• Tidak ada hasil yang ditemukan

Medan Ibukota Provinsi Sumatera

2.4. Revolusi Sosial

Menurut Mochtar Lubis, revolusi itu seperti banjir, dan sekarang tidak seorang pun dapat mengendalikannya. Apapun yang kita lakukan, ia mengikuti jalannya sendiri, tanpa menghiraukan kita yang menciptakannya. Revolusi sosial adalah suatu revolusi untuk mengubah dtruktur masyarakat kolonial atau feodal kepada suatu

susunan masyarakat atas dasar Undang-Undang Dasar 1945.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa situasi di Sumatera Timur pasca kemerdekaan Indoneisa mengalami gejolak. Berbagai konflik dan hambatan satu persatu datang menghadang Negara Republik Indonesia di wilayah Sumagtera Timur yang baru terbentuk. Mulai dari kerusuhan yang dipelopori oleh Sekutu/NICA, hingga mengontrol kelompok radikal yang non-kooperatif32 dalam mempertahankan Republik Indonesia. Laskar-laskar rakyat dan partai-partai politik yang bergabung di dalam Volksfront merasa tidak suka dengan sikap dan kebijakan yang ditunjukkan olh Mr. T.M. Hasan dalam memimpin pemerintahan.33

Sikap tidak suka yang berawal dari pertemuan yang diadakan pada tanggal 8 September 1945 (sebelum pertemuan di Taman Siswa) oleh Mr. T.M. Hasan dengan tokoh politik lainnya seperti, Abdul Xarim MS, Mohammad Said, dan Jahja Jacoeb di rumah dr. Amir di Tanjunga Pura. Dalam pertemuan ini Mr. T.M. Hasan dan dr. Amir lalai sehingga sama sekali tidak menyinggung masalah kemerdekaan Indonesia kepada mereka. Hal ini menimbulkan kekecewaan para tokoh politik terhadap kedua pemimpin tersebut. Sikap dr. Amir sendiri sudah tidak begitu perduli terhadap proklamasi kemerdekaan karena beliau menganggap proklamasi hanyalah sandiwara

32

Kelompok radikal tersebut antara lain, Saleh Umar, Marzuki Lubis, dsn Jacob Siregar (PNI/Napindo), Laut Siregar dan Nathar Zainuddin (PKI), Sarwono Sastrosutardjo, (Pesindo), dan Bachtiar Yunus (Hizbullah). Lihat Suprayitno, “Revolusi Sosial di Sumatera Timur Maret 1946 (Tregedi Amir Hamzah)” dalam Agus Suwigno (ed.), Sejarah Sosial di Indonesia : Perkembangan dan Kekuatan

70 Tahun Prof. Dr. Suhartono Wiryo Pranoto, Yogyakarta : Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gajah Mada, 2011, hal. 149 33 Ibid, hal. 150

belaka.34

Sikap yang ditunjukkan para kaum republik bermula ketika tersiar kabar tentang pertemuan yang dilakukan oleh kaum bangsawan Sumatera Timur pada tanggal 25 Agustus 1945. Sebuah pertemuan yang melibatkan raja-raja, sultan-sultan, dan para pamongpraja ini diadakan oleh dr. Mansoer yang saat itu menjabat sebagai ketua Shu Shangi Kai Sumatera Timur, di kediamannya di sudut jalan raja/ jalan Amalium. Pertemuan ini diadakan untuk mengatur cara-cara dalam menyambut kedatangan Belanda kembali. Dalam pertemuan tersebut telah dibentuk comite van ontvangat

(panitia penyambutan kedatangan Belanda) yang diketuai oleh Sultan Langkat dan dr. Mansoer sebagai wakilnya. Selanjutnya fakta-fakta yang tidak dimumumkan secara resmi tersebut tersebar luas dimasyarakat. Hal inilah yang menjadi desas-desus dan akhirnya setelah semakin jauh dari tempat asal kejadian, maka isinya semakin

Kekecewaan para tokoh politik ini semakin mendalam dengan adanya kebijakan Mr. T.M. Hasan yang berusaha melakukan diplomasi terhadap golongan bangsawan kesultanan di Sumatera Timur agar melebur ke dalam republik.

Para tokoh politik menganggap bahwa kaum bangsawan Sumatera Timur adalah sebuah ancaman bagi pemerintahan republik. Anggapan ini muncul ketika tersiar kabar bahwa para kaum bangsawan dan kesultanan Sumatera Timur membentuk sebuah panitia untuk menyambut kedatangan Belanda kembali. Hal ini yang kemudian memunculkan sikap ketidaksukaan kaum republik atas upaya Mr. T. M. Hasan melakukan upaya diplomasi terhadap kaum bangsawan Sumatera Timur.

34

berbeda.35

Akibat desakan para pemimpin politik, pada tanggal 31 September 1945 Mr. T.M. Hasan memanggil seluruh pemuda yang tergabung dalam BPI dalam rapat sosialisasi kemerdekaan Indonesia di gedung Taman Siswa Medan. Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 1945, bendera merah putih resmi berkibar di lapangan Esplanade (lapangan medeka sekarang) Medan.

Berita keberadaan comite van ontvangst yang diyakini sebagai upaya memuluskan kembalinya Belanda oleh kaum bangsawan Sumatera Timur menjadi salah satu hambatan terjadinya proklamasi kemerdekaan di Sumatera Timur. Mr. T.M. Hasan yang medapat tanggung jawab atas proklamasi tersebut bersikap ragu-ragu karena merasa tidak memiliki kekuataan politik untuk melakukan hal tersebut. Sikap ini yang kemudian menimbulkan kekecewaan di kalangan tokoh politik yang mendukung proklamasi yang pada akhirnya mengambil tindakan untuk mendesak Mr. T.M. Hasan untuk melakukan kewajibanya.

36

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa awal tahun 1946 keadaan politik di Sumatera Timur semakin memanas karena konflik antara pihak Sekutu/Nica dengan laskar rakyat dan adanya perpecahan antar golongan. Perpecahan antar golongan ini misalnya, perpecahan antara kerajaan yang konservatis dan perpecahan antara

35 Ibid, hal. 94-116 36

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1987, hal. 268; 271

Pemerintah Republik Indonesia dengan Persatuan Perjuangan. Perpecahan ini menimbulkan perebutan pengaruh dan kekuasaan diantara golongan partai, serta adanya pertentangan lain antara golongan pemilik modal dengan para buruh dan raja-raja dengan rakyat. Pertentangan-pertentangan ini kemudian menimbulkan pernyataan untuk menghapuskan swapraja (sultan, raja, Sibayak, dan datu) yang menjadi dasar dari tujuan Persatuan Perjuangan untuk menghapus sistem kerajaan di Sumatera Timur.37

Pada awal Februari 1946 diadakan rapat antara Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Sumatera Timur dengan Gubernur Sumatera dan para Sultan, raja, dan sibayak seluruh Sumatera Timur. Dalam rapat itu KNI meminta kepada agar para sultan, raja-raja, dan sibayak segera mengubah sistem pemerintahannya ke demokrasi sesuai

Keadaan ini semakin memanas lagi karena munculnya kesan kurang kerjasama antara Gubernur Mr. T.M. Hasan dengan wakilnya dr. Amir dalam menangani kelompok yang bertikai. Bahkan kedua tokoh ini seakan didikte oleh para pemimpin pergerakan yang bertikai itu. Hal ini yang menyebabkan aktivitas golongan kiri lebih didukung oleh para pemuda dari pada kedua tokoh tersebut yang lebih berhaluan moderat. Dalam keadaan kacau seperti ini para pemuda biasanya cenderung mudah digiring pada tindakan-tindakan yang mengandung kekerasan. Itulah sebabnya para tokoh golongan kiri lebih mendapat tempat dikalangan pemuda dari pada tokoh-tokoh moderat.

37 Ibid, hal 356

dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia.38

Sultan-sultan dan raja-raja akan memrintah sesuai dengan kemauan dewan itu. Dewan tersebut membuat undang-undang, raja-raja mengerjakan keputusan dari Badan Perwakilan tersebut...”

Dalam pertemuan tersebut, Mr. T.M. Hasan selaku perwakilan republik menyampaikan pidato :

“...Pemerintah Negara Republik Indonesia telah menegaskan politiknya terhadap daerah istimewa yaitu Negara Republik Indonesia mengakui daerah “zelfbestuur”. Di jaman Belanda kedudukan raja-raja terikat sekali; Belanda yang melakukan pemerintahan, sedang raja-raja digunakan sebagai perkakas kaum penjajah dan kaum kapitalis.

Dalam zaman Indonesia merdeka ini, raja-raja mesti menjadi pemimpin bangsanya kembali. Pemerintahan otokrasi raja-raja yang ditanamkan oleh Belanda harus ditukar menjadi pemerintahan demokrasi dan raja-raja hendaknya bersiap memimpin rakyat. Raja-raja berhak menjadi pemimpin Negara Republik Indonesia.

39

Dilain pihak, para sultan dan raja-raja yang diwakili oleh Sultan Langkat memberikan pidato bahwa mereka berjanji akan setia terhadap Pemerintahan Republik Indonesia. Dalam pidatonya, Sultan Langkat juga meminta agar gubernur Sumatera dapat menyampaikan kepada Presiden R.I mengenai permohonan para sultan agar mempertimbangkan pembentukan daerah istimewa di Sumatera Timur.40

Dari pidato yang disampaikan Sultan Langkat, tersirat bahwa Sulatan-sultan Sumatera Timur belum menunjukkan kesungguhan mereka untuk meletakkan haknya sebagai swapraja dan setia ke dalam republik. Hal ini terlihat dalam pidato Sultan

38

Kementrian Penerengan R.I, Republik Indonesia : Provinsi Sumatera Utara, Medan: CV Karya Purna, 1953, hal. 76

39

A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid II, Bandung: DISJARAH-AD dan Angkasa Bandung, 1977, hal. 595

40

Permintaan untuk menjadi daerah istimewa di Sumatera Timur berkaitan dengan kebijakan Presiden R.I terhadap peleburan kerajaan di Jawa (Yogyakarta) menjadi daerah Istimewa Yogyakarta. Pidato dultan Langkat pada tanggal 3 Februari 1946, lihat Mansyur, The Golden Bridge : Jembatan

Langkat yang menginginkan supaya wilayah kekuasaan para sultan-sultan di Sumatera Timur menjadi daerah istimewa sehinggaa tetap melanggengkan sistem otokrasi mereka meskipun tidak seperti pada masa Belanda.

Sikap dari para sultan dan swapraja Sumatera Timur ini membuat ketegangan semakin meningkat. Selain itu, sikap Gubernur Mr. T.M. Hasan yang menyatakan belum berniat untuk menghapus kerajaan-kerajaan karena ada dasar hukum untuk menjadi daerah istimewa semakin menimbulkan kecurigaan dikalangan partai politik terutama golongan kiri. Mereka mengnggap bahwa Gubernur belum ingin menghapuskan sistem pemerintahan kerajaan. Hal ini jelas betentangan dengan program persatuan perjuangan.

Di tengah situasi ini, golongan kiri telah berhasil menyusupi berbagai posisi penting dalam peta kekuatan daerah Sumatera Timur. Keadaan ini semakin parah ketika jabatan pemerintahan dipegang olah dr. Amir selama kepergian Mr. T.M. Hasan meninjau daerah-daerah. Para tokoh golongan kiri mulai ikut menyertai setiap kegiatan dr. Amir kesetiap daerah-daerah genting seperti Simalungun dan Asahan. Tujuan utama mereka ialah melakukan provokasi rakyat dengan isu-isu yang dapat menimbulkan kebencian mereka terhadap pihak kerajaan dan bangsawan. Keadaan ini disambut antusias oleh rakyat yang kemudian digunakan oleh pihak golongan kiri untuk segera bergerak melakukan aksinya.

saat itu, masih ada pertemuan makan di hotel Wi Yap, dimana hadir antara lain Datu Jamil, Tengku Busu dari Indrapura, Tengku Hafaz, Raja Kalimansyah dari Sumalungun, Raja Silima Huta, dan Mahadi.41 Pada awal maret itu juga M. Yunus Nasution dan Marzuki Lubis mengadakan suatu pembicaraan dengan Kolonel Ahmad Tahir (Panglima Divisi) dan Mayor Mazuar, di kediaman Laut Siregar. Dalam pertemuan ini pihak volksfront membentangkan rencana mereka untuk menghapuskan struktur pemerintahan swapraja. Mereka mengemukakan bahwa tanda-tanda pihak swapraja akan melawan republik telah kelihatan, maka dari itu pihak volksfront ingin bertindak. Pihak TRI menyetujui rencana mereka kalau dilakukan tanpa penahanan-penahanan dan pembunuhan-pembunuhan.42

Pada tanggal 3 Maret 1946 menjelang 4 Maret meledaklah peristiwa yang dikenal dengan revolusi sosial di setiap daerah kerajaan Sumatera Timur. Gelora revolusi sosial dimulai di Sunggal pada tanggal 3 Maret, menyusul Binjai, Perbaungan, Indrapura, Lima Puluh, Tanah Datar, Seribudolok dan Kualuh. Pada

Pihak TRI yang mendapat berita bahwa partai-partai politik akan melakukan penurunan raja-raja, Diminta supaya jangan campur tangan karena persoalanya adalah urusan sipil. TRI mengintruksikan kepada bawahannya di setiap daerah agar jangan mencampuri urusan tersebut, kecuali terjadi kekacauan yang membahayakan keamanan.

41

A.H. Nasution, Op.cit, hal. 598 42

T. Haji M. Lah Husny, Revolusi sosial 1946 di Sumatera Timur/Tapanuli Serta Pangkal dan

tanggal 5 Maret dilakukan di Pematangsiantar, Tiga Dolok, Raya, dan Barus Jahe. Tanggal 6 Maret di Purba dan 7 Maret di Tanjung Pura. Ini masih diteruskan ke Berastagi, Tanjung Balai dan Bilah pada 8 Maret, menyusul ke Merbau pada 9 Maret serta Kota Pinang pada 11 Maret. Pada umumnya yang mengambil tindakan ini adalah laskar-laskar rakyat yang tergabung dalam persatuan perjuangan yang didukung oleh rakyat. Mereka menumbangkan kekuasaan raja-raja dengan menahan, merampok, dan membunuh raja-raja serta membumihanguskan istana-istana kerajaan.

Demikian halnya yang terjadi di Simalungun, sebelum meletusnya peristiwa tersebut Ketua KNI Laut Siregar mengirim surat kepada kepada pemimpin TRI tentang kerusuhan yang akan terjadi. Ia meminta supaya pihak TRI tidak memihak pada golongan manapun. Namun akibat dari isi surat yang tidak jelas. pihak TRI tidak menduga akan terjadi bentrokan antara laskar dan pihak swapraja. Ahmad Tahir selaku Komandan TRI yang menyetujui tindakan ini meminta para amggota TRI untuk mengawasi peristiwa revolusi tersebut agar sesuai denga ketentuan-ketentuan yang telah disepakati, yakni:

1. Penangkapan dilakukan dengan bersih, tertib, dan sopan

2. Semua tangkapan harus diserahkan pada pihak polisi atau pihak yang berwenang untuk diperiksa

4. Pihak TRI akan mengawasi hal ini sebagai peninjau dalam tindakan-tindakan pembersihan itu.43

Kejadian justru sebaliknya, dimana tindakan-tindakan yang dilakukan menjadi liar dan tidak sesuai dengan apa yang dibicarakan di rumah Mr. Laut Siregar. Di Simalungun, Saleh Umar mengeluarkan intruksi kepada pemimpin Pesindo, BHL dan PKI Pematangsiantar untuk menangkapi raja-raja di Simalungun. Pihak BHL mendapat peranan utama dalam peristiwa ini untuk mencegah terjadinya tuduh menuduh yang bersifat kesukuan di pedalaman Simalungun. Namun hal ini yang justru membawa keadaan semakin buruk bagi raja-raja itu. Di pedalaman Simalungun tidak terdapat adanya oposisi terpadu terhadap pemerintahan raja-raja, BHL yang bertindak di daerah-daerah ini dipimpin oleh beberapa tokoh yang memiliki dendam pribadi dan para pengikutnya yang tidak terpelajar.

Ketua BHL A.E. Saragih Ras44

43

Jonner Hasibuan, Runtuhnya Feodalisme di Simalungun (1946), Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU, Medan: Tidak diterbitkan, 1992, hal. 86-87

44

A.E. Saragih Ras merupakan Putra perbapaan Tiga ras Pane. Hal ini membuat ia mendapat pendidikan seadanya dan magang di Kantor Kerajaan Pane. Dia berhenti tahun 1923, masuk dalam dunia kejahatan untuk beberapa tahun, kemudian menjadi supir taksi (1927-1930). Pada tahun 1931 menggantikan ayahnya sebagi kepala kampungnya, tetapi rupanya Raja Pane menolaknya menurunkan diri, dan menjadi salah seorang yan pertama masuk Gerindo pada tahun 1938 dan F-kikan pada tahun 1942. Oleh karena itu wajar dia diserahkan Kenkokutai di Simalungun dan penerusnya, Barisan Harimau Liar. Pasukannya pada mulanya tidak begitu menonjol, sampai pasukan ini mengumpulakn harta kekayaan dalam “revolusi sosial”. Sesudah tahun 1949, Saragih Ras banyak berada di penjara Republik dan perkaranya tidak pernah dibawa ke sidang pengadilan. A.E. Saragih Ras merupakan salah seorang pemimpin revolusi sosial untuk bagia Kabupaten Simalungun sekaligus menjadi pemimpin BHL, Anthony Reid, Op.cit, hal 307,

dan ketua Pesindo A. Azis Siregar merupakan pemeran utama dalam peristiwa revolusi sosial di Simalungun. Saragih Ras memulai gerakan ini terhadap Raja dari Pane. Mereka ditangkap BHL pada tanggal 3 Maret

malam beserta seluruh keluarga dan harta bendanya dirampas. Raja Pane dan beberapa pengikutnya dibawa pada suatu tempat pertahanan BHL dimana diadakan sebuah pesta dan kemudian semuanya dibunuh. Esok harinya BHL mengejar dan menangkap raja Raya untuk dibunuh dibawah jembatan besar. Rumahnya diobrak-abrik, emas dan barang berharganya dirampok. Sementara itu, raja Purba beruntung diselamatkan pasukan TRI dari tangan BHL. Raja Silimakuta yang kebetulan berada di Pematangsiantar saat rumahnya disergap dan dibakar juga selamat. Bersama dengan raja-raja Simalungun lainnya, kedua raja ini akhirnya mendapat pengamanan tahanan TRI di Pematangsiantar.45

45 Ibid, hal 374

Kota Pematangsiantar sendiri yang telah menjadi markas TRI di awal 1946, menjadi wilayah yang cukup aman dari peristiwa revolusi sosial. Bahkan Pematangsiantar menjadi tempat perlindungan bagi para korban-korban revolusi sosial dari daerah-daerah yang bergolak seperti Asahan, Labuhan Batu, Deli Serdang, Langkat, Tanah Karo dan Simalungun. Seperti Sultan Langkat T. Abdul Jalil Rahmatsyah dan keluarga yang ditempatkan diloteng sebuah toko milik seorang Pakistan di Jalan Sutomo sekarang.

BAB III