berada di rumah.

Dalam kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang selama ini memberi pengaruh besar dan baik bagi kelangsungan perkuliahan serta skripsi ini, diantaranya:

(8)

Pembantu Dekan beserta staf pegawai yang terkait.

2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M. Hum, selaku Ketua Departemen Ilmu Sejarah dan Ibu Dra. Nurhabsyah, M. Si, selaku Sekretaris Departemen Sejarah, serta Bapak Drs. Samsul Tarigan selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberi banyak kritikan dan masukan sehingga penulis lebih berusaha untuk berbenah diri, perhatian dan kasih sayang yang tidak pernah putus selama penulis menjadi mahasiswa.

3. Bapak Dr. Suprayitno, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi. Jasa dan bantuan beliau tidak akan pernah penulis lupakan serta terima kasih atas kesabaran di dalam membimbing menyelesaikan skripsi ini dan telah meluangkan waktu dalam memberikan kritikan yang membangun dan masukan dalam penulisan yang bersedia memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis. 4. Seluruh staf pengajar Departemen Sejarah, yang telah bersedia berbagi

pengalaman dan pengetahuan akademis, sehingga penulis memperoleh banyak wawasan sebagai bekal dikemudian hari.

5. Bang Ampera selaku staf TU Departemen Sejarah yang telah membantu dalam melancarkan segala urusan akademik hingga urusan administrasi.

6. Seluruh informan penelitian yang bersedia memberikan informasi seakurat mungkin sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

(9)

Novi Nelvia, Putri Ayu Distira, Helma Melati, Diaz Sembiring, Rina Hutabarat, Resmaulina Sipayung, Ira Sela serta teman-teman stambuk 2010 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah mewarnai hari-hari selama hampir 4 tahun, banyak motivasi yang diberikan, wejangan, ilmu serta waktu yang sangat banyak diluangkan dalam menjalani perkuliahan bahkan hingga terselesaikannya skripsi ini. Tidak lupa juga kepada teman 2011 Juned, Kiki, Neli, Alda, Dedek, Wani, Devi dan Rahma yang selalu memberi dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. Serta terima kasih kepada Kartika Novalisa Manurung atas semua bantuannya.

(10)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Kota Pematangsiantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947. Pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia, kota Pematangsiantar menjadi salah satu bagian penting dalam pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera. Menjadi kota terbesar kedua setelah Medan di Sumatera Timur, Pematangsiantar kemudian menjadi pilihan utama ketika Medan yang berstatus ibukota Provinsi Sumatera tidak lagi aman untuk dijadikan pusat pemerintahan Sumatera karena banyaknya konflik dan tekanan dari pihak Sekutu/NICA. Pemindahan pusat pemerintahan ini seketika merubah keadaan Pematangsiantar menjadi sebuah kota revolusioner dimana setiap sudut kota terlihat para tentara, laskar, pegawai pemerintahan dan para pengungsi dari kota Medan saling berbaur satu sama lain.

Tulisan ini membahas bagaimana terjadinya proses pemindahan ibukota Provinsi Sumatera dari Medan ke Pematangsiantar serta faktor-faktor yang menjadi alasan dilakukannya pemindahan ini. Selain itu, tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan alasan menjadikan Pematangsiantar sebagai ibukota Sumatera serta peranan kota tersebut sebagai pusat pemerintahan sipil dan militer bagi provinsi Sumatera sampai kejatuhannya pada peristiwa Agresi Militer Belanda.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4 Tinjauan Pustaka ... 9

1.5 Metode Penelitian ... 12

BAB II : MEDAN IBUKOTA PROVINSI SUMATERA ... 15

2.1 Proklamasi di Sumatera ... 15

2.2 Kedatangan Sekutu-NICA ke Sumatera Timur ... 21

2.3 Gejolak Konflik di Kota Medan ... 27

2.4 Revolusi Sosial ... 31

BAB III : PEMATANGSIANTAR IBUKOTA PROVINSI SUMATERA ... 42

3.1 Kekalahan Jepang dan Berita Proklamasi ... 42

(12)

3.4 Pematangsiantar Menjadi Ibukota Sumatera ... 54

BAB IV : PERANAN KOTA PEMATANGSIANTAR DALAM MENGISI KEMERDEKAAN 1946-1947 ... 63

4.1 Kondisi Sosial dan Politik Pematangsiantar ... 63

4.2 Sebagai Pusat Pemerintahan Sumatera ... 69

4.3 Sebagai Pusat Komando Militer ... 72

4.4 Agresi Militer Belanda dan Jatuhnya Ibukota Sumatera ... 74

BAB V : Kesimpulan danSaran...82

5.1 Kesimpulan ... 82

5.2 Saran ... 85

(13)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Kota Pematangsiantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947. Pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia, kota Pematangsiantar menjadi salah satu bagian penting dalam pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera. Menjadi kota terbesar kedua setelah Medan di Sumatera Timur, Pematangsiantar kemudian menjadi pilihan utama ketika Medan yang berstatus ibukota Provinsi Sumatera tidak lagi aman untuk dijadikan pusat pemerintahan Sumatera karena banyaknya konflik dan tekanan dari pihak Sekutu/NICA. Pemindahan pusat pemerintahan ini seketika merubah keadaan Pematangsiantar menjadi sebuah kota revolusioner dimana setiap sudut kota terlihat para tentara, laskar, pegawai pemerintahan dan para pengungsi dari kota Medan saling berbaur satu sama lain.

Tulisan ini membahas bagaimana terjadinya proses pemindahan ibukota Provinsi Sumatera dari Medan ke Pematangsiantar serta faktor-faktor yang menjadi alasan dilakukannya pemindahan ini. Selain itu, tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan alasan menjadikan Pematangsiantar sebagai ibukota Sumatera serta peranan kota tersebut sebagai pusat pemerintahan sipil dan militer bagi provinsi Sumatera sampai kejatuhannya pada peristiwa Agresi Militer Belanda.

(14)

BAB I

Pendahuluan

1.1.Latar Belakang

Pematangsiantar diawal abad ke-20 merupakan kota kedua terbesar di kawasan Sumatera Utara.1 Terletak sekitar 1900 meter diatas permukaan laut menjadikan kota ini memiliki iklim yang sejuk dan ditinjau dari geografis, letak Pematangsiantar sangat strategis, baik dari segi ekonomis, politik, maupun dari sudut pandang pertahanan. Oleh karena itu, pada tahun 1915 Pematangsiantar dijadikan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai ibukota afdeling Landschap Simalungun en Karolanden2 karena letaknya yang juga strategis sebagai daerah penghubung untuk kepentingan ekonomi politik Belanda antara daerah Tapanuli, Karo, Simalungun, dan dataran rendah Sumatera Timur.3

Keberadaan Kota Pematangsiantar sebagai kota transit dan ibukota afdeling kemudian menjadikan kota ini berkembang pesat dan menjelma sebagai salah satu pusat ekonomi perkebunan di Sumatera Timur saat itu. Pertumbuhan kota

1

Swarni, “Peristiwa Siantar Hotel (15 Oktober 1945)”, Skripsi Sarjana Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU, Tidak diterbitkan, hal. 16

2

Sumatera Timur tahun 1915 merupakan satu residen yang terdiri dari lima afdeling, yakni Deli en Serdang beribukota Medan, Langkat beribukota Binjai, Asahan ibukotanya Tanjung Balai, Bengkalis ibukotanya Bengkalis, dan Simalungun en Karolanden dengan ibukota Pematangsiantar. Tengku L.Sinar, “Konsep Sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang”, 1986, hal. 238-239.

3

(15)

Pematangsiantar mulai mendorong banyaknya para pendatang dari berbagai etnis dan berkembangnya berbagai profesi baru yang dibutuhkan untuk memfasilitasi masyarakat perkebunan disekitarnya. Hal yang kemudian menjadi akibat Pematangsiantar sebagai salah satu daerah padat penduduk dan sekaligus menjadi kota yang heterogen.4

Kondisi sosial dan demografi ini yang tampaknya menjadi alasan Simalungun dan Kota Pematangsiantar mulai juga berkembang menjadi daerah yang cukup cepat menerima ide-ide nasionalisme di kawasan Sumatera Utara. Diawali dengan masuknya ide kebangsaan yang dibawa oleh organisasi Budi Utomo pada tahun 1908 dan Syarekat Islam pada tahun 1929, selanjutnya Pematangsiantar mulai banyak kedatangan organisasi-organisasi kebangsaan lain mulai dari bidang sosial dan pendidikan dari Taman Siswa, hingga dibidang politik dan nasionalisme seperti PNI (Partai Nasional Indonesia), Gerindo (Gerakan rakyat Indonesia), dan GAPI (Gabungan Politik Indonesia). Perkembangan inilah yang kemudian menjadikan Simalungun terutama kota Pematangsiantar menjadi salah satu sentrum pergerakan

Heterogenitas ini terlihat dari komposisi penduduk Kota Pematangsiantar yang tidak didominasi oleh satu suku. Pada awalnya penduduk asli Kota Pematangsiantar di dominasi oleh Suku Batak Simalungun, namun setelah terjadinya urbanisasi, maka penduduk Kota Pematangsiantar terdiri dari berbagai macam suku antara lain Tapanuli, Jawa, Aceh, Padang, Karo, Cina, India, dan Melayu.

4

(16)

kaum Nasionalis di Sumatera Utara. 5

Ditunjuknya T. Moh. Hasan dan Dr. Amir sebagai perwakilan Sumatera Timur dalam pembentukan Negara Indonesia, tidak serta merta menjadikan wilayah Sumatera Timur cepat mendapat kabar tentang Proklamasi. T. Moh. Hasan sendiri yang kemudian ditunjuk oleh Sukarno sebagai Wakil Pimpinan Besar bangsa

Hal yang kemudian menjadikan Pematangsiantar sebagai salah satu basis pendukung Proklamasi Republik Indonesia.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan oleh Sukarno dan Hatta tidak hanya merupakan awal dari terbentuknya sebuah negara baru yang merdeka bernama Indonesia, tapi juga menjadi sebuah tanda pengobaran semangat perjuangan yang baru dalam jiwa masyarakat Indonesia demi mengusir penjajahan. Proklamasi juga menjadi alat dalam pemersatu perjuangan masyarakat dalam satu nama yakni bangsa Indonesia yang merdeka.

Kekosongan kekuasaan yang dialami bangsa Indonesia ketika kekalahan Jepang dalam perang pasifik adalah sebuah awal terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun, luasnya wilayah Indonesia dan kurangnya sarana komunikasi menjadi sebuah persoalan dalam penyebaran berita proklamasi kemerdekaan. Hal inilah menjadi celah yang dimanfaatkan oleh Belanda dalam upaya ingin mengambil kembali kekuasaan terhadap Indonesia. Salah satu daerah yang terlambat mendapat kabar Proklamasi ini adalah wilayah Sumatera Timur.

5

(17)

Indonesia untuk wilayah Sumatera, mengawali penyebaran berita proklamasi secara langsung di wilayah Sumatera Selatan. Di Sumatera Timur sendiri, T. Moh. Hasan mengadakan upacara resmi berdirinya Republik Indonesia dan pembacaan proklamasi di muka umum baru diadakan pada tanggal 6 oktober 1945, hampir dua bulan setelah proklamasi dibacakan oleh Sukarno dan Hatta. Hal ini pun dilakukan T. Moh Hasan setelah mendapat dukungan dari Barisan Pemuda Indonesia (BPI) sekaligus menjelaskan kepada sebagian rakyat tentang Proklamasi itu sendiri dalam sebuah rapat BPI pada tanggal 30 september 1945.6

Keterlambatan dalam penyebaran berita proklamasi ini tidak hanya karena kurangnya alat komunikasi dan sarana trasportasi. Namun, kedatangan NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) dan sekutu yang telah lebih dulu sebelum T. Moh Hasan menyampaikan Proklamasi dan lambatnya tiba surat pengangkatan dirinya sebagai Gubernur Sumatera oleh Presiden Sukarno menjadi beberapa hambatan yang terjadi. Maka dari itulah pembacaan teks proklamasi di Sumatera Timur resmi baru dilakukan pada tanggal 6 oktober 1945 dan sekaligus berdirinya pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera.7

Keberadaan Sekutu dan NICA yang telah lebih dulu tiba sebelum berdirinya Pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera menjadi sebuah masalah rumit dalam proses pembentukan Pemeritahan Republik di Sumatera. Pihak tentara sekutu yang

6

Biro Sejarah Prima, “Medan Area Mengisi Kemerdekaan”, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia, 1976, hal. 114-118.

7 Ibid

(18)

dipimpin oleh T.E.D. Kelly mulai bergerak cepat dalam upaya melumpuhkan persenjataan yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam upaya ini, selain melakukan penyebaran maklumat yang berisi pelarangan dan penyerahan senjata yang dimilki oleh masyarakat, sekutu juga mulai membentuk pasukan tambahan yang berisi orang-orang Cina dan bertugas sebagai pengamanan terutama di wilayah medan. Gerakan sekutu inilah yang kemudian menyulut bentrok antara tentara Sekutu dan Laskar-laskar rakyat.8

Perpindahan pusat pemerintahan berlangsung secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari ancaman dan tindakan dari penguasa militer Sekutu/NICA. Setelah dipindahkannya kantor Gubernur Sumatera dan Markas Besar TKR Divisi IV/TRI Bentrok yang berkepanjangan antara tentara Sekutu/NICA dengan pihak Laskar beserta Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan meletusnya sebuah peristiwa Revolusi Sosial pada maret 1946 semakin memperkeruh situasi Kota Medan. Hingga pertengahan April 1946 melalui sebuah rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) se-Sumatera yang diadakan di Bukit Tinggi, T.Moh Hasan mengambil keputusan untuk memindahkan ibu kota provinsi dari Medan ke Pematangsiantar. Bahkan tak hanya lembaga pemerintahan yang pindah ke Pematangsiantar, kantor RRI dan Divisi IV TKR kemudian ikut dipindahkan ke sana.

8

(19)

Komandemen Sumatera pada akhir April 19469

Meskipun proses perpindahan itu berjalan lancar, namun problemnya adalah kurangnya gedung-gedung di Pematangsiantar yang dapat dipakai sebagai kantor pemerintahan dan dapat menampung semua pegawai yang turut pindah. Tetapi semangat revolusioner telah menghapus hambatan itu. Dengan semangat gotong royong, sebuah kantor yang seharusnya layak jadi kantor sebuah Jawatan, dijadikan kantor Walikota, Jawatan dan dinas-dinas Provinsi bergabung sekantor dengan dinas-dinas dan jawatan tingkat Kabupaten. Percetakan dan Harian “Soeloeh Merdeka” menempati gedung “Dezon” dan disitu pula semua pegawainya bertempat tinggal. Balai Kota Pematangsiantar yang dahulunya menjadi Kantor Assisten Residen Simalungun en Karolenden dijadikan Kantor Pemerintahan Provinsi Sumatera yang sekarang terletak di Jalan Merdeka Pematangsiantar

, kemudian diikuti oleh Badan-badan perjuangan tingkat Sumatera Timur.

10

9

Di bekas Kantor Gubernur Sumatera itu ditemukan tulisan yang menyatakan bahwa “Gedung ini pernah menjadi Kantor Gubenrur Provinsi Sumatera dari tanggal 6 februari 1946 – 29 Juli 1947”. Edisaputra, “Simalungun Jogjanya Sumatera”, Medan: Bina Satria 45, hlm. 230.

10Ibid,

hal. 231-232

(20)

dan harta benda lainnya untuk dipakai sebagai perkantoran atau tempat tinggal para pegawai dan pejuang kemerdekaan.11

1.2.Rumusan Masalah

Dari persoalan inilah yang kemudian menjadikan sebuah latar belakang dalam melakukan penelitian mengenai Kota Pematangsiantar dan peranannya pada masa kemerdekaan. Situasi kota yang banyak dipenuhi oleh para pejuang revolusi yang berbaur pula dengan pengungsi dan para birokrat pemerintah sipil dan militer menjadikan Pematangsiantar juga dijuluki sebagai kota revolusioner.

Selain itu, bagaimana fungsi dan peranan kota Pematangsiantar sebagai ibukota masa awal kemerdekaan merupakan salah satu alasan yang mendorong penulis ingin membahas Kota Pematangsiantar pada masa awal kemerdekaan. Maka dari itu penulis memilih judul Penelitian Skripsi ini adalah “Kota Pematangsiantar Pada

Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947”. Dengan mengambil tema Sejarah Kota, saya

ingin menuliskan bagaimana situasi dan kondisi Kota Pematangsiantar pada masa awal Kemerdekaan Indonesia antara tahun 1945 hingga 1947.

Rumusan masalah merupakan sebuah landasan penelitian yang berguna untuk mengetahui hal-hal apa saja yang akan dibahas dan menjadi akar permasalahan dalam sebuah penelitian. Akar permasalahan merupakan aspek yang penting karena di

11

Suprayitno, “Pematangsiantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947”, Makalah dipresentasikan pada Acara Seminar “Kontribusi Pematangsiantar Sebagai Kota Perjuangan

(21)

dalamnya terdapat berbagai konsep yang akan diteliti, maka sesuai dengan judul

“Kota Pematangsiantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947” dibuatlah suatu

batasan pokok masalah penelitian dirangkum dalam beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Faktor-faktor apa yang menjadikan Kota Pematangsiantar dipilih sebagai ibukota Provinsi Sumatera menggantikan Medan pada 1946?

Dalam rumusan masalah ini, poin-poin yang diteliti adalah

• Mengenai kondisi sosial politik dan keamanan Kota Medan sebagai

Ibukota Provinsi Sumatera yang mengancam eksistensi Pemerintahan Republik karena konflik tentara Sekutu/NICA dengan TKR dan Laskar Rakyat, serta terjadinya Revolusi Sosial di Sumatera Timur yang membuat Sekutu/NiCA mengkonsentrasikan pengamanan Kota Medan untuk menghindari hal itu.

• Kota Pematangsiantar masa menjadi Ibukota Provinsi Sumatera.

2. Bagaimana peranan kota Pematangsiantar dalam upaya mengisi kemerdekaan 1945-1947?

Dalam rumusan masalah ini, yang diteliti adalah:

• Peranan-peranannya selama berstatus Ibukota Provinsi, baik sebagai

(22)

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian mengenai kota Pematangsiantar pada periode perjuangan mempertahankan kemerdekaan adalah :

1. Untuk menjelaskan faktor-faktor yang menjadikan kota Pematangsiantar sebagai ibukota Provinsi Sumatera menggantikan Medan.

2. Untuk menjelaskan situasi dan peranan kota Pematangsiantar dalam mengisi dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1947.

Sehubungan dengan penulisan dan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, maka ada beberapa hal yang bermanfaat bagi kita, antara lain adalah:

1. Untuk memperkaya informasi bagi masyarakat mengenai peranan kota Pematang Siantar dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia.

2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai kota Pematang Siantar pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.

3. Untuk mempertajam kemampuan penulis dalam melakukan penulisan karangan ilmiah.

1.4.Tinjauan Pustaka

(23)

masa periode awal kemerdekaan juga. Hal ini dikarenakan keempat persoalan ini memiliki kaitan erat dalam proses sejarahnya. Untuk itu, literatur yang digunakan adalah beberapa mengenai sejarah dimasa awal kemerdekaan baik hal umum mengenai Indonesia hingga yang membahas mengenai sejarah perjuangan Sumatera Utara dan Medan area dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Penulis menggunakan beberapa buku sebagai acuan penelitian dalam upaya membahas persoalan Kota Pematangsiantar pada awal Kemerdekaan 1945-1950. Buku-buku ini digunakan karena penulis menganggap informasi mengenai permasalahan yang akan diteliti terdapat dalam buku tersebut,beberapa buku yang digunakan yaitu:

Buku terbitan Biro Sejarah Prima yang berjudul “Medan Area Mengisi Proklamasi”. Buku ini banyak menjelaskan tentang situasi dan kondisi wilayah Sumatera Utara pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Buku ini menjelaskan bagaimana proses kemerdekaan diwilayah Sumatera Timur mulai dari berita proklamasi kemerdekaan hingga agresi militer Belanda I yang memicu konflik di kota Medan dan sekitarnya antara laskar rakyat dengan tentara Sekutu/NICA. Buku ini membantu penulis mendapat keterangan tentang perpindahan ibukota pemerintahan provinsi Sumatera dari Medan ke Pematangsiantar.

(24)

wilayah utara Sumatera seperti Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli masa kemerdekaan. Buku ini membantupenulis dalam menjelaskan proses pembentukan pemerintahan di wilayah utara Sumatera. Selain itu dalam bab 20 dan 21 dibuku ini dijelaskan mengenai pembangunan ekonomi nasional dan pembangunan masyarakat pada masa awal kemerdekaan terutama diwilayah Sumatera Utara.

Edisaputra dalam buku “Simalungun Jogja-nya Sumatera, dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, dijelaskan bagaimana wilayah Simalungun dan Kota Pematangsiantar pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Kota Pematangsiantar yang kemudian menjadi ibukota provinsi Sumatera pada masa agresi militer Belanda I sempat menjadi pertahanan terakhir bagi pemerintahan Indonesia di Sumatera. Dalam buku ini juga dijelaskan tentang proses masuknya proklamasi di Simalungun serta perang kemerdekaan yang bergejolak diwilayah tersebut. Salah satu bahasan penting dalam buku ini adalah mengenai hijrahnya ibukota Sumatera ke Pematangsiantar yang menjadikan kota tersebut sebagai pusat pemerintahan dan militer wilayah Sumatera, hingga peristiwa yang membuat jatuhnya Ibukota ke tangan Belanda.

(25)

Tukidjan Pranoto dalam buku yang berjudul “Tetes Embun Di Bumi Simalungun”, banyak dijelaskan mengenai kondisi wilayah Simalungun dan Pematang Siantar pada masa awal kemerdekaan dari sisi pandang perjuangan Laskar Napindo Banteng Resimen Simalungun. Selain itu, dalam buku ini dijelaskan juga mengenai bagaimana peranan masyarakat Pematngsiantar dalam menyambut kemerdekaan Republik Indonesia hingga bagaimana rakyat berperan dalam perjuangan kemerdekaan secara tidak langsung, seperti dengan melakukan pengumpulan senjata, membantu para tentara dengan hal-hal yang berguna lainnya.

Selain dari buku-buku di atas, penulis juga mengguankan beberapa skripsi sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang berhubungan dengan Pematangsiantar pada periode awal kemerdekaan, seperti :

Skripsi T. Besler Simamora yang berjudul Agresi Militer Belanda I (1947) di Simalungun. Skripsi Jonner Hasibuan yang Berjudul Runtuhnya Feodalisme di Simalungun (1946). Skripsi Swarni yang berjudul Peristiwa Siantar Hotel (15 Oktober 1945). Skripsi Rosidawaty yang berjudul Proklamasi di Simalungun.

(26)

1.5. Metode Penelitian

Kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, sangat berpengaruh terhadap Ilmu Sejarah, setiap gejala sejarah tampak sebagai kompleksitas yang mencakup berbagai aspek atau memiliki berbagai dimensi. Analisis terhadap suatu unsure dan faktor penyebab yang melatar-belakangi gejala sejarah, oleh karena itu penggarapan sejarah harus menggunakan metodologi dan teori serta konsep-konsep dari ilmu-ilmu lain seperti ilmu sosiologi, antropologi dan lain-lain. Metodologi adalah ilmu yang membahas mengenai cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data dan menjelaskan segala suatu peristiwa sejarah dengan bantuan seperangkat konsep dan teori12

Tahapan kedua ialah Kritik. Dalam tahapan ini penulis telah memilah dan . Dalam penerapannya, metode sejarah menggunakan emapat tahapan pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

Pada tahapan pertama ialah pengumpulan sumber (heuristik), dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam pengumpulan data melalui metode Library Reseach, penulis mengumpulkan beberapa dokumen, mengumpulkan buku, majalah, artikel, serta melakuan searching data di internet yang berhubungan dengan judul tulisan. Dalam upaya mencari segala data ini, penulis akan mengunjungi perpustakaan-perpustakaan daerah wilayah Sumatera Utara terutama Kota Pematangsiantar.

12

(27)

melakukan Metode Kritik Sumber terhadap data-data yang nantinya penulis peroleh, baik berupa hasil wawancara maupun sumber tertulis. Dengan metode Kritik, baik metode kritik Intern maupun Ekstern.

Tahapan lanjutan setelah uji dan analisa ialah interpretasi. Pada tahapan ini data yang diperoleh dianalisa sehingga melahirkan tulisan baru yang sifatnya objektif dan ilmiah dari objek yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh kebelakang serta minimnya sumber yang ada membuat interpretasi menjadi sangat sulit dilakukan. Untuk itu dibutuhkan analisa mendalam serta interpretasi yang tajam dari penulis.

(28)

BAB II

Medan Ibukota Provinsi Sumatera

2.1. Proklamasi dan Awal Pemerintahan di Sumatera Timur

Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, dua bom dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Hirosima dan Nagasaki. Hal ini serta merta menjadi sebuah kekalahan bagi Jepang dan akhir dari Perang Dunia ke-II. Berakhirnya Perang Dunia ke-II menjadi sebuah awal baru bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia Sukarno-Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Namun berita proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak sampai ke seluruh Indonesia secara bersamaan. Hal ini adalah wajar karena Jepang masih tetap berkuasa pada saat itu, bahkan mereka juga melakukan pengawasan ketat terhadap setiap saluran radio.

Wilayah Sumatera Timur sendiri, mendapat berita proklamasi secara resmi ketika Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir, selaku perwakilan Sumatera dalam sidang PPKI kembali ke Medan pada tanggal 29 Agustus 1945. Namun setibanya mereka di Medan, proklamasi tidak langsung dibicarakan secara terbuka karena suasana Medan saat itu masih dalam pengawasan Jepang. Selain itu, di Medan sendiri telah terbentuk

(29)

comite van ontvangst ini diadakan pada 25 Agustus 1945 di kediaman dr. Mansoer di sudut Jalan Raya Medan (Jalan Amaliun). Keberadaan mereka ini kemudian menjadi desas-desus karena dianggap sedang mempersiapkan kembalinya Belanda untuk menguasai Indonesia kembali, terutama Sumatera Timur.

Kembalinya Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir sendiri ke Sumatera, sebenarnya bukan hanya membawa berita tentang proklamasi. Bersama dengan Mr. Abbas, mereka yang merupakan perwakilan Sumatera dalam PPKI mendapat tugas dari Presiden untuk membentuk pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera dengan Medan sebagai Ibukotanya. Selain itu, Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir juga diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera, sementara Mr. Abbas bertugas membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Dewan Perwakilan Daerah di seluruh Sumatera.

(30)

tokoh-tokoh yang mereka jumpai tidak bersedia, para tokoh kerajaan lebih menginginkan kembalinya kekuasaan Belanda, sementara beberapa tokoh politik tidak berani melakukannya karena masih adanya tentara Jepang yang berkuasa. Keadaan ini kemudian bertambah rumit ketika pasukan kecil dari pihak NICA pimpinan Letnan Brondgeest mendarat di Medan pada 31 Agustus 1945.

Kondisi ini yang kemudian menjadi dasar sejumlah tokoh pergeraakan yang tergabung dalam panitia penolong Gyugun dan Heiho mendesak Mr. T. M. Hasan untuk segera memproklamasikan kemerdekaam Indonesia di Medan. Akhirnya pada tanggal 30 September 1945, panitia penolong Gyugun dan Heiho pimpinan Achmad Tahir yang kemudian berubah nama menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI), mulai mempersiapakan pengumuman proklamsi kemerdekaan di kota Medan. Hal ini semakin diperkuat dengan kabar bahwa di Pematangsiantar telah terjadi kegiatan-kegiatan untuk merealisasikan kemerdekaan Indonesia.

(31)

itu pun menjadi menyala-nyala. Para anggota yang hadir sudah dimasuki oleh jiwa yang baru, jiwa merdeka yang meluap-luap dengan hebatnya.

Pada tanggal 3 Oktober 1945, Mr. T. M. Hasan pada akhirnya mengumumkan bahwa dirinya telah secara resmi diangkat sebagai Gubernur Sumatera. Setelah resmi menjadi Gubernur, Mr. T. M. Hasan pun mulai memerintahkan pengibaran bendera merah putih di seluruh Sumatera dan mulai mengeluarkan dekrit. Dekrit yang kemudian menjadi tanda bahwa Pemerintah Republik Indonesia di Provinsi Sumatera telah resmi berdiri di kota Medan. Dekrit pertama yang dikeluarkan Gubernur Sumatera adalah mengenai pengangkatan sepuluh Residen Provinsi Sumatera. Dekrit No.1-X- tanggal 3 Oktober 1945 secara resmi mengangkat sepuluh orang sebagai Residen, yakni:

1) Dr. Ferdinand Lumbantobing (Residen Tapanuli) 2) Teuku Nyak Arief (Residen Aceh)

3) Mr. Mohammad Yusuf (Residen Sumatera Timur) 4) Mohammad Safei (Residen Sumatera Barat) 5) Ir. Indra Tjahya (Residen Bengkulu)

6) Dr. A. Syagaf Yahya (Residen Jambi) 7) Dr. A. K. Gani (Residen Palembang) 8) Mr. Abd. Abbas (Residen Lampung)

(32)

10)Aminuddin (Residen Riau berkedudukan di Pekanbaru)13

Selain mengangkat para Residen, dan untuk memperlancar roda pemerintahannya Mr. T. M. Hasan juga mengangkat sepuluh orang penasehat Gubernur melalui dekrit No. 2-X- tanggal 3 Oktober 1945, yakni:

1) Tengku Hafas, Residen yang diperbantukan pada Kantor Gubernur 2) Mas Tahir, Sekretaris Gubernur

3) Mangaradja Soangkupon 4) dr. Pringadi

5) Mr. T. M. Hanafiah 6) Abu Bakar Djaar

7) Raden Mohammad Amrin 8) Tengku Abdul Hamid 9) Abdul Xarim M. S 10) dr. Sahir Nitihardjo.14

Di samping itu, Gubernur juga mengangkat empat wlikota untuk kotamadya di Sumatera melalui dekrit No.3-X- tanggal 3 Oktober 1945 yaitu:

1) Mr. Laut Siregar (Medan) 2) Barnawi (Bukit Tinggi)

13

Biro Sejarah Prima, Op.cit, hal. 150 dan 749. 14 Ibid

(33)

3) dr. Hakim (Padang) 4) Ir. Ibrahim (Palembang).15

Setelah membentuk struktur pemrintahan Republik di Sumatera, Mr. T. M. Hasan juga mengangkat lima orang wakil pemerintah untuk kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Hal ini dilakukan mengingat di daerah Sumatera Timur terdapat wilayah kerajaan dan statusnya diakui dalam pasal 18 UUD 1945. Para wakil pemerintah tersebut yaitu:

1) Tulus, Wakil Pemerintah RI untuk Deli Serdang berkedudukan di Medan. 2) Tengku Amir Hamzah, Wakil Pemerintah RI untuk Langkat berkkedudukan

di Binjai.

3) Madja Purba, Wakil Pemerintah RI untuk Simalungun berkedudukan di Pematangsiantar.

4) Ngerajai Meliala, Wakil Pemerintah RI untuk Tanah Karo berkedudukan di Kaban Jahe.

5) Tengku Musa, Wakil Pemerintah Ri untuk Asahan berkedudukan di Tanjung Balai.

Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, kelima wakil pemerintah ini melakukan kontak langsung dengan residen Sumatera Timur di Medan.

Terbentuknya struktur pemerintahan dan wakil pemerintahan di setiap

(34)

daerah-daerah di Sumatera, secara resmi telah menandakan berdirinya pemerintahan republik Indonesia di Sumatera dan secara resmi pula Sumatera menjadi wilayah Indonesia sebagai bagian dari negara yang merdeka. Setelah membentuk struktur pemrintahan, pada tanggal 4 Oktober 1945, Mr. T. M. Hasan juga memerintahkan mobilisasi umum untuk mengambilalih kekuasaan dari tangan Jepang. Perintah ini dalam satu hari dilaksankan serentak di penjuru kota Medan bahkan juga di daerah-daerah lain di Sumatera Timur. Dengan cepat mobilisasi umum ini berhasil mengambilalih seluruh kantor jawatan pemerintah, kepolisian, kantor pos, telegraf, kereta api, dan lainnya. Mr. T. M. Hasan juga memerintahkan pembentukan KNI daerah Sumatera Timur yang kemudian di ketuai oleh dr. Soenarjo dan dr. Djabangun sebagai wakil ketua.

Setelah membentuk pemerintahan RI di Sumatera, pada tanggal 6 Oktober 1945 diadakan rapat raksasa di lapangan Esplanade Medan (Lapangan Merdeka). Rapat raksasa ini dihadiri utusan dari Binjai, Stabat, Tanjungpura, Pangkalan Brandan, Tebing Tinggi, Pematangsiantar. Ditempat ini secara resmi dibacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan langsung oleh Mr. T. M. Hasan. Sebelum pembacaan proklamasi ini terlebih dahulu diadakan upacara penaikan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.16

2.2. Kedatangan Sekutu-NICA ke Sumatera Timur

16

Parulian Hutabarat dkk, Perjuangan Korps Brigade Mobil Polri Masa Perang Kemerdekaan

RI Pemerintahan Darurat RI di Sumatera, Medan: Yayasan Keluarga Besar Pejuang Kemerdekaan RI

(35)

Menyerahnya Jepang ditangan Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 menjadikannya harus melepaskan kembali daerah pendudukannya. Ini berarti daerah-daerah koloni yang semula direbut Jepang dari bangsa barat yang tergabung dalam blok Sekutu harus dikembalikan. Sementara dari awal semenjak dikalahkan Jepang, Belanda masih mempunyai keinginan yang sangat besar untuk kembali menguasai wilayah Indonesia.

Keinginan besar untuk kembali menguasai Indonesia ini yang kemudian membuat Belanda mendesak Sekutu, khususnya Inggris untuk membuat suatu perjanjian. Perjanjian yang dilakukan secara rahasia antara Inggris dan Belanda ini dikenal dengan “Civil Affair Agreement” atau CAA. Perjanjian yang dilakukan di London menjelang pendaratan Inggris di Indonesia sebagai tentara pendudukan.17

“Pengakuan Inggris atas de facto dan de jure Belanda terhadap Indonesia

(Hindia-Belanda). Belanda mempunyai hak untuk menjalankan kewajibannya

selaku penguasa resmi di Indonesia berdasarkan undang-undang yang

berlaku di Hindia Belanda sebelum terjadinya Perang Dunia ke-II”

Isi perjanjian di London ini antara lain sebagai berikut :

18

Menurut ketentuan tersebut pada fase pertama Panglima tentara Sekutu akan berwenang menyelenggarakan operasi militer serta memulihkan keamanan dan ketertiban. Sedangkan fase kedua, setelah keadaan kembali normal dan terkendali,

17

Swarni, Peristiwa Siantar Hotel (15 Oktober 1945), Skripsi sarjana jurusan Ilmu Sejarah USU, Medan: Tidak diterbitkan, 1997, hal. 33-34

18 Ibid

(36)

pejabat-pejabat NICA akan mengambil alih tanggung jawab tersebut dari pihak sekutu.19

Masuknya Sekutu ke Indonesia dimulai saat pelaksanaan invasi yang mereka lakukan terhadap Malaya (Malaysia) dipenghujung Perang Dunia ke-2. Laksamana Lord Louis Mounbaten selaku Panglima Besar SEAC (South East Asiatic Command), merencanakan akan melakukan invasi tersebut pada tanggal 9 September 1945. Untuk melancarkan proses invasi tersebut, maka dibentuklah ACDS (Anglo Dutch Country Section), sebuah seksi dari SEAC yang bertugas untuk melakukan pengumpulan informasi dan komunikasi di wilayah-wilayah bekas jajahan Ingris yang sedang diduduki Jepang.

Strategi lain yang dilakukan Belanda adalah dengan membentuk NICA (Nederland Indies Civil Administration) yang merupakan sebuah badan pemerintahan sipil Hindia Belanda. Badan ini berkedudukan di Brisbane, Australia. Salah satu tujuan dibentukna NICA adalah untuk mempersiapkan segala sesuatu mengenai usaha pengembalian wilayah Indonesia kepada pemerintah Belanda.

20

Pada akhir bulan Juni 1945, ACDS mengirim tiga unit pasukan komando melalui udara ke daerah pegunungan Seulimeum Aceh, unit kedua diterjunkan di sekitar Labuhan Batu dan unit ketiga diturunkan di daerah Riau. Pada tanggal 15 Agustus

19

G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20, Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati, Yogyakarta: Kanisius, 1992 hal. 96.

20

(37)

1945, baru menyususl penerjunan pasukan unit keempat di hutan sekitar hulu sungai Besitang. Pasukan ini dipimpin oleh Brondgeest berpangkat Letnan Satu Pelaut Belanda.21

Pada tanggal 31 Agustus 1945, tepat tengah malam asukan Brondgeest tiba di kota Medan dan menginap di Hotel De Boer, dan menjadikannya sebagai markas Belanda. Selama berada di Medan, Brondgeest membentuk pasukan polisi Belanda khusus untuk daerah Sumatera Timur. Rekrutmen anggota asukan ini diambil dari bekas tawanan Jepang dan bekas anggota KNIL yang ada dalam masyarakat. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban di kawasan Sumatera Timur, Brondgeest menempatkan 60 personil di asrama “pensiun wilhelmina” yang terletak di jalan Bali Medan dan 27 orang ditempatkan di Siantar Hotel di kota Pematangsiantar.22

Invasi yang di intruksikan oleh Laksamana Louis Mountbaten ini kemudian terhenti ketika Panglima Besar Angkatan Perang Sekutu di Pasifik, Jendral Mc. Arthur mengeluarkan larangan resmi. Larangan ini berisi mengenai penyerahaan kekuasaan Jepang yang hanya boleh diterima oleh Panglima Sovyet, Inggris, Tiongkok, dan Amerika Serikat, dan hanya dapat dilakukan setelah penanda tanganan penyerahan tidak bersyarat pada tanggal 2 September 1945 di Tokyo dan 12 September 1945 di Singapura. Atas intruksi inilah kemudian pemerintah Jepang kembali mengambil alih proses pengamanan wilayah Indonesia termasuk Sumatera

21 Ibid.

22 Ibid

(38)

Timur. Pasukan Brondgeest pun tidak dapat berbuat apa-apa dan ditempatkan di “Pension Wilhemina”, Siantar Hotel, dan berapa tempat lainnya di kota Medan.23

“Bahwa tentara Sekutu yang akan mendarat di Jawa dan Sumatera tidak

akan membawa serdadu-serdadu Belanda atau NICA, bendera Merah Putih

boleh dikibarkan terus dan organisasi dibawah pimpinan Sukarno tidak akan

dilucuti senjatanya.”

Proses pendaratan tentara Sekutu ke Indonesia secara resmi bermula ketika Jendral Sir Philips Cristison, pimpinan tentara Sekutu yang akan mendarat di Indonesia dari Singapura, pada tanggal 25 September 1945 mengeluarkan pengumuman yang berisi:

24

1. Melucuti senjata-senjata Jepang.

Ditegaskan selanjutnya oleh Jendral Sir Philips Christison, bahwa hanya ada tiga tugas dari kedatangan tentara Sekutu di Indonesia, yaitu:

2. Mengembalikan orang tawanan dan tahanan. 3. Menjaga keamanan.

Janji Jendral Sir Philip Cristison tersebut tidak terlalu dipercaya oleh bangsa Indonesia, terutama para pemuda. Para pemuda menganggap hal tersebut hanya omong kosong belaka. Sikap tidak percaya para pemuda ini terbukti benar ketika

23

Biro Sejarah Prima, “Medan Area Mengisi Kemerdekaan”, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia, 1976, hal. 79-83

24

(39)

Sekutu membentuk AFNEI (Alied Force for Netherland East Indies) yang merupakan pasukan yang ditugaskan untuk mendarat di Indonesia. Pasukan ini terdiri dari tiga brigade yang masing-masing mendarat di Jakarta, Surabaya, dan Medan.25

Menyikapi pendaratan Sekutu ke Belawan, pada tanggal 9 Oktober 1945 BPI dan beberapa organisasi pemuda lain melakukan sebuah pertemuan yang bernama “Rapat Samudra”. Rapat yang dilaksanakan di lapangan MSV ini banyak dihadiri oleh para pemuda hingga terlihat seperti samudra manusia. Pada rapat ini, Simalungun memberangkatkan tiga bus sebagai perwakilan yang terdiri dari anggota Cap Rante pimpinan Jonathan Silitonga, dan BKPI pimpinan Abdul Azis Siregar dan Burhanuddin Kuncoro.

Pendaratan pertama di pulau Sumatera, yakni Belawan-Medan seharusnya terlaksan pada tanggal 9 Oktober 1945. Namun ketidaksiapan tentara Jepang untuk melakukan penyerahan menjadikan pendaratan terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945. Pada pendaratan ini, pasukan Sekutu sudah melanggar janji pemimpinnya. Hal ini karena dalam rombongan mereka terdapat beberapa pembesar KNIL.

26

“Bahwa pendaratan serdadu Sekutu di Pelabuhan Belawan-Medan dapat diterima. Tapi bilamana Sekutu turut

Dalam rapat ini kemudian lahirlah sebuah kesepakatan seluruh peserta rapat yang senada dengan seruan pemerintah pusat, yakni:

25 Ibid

, Hal. 119-120. 26 Ibid

(40)

memboncengkan serdadu NICA, keamanan tidak dapat dijamin oleh pemuda-pemuda Indonesia.”27

2.3. Gejolak Konflik di Kota Medan

Pernyataan para pemuda ini kemudian disampaikan kepada Gubernur Sumatera untuk disampaikan keapada perwira penghubung sekutu di Medan.

Keraguan terhadap janji pihak sekutu ini kemudian terbukti, ketika para buruh bongkar muat di pelabuhan menerima uang pembayaran dari mereka dengan uang NICA. Seketika hal ini ditolak oleh para buruh dan meminta dibayar dengan uang Jepang. Dalam perdebatan inilah beberapa buruh berbicara dengan bahasa Inggris yang membuat serdadu tersebut kebingungan, dan ketika dipancing berbahasa Belanda baru dijawab dengan lancar. Hal ini yang kemudian di ketahui bahwa para serdadu NICA berada diantara tentara Sekutu.

Pendaratan tentara Sekutu pada tanggal 10 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigjend TED Kelly yang diikuti oleh para pembesar NICA menjadi sebuah awal dari timbulnya konflik di Medan dan seluruh wilayah Sumatera Timur. Setelah melakukan serah terima kekuasaan dengan pihak Jepang, tentara Sekutu dan NICA segera berangkat ke Medan dan menyebar ke tempat yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh Letnan Brondgeest yang sudah berada di Medan.

Keberadaan pasukan Sekutu pimpinan Brigjend TED Kelly menimbulkan sikap ketidaksukaan di kalangan rakyat Indonesia. Tindakan mereka yang memboncengi

(41)

tentara NICA dan sering bertindak profokatif, banyak memicu perkelahian dengan para pemuda. Tidak adanya penengah persilisihan mengakibatkan perkelahian-perkelahian tersebut sering memicu pertempuran. Bahkan persoalan ini tidak hanya terjadi di Medan saja, tapi di daerah lain di Sumatera Timur.

Peristiwa terbesar terjadi pada tanggal 13 Oktober 1945 yang di kenal dengan peristiwa Jalan Bali. Peristiwa yang bermula dari sikap profokatif tentara sekutu terhadap seorang pemuda yang memakai lencana merah putih didadanya. Oleh tentara sekutu lencana tersebut direbut lalu diinjak-injak oleh mereka. Persoalan tersebut bertambah parah ketika para pemuda yang mendengar hal tersebut bergerak kemarkas Sekutu mendapat sebuah tembakan yang menewaskan seorang penduduk.

Peristiwa ini kemudian memicu kemarahan para pemuda dan rakyat yang dalam sekejap menyerbu markas Pasukan Sekutu/Belanda di Pansion Wilhelmina, dengan berbekal bambu runcing, tombak, parang dan lainnya. Perkelahian ini kemudian menjadi pertempuran antara rakyat dan tentara Belanda. Menanggapi persoalan ini, pihak Tentara Sekutu dan pihak Jepang akhirnya menyelesaikannya dengan cara berunding damai dengan para pimpinan pemuda.28

Peristiwa jalan Bali ini kemudian tersiar kepenjuru Medan dan Sumatera Utara, yang menjadikan sinyal bagi para pemuda bahwa perjuangan menegakkan proklamasi telah dimulai. Peristiwa ini kemudian memicu terjadinya peristiwa lain seperti insiden

28

(42)

Siantar Hotel di Pematangsiantar dan serangan pasukan Bedjo terhadap gudang senjata Jepang di Pulo Brayan dan markas tentara Belanda Glugur Hong dan Helvetia. Pertempuran yang banyak menewaskan korban terutama para tentara KNIL. Hal ini kemudian memunculkan anggapan bahwa darah orang Belanda dan kaum kolonialis harus ditumpahkan demi kemerdekaan.

Serangakaian peristiwa tersebut kemudian membuat pihak tentara Sekutu melalui Brigjend TED Kelly mengambil tindakan dengan mengeluarkan ultimatum kepenjuru Sematera Timur yang berbunyi sebagai berikut :

Bahwa bangsa Indonesia dilarang keras membawa senjata, termasuk senjata tajam, seperti pedang, tombak, keris, rencong, dan sebagainya. Senjata-senjata itu harus diserahkan kepada tentara Sekutu. Kepada para komandan pasukan Jepang diperintahkan untuk tidak menyerahkan senjatanya kepada TKR dan laskar rakyat, dan harus menyerahkan daftar senjata api yang dimilikinya.29

Keadaan semakin memanas ketika pada tanggal 1 Desember 1945 tentara Sekutu memperkuat kedudukan mereka di Medan dan memampangkan tulisan Fixed Boundaries yang menjadi tanda kekuasaan tentara Sekutu, wilayah inilah yang Hal ini dilakukan tentara Sekutu karena mereka beranggapan ditugaskan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Bahkan sejak dikeluarkannya maklumat tersebut, pihak tentara Sekutu mulai gencar melakukan razia. Tindakan ini kemudian menambah kecurigaan masyarakat terhadap tentara sekutu.

29

(43)

kemudian dikenal dengan Medan Area. Persoalan ini telah menjadikan keadaan semakin tegang dan memicu permusuhan yang tidak dapat didamaikan antara tentara Sekutu dengan pemuda Indonesia, hal yang kemudian menjadi awal bagi insiden-insiden lainnya.

Keadaan ini terus berlanjut dengan banyaknya pertempuran yang terjadi antara tentara Sekutu dengan TKR dan laskar rakyat di sekitar kota Medan. Pergolakan yang terjadi ini menjadikan keadaan kota Medan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera kian bertambah panas. Teror terhadap rakyat dan pemuda Indonesia tidak hanya di dapat dari pasukan Sekutu, namun para pengikut-pengikut kolonialis, NICA dan Poh An Tui30. Tindakan pasukan Sekutu mulai disadari sebagai upaya penjajahan ketika mereka mulai melakukan penggempuran, penggeledahan, penyerkapan, penangkapan dan pembunuhan terhadap beberapa penduduk dengan dalih sebagai ancaman keamanan. Bahkan tentara Sekutu juga mulai merampas gedung-gedung milik pemerintah Republik Indonesia.31

Krisis yang terus berlanjut di Kota Medan yang kemudian diikuti oleh peristiwa Revolusi Sosial pada Maret 1946 menjadikan situasi kota Medan semakin tidak aman. Pasukan Sekutu juga mulai melakukan serangan militer terahadap basis-basis militer

30

“Poh An Tui (Barisan Pengawal Tionghoa), dibentuk dan diresmikan Sekutu pada tanggal 1 Januari 1946. Tujuan semula adalah untuk menjaga keamanan orang-orang Cina, tetapi kenyataannya turut ambil bagian bersama tentara Sekutu dan NICA untuk menumpas Republik Indonesia. Bahkan mereka juga menjadi Pasukan V Belanda di daerah pedalaman. Hal ini terlihat ketika Agresi Militer dimana mereka membantu Belanda dengan melakukan kekacauan.” Lihat Edisaputra, Op.cit, hal. 226-228

31 Ibid

(44)

Republik di perbatasan Medan Area. Dalam serangan-serangan ke basis-basis tentara Republik ini beberapa tokoh politik bahkan ditawan, seperti M. Saleh Umar.

Kerasnya tindakan Inggris di Medan Area menimbulkan beberapa permasalahan bagi pemimpin pemerintahan Republik. Baik dr. Amir maupun Ahmad Tahir menyadari bahwa konfrontasi besar dengan Inggris akan mengancam keselamatan Pemerintahan Republik di Sumatera Timur. Beberapa upaya pun dilakukan dr. Amir untuk mencari solusi damai dengan Inggris, yakni jalur diplomasi seperti yang dilakukan pemerintah pusat.

Keadaan kota Medan yang semakin tidak kondusif akibat dari konflik tersebut akhirnya menjadi alasan dilakukannya pemindahan pusat pemerintahan provinsi Sumatera dari Medan ke Pematangsiantar pada April 1946. Pindahnya Ibukota juga diikuti oleh seluruh jawatan pemerintahan dan juga Markas TRI Divisi IV, hal ini kemudian juga diikuti oleh penduduk Medan dan sekitarnya yang merasa keadaan sudah tidak lagi aman akibat teror dari pasukan Sekutu.

2.4. Revolusi Sosial

(45)

susunan masyarakat atas dasar Undang-Undang Dasar 1945.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa situasi di Sumatera Timur pasca kemerdekaan Indoneisa mengalami gejolak. Berbagai konflik dan hambatan satu persatu datang menghadang Negara Republik Indonesia di wilayah Sumagtera Timur yang baru terbentuk. Mulai dari kerusuhan yang dipelopori oleh Sekutu/NICA, hingga mengontrol kelompok radikal yang non-kooperatif32 dalam mempertahankan Republik Indonesia. Laskar-laskar rakyat dan partai-partai politik yang bergabung di dalam Volksfront merasa tidak suka dengan sikap dan kebijakan yang ditunjukkan olh Mr. T.M. Hasan dalam memimpin pemerintahan.33

Sikap tidak suka yang berawal dari pertemuan yang diadakan pada tanggal 8 September 1945 (sebelum pertemuan di Taman Siswa) oleh Mr. T.M. Hasan dengan tokoh politik lainnya seperti, Abdul Xarim MS, Mohammad Said, dan Jahja Jacoeb di rumah dr. Amir di Tanjunga Pura. Dalam pertemuan ini Mr. T.M. Hasan dan dr. Amir lalai sehingga sama sekali tidak menyinggung masalah kemerdekaan Indonesia kepada mereka. Hal ini menimbulkan kekecewaan para tokoh politik terhadap kedua pemimpin tersebut. Sikap dr. Amir sendiri sudah tidak begitu perduli terhadap proklamasi kemerdekaan karena beliau menganggap proklamasi hanyalah sandiwara

32

Kelompok radikal tersebut antara lain, Saleh Umar, Marzuki Lubis, dsn Jacob Siregar (PNI/Napindo), Laut Siregar dan Nathar Zainuddin (PKI), Sarwono Sastrosutardjo, (Pesindo), dan Bachtiar Yunus (Hizbullah). Lihat Suprayitno, “Revolusi Sosial di Sumatera Timur Maret 1946 (Tregedi Amir Hamzah)” dalam Agus Suwigno (ed.), Sejarah Sosial di Indonesia : Perkembangan dan Kekuatan

70 Tahun Prof. Dr. Suhartono Wiryo Pranoto, Yogyakarta : Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gajah Mada, 2011, hal. 149 33 Ibid

(46)

belaka.34

Sikap yang ditunjukkan para kaum republik bermula ketika tersiar kabar tentang pertemuan yang dilakukan oleh kaum bangsawan Sumatera Timur pada tanggal 25 Agustus 1945. Sebuah pertemuan yang melibatkan raja-raja, sultan-sultan, dan para pamongpraja ini diadakan oleh dr. Mansoer yang saat itu menjabat sebagai ketua Shu Shangi Kai Sumatera Timur, di kediamannya di sudut jalan raja/ jalan Amalium. Pertemuan ini diadakan untuk mengatur cara-cara dalam menyambut kedatangan Belanda kembali. Dalam pertemuan tersebut telah dibentuk comite van ontvangat

(panitia penyambutan kedatangan Belanda) yang diketuai oleh Sultan Langkat dan dr. Mansoer sebagai wakilnya. Selanjutnya fakta-fakta yang tidak dimumumkan secara resmi tersebut tersebar luas dimasyarakat. Hal inilah yang menjadi desas-desus dan akhirnya setelah semakin jauh dari tempat asal kejadian, maka isinya semakin

Kekecewaan para tokoh politik ini semakin mendalam dengan adanya kebijakan Mr. T.M. Hasan yang berusaha melakukan diplomasi terhadap golongan bangsawan kesultanan di Sumatera Timur agar melebur ke dalam republik.

Para tokoh politik menganggap bahwa kaum bangsawan Sumatera Timur adalah sebuah ancaman bagi pemerintahan republik. Anggapan ini muncul ketika tersiar kabar bahwa para kaum bangsawan dan kesultanan Sumatera Timur membentuk sebuah panitia untuk menyambut kedatangan Belanda kembali. Hal ini yang kemudian memunculkan sikap ketidaksukaan kaum republik atas upaya Mr. T. M. Hasan melakukan upaya diplomasi terhadap kaum bangsawan Sumatera Timur.

34

(47)

berbeda.35

Akibat desakan para pemimpin politik, pada tanggal 31 September 1945 Mr. T.M. Hasan memanggil seluruh pemuda yang tergabung dalam BPI dalam rapat sosialisasi kemerdekaan Indonesia di gedung Taman Siswa Medan. Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 1945, bendera merah putih resmi berkibar di lapangan Esplanade (lapangan medeka sekarang) Medan.

Berita keberadaan comite van ontvangst yang diyakini sebagai upaya memuluskan kembalinya Belanda oleh kaum bangsawan Sumatera Timur menjadi salah satu hambatan terjadinya proklamasi kemerdekaan di Sumatera Timur. Mr. T.M. Hasan yang medapat tanggung jawab atas proklamasi tersebut bersikap ragu-ragu karena merasa tidak memiliki kekuataan politik untuk melakukan hal tersebut. Sikap ini yang kemudian menimbulkan kekecewaan di kalangan tokoh politik yang mendukung proklamasi yang pada akhirnya mengambil tindakan untuk mendesak Mr. T.M. Hasan untuk melakukan kewajibanya.

36

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa awal tahun 1946 keadaan politik di Sumatera Timur semakin memanas karena konflik antara pihak Sekutu/Nica dengan laskar rakyat dan adanya perpecahan antar golongan. Perpecahan antar golongan ini misalnya, perpecahan antara kerajaan yang konservatis dan perpecahan antara

35 Ibid

, hal. 94-116 36

(48)

Pemerintah Republik Indonesia dengan Persatuan Perjuangan. Perpecahan ini menimbulkan perebutan pengaruh dan kekuasaan diantara golongan partai, serta adanya pertentangan lain antara golongan pemilik modal dengan para buruh dan raja-raja dengan rakyat. Pertentangan-pertentangan ini kemudian menimbulkan pernyataan untuk menghapuskan swapraja (sultan, raja, Sibayak, dan datu) yang menjadi dasar dari tujuan Persatuan Perjuangan untuk menghapus sistem kerajaan di Sumatera Timur.37

Pada awal Februari 1946 diadakan rapat antara Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Sumatera Timur dengan Gubernur Sumatera dan para Sultan, raja, dan sibayak seluruh Sumatera Timur. Dalam rapat itu KNI meminta kepada agar para sultan, raja-raja, dan sibayak segera mengubah sistem pemerintahannya ke demokrasi sesuai

Keadaan ini semakin memanas lagi karena munculnya kesan kurang kerjasama antara Gubernur Mr. T.M. Hasan dengan wakilnya dr. Amir dalam menangani kelompok yang bertikai. Bahkan kedua tokoh ini seakan didikte oleh para pemimpin pergerakan yang bertikai itu. Hal ini yang menyebabkan aktivitas golongan kiri lebih didukung oleh para pemuda dari pada kedua tokoh tersebut yang lebih berhaluan moderat. Dalam keadaan kacau seperti ini para pemuda biasanya cenderung mudah digiring pada tindakan-tindakan yang mengandung kekerasan. Itulah sebabnya para tokoh golongan kiri lebih mendapat tempat dikalangan pemuda dari pada tokoh-tokoh moderat.

37 Ibid

(49)

dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia.38

Sultan-sultan dan raja-raja akan memrintah sesuai dengan kemauan dewan itu. Dewan tersebut membuat undang-undang, raja-raja mengerjakan keputusan dari Badan Perwakilan tersebut...”

Dalam pertemuan tersebut, Mr. T.M. Hasan selaku perwakilan republik menyampaikan pidato :

“...Pemerintah Negara Republik Indonesia telah menegaskan politiknya terhadap daerah istimewa yaitu Negara Republik Indonesia mengakui daerah “zelfbestuur”. Di jaman Belanda kedudukan raja-raja terikat sekali; Belanda yang melakukan pemerintahan, sedang raja-raja digunakan sebagai perkakas kaum penjajah dan kaum kapitalis.

Dalam zaman Indonesia merdeka ini, raja-raja mesti menjadi pemimpin bangsanya kembali. Pemerintahan otokrasi raja-raja yang ditanamkan oleh Belanda harus ditukar menjadi pemerintahan demokrasi dan raja-raja hendaknya bersiap memimpin rakyat. Raja-raja berhak menjadi pemimpin Negara Republik Indonesia.

39

Dilain pihak, para sultan dan raja-raja yang diwakili oleh Sultan Langkat memberikan pidato bahwa mereka berjanji akan setia terhadap Pemerintahan Republik Indonesia. Dalam pidatonya, Sultan Langkat juga meminta agar gubernur Sumatera dapat menyampaikan kepada Presiden R.I mengenai permohonan para sultan agar mempertimbangkan pembentukan daerah istimewa di Sumatera Timur.40

Dari pidato yang disampaikan Sultan Langkat, tersirat bahwa Sulatan-sultan Sumatera Timur belum menunjukkan kesungguhan mereka untuk meletakkan haknya sebagai swapraja dan setia ke dalam republik. Hal ini terlihat dalam pidato Sultan

38

Kementrian Penerengan R.I, Republik Indonesia : Provinsi Sumatera Utara, Medan: CV Karya Purna, 1953, hal. 76

39

A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid II, Bandung: DISJARAH-AD dan Angkasa Bandung, 1977, hal. 595

40

Permintaan untuk menjadi daerah istimewa di Sumatera Timur berkaitan dengan kebijakan Presiden R.I terhadap peleburan kerajaan di Jawa (Yogyakarta) menjadi daerah Istimewa Yogyakarta. Pidato dultan Langkat pada tanggal 3 Februari 1946, lihat Mansyur, The Golden Bridge : Jembatan

(50)

Langkat yang menginginkan supaya wilayah kekuasaan para sultan-sultan di Sumatera Timur menjadi daerah istimewa sehinggaa tetap melanggengkan sistem otokrasi mereka meskipun tidak seperti pada masa Belanda.

Sikap dari para sultan dan swapraja Sumatera Timur ini membuat ketegangan semakin meningkat. Selain itu, sikap Gubernur Mr. T.M. Hasan yang menyatakan belum berniat untuk menghapus kerajaan-kerajaan karena ada dasar hukum untuk menjadi daerah istimewa semakin menimbulkan kecurigaan dikalangan partai politik terutama golongan kiri. Mereka mengnggap bahwa Gubernur belum ingin menghapuskan sistem pemerintahan kerajaan. Hal ini jelas betentangan dengan program persatuan perjuangan.

Di tengah situasi ini, golongan kiri telah berhasil menyusupi berbagai posisi penting dalam peta kekuatan daerah Sumatera Timur. Keadaan ini semakin parah ketika jabatan pemerintahan dipegang olah dr. Amir selama kepergian Mr. T.M. Hasan meninjau daerah-daerah. Para tokoh golongan kiri mulai ikut menyertai setiap kegiatan dr. Amir kesetiap daerah-daerah genting seperti Simalungun dan Asahan. Tujuan utama mereka ialah melakukan provokasi rakyat dengan isu-isu yang dapat menimbulkan kebencian mereka terhadap pihak kerajaan dan bangsawan. Keadaan ini disambut antusias oleh rakyat yang kemudian digunakan oleh pihak golongan kiri untuk segera bergerak melakukan aksinya.

(51)

saat itu, masih ada pertemuan makan di hotel Wi Yap, dimana hadir antara lain Datu Jamil, Tengku Busu dari Indrapura, Tengku Hafaz, Raja Kalimansyah dari Sumalungun, Raja Silima Huta, dan Mahadi.41 Pada awal maret itu juga M. Yunus Nasution dan Marzuki Lubis mengadakan suatu pembicaraan dengan Kolonel Ahmad Tahir (Panglima Divisi) dan Mayor Mazuar, di kediaman Laut Siregar. Dalam pertemuan ini pihak volksfront membentangkan rencana mereka untuk menghapuskan struktur pemerintahan swapraja. Mereka mengemukakan bahwa tanda-tanda pihak swapraja akan melawan republik telah kelihatan, maka dari itu pihak volksfront ingin bertindak. Pihak TRI menyetujui rencana mereka kalau dilakukan tanpa penahanan-penahanan dan pembunuhan-pembunuhan.42

Pada tanggal 3 Maret 1946 menjelang 4 Maret meledaklah peristiwa yang dikenal dengan revolusi sosial di setiap daerah kerajaan Sumatera Timur. Gelora revolusi sosial dimulai di Sunggal pada tanggal 3 Maret, menyusul Binjai, Perbaungan, Indrapura, Lima Puluh, Tanah Datar, Seribudolok dan Kualuh. Pada

Pihak TRI yang mendapat berita bahwa partai-partai politik akan melakukan penurunan raja-raja, Diminta supaya jangan campur tangan karena persoalanya adalah urusan sipil. TRI mengintruksikan kepada bawahannya di setiap daerah agar jangan mencampuri urusan tersebut, kecuali terjadi kekacauan yang membahayakan keamanan.

41

A.H. Nasution, Op.cit, hal. 598 42

T. Haji M. Lah Husny, Revolusi sosial 1946 di Sumatera Timur/Tapanuli Serta Pangkal dan

(52)

tanggal 5 Maret dilakukan di Pematangsiantar, Tiga Dolok, Raya, dan Barus Jahe. Tanggal 6 Maret di Purba dan 7 Maret di Tanjung Pura. Ini masih diteruskan ke Berastagi, Tanjung Balai dan Bilah pada 8 Maret, menyusul ke Merbau pada 9 Maret serta Kota Pinang pada 11 Maret. Pada umumnya yang mengambil tindakan ini adalah laskar-laskar rakyat yang tergabung dalam persatuan perjuangan yang didukung oleh rakyat. Mereka menumbangkan kekuasaan raja-raja dengan menahan, merampok, dan membunuh raja-raja serta membumihanguskan istana-istana kerajaan.

Demikian halnya yang terjadi di Simalungun, sebelum meletusnya peristiwa tersebut Ketua KNI Laut Siregar mengirim surat kepada kepada pemimpin TRI tentang kerusuhan yang akan terjadi. Ia meminta supaya pihak TRI tidak memihak pada golongan manapun. Namun akibat dari isi surat yang tidak jelas. pihak TRI tidak menduga akan terjadi bentrokan antara laskar dan pihak swapraja. Ahmad Tahir selaku Komandan TRI yang menyetujui tindakan ini meminta para amggota TRI untuk mengawasi peristiwa revolusi tersebut agar sesuai denga ketentuan-ketentuan yang telah disepakati, yakni:

1. Penangkapan dilakukan dengan bersih, tertib, dan sopan

2. Semua tangkapan harus diserahkan pada pihak polisi atau pihak yang berwenang untuk diperiksa

(53)

4. Pihak TRI akan mengawasi hal ini sebagai peninjau dalam tindakan-tindakan pembersihan itu.43

Kejadian justru sebaliknya, dimana tindakan-tindakan yang dilakukan menjadi liar dan tidak sesuai dengan apa yang dibicarakan di rumah Mr. Laut Siregar. Di Simalungun, Saleh Umar mengeluarkan intruksi kepada pemimpin Pesindo, BHL dan PKI Pematangsiantar untuk menangkapi raja-raja di Simalungun. Pihak BHL mendapat peranan utama dalam peristiwa ini untuk mencegah terjadinya tuduh menuduh yang bersifat kesukuan di pedalaman Simalungun. Namun hal ini yang justru membawa keadaan semakin buruk bagi raja-raja itu. Di pedalaman Simalungun tidak terdapat adanya oposisi terpadu terhadap pemerintahan raja-raja, BHL yang bertindak di daerah-daerah ini dipimpin oleh beberapa tokoh yang memiliki dendam pribadi dan para pengikutnya yang tidak terpelajar.

Ketua BHL A.E. Saragih Ras44

43

Jonner Hasibuan, Runtuhnya Feodalisme di Simalungun (1946), Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU, Medan: Tidak diterbitkan, 1992, hal. 86-87

44

A.E. Saragih Ras merupakan Putra perbapaan Tiga ras Pane. Hal ini membuat ia mendapat pendidikan seadanya dan magang di Kantor Kerajaan Pane. Dia berhenti tahun 1923, masuk dalam dunia kejahatan untuk beberapa tahun, kemudian menjadi supir taksi (1927-1930). Pada tahun 1931 menggantikan ayahnya sebagi kepala kampungnya, tetapi rupanya Raja Pane menolaknya menurunkan diri, dan menjadi salah seorang yan pertama masuk Gerindo pada tahun 1938 dan F-kikan pada tahun 1942. Oleh karena itu wajar dia diserahkan Kenkokutai di Simalungun dan penerusnya, Barisan Harimau Liar. Pasukannya pada mulanya tidak begitu menonjol, sampai pasukan ini mengumpulakn harta kekayaan dalam “revolusi sosial”. Sesudah tahun 1949, Saragih Ras banyak berada di penjara Republik dan perkaranya tidak pernah dibawa ke sidang pengadilan. A.E. Saragih Ras merupakan salah seorang pemimpin revolusi sosial untuk bagia Kabupaten Simalungun sekaligus menjadi pemimpin BHL, Anthony Reid, Op.cit, hal 307,

(54)

malam beserta seluruh keluarga dan harta bendanya dirampas. Raja Pane dan beberapa pengikutnya dibawa pada suatu tempat pertahanan BHL dimana diadakan sebuah pesta dan kemudian semuanya dibunuh. Esok harinya BHL mengejar dan menangkap raja Raya untuk dibunuh dibawah jembatan besar. Rumahnya diobrak-abrik, emas dan barang berharganya dirampok. Sementara itu, raja Purba beruntung diselamatkan pasukan TRI dari tangan BHL. Raja Silimakuta yang kebetulan berada di Pematangsiantar saat rumahnya disergap dan dibakar juga selamat. Bersama dengan raja-raja Simalungun lainnya, kedua raja ini akhirnya mendapat pengamanan tahanan TRI di Pematangsiantar.45

45 Ibid

, hal 374

(55)

BAB III

Pematangsiantar Ibukota Provinsi Sumatera

3.1. Kekalahan Jepang dan Berita Proklamasi

Masa penjajahan Jepang atas Indonesia berlangsung selama tiga tahun lima bulan enam hari (9 Maret 1942-14 Agustus 1945). Tepat jam 12.00 siang waktu Tokyo dari tanggal tersebut, Jepang dengan tanpa syarat menyerah kepada tentara Sekutu.46

46

EdiSaputra, Simalungun Jogja-nya Sumatera Dalam Perang Kemerdekaan, Medan: U.P. Bina Satria 45, 1977, hal. 66.

Latar belakang penyerahan Jepang secara tiba-tiba tersebut, karena pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan dua buah bom atom ke Hirosima dan Nagasaki. Hal ini sekaligus menjadi akhir dari Perang Dunia ke-II di Asia Pasifik.

(56)

Pemerintah Militer Jepang tidak hanya melakukan sensor terhadap berita Proklamasi Indonesia, bahkan berita tentang kekalahan mereka pun disembunyikan dari masyarakat. Seperti halnya di daerah lain, sensor ketat yang dijalankan Jepang terhadap berita radio dan surat kabar di Pematangsiantar dan Simalungun berdampak pada masayarakat yang menjadi buta informasi terhadap pada yang terjadi disekitarnya. Sensor ketat ini dilakukan Jepang untuk menjaga agar tidak mendapat serangan mendadak dari rakyat yang dijajahnya.

Upaya pengawasan ketat militer Jepang terhadap perkembangan yang terjadi dapat terlihat ketika pada tanggal 19 Agustus 1945 sebuah pesawat menyebarkan pamflet-pamflet di wilayah Sumatera Timur terutama Medan, Pematangsiantar, dan Tanjung Balai. Isi pamflet yang ditanda tangani oleh H.J. Van Mook ini menyatakan:

Saudara-saudara bangsa Indonesia yang kami cintai. Telah lama saudara-saudara bangsa Indonesia menderita dibawah kekuasaan Jepang. Sekarang perang telah selesai dengan kemenangan yang gemilang dipihak Sekutu. Tak lama lagi pemerintah Belanda akan kembali untuk memperbaiki kehidupan saudara-saudara sesuai janji Sri Ratu Welhelmina pada tanggal 7 Desember 1942. Tetap setialah kepada Seri Ratu dan bersiaplah menyambut kedatangan si Tiga Warna. Terhadap setiap orang yang tidak setia kepada Seri Ratu akan kami ambil tindakan-tindakan tegas.47

Pamflet-pamflet di tiga kota tersebut dengan sekejap dapat disita oleh pihak tentara Jepang. Bahkan orang-orang yang sempat membaca dan menyerahkan pamflet tersebut kepada Jepang mendapat ancaman untuk tidak memberitahukan isinya

47 Ibid,

(57)

kepada orang lain. Beberapa yang mendapatkan pamflet itu bahkan langsung mengoyaknya karena takut oleh pihak Jepang.

Sensor ketat Jepang terhadap berita-berita ini sempat pula mengalami kebobolan, terutama berita proklamasi Indonesia. Hal ini terjadi ketika kantor berita “Domei”

Jepang di Jakarta menyiarkan berita proklamasi atas desakan para buruh Indonesia. Baru setengah jam kemudian Jepang menyadari bahwa berita proklamasi telah mengudara dan langsung melakukan penarikan serta mengklarifikasi bahwa berita tersebut keliru. Namun berita proklamasi telah menyebar keseluruh Indonesia dan menjadi sebuah babak baru bagi perjuangan disetiap daerah.48

Setelah mendengar pemberitahuan ini para Gyugun dan Heiho banyak yang mengalami kegelisahan. Mereka meninggalkan asrama dengan keadaan bingung ketujuan masing-masing. Bahkan banyak dari mereka yang tidak mempunyai tujuan dan terlantar karena tidak berani pulang kampung. Di Pematangsiantar sendiri mulai Pada tanggal 22 Agustus 1945 terjadi sebuah peristiwa yang menggemparkan diseluruh asrama Gyugun-Heiho. Ketika pada apel pagi komandan Gyugun-Heiho

setempat membacakan pemberitahuan yang ditanda tangani oleh Panglima Militer Jepang se-Sumatera Jendral Moritake Tanabe. Pemberitahuan itu menyatakan bahwa Perang Asia Timur Raya telah selesai dan para Gyugun dan Heiho dipersilahkan kembali kekampung halamannya masing-masing.

48 Ibid,

Referensi

Dokumen terkait