BAB III PULAU LOMBOK,
TENTANG IKRAR TALAK DI LUAR PENGADILAN DI LOMBOK
B. Pandangan Tuan Guru terhadap Paktek Ikrar Talak di luar Pengadilan Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa banyak di kalangan
11. TGH. Lukmanul Hakim
Lukmanul Hakim, mantan rektor IAIN Mataram yang saat ini sudah pensiun, masih aktif berdakwah di tengah-tegah masyarakat Lombok, khususnya masyarakat kota Mataram dan Lombok Tengah. Ia merupakan alumni pondok pesantren Islahuddiny Kediri Lombok Barat dan termasuk salah seorang sesepuh ormas keagamaan Nahdlatul Wathan (NW). Di Pesantren al-Islahuddiny, ia mempelajari berbagai macam kitab fiqh klasik di antaranya dalam bidang fiqh, Fath} Qari>b karangan Muh}ammad b. Qa>sim b. Muh}ammad Gha>zi> b. Ghara>bili Abu> Abdillah Syamsuddin, Fath} Mu‘i>n karangan Ima>m Zainuddin al-Malibari, dan Fath} al-Wahha>b karangan Ima>m Jakariyya al-Ans}a>ri>, dalam bidang tafsir, ia diajarkan kitab tafsir Jala>layn karangan Jala>l al-Di>n al-Mah}alli> pada
tahun 1459 M dan disempurnakan oleh muridnya yang bernama Jala>l Di>n Suyu>t}i> pada tahun 1505 M, dan dalam bidang hadis diajarkan kitab Bulu>gh
al-Mara>m karangan al-H}a>fi>z} Ibnu Hajr al-Ashqala>ni> (773 H - 852 H).
Setelah menyelesaikan pendidikan pondok pesantren, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, tepatnya di IAIN Sunan Ampel Surabaya cabang Mataram, kemudian melanjutkan ke Pascasarjana Universitas Mataram Jurusan
87 Ibid.
174
Managemen dan menempuh S3 di IAIN Syarif Hidayatullah konsentrasi Dirasah Islamiyah dengan mengambil tema penelitian tentang “Hubungan antara etos kerja dengan religiusitas”. Karyanya yang lain berjudul “Peranan Ulama dalam Pengembangan Syari‟at Islam di Lombok”, Laporan Penelitian, IAIN Sunan Ampel Mataram, 1995.
Membincang masalah perkawinan dan perceraian pada masyarakat Lombok, ia menegaskan bahwa pemerintah sudah mengaturnya dengan menetapkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Peraturan pemerintah ini menurutnya harus didukung karena memberikan kemaslahatan bagi warga negara. Pernikahan yang dicatatkan oleh KUA akan memberikan keuntungan bagi yang bersangkutan dan memberikan keyakinan publik bahwa yang bersangkutan benar-benar sudah menikah dengan menunjukkan bukti surat nikah. Perceraian yang dilakukan di Pengadilan memberiskan kepastian hukum kepada yang bersangkutan karena sudah tertulis hitam di atas putih, sehingga bila terjadi suatu hal di kemudian hari, dapat
menunjukkan bukti tersebut.88
Sementara talak yang dilakukan masyarakat Lombok di luar Pengadilan, menurutnya, secara fiqh hukumnya sah, tapi kita dapat mengakatakannya salah karena tidak merujuk kepada peraturan pemerintah UU No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum fiqh tersebut, menurutnya bisa berubah karena illatnya berubah. Kaidah Fiqhiyyah mengatakan: Al-h}ukm yadu>ru ma‘a ‘illatihi wuju>dan wa ‘adaman. Hukum itu berputar beserta „ilatnya baik dari sisi
175
adanya maupun tidak adanya „illat.89
Misalnya, pernikahan dini, nikahnya sah tapi karena melihat illatnya kematangan mental belum terpenuhi, maka pernikahan itu menjadi tidak baik dan merusak tujuan perkawinan itu sendiri. Perkawinan yang demikian ini bisa diputuskan dengan perkawinan yang tidak sah.
Oleh karenanya, menurutnya, umat harus dihimbau dan dianjurkan untuk berkiblat kepada Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Begitu juga ketika hendak bercerai, harus dilakukan di Pengadilan Agama. Perceraian adalah salah satu cara untuk keluar dari persoalan yang mendera pasangan suami isteri yang terus menerus terjadi. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka salah satu jalan keluar adalah perceraian. Jadi perceraian bertujuan untuk kemaslahatan bagi kedua pasangan. Dalam mewujudkan kemaslahatan tersebut, sekali lagi, harus dilakukan di Pengadilan Agama, untuk menghindari kesewenang-wenangan suami dalam menjatuhkan ikrar talak. Biar sang suami tidak gampang mengikrarkan talak disebabkan oleh hal-hal sepele
yang sebenarnya bisa dirundingkan dengan cara baik-baik. 90
Sebagai contoh di Lombok Tengah, banyak suami dengan gampangnya menjatuhkan talak kepada isterinya karena hal sepele. Hal seperti ini menyebabkan mereka melakukan kawin cerai berkali-kali dengan gampangnya. Alasannya, karena mereka tidak tunduk pada aturan cerai yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), juga karena terlalu tunduk kepada aturan fiqh yang menurut mereka mempermudah terjadinya perceraian, sehingga mereka dipermudah untuk kawin lagi, hingga mencapai
89
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), 50.
176
empat orang isteri atau lebih. Di sini ada unsur tidak baik, yakni mempermainkan hukum hingga isterinya lebih dari empat. Kejadian yang demikian, menurutnya, terjadi pada masa lalu. Saat ini barangkali sudah berkurang. Perilaku yang demikian, menurutnya bisa dikatakan sebagai adat kebiasaan, karena adat itu pada
suatu saat bisa saja berubah.91
Saat ini, masyarakat Lombok mulai sadar dengan adat merariq, mulai terbuka dengan system meminta terlebih dahulu. Kalau dulu harus dengan adat. Dahulu, ketika tiba musim panen serentak pada musim kemarau, terjadilah pernikahan secara ramai-ramai. Saat musim hujan datang, banyak yang melakukan perceraian. Hal ini terjadi karena mudahnya perceraian itu dilakukan.
Bagi masyarakat Lombok, tradisi kawin cerai ini ada kaitannya dengan mudahnya pelaksanaan pernikahan karena yang menanggung semua beban biaya adalah sang suami. Sang isteri sama sekali tidak menyediakan dana untuk pelaksanaan pernikahan. Dana seratus persen disediakan oleh calon suami selain untuk mahar. Berbeda dengan tradisi Jawa dimana calon isteri juga ikut andil dalam menyiapkan dana pernikahan. Begitu juga, ketika sudah menikah, pasangan suami isteri tinggal jauh dari rumah ibu mertua. Kalau di Jawa biasanya tinggal dulu seminggu di rumah mertua dan bahkan biaya banyak di keluarkan oleh pihak perempuan.
Jadi, perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan secara hukum syari‟ah itu sah tapi akibat di masyarakat kurang bagus. Secara sosiologis, cerainya mudah, ulama dalam hal ini, Tuan Guru tidak terlalu peduli dengan masalah ini, mereka
91 Ibid.
177
banyak mengkaji masalah-masalah ibadah formal. Tuan Guru tidak mengkaji dari segi maslahatnya, tapi melulu dilihat dari segi fiqhnya.