• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Akar Ilalang”

Dalam dokumen Buku Guru Dan Baru 2016.pdf (Halaman 191-200)

W

idya Lestasi memimpikan satu lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi anak- anak miskin. Ia ingin mereka bisa sekolah gratis tanpa harus membayar apapun dan direpoti dengan apapun. Namun untuk mewujudkan impian itu, ia harus punya gedung. Akhirnya ia berinisiatif membawa anak-anak ke musholla di depan rumah. Namun masyarakat tidak berkenan. Lalu ia pindahkan mereka ke rumah ibunya. Di rumah itu, “anak-anak akar ilalang” diajarinya mengaji, diceritakan tentang kisah- kisah para Nabi. Mereka juga diajari menulis, menari, membaca puisi dan drama.

***

Saat tim penulis berkunjung ke rumahnya di desa Tunjungrejo awal Oktober 2015, guru ekonomi di

Jawa Tengah ini sedang sibuk mengawasi anak asuhnya yang berlatih tari saman. Bagi dia, bermain dan belajar bersama anak-anak menjadi rutinitas yang menyenangkan.

Aktifitas itu dilakukannya di luar tugas mengajar di

sekolah formal. Namun di sekolahnya ia juga membuat terobosan. Ia tidak mau siswanya terkungkung di dalam kelas. Guru ekonomi ini meminta izin untuk mengajak siswa-siswinya berkunjung ke bank, pusat produksi makanan, sampai ke Bursa Efek. Ada cerita, saat berkunjung ke bank, ia tertegun. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para siswa sangat menyedihkan. Itu karena selama ini mereka hanya menduga-duga. Tidak tahu dunia luar; tidak tahu apa sebenarnya yang mereka bicarakan di sekolah.

Di Madrasah Salafiyah, ada forum pembelajaran

luar kelas bernama study excursion yang identik dengan dirinya.

Prestasi Formal dan Nonformal

Widya (38), demikian ia akrab disapa, mendedikasikan ilmu dan pengalamannya bagi kemajuan siswa dan madrasah tempatnya mengajar. Itu sudah dilakukannya sejak di bangku kuliah. Salah satu yang dilakukannya antara lain, mengikuti lomba guru berprestasi baik di tingkat kabupaten maupun provinsi.

Untuk tingkat Kabupaten Pati, Widya dapat juara I Guru MA Berprestasi. Ia juga menyabet gelar Guru Berprestasi tingkat Provinsi Jawa Tengah pada tahun

2015. “Itu yang secara formal. Terus dikirim ke provinsi,

alhamdulillah masih dapat juara tiga,” tutur Widya bangga.

Meski itu pengalaman pertama, namun bagi dia merupakan pencapaian yang luar biasa. Pasalnya, selain tidak ada pengalaman dan pembinaan dari siapapun, ia mempersiapkan sendiri materi dan segala hal terkait perlombaan. “Kami membuat karya ilmiah sendiri, mempersiapkan segala sesuatunya sendiri. Jadi, itu adalah satu capaian yang luar biasa bagi saya,” tandasnya.

Widya merasa, prestasi formal bukan segala- galanya. Ia lebih bersyukur memiliki prestasi nonformal. “Untuk prestasi nonformal, saya pikir saya sudah menjadi teladan bagi anak saya. Itu sudah satu prestasi. Apalagi saat saya tanya, pengen jadi apa dek? Anak saya bilang, ingin jadi seperti ibu, jadi guru. Berarti sikap saya selama ini sudah menjadi teladan bagi dia, minimal itu,” ujarnya merendah.

Widya merasa anak-anak didiknya memiliki kesan dirinya merupakan prototipe guru yang galak. Meski demikian, kesan tersebut tidak membuatnya dibenci murid. Justru ia merasa dicintai dan dihormati mereka. “Kalau bagi murid saya yang lain memang saya terkenal sebagai guru yang katanya galak, tapi dicintai banyak murid,” ujarnya sembari tergelak.

Mengapa demikian? Menurut dia, karena sikap galak yang ditunjukkannya bagi anak-anak merupakan galak yang mendidik. Contoh misalnya, ia sering

menegur anak putri yang ketahuan berjilbab masih memperlihatkan sebagian rambutnya.

“Saya bilang, kalau berjilbab ya rambutnya nggak boleh kelihatan. Jadi, kalau ada rambut yang koser- koser di belakang itu pasti saya jambak. Mesti seperti

itu. Ini kuda apa gadis Aliyah Salafiyah ini. Kan nggak

ada bedanya antara kuda yang di pasar dengan anak

MA salafiyah ini. Yang kayak gitu langsung saya jambak,”

ujarnya.

Widya juga sangat memperhatikan soal pakaian khususnya seragam. Terus jika ada anak anak MA

Salafiyah yang pakai seragam streat, agak pendek, gitu

kan dikeluarin ya, karena pendek gitu, itu biasanya saya kerjain, di papan tulis saya suruh nulis kan tangannya gini (sambil memperagakan menulis) jadi kan kelihatan karena terbuka. Waw keren banget. Saya bilang gitu,” katanya sembari tertawa.

Ia juga memiliki trik jitu mengatasi anak didik yang malas mengerjakan pekerjaan rumah (PR). “Mungkin galaknya itu kalau muridnya nggak ngerjain PR. Saya bilang ke anak-anak, oke, saya beri kesempatan. Tapi ngerjainnya sampai lima kali yaa. Besok biar mereka nggak mengulangi lagi,” ujar Widya.

Meski mengaku wajahnya kelihatan galak, ia tetap ramah kepada siapapun. Ia mengakui orang yang pertama kali melihatnya pasti terkesan jika ia galak. “Kalau pertama kali ngeliat saya pasti hmmm, galak banget yaa. Tapi kalau sudah kenal, nggak kok,” kata Widya sembari tertawa.

Agar para siswa memperhatikannya, ia sering menyelipkan kalimat-kalimat petuah setiap kali ia mengajar. “Apapun itu. Contoh misalnya, saya mengajar Akuntansi. Tantangannya berat sekali. Ya, mengajar Akuntansi di madrasah yang mereka itu entah bagaimana ceritanya ada kiai yang mengatakan bahwa ilmu ekonomi itu nggak bisa dibawa masuk surga. Tidak bisa menjawab pitakon kubur.”

Ia pun membenarkan pendapat kiai tersebut. “Saya jawab betul. Kiaimu betul sekali,” kata dia sembari mengangkat jempol. Memang nggak ada pertanyaan kubur yang bisa dijawab dengan ilmu ekonomi, tambahnya. “Nggak bisa karena yang dibawa bawa mati hanya tiga, iya to?! Salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat,” ujarnya.

“Kenapa kalian sekolah, mencari ilmu. Buat apa? Cari pekerjaan bukan? Nah, itu. Pekerjaan itu adalah nanti memanfaatkan ilmu yang dimiliki, itu yang bisa dibawa mati. Memang nggak bisa dipakai untuk menjawab pitakon kubur tapi bisa dibawa mati karena ilmunya yang bermanfaat. Tapi kalau kalian sekolah tidak bisa memanfaatkan ilmu ya tidak bisa dibawa mati,” tegasnya.

Yang kedua, lanjutnya, supaya pelajaran masuk di otak mereka, ia merujuk ke Al-Qur’an. Meski orang ekonomi yang tidak pernah sekolah di madrasah, ia berani menunjukkan kebenaran. “Baca al-Baqarah ayat 282. Di situ diperintahkan setiap kalian bertransaksi, catatlah. Nah, Akuntansi itu jadi ilmu pencatatan itu. Jadi dasarnya jelas. Siapa bilang Akuntansi bukan ilmu

dari Al-Quran? Jelas, nggak bisa ditolak. Baru mereka bisa menerima jawaban saya,” tandasnya.

Tunjukkan Loyalitas dengan Prestasi

Pengalaman Widya mengikuti lomba guru berprestasi tingkat kabupaten merupakan suatu hal yang luar biasa. Apalagi mampu menyabet juara I. Ia menceritakan, lomba untuk Kementerian Agama Pati baru digelar pada Maret 2015. Sementara, untuk Kanwil Kemenag Jawa Tengah sudah dua kali. “Lomba tersebut merupakan pengalaman pertama saya. Tapi, saya ikut Diknas makanya pialanya dari Diknas. Kalau diknas kan dari dulu. Nah, sasarannya khusus guru MA. Meski pelaksana lomba itu Diknas, namun pesertanya guru SMA dan MA. Jadi, MA sendiri, SMA sendiri. Pelaksanaannya bareng,” kata dia.

Konon, lanjutnya, Kemenag Pati ingin memberikan motivasi kepada para guru yang ada di bawah naungannya supaya bersemangat. Nah, akhirnya Kemenag Pati bekerjasama dengan Diknas untuk menyelenggarakan lomba tersebut. Lombanya gabung antara guru SMA dan MA. Satu ruangan. Namun, juaranya ada dua: MA dan SMA. “Semua prosesnya sama. Presentasi di ruang yang sama dengan juri yang sama. Cuma dibedakan antara guru MA dan SMA,” papar Widya.

Meski diselenggarakan bulan Maret, namun penerimaan piala baru pada Mei 2015. Widya menceritakan, dulunya lomba tersebut menggunakan istilah “guru teladan”, namun kini diubah istilahnya

menjadi “guru berprestasi”. Adapun cara lombanya, para peserta menyusun karya ilmiah dan membuat portofolio yang berisi aneka kegiatan atau aktivitas yang pernah dilakukan. Misalnya, di sekolah tersebut sang guru selain mengajar juga memiliki tugas lain.

“Seperti saya, misalnya, pernah jadi koordinator prodi IPS selama delapan tahun. Lalu, menjadi pembimbing olimpiade karya ilmiah remaja, pembimbing teater, pembimbing apa namanya kayak ada lomba orasi, cerdas cermat, atau lomba debat. Nah, itu dirangkum menjadi satu. Karya ilmiah pertama saya ambil penelitian tindakan kelas (PTK) untuk materi saya sendiri,” ujarnya.

Ditanya tentang suka-duka pencapaian prestasi, Widya mengatakan untuk kategori prestasi formal ini ia mengerjakan risetnya sendiri dengan biaya sendiri. Tidak ada supporting bantuan dari pihak manapun termasuk dari sekolah. Pada akhirnya, diberi insentif dari pihak sekolah lantaran meski dapat juara I namun tidak mendapat hadiah uang pembinaan.

“Jadi, dari Diknas tidak ada hadiah apa-apa selain

piala sama sertifikat saja. Padahal penelitian butuh

biaya macam-macam. Tapi nggak apa-apa. Tujuan kami sebenarnya bukan itu. Tujuan kami bukan untuk mendapatkan hadiahnya. Tapi tujuan saya adalah bagaimana saya memiliki karya yang bisa menginspirasi banyak orang,” ujarnya.

Ia terpacu mengikuti lomba guru berprestasi ketika

terlibat konflik personal dengan salah satu stakeholders

memiliki motivasi tersendiri. Jadi, pada saat saya mengikuti lomba ini pada saat yang sama saya sedang

mengalami konflik dengan kepala Aliyah Salafiyah. Ini

saya fair saja,” ujarnya mantap.

Pada saat itu, ada pihak ketiga yang mencoba untuk “meracuni” kepala sekolah terkait dirinya yang dianggap tidak memiliki loyalitas kepada madrasah.

Akhirnya konflik pun tak terhindarkan. “Konfliknya

sangat personal banget. Jadi, saya tidak bisa share. Intinya saya merasa didzalimi. Lalu, saya ingin buktikan bahwa saya memang memiliki loyalitas yang tinggi kepada madrasah. Saya memiliki kompetensi yang berbeda dengan yang lain. Jadi, saya buktikan dengan punya karya itu,” ucapnya berkaca-kaca.

Ia merasa bersyukur sekali ketika hasil risetnya selesai dan siap dilombakan. Lalu ia datangi sang kepala sekolah sembari bicara baik-baik soal lomba guru berprestasi. “Bapak, saya minta izin untuk mengikuti

lomba guru berprestasi atas nama MA Salafiyah. Respon

beliau, sangat kaget. Lalu menjawab, oh iya, silakan aja kalau memang anda mampu. Oke, pak. Saya minta restunya saja,” tuturnya.

Saat riset untuk lomba yang pertama, lanjut Widya, belum ada bantuan sama sekali baik dari yayasan maupun madrasah. Hingga ia dinyatakan sebagai juara I tingkat Kabupaten Pati, dari pihak yayasan baru tergerak untuk membantu. Kebetulan ketua yayasannya, Ulil Albab, memang sangat luar biasa kepeduliannya bagi pengembangan madrasah.

“Pak Ulil Albab sangat mendukung saya. Kata beliau, apapun yang Anda butuhkan dari fasilitas sekolah terkait lomba, silakan dipakai termasuk dana yang dibutuhkan. Sampai saya dikirim ke Kanwil Kemenag Jateng di Semarang, pihak yayasan juga memberikan sangu (uang saku),” ungkapnya.

Juara Tingkat Provinsi

Setelah bulan Maret 2015 merebut piala juara I tingkat kabupaten, Widya melaju ke tingkat provinsi Jawa Tengah pada September. “Jadi, ada waktu enam bulan untuk bikin karya ilmiah lagi yaitu karya inovatif. Saya melakukan penelitian lagi. Karena yang dikirim ke tingkat provinsi itu karya inovatif. Bukan PTK. Jadi, melakukan riset lagi,” kata jebolan Universitas Widya Gama Malang ini.

Di Kanwil Kemenag Jateng, kontingen Pati beranggotakan sembilan guru dari RA, MI, MTs, dan MA. Mereka didampingi para kepala sekolah dan pengawas. Itu adalah perjuangan yang luar biasa. Pasalnya, dari kesembilan anggota ini belum ada yang berpengalaman ikut perlombaan.

“Jadi, apa saja yang dibutuhkan itu kami mempersiapkan diri sendiri. Sampai sana ketemu para peserta yang rata-rata memiliki NIP yang mana mereka sudah sering kali mengikuti kegiatan seperti itu yang digelar oleh PGRI, KKM, sedangkan kami tidak pernah sama sekali. Jadi, mereka itu sudah berpengalaman,” tuturnya.

Meski demikian, Widya cukup berbangga sebab nilai karya tulis ilmiahnya mendapat nilai tertinggi, yakni 92, kendati hanya mendapat juara tiga. Juara I dari Kabupaten Demak, dan Pekalongan mendapat juara II. Kontingen dari dua kabupaten ini nantinya yang akan mewakili Jawa Tengah untuk lomba di Jakarta.

“Juara satu dan dua nilainya justru di bawah saya. Yang satu 90, satunya lagi 89. Itu nilai karya ilmiahnya. Saya hanya kalah di presentasi. Jadi, karena kurang berpengalaman. Yang kacau lagi itu di power point. Mestinya sedikit saja, tapi punya saya terlalu banyak,” ungkapnya seraya tertawa.

Selain itu, kata dia, waktunya juga hanya sekitar dua minggu. Meski demikian, ia mengaku bangga bisa mewakili Pati di tingkat provinsi. Ia merasa mendapat ilmu banyak sekali dari kegiatan tersebut. Waktu itu, dewan juri dari Univeritas Negeri Semarang (UNNES) dan UIN Walisongo. Tempatnya di hotel Usma Ambarawa.

Widya merasa, sebagai satu-satunya guru MA yang tidak ber-NIP yang lolos tiga besar dengan pengalaman lokakarya dan seminar yang minim sekali dan pertama kalinya. Ia pernah menggagas bersama teman-teman guru ekonomi untuk membuat MGMP Ekonomi khusus guru aliyah swasta.

“Tiga tahun lalu, itu saya namakan gerakan Guru Ekonomi Madrasah Aliyah Swasta (GEMAS) sebagai perlawanan kultural sekaligus mewakili kegemasan kami terkait kesenjangan di antara guru swasta dan negeri,” ujarnya mantap.

Dalam dokumen Buku Guru Dan Baru 2016.pdf (Halaman 191-200)