• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PULAU LOMBOK,

TENTANG IKRAR TALAK DI LUAR PENGADILAN DI LOMBOK

B. Pandangan Tuan Guru terhadap Paktek Ikrar Talak di luar Pengadilan Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa banyak di kalangan

12. TGH. Ahmad Dimyati

Ia adalah putra seorang Tuan Guru yang terkenal di kawasan Lombok Tengah karena memiliki yayasan Darul Hikmah Pondok Pesantren al-Masyhuddien NW Kawo Pujut. Saat ini, ia menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal dunia untuk mengembangkan yayasan Pendidikan dan Pondok Pesantren milik keluarga tersebut. Sedari kecil, oleh ayahnya, ia sudah diperkenalkan pendidikan keagamaan dengan menggali ilmu di Ma‟had Pancor Lombok Timur, kemudian diteruskan di pondoknya sendiri.

Pada tahun 1981, ia memasuki sekolah Tsanawiyah. Sejak kelas satu sudah diajari perbandingan mazhab dan perbandingan agama, sehingga sejak dini sudah mengenal berbagai macam pandangan mazhab fiqh. Beda dengan sekarang yang hanya belajar satu mazhab dan tidak mempelajari agama-agama yang lain,

sehingga kurang mengerti tentang perbedaan pendapat.92

Membincang mengenai perceraian di luar Pengadilan yang kerap terjadi di pulau Lombok, ia berpandangan bahwa perceraian tersebut hukumnya sah. Perceraian di luar Pengadilan tidak hanya dilakukan oleh orang awam saja, Tuan Guru pun jika bercerai banyak dilakukan di luar Pengadilan, karena secara hukum Islam perceraian itu akan jatuh ketika suami mengucapkan kata cerai baik disengaja maupun tidak disengaja. Perceraian yang dilakukan di Pengadilan Agama, umumnya dilakukan oleh keluarga mapan, golongan menengah ke atas

92

178

dalam rangka menuntut harta gono gini, kalau masyarakat biasa, tidak sampai ke

Pengadilan, kecuali terjadi pernikahan lagi yang membutuhkan akta cerai.93

Dimyati menjelaskan bahwa perceraian di pedesaan dan perkotaan itu berbeda.

Kalau di kota, percerian itu hampir semua direncanakan terlebih dahulu, didaftar di Pengadilan Agama. Tapi kalau di desa, bercerai dulu baru ke Pengadilan, terjadi dulu perceraian baru ke Pengadilan, kecuali yang PNS, mereka kalau mau cerai biasanya diajukan ke Pengadilan Agama. Tapi kalau untuk masyarakat umum rata-rata terjadi perceraian terlebih dahulu, baru diajukan ke Pengadilan bahkan ada yang sudah lima, enam tahun cerai baru mengajukan ke Pengadilan karena ada desakan hukum lain. Tapi kalau tidak ada tuntutan hukum lain seperti perebutan harta gono gini, jarang yang mengajukan ke Pengadilan dan hal itu sudah biasa terjadi. 94

Menurutnya, semua masyarakat Lombok sudah paham bahwa ketika kata talak diucapkan oleh suami, maka jatuhlah talaknya. Ketika talak telah terjadi, maka orang pertama yang diberitahu adalah orang tuanya kemudian orang tua menghubungi aparat di kampungnya. Untuk wilayah Lombok selatan, warga setempat mengangkat dua sampai tiga orang tokoh agama yang diberi gelar kyai. Penyebutan kyai di Lombok tidak sama dengan asumsi kyai di Jawa, mereka hanya bertugas menangani masalah keagamaan di kampung seperti masalah dzikir, perkawinan, perceraian, kematian dan lain-lain.

Jadi orang tua cukup melapor ke sana, nanti kyai akan berkonsultasi dengan kepala kampung, memberitahukan bahwa si A sudah bercerai dengan si B. Warga yang bercerai tidak ada yang melakukannya secara diam-diam, mereka pasti melaporkannya, karena masyarakat Lombok mengedepankan adab, supaya

93 Ibid. 94

179

jelas statusnya, dan agar masyarakat mengetahui identitasnya barangkali ada laki-laki lain yang mau melamarnya.

Lebih lanjut Dimyati menjelaskan bahwa praktek ikrar talak di luar Pengadilan di Lombok sudah menjadi adat kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun. Asal muasal munculnya kebiasaan itu, dapat dirunut dari beberapa

kegiatan yang menyebabkannya, di antaranya sebagai berikut: 95

Pertama, pemberkasan akta nikah yang tidak profesional. Sebelum era tahun 80-an, petugas pencatat nikah saat itu, jarang mencatatkan pernikahan, walaupun ada yang dicatat, buku nikahnya tidak pernah keluar. Dengan demikian, pihak isteri merasa kesulitan menuntut secara hukum jika terjadi perceraian dengan sang suami.

Kedua, terdapat adat yang berlaku menjelang perkawinan (pra-nikah) yang berbeda dengan daerah lain, yang dimulai dengan pacaran. Di Lombok, seorang gadis, diperbolehkan berpacaran dengan lima atau enam orang laki-laki dalam satu waktu. Sebelum era 80-an, selepas sholat maghrib, seorang gadis dikunjungi oleh beberapa orang laki-laki yang menjadi pacarnya, datang silih berganti. Si laki-laki datang bertamu ke rumah si gadis yang menjadi pacarnya, baru sepuluh menit duduk di dalam rumah, di luar rumah sudah ada laki-laki lain yang menunggu, maka yang di dalam rumah harus tahu diri untuk segera keluar rumah bergantian dengan laki-laki yang menunggu. Begitu seterusnya hingga laki-laki yang datang berkunjung habis. Menurutnya, adat tersebut menghilangkan adanya rasa cemburu di antara laki-laki, malah rasa saling hormat dan

180

kebersamaan yang muncul. Barangkali prinsip tidak ada rasa cemburu ini juga yang menyebabkan mudahnya kawin cerai di kalangan masyarakat Lombok.

Ketiga, terkait dengan masalah ekonomi. Petani-petani di Lombok zaman dulu, selalu berpindah-pindah tempat dalam berusaha. Di Lombok bagian selatan, usaha yang banyak dilakukan adalah peternakan Sapi atau kerbau. Kalau musim kemarau tiba, sapi-kerbau itu dikirim ke daerah lain di pulau Lombok. Di sana mereka menginap sekian bulan. Dalam kondisi demikian, pemilik sapi-kerbau tersebut membutuhkan pendamping yang menemani kesehariannya, sehingga ia menikah dengan perempuan setempat. Jika usaha ternaknya di tempat itu selesai, ia pun pindah ke tempat lain dengan meninggalkan isterinya tersebut dan malah menikah lagi dengan perempuan lain di tempat yang baru, begitulah seterusnya, hingga ia memiliki beberapa orang isteri.

Hal yang sama terjadi pada petani gabah. Masyarakat di sekitar situ, sawahnya jauh-jauh lokasinya. Kalau musim penanaman tiba, mereka tinggal di sawah itu sambil menunggu padi hingga musim panen, tiga sampai empat bulan lamanya. Dalam kondisi seperti ini, petani-petani tersebut menikah dengan perempuan di sekitar lokasi pertanian. Ketika panen tiba, ia pun pulang ke rumah isteri tuanya dengan meninggalkan begitu saja isteri yang ada dilokasi pertanian. Demikianlah kejadian yang dulu hingga berlangsung sampai sekarang.