• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PULAU LOMBOK,

TENTANG IKRAR TALAK DI LUAR PENGADILAN DI LOMBOK

B. Pandangan Tuan Guru terhadap Paktek Ikrar Talak di luar Pengadilan Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa banyak di kalangan

14. TGH. Falahuddin

Falahuddin sejak kecil dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah sehingga terlihat dari caranya berbicara menunjukkan ia sebagai seorang modernis. Ia bercerita bahwa setelah menyelesaikan bangku Sekolah Menengah Atas, ia melanjutkan studi S1 di IAIN Mataram jurusan Syari‟ah, kemudian meneruskan jenjang S2 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengambil konsentrasi Hukum Keluarga Islam dan saat ini sedang menempuh S3 di UIN Mataram. Di samping itu, ia sibuk sebagai tenaga pengajar di Universitas Muhammadiyah Mataram sekaligus dipercaya sebagai Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Nusa Tenggara Barat (NTB).

Mengenai masalah kawin cerai yang kerap terjadi pada masyarakat Lombok, ia mengatakan bahwa praktek kawin cerai itu jauh dari pesan al-Qur‟an,

185

jauh dari tujuan utama al-Qur‟an diturunkan. Dalam al-Qur‟an surah al-Ru>m [30]: 21 dinyatakan secara tegas:

                     

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.100

Bahwa tujuan diadakannya perkawinan adalah untuk mendapatkan keluarga yang sakinah. Jika perceraian dilakukan, maka mereka tidak mendapatkan keluarga yang sakinah. Jadi kawin cerai yang terjadi di Lombok itu,

sudah jauh dari tujuan dasar/asasi disyari‟atkannya perkawinan dalam Islam.101

Lebih lanjut ia mengatakan:

Walaupun agama membolehkan perceraian, tetapi dia tidak boleh dibuka secara bebas, kapan dia mau cerai, dia lakukan, tidak bisa seperti itu. Tetap saja perceraian itu dibenci. Maka Nabi mengatakan “Perkara halal yang sangat dibenci Allah swt. adalah perceraian”. Oleh karena itu, perceraian harus diperketat, sekalipun perintah atau hak cerai ada di tangan suami tetapi tidak boleh begitu saja dilepas oleh suami kapan saja. Memang kita harus memaklumi fiqh klasik yang berbicara tentang perceraian itu memang kapan saja bisa dilakukan, bahkan dalam keadaan emosi sekalipun. Tetapi kalau hal demikian tetap dipertahankan,

mengakibatkan perceraian menjadi sangat mudah terjadi.102

Masalah perceraian ini, menurutnya adalah persoalan yang sangat serius, maka perlu diatur oleh Undang-undang. Salah satu teori hukum yang bisa dipakai adalah sadd al-dhari>’ah, menutup jalan untuk menemukan mudarat yang lebih

besar. Perceraian itu sama pentingnya dengan pernikahan, pernikahan ada

100

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an, 644. 101

Falahuddin, Wawancara, Mataram, 07 Pebruari 2018 102

186

saksinya, maka perceraian juga harus ada saksinya dan harus diikrarkan di hadapan sidang hakim Pengadilan Agama. Hal itu sesuai dengan pasal 39 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, jo pasal 18 PP No. 9 tahun 1975, jo pasal 115 KHI. Oleh sebab itu, menurutnya, perceraian di luar Pengadilan tidak sah. Dasar hukumnya menggunakan sadd al-dhari>’ah, walaupun termasuk mukhtala>f ‘alaih,

diperselisihkan untuk menggunakannya.103

Falahuddin berpandangan demikian karena ia mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Muhammadiyah sebagai tempatnya mengabdi. Menurutnya, terdapat dua metodologi pemahaman Muhammadiyah di dalam memahami teks Qur‟an dan hadis. Metodologi ini diadopsi dari Abid Ja>biri>. Pertama,

al-Taqri>b al-Baya>ni, pendekatan baya>ni. Pendekatan bayani ini adalah

kecenderungan orang memahami teks al-Qur’an dan hadis secara tekstual, secara literlek, apa adanya. Memahami teks dengan model seperti ini tidaklah cukup, harus dinaikkan ke level Kedua, yaitu al-Taqri>b al-Burha>ni, pendekatan burha>ni,

kontekstual. Termasuk di dalamnya hermeneutika.104

Menurutnya, jika dikaitkan dengan kemudahan cerai pada masa Nabi, barangkali orang-orang zaman dulu, ketaatan agamanya sangat luar biasa. Lain dengan masyarakat Lombok yang tidak setaat dan sepaham masyarakat pada masa Nabi. Jika hal demikian dijadikan patokan, maka terjadilah kawin cerai seperti saat ini. Oleh karenanya, kebijakan pemerintah yang mengetatkan perceraian itu sudah benar adanya. Hadis seperti itu, harus dipahami secara burha>ni, kontekstual sehingga didapat nilai kemaslahatannya. Pada masa Nabi, orang-orang

103 Ibid. 104

187

mengucapkan talak tiga sekali ucap, dihitung talak satu. Sementara pada masa Umar b. Khatta>b, orang-orang menggampangkan perkara talak, bermain-main dengannya. Melihat keadaan demikian, Umar berijtihad merubah hukumnya dengan keputusan jatuh talak tiga. Di sini Umar mulai melakukan kontekstualisasi ajaran Islam sesuai dengan situasi yang terjadi pada masanya.

Seharusnya, Tuan Guru juga mengikuti cara berfikirnya Umar dalam merespon persoalan umat, karena mereka memiliki pengaruh dalam masyarakat. Tuan Guru adalah centre of exelent, pusat keunggulan, di mana kata-katanya diikuti dan tingkah lakunya ditiru. Masyarakat Lombok masih banyak yang taqlid mengikuti apa yang difatwakan oleh Tuan Guru, termasuk dalam masalah cerai di

luar Pengadilan yang dihukumi sah tersebut.105

Adanya kepatuhan berlebihan kepada Tuan Guru ini, menurutnya, tidak terlepas dari sistem sosial yang dianut oleh masyarakat Lombok yang bersifat paternalistik. Hal ini menurutnya, tidak lepas dari pengaruh Bali yang kental dengan sistem patriarkhi, di mana dulu pernah menjajah Lombok begitu lama, menyebabkan kesan patriarkhi di Lombok sangat kentara. Maka tidak mengherankan masyarakat Lombok begitu mengidolakan Tuan Guru, sehingga apapun yang disampaikan oleh Tuan Guru dianggap benar. Ketika Tuan Guru berfatwa membolehkan ikrar talak di luar Pengadilan, maka masyarakat mengikutinya (taqlid) begitu saja, dan Tuan Guru yang berpendapat demikian,

dalam pengamatan Falahuddin sangatlah banyak.106

105 Ibid. 106

188

Dari uraian di atas nampak bahwa dalam merespon persoalan ikrar talak di luar Pengadilan, Tuan Guru memiliki pandangan yang beragam. Munculnya perbedaan pandangan seperti ini, menurut Karl Mannheim sangatlah wajar karena ide atau pengetahuan seseorang itu tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial suatu masyarakat. Baginya, semua pengetahuan dan pemikiran, walaupun berbeda tingkatnya, pasti dibatasi oleh lokasi sosial dan proses historis suatu

masyarakat.107 Ia menciptakan sebuah teori yang ia sebut dengan teori

relasionisme. Teori ini mengatakan bahwa setiap pemikiran selalu berkaitan

dengan keseluruhan struktur sosial yang melingkupinya.108

Pandangan yang demikian sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang mengatakan “perubahan suatu hukum disebabkan karena perubahan waktu,

tempat, situasi sosial, niat dan adat kebiasaan”.109

Artinya, hukum itu tidak statis, tetapi dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Sehingga kebenaran yang dihasilkan dari pandangan tersebut, bukan kebenaran yang absolut tapi kebenaran yang bersifat relatif, kontekstual, dinamis, dan terbuka bagi

komplementasi, koreksi dan ekspansi, bukan kebenaran universal.110 Oleh karena

itu, memahami butir pemikiran seseorang haruslah tetap berpijak pada lokasi

sosial, konteks sosial, dan struktur kemasukakalan yang dimiliki oleh orang itu.111

107

Karl Mannheim, Idiologi dan Utopia Menyingkap Kaitan Politik dan Pikiran, terj. Budi Hardiman (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 306-307. Liat juga Muhyar Fanani, Metode Studi Islam, 34.

108

Ibid., 38.

109 Ibn Qoyyi>m al-Jawziyah, I‘la>m al-Muwa>q‘i>n‘AnRab al-‘A<lami>n, vo. 2 (Beirut: Da>r al-Fikr,

1993), 11. 110

Fanani, Metode, 38. 111