• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alasan Ikrar Talak di Luar Pengadilan

BAB III PULAU LOMBOK,

TENTANG IKRAR TALAK DI LUAR PENGADILAN DI LOMBOK

A. Praktek Ikrar Talak di Luar Pengadilan pada Masyarakat Lombok 1. Faktor-faktor penyebab terjadinya praktek ikrar talak di luar Pengadilan

2. Alasan Ikrar Talak di Luar Pengadilan

Untuk mengungkap persoalan ini, peneliti menguraikannya berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan baik pelakunya secara langsung ataupun orang yang mengetahui kejadian dimaksud. Terdapat beberapa alasan

33 Zaidi Abdad, Wawancara, Mataram, 05 Pebruari 2018.

139

mengapa mereka menjatuhkan talak di luar Pengadilan, di antaranya sebagai berikut:

a. Tidak memiliki cukup biaya

Beberapa informan mengungkapkan bahwa perceraian yang mereka lakukan cukup dilaporkan kepada kyai setempat, ketua RT dan kepala Lingkungan bagi warga Kota dan melaporkan kepada kyai desa dan kepala Dusun bagi warga Desa. Jika tidak ada harta yang disengketakan, maka mereka tidak membawanya ke Pengadilan. Sahrip, warga Kelurahan Taman Karangbaru Kecamatan Selaparang Kota Mataram mengatakan bahwa ketika ia mengucapkan talak, hanya sekedar “membuang panas saja”, membuang rasa kesal di dada karena cekcok yang terjadi. Jika didaftarkan ke Pengadilan Agama, akan merepotkan, membutuhkan biaya banyak dan memakan waktu yang lama. Karena bisa saja beberapa hari setelah rasa marahnya hilang, bisa rujuk dan rukun lagi.

Sepengetahuan Sahrip, perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama biasanya berkaitan dengan talak tiga atau ada harta benda yang diperrebutkan. Jika tidak demikian, maka cukup dilaporkan kepada kyai setempat, ketua RT dan

kepala Lingkungan.35 Hal senada disampaikan oleh Murahati warga Dusun

Montong Kecial desa Gemel kecamatan Jonggat Lombok Tengah bahwa ia tidak mendaftarkannya ke Pengadilan Agama karena tidak mempunyai biaya untuk

mengurusnya.36

35 Sahrip, Wawancara, Mataram, 10 Oktober 2017.

140

b. Pendidikan rendah dan pemahaman agama yang kurang

Berdasarkan pengamatan Lalu Muhtar, kebanyakan masyarakat Lombok yang melakukan perceraian di luar Pengadilan adalah mereka yang pendidikannya

rendah ditambah pengetahuan agama yang kurang.37 Umumnya, mereka ini dalam

kategori lapisan masyarakat menengah ke bawah. Biasanya, mereka menuruti hawa nafsu sehingga begitu gampang mengucapkan talak. Padahal Islam mengajarkan bahwa kata-kata talak itu tidak boleh diucapkan segampang mengucapkan kata-kata yang lain karena implikasinya akan memutuskan hubungan pernikahan. Sebagaimana maksud hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wud menyatakan bahwa “Tiga hal yang serius dan bercandanya dianggap

serius: nikah, talak, dan rujuk.”38

c. Sudah menjadi kebiasaan

Salah seorang Tuan Guru di Lombok Tengah mengungkapkan bahwa praktek perceraian di luar Pengadilan Agama yang terjadi di Lombok sudah merupakan kebiasaan atau tradisi yang dilakukan secara turun temurun sebagaimana diajarkan oleh para ustad dan kyai.

Satu masalah yang sangat berat atau sangat besar sekali kalau kita hanya menganggap ikrar talak yang dijatuhkan di depan hakim Pengadilan Agama itu saja yang sah talaknya, karena masyarakat Lombok sudah terbiasa dengan pola lama, turun temurun. Masyarakat Lombok itu menjatuhkan talak hanya dengan sekedar ucapan, baik dicatatkan di Pengadilan Agama ataupun tidak dicatatkan sekalipun, tetap dianggap talaknya jatuh, dan hal ini sudah menjadi tradisi masyarakat Lombok. Tradisi seperti ini tentu saja dipengaruhi oleh ajaran atau didikan ustad, Tuan Guru yang sudah berlangsung lama bahkan sebelum UU No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) itu ada. Ustad dan Tuan

37 Lalu Muhtar, Wawancara, Mataram, 10 Nopember 2017

38 Ibid.

141

Guru memberikan pengajian kepada santri-santrinya berdasarkan

kitab-kitab kuning klasik yang bermazhab Syafi‟i.39

Praktek seperti ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam tapi dilakukan juga oleh pemuka agama dan pemuka masyarakat. Tuan Guru lain di Lombok Tengah mengungkapkan bahwa Tuan Guru yang melakukan perceraian

hampir tidak pernah diajukan ke Pengadilan Agama.40 Bahkan kepala dusun yang

telah melakukan beberapa kali perceraian tidak pernah sekalipun melaporkan ke

Pengadilan Agama.41 Hal ini didasarkan pada kebiasaan yang sudah dilakukan

secara turun temurun.

d. Masalah pribadi

Abdul Malik, salah seorang pelaku ikrar talak di luar Pengadilan

menegaskan bahwa urusan perceraian adalah masalah yang bersifat pribadi.42

Masalah perceraian ini cukup diselesaikan antara dirinya dengan sang isteri bahkan masyarakat sekitar tidak mempermasalahkannya karena dianggap sebagai urusan pribadi masing-masing. Karena terkait dengan urusan pribadi, maka persoalan percerian tidak perlu dibawa ke Pengadilan, cukup dilaporkan ke kyai desa dan kepala Lingkungan yang bersangkutan. Setelah itu, dikembalikan kepada orang tuanya.

Juhriati, warga kota Mataram, tidak menghendaki perceraian dilakukan di Pengadilan karena menurutnya perceraian adalah suatu aib yang harus disembunyikan kepada khayalak ramai. Jika dilakukan di Pengadilan, maka akan

39

Zainal Arifin Munir, Wawancara, Praya Lombok Tengah, 09 Januari 2018.

40 Ahmad Dimyati, Wawancara, Pujut Lombok Tengah, 24 Pebruari 2018

41 Abdul Malik, Wawancara, Pujut Lombok Tengah, 24 Pebruari 2018

42 Ibid.

142

tersiar bahwa yang bersangkutan telah cerai dari suaminya dan hal itu menambah

beban pikiran dan membuatnya merasa malu.43

e. Tingkat kesadaran hukum yang kurang

Kebanyakan pelaku ikrar talak di luar Pengadilan adalah mereka yang menikah secara sirri (secara hukum agama) tanpa dicatatkan di KUA setempat, baik pernikahan yang pertama maupun pernikahan yang berikutnya. Akibatnya, banyak di antara mereka yang tidak mengikuti aturan hukum yang telah diundangkan oleh negara, khususnya dalam masalah perkawinan dan perceraian yang mengharuskan mereka mencatatkan di KUA dan mendaftarkan perceraian di Pengadilan Agama.

Berdasarkan pengakuan beberapa pelaku ikrar talak di luar Pengadilan bahwa mereka sebenarnya mengetahui adanya aturan hukum bahwa ikrar talak harus dilakukan di depan hakim Pengadilan Agama, tapi karena beberapa alasan yang telah disebut di atas, maka mereka tidak mendaftarkan ke Pengadilan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka memiliki tingkat kesadaran hukum yang kurang.

Praktek kawin cerai dan ikrar talak di luar Pengadilan yang dilakukan oleh masyarakat awam dan sebagian pemuka agama dan tokoh masyarakat di Lombok dengan berbagai macam faktor yang melatarbelakangi dan alasan mengapa tidak dilakukan di Pengadilan sebagaimana diuraikan di atas, menandakan bahwa mereka meyakini apa yang mereka lakukan itu sah hukumnya karena didasarkan pada adat kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun

43

143

(‘urf) dari generasi ke generasi yang disandarkan pada hukum agama yang tidak melarangnya. Hal ini menunjukkan juga bahwa hukum agama dan hukum adat tetap menjadi patokan mereka dalam melakukan perceraian di luar Pengadilan, terlepas dari adanya ketetapan hukum positif yang mengharuskan dilakukan di hadapan sidang hakim Pengadilan Agama.

Keadaan yang demikian ini menunjukkan bahwa pluralisme hukum atau berlakunya beberapa hukum dalam suatu masyarakat, terjadi pada masyarakat Lombok. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Lawrence M. Friedman bahwa pluralisme hukum adalah adanya sistem-sistem atau kultur

hukum yang berbeda dalam sebuah komunitas politik tunggal.44 Demikian juga

John Griffith (1986) menyatakan pluralisme hukum sebagai kehadiran lebih dari

satu tertib hukum dalam sebuah bidang sosial.45

B. Pandangan Tuan Guru terhadap Paktek Ikrar Talak di luar Pengadilan