BAB III PULAU LOMBOK,
ISLAM DAN PRAKTEK MERARIQ MASYARAKAT LOMBOK
2. Tradisi Merariq Masyarakat Lombok
113
2. Tradisi Merariq Masyarakat Lombok
Masyarakat Lombok menyebut pernikahan dengan istilah merariq. Secara etimologi kata merariq diambil dari kata “lari”. Merari’an berarti melai’an; melarikan. Sedangkan secara terminologi, merariq berasal dari bahasa Sasak berariq yang artinya berlari dan mengandung dua arti. Pertama, bermakna lari. Ini adalah arti yang sebenarnya. Kedua, bermakna keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian merupakan tindakan nyata untuk
membebaskan gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya.54
Zuhdi menyebutkan terdapat tiga macam bentuk perkawinan dalam masyarakat Sasak; Pertama, perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam satu kadang waris yang disebut perkawinan betempuh pisa’ (misan dengan misan/cross cousin). Kedua, perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai hubungan kadang jari (ikatan keluarga) disebut perkawinan sambung uwat benang (untuk memperkuat hubungan kekeluargaan). Ketiga, perkawinan antara pihak laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan perkadangan (kekerabatan) disebut perkawinan pegaluh gumi
(memperluas daerah/wilayah).55 Ketiga model perkawinan tersebut menunjukkan
bahwa tujuan perkawinan menurut masyarakat Sasak adalah untuk melanjutkan keturunan, memperkuat ikatan kekeluarga, dan memperluas hubungan kekeluargaan.
54
Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa
Tenggara Barat (Jakarta: Depdikbud, 1995), 33. Lihat Juga Fachrirrahman, Pernikahan, 125.
Zuhdi, Praktek Merariq, 49-50. 55
114
Fachrirahman membagi adat pernikahan Masyarakat Sasak menjadi tiga tahap, yaitu adat sebelum penikahan, adat dalam proses pernikahan dan adat
setelah pernikahan.56
a. Adat sebelum pernikahan
Adat ini dilakukan dalam rangka untuk saling mengenal di antara laki-laki dan perempuan. Proses adat tersebut berupa midang, ngujang, bejambek, dan subandar. Midang atau meminang yaitu kunjungan seorang laki-laki ke rumah seorang perempuan yang disukai atau dicintainya dengan tujuan agar bisa bertemu dan saling kenal lebih dekat. Biasanya kunjungan midang dilakukan pada malam hari sehabis Isya‟ (08.00-23.00 Wita) dan laki-laki tersebut berposisi sebagai layaknya tamu yang kehadirannya harus dihormati oleh tuan rumah. Begitu juga ketika datang laki-laki kedua, ketiga dan seterusnya, tuan rumah harus menyambut mereka sebagai layaknya tamu tanpa memandang suka atau tidak suka. Sikap yang demikian ditampakkan karena midang merupakan sarana untuk saling kenal mengenal di antara mereka dan para tamu tidak diperbolehkan timbul
rasa cemburu.57
56
Fachrirrahman, Pernikahan, 130-140. Sainun menjelaskan bahwa jika mengacu pada teori liminalitas Victor Turner, praktek merariq masyarakat Sasak secara umum dapat dibagi menjadi tiga tahap; pertama, tahapan pra-liminal yang mencakup memaling dan nyelabar, kedua, tahap liminal mencakup akad dan nyongkolan,dan ketiga, tahap post-liminal yang mencakup balas nae. Ketiga tahapan merariq tersebut secara umum dipraktekkan oleh masyarakat Sasak kecuali pada masyarakat urban yang sudah tidak terlalu ketat memegang tradisi dan telah mengalami asimilasi budaya dengan budaya luar atau budaya modern. Sainun, Tradisi Merariq: Potret Asimilasi Nilai
Islam dalam Tradisi Pernikahan Masyarakat Sasak (Mataram: Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Mataram, 2016), 55.
57 Terdapat aturan main dalam meminang, di antaranya, 1). Laki-laki yang boleh meminang adalah
yang bukan muhrim, baik dia masih jejaka, duda atau masih beristeri. 2) Tidak boleh ada rasa cemburu karena masih dalam proses peminangan, 3) Antara yang meminang dengan yang dipinang, duduknya agak berjauhan, 4) Jika ada peminang lainnya yang menyusul, maka peminang yang datang lebih awal harus meninggalkan tempat peminangan meskipun pembicaraannya belum tuntas, 5) Bila terjadi dalam waktu yang bersamaan terdapat dua orang atau lebih peminang yang mendatangi satu perempuan, maka laki-laki tidak boleh saling mempersilahkan menyuguhkan sesuatu, perempuan tuan rumahlah yang harus menyuguhkannya, 6) Bagi peminang yang telah pulang duluan karena kedatangan peminang yang lain, boleh meminang perempuan lain, 7) Orang
115
Ngujang, bejambek, dan subandar adalah beberapa kegiatan lanjutan yang dilakukan dalam rangka memperlancar proses midang. Pertama, Ngujang yaitu mengunjungi pacar di luar rumah yang bertujuan untuk membantu menyelesaikan suatu pekerjaan si perempuan baik pekerjaan di sawah atau pun di kantor. Kedua, Bejambe’ atau mereweh memberikan suatu barang yang disukai oleh perempuan. Pemberian tersebut bisa atas inisiatif pihak laki-laki atau permintaan perempuan. Jika suatu saat hubungan diingkari oleh pihak perempuan, maka pemberian itu bisa diminta kembali. Ketiga, Subandar (perantara) yaitu seseorang yang dipercaya oleh si laki-laki, yang bertugas untuk menyampaikan isi hatinya kepada seorang perempuan yang menjadi pujaan hati. Semua rasa cintanya ditumpahkan kepada subandar untuk disampaikan kepada perempuan yang disukainya, termasuk menyampaikan pejambe’ atau pereweh.
b. Adat dalam proses pernikahan
Adat pertama yang dilakukan adalah membawa lari atau melarikan si gadis (selarian) kemudian disembunyikan di salah satu rumah keluarga laki-laki yang telah ditentukan sebelumnya, tidak boleh di rumahnya sendiri. Kegiatan selarian ini bisa jadi atas perjanjian dengan si gadis sebelumnya atau tidak ada perjanjian sama sekali karena khawatir kedahuluan laki-laki lain. Menurut Ahmad Dimyati, secara adat, selarian tidak boleh dilakukan pada hari jum‟at dan menyembunyikan si gadis paling lama tiga hari. Jika dalam jangka waktu tiga hari
tidak ada kabar, maka bisa dilaporkan ke pihak kepolisian.58
tua gadis/janda ketika waktu peminangan, terkadang ikut nimbrung bersama atau menjauh tapi masih dalam pengawasan, 8) Tempat peminangan harus terbuka dan biasanya dilakukan setelah sholat magrib atau Isya‟, 9) meminang tidak boleh dilakukan di tempat yang sepi. Lihat Fachrirrahman, Perkawinan, 131. Bartholomew, Alif Lam Mim, 176.
58
116
Gadis yang rumahnya dekat, biasanya pemberitahuan ke pihak keluarga perempuan satu hari atau dua hari pasca selarian. Sementara gadis yang jarak rumahnya jauh di desa atau kecamatan lain, diberi kelonggaran sampai tiga hari. Jika proses selarian ini berhasil, maka pada malam itu juga dilanjutkan dengan acara “mangan merangkat”, yaitu acara adat untuk menyambut kedatangan si gadis di rumah calon suaminya. Acara ini dihadiri oleh para tetua dari keluarga laki-laki, juga tokoh adat setempat. Dalam acara ini juga dilakukan “totok telo” kedua pasangan memecahkan telur secara bersama-sama pada perangkat (sesajen) yang telah disediakan sebagai lambang kesanggupan kedua calon mempelai untuk menjalani kehidupan rumah tangga.
Proses selanjutnya adalah sejati atau mesejati pemberitahuan atau menginformasikan kepada pihak keluarga si gadis oleh dua orang utusan aparat kampung setempat melalui kepala kampung orang tua si gadis tinggal bahwa anaknya telah dibawa lari, kemudian kepala kampung meneruskan informasi tersebut ke orang tua si gadis. Setelah kepala kampung setempat menginformasikan ke orang tua si gadis, lalu ia kembali menemui kedua utusan keluarga pihak laki-laki dan memberitahukan agar datang lagi tiga hari
kemudian.59
Tiga hari kemudian, dilakukanlah selabar yaitu membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penyelesaian adat, terutama menyangkut pelaksanaan akad nikah. Disinilah utusan memainkan perannya dalam rangka berunding dengan pihak keluarga si gadis mengenai persyaratan biaya adat yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki. Jika persyaratan itu tidak dapat dipenuhi,
59 Ibid.
117
maka akad nikah tidak bisa terlaksana. Dalam hal ini, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk saling tawar menawar hingga mencapai kata sepakat. Biasanya
yang dirundingkan adalah masalah Ajikrama60 dan biaya upacara begawe
(resepsi). Setelah dicapai kata sepakat, maka dilanjutkan dengan akad nikah di tempat calon mempelai laki-laki.
Setelah akad nikah (betikah) dilaksanakan, maka dilakukanlah acara sorong doe atau sorong serah yaitu pesta perkawinan yang dilanjutkan dengan Nyongkolan/nyondolan yaitu berkunjung ke rumah mempelai perempuan beserta seluruh keluarga besar dan masyarakat dalam rangka memperkenalkan diri ke hadapan keluarga besar pengantin putri dan masyarakat sekitar sambil meminta
maaf dan memberi hormat kepada kedua orang tua pengantin perempuan.61
c. Adat setelah Pernikahan
Upacara adat yang dilakukan setelah acara sorong serah dan nyongkolan adalah balas nae yaitu kunjungan dari keluarga mempelai laki-laki ke rumah keluarga mempelai perempuan secara intern keluarga tanpa mengikutsertakan masyarakat sebagaimana pada upacara nyongkol. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada sore atau malam hari yang bertujuan untuk lebih mengenal dan mempererat hubungan silaturrahim antar kedua keluarga.
60
Harga normatif yang harus dibayar sesuai dengan strata sosial yang disandang. Permenak: 100, Perbape/Perwangse: 66, Jajar Karang: 33, dan Kaule/Panjak: 3/400 (baca; telu samas/tiga empat). 61
118
BAB IV