• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menempuh Perjalanan 115 KM Setiap Hari di Papua

Dalam dokumen Buku Guru Dan Baru 2016.pdf (Halaman 77-105)

K

etika ditanya tentang hobi, Drs Sumarno menjawab, olah raga. Mengapa suka olah raga? Karena ia butuh stamina lebih. Jarak MTs induk

dengan MTs filial yang dikelolanya sejauh 115 KM.

Setiap hari ia pulang-pergi. 4 jam lebih ia duduk di

kendaraan setiap hari. Ada satu lagi MTs filial yang

jaraknya lebih jauh lagi, 600 KM. Sebulan sekali ia naik pesawat dan tinggal 2-3 hari di sana. Kata Pak Sumarno, kalau kita bekerja dengan senang hati dan ikhlas agar bisa bermanfaat bagi orang lain, maka semua yang dilakukan akan bernilai ibadah.

***

Sumarno adalah sosok yang humoris. Ia guru matematika. Sejak kecil ia suka matematika. Mengapa?

“Karena matematika tidak banyak hafalan,” jawabnya enteng.

Sejak duduk di bangku SD, guru-gurunya sangat senang dengan Sumarno. Ia mau ikut lomba apa saja dan hampir selalu menang. Dalam waktu bersamaan, ia ikut pertandingan badminton, kemudian lari jarak 100

M. Ia juga ikut final sepak bola. “Untuk badminton dan

lari saya bisa juara 1. Tetapi sepak bola hanya juara 2,” kenangnya.

Meski jagoan di bidang olah raga, ia tidak ingin menjadi olahragawan. Olah raga hanyalah hobi. Sejak kecil Sumarno bercita-cita menjadi guru. Bahkan sejak duduk di bangku SMA, ia sudah mulai menjadi guru. Ia mengajari anak-anak mengaji di langgar. Ia juga membimbing adik-adik kelasnya belajar matematika. Bagi anak-anak pada umumnya, matematika dibilang susah. Tapi bagi Sumarno, tidak susah!

Mimpi Melihat Satu Bintang

Ada cerita menarik, mengapa Sumarno akhirnya memilih mengajar dan mengabdi di madrasah. Awalnya ia menjadi guru honorer di SMA Yapis Biak. Lalu ia mencoba ikut tes guru PNS Kementerian Agama.

“Saya pernah bermimpi melihat langit bintangnya hanya satu. Setelah masuk pegawai, saya baru tahu, Kemenag itu logonya ada bintang satu,” katanya tertawa.

Pada saat pelaksanaan tes, hari Kamis, ternyata ia tidak bisa ikut. Namun memang nasib sudah ditentukan dari sananya. Ternyata tes ditunda karena suatu sebab.

“Seandainya tes tersebut dilaksanakan hari Kamis, saya tidak ikut tes. Berarti saya tidak menjadi PNS di Kemenag,” katanya. Mimpi melihat satu bintang di langit ternyata merupakan isyarat. Dan ia akhirnya resmi menjadi pegawai di lingkungan Kemenag.

Saat itu ia tinggal di Biak, sekitar 500 KM dari Kota Jayapura. Tes dilaksanakan di Jayapura pada hari Sabtu. “Saya ikut tes. Alhamdulillah saya diterima di MTs Negeri Nimboran tahun 2003,” katanya.

Sumarno dilahirkan di Pematangsiantar Sumatra Utara, 28 September 1964. Pada tahun 1985 ia datang ke Papua (dulu Irian Jaya). Ia kuliah di Universitas Negeri Cenderawasih.

“Saya datang ke Papua tahun 1985. Kebetulan lewat PMDK (penelusuran minat dan kemampuan) di Universitas Negeri Cenderawasih. Alhamdulillah saya mendapat beasiswa dari semester tiga sampai selesai,” katanya.

Jiwa perantau membuatnya betah tinggal di mana saja. Namun ada yang paling membuatnya betah tinggal dan mengabdi sebagai guru di Papua. Guru matmatika di Papua sangat langka. Di lingkungan Dinas Pendidikan, guru matematika juga langka, di madrasah apalagi. “Di Kabupaten Jayapura, PNS guru matematika yang dari Kemenag hanya saya saja,” ujar ayah dua anak ini.

Bertugas di MTsN Nimboran, Jadi “Bujang Lokal”

Sumarno ditugaskan sebagai Kepala MTsN Nimboran sejak 1 September tahun 2011. Namun ia sudah tinggal di lingkungan MTs dari tahun 2003 sampai dengan

2010. Ia berada jauh dari istri dan anaknya yang pindah dari Biak ke kota Sentani.

“Jadi saya bujang lokal selama 7 tahun. Tetapi itu semua saya lalui dengan apa adanya, tidak mengeluh walau jauh dari istri dan anak-anak, demi kemajuan MTs Negeri tercinta,” katanya. “Atas dasar itu mungkin saya dianggap layak menjadi Kepala Madrasah,” tambahnya.

Sumarno adalah Kepala Madrasah keempat di MTsN Nimboran. Kepala Madrasah pertama H. Dahlan Iribaram (almarhum). Setelah itu Sardi, S.Ag, lalu Muh Makbub (almarhum).

MTsN Nimboran berdiri tahun 1997 dengan luas tanah 2500 M2 di atas tanah transmigrasi yang berupa

tanah pekarangan. Pada tahun 2006 luas tanah menjdi 5000 M2 dengan jumlah rombongan belajar 3 kelas. Ada

5 guru PNS dan 3 guru honorer. Jumlah siswa 80 orang. Pada tahun 2007 jumlah siswa menjadi 90 orang. Tahun 2008 sampai dengan 2011 jumlah siswa antara 90 sd 110 orang.

Kejuaraan yang dicapai sebelum ia menjabat kepala MTsN Nimboran hanya berkisar pada tingkat Kabupaten dan provinsi baik itu perlombaan MIPAING atau OSN. Pada tahun Ajaran 2011/2012 MTs N bisa mengikuti ajang Kompetisi Sains Madrasah (KSM) matematika

dan fisika tingkat Nasional mewakili Provinsi Papua.

Waktu itu MTsN Nimboran mendapat medali perunggu

untuk mata pelajaran fisika.

Pada tahun ajaran 2012/2013 dan Tahun ajaran 2013/2014, MTsN ini tidak beruntung pada tingkat Provinsi, dan tidak bisa mewakili papua pada KSM tingkat nasional.

Berikutnya, tahun ajaran 2014/2015, MTsN Nimboran mewakili Papua untuk mata pelajaran matematika dan biologi tetapi tidak dapat medali. “Kita (Papua) mendapat perunggu pada tingkat MA untuk mata pelajaran matematika saja. Kebetulan saya sebagai guru pendamping matematika dan siswa tersebut sebelumnya lulusan MTsN,” katanya.

Orang Tua Ingin Anaknya Cepat Pulang

Saat diangkat sebagai kepala madrasah pada tanggal 1 September 2011, jumlah guru dan pegawai masih tetap

seperti semula. Sarana prasarana ada 6 rombel, 1 ruang laboratorium IPA, 1 ruang perpustakaan, 1 gedung aula dan 1 labotorium PAI. Jumlah siswanya 110 orang.

Masyarakat Nimboran yang berada di Distrik (Kecamatan) Nimokrang pada umumnya adalah petani, karena masyarakatnya transmigran dari Jawa. Mereka datang ke Papua pada tahun 1980 yang mayoritas beragama Islam. Jumlah penduduk distrik Nimbokrang kurang lebih 1000 jiwa.

Di distrik Nimbokrang ada 2 MI swasta dan 2 SD, 2 SMPN dan 1 MTsN, 1 MAN dan 1 SMA swasta. “Sejak saya menjadi kepala, tamatan SD dan MI swasta berantusias masuk ke MTsN. Mengapa? Sederhana. Karena ada drumband dan kegiatan pramuka,” kata Sumarno.

Menurut Sumarno, sejak ia menjadi kepala madrasah sampai sekarang, biaya pendidikan di MTsN Nimboran gratis. Dan khusus untuk para guru, dibandingkan dengan guru Dinas Pendidikan, guru MTsN lebih sejahtera. “Guru dinas tidak dapat motor dinas. Kepala sekolah dinas tidak dapat mobil dinas,” katanya senang.

MTsN Nimboran adalah satu satunya madrasah negeri di Papua. Jarak dari ibukota Kabupaten Jayapura 70 km. Kalau dari Kota Jayapura 100 km.

Karena pada umumnya masyarakat petani. Setelah pulang dari madrasah, para siswa membantu orang tua di ladang, atau mencari rumput untuk ternak sapi. Sehingga orang tua berharap anaknya cepat pulang dari madrasah. Karena itulah masih banyak orang tua

memasukkan anaknya di SMP karena di SMP cepat pulang. Sementara di MTsN pulang lebih lama.

Untuk menyiasati hal itu, MTsN masuk lebih awal. Pukul 07.00 waktu setempat sudah masuk kelas dan anak-anak sudah bisa pulang jam 13.30 untuk membantu orang tua mereka.

Sumarno berfoto dengan warga asli Papua di ruangan kelas

“Kita belajar 6 hari dalam satu minggu. Sesuai dengan kewajiban guru dalam satu minggu ada 37.5

jam,” kata Sumarno sambil menjelaskan kualifikasi

guru-gurunya, baik yang pegawai maupun yang honorer. MTsN Nimboran masih menggunakan KTSP untuk mata pelajaran umum. Namun untuk materi Pendidikan Agama Islam (PAI) sudah menggunakan kurikulum 2013 dengan sistem penilaian KTSP sesuai Surat Edaran Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Pusat.

Setiap guru mempersiapkan RPP dan bahan ajar yang akan ditampilkan atau diajarkan oleh para guru. Sistem pengajarannya dengan paikem. Diawali dengan pretest dan diakhiri dengan postes. “Jika nilai postes mencapai 80% nilai KKM, maka guru tersebut berhasil dengan baik mentransfer ilmu kepada siswanya,” katanya.

Sumarno menjelaskan, di samping ujian harian ada juga ujian tengah semester (UTS). Hasil UTS dimaksudkan untuk melihat seberapa kualitas siswa dapat mencapai KKM setiap mata pelajaran (mapel). KKM setiap mapel tidak harus sama sesuai dengan guru mata pelajaran masing-masing.

Prstasi MTsn cenderung meningkat. Tahun pertama ia menjabat, madrasah tsanawiyah ini sudah mendapatkan juara KSM tingkat kabupaten. Berikutnya, tahun kedua ia berhasil memenangkan KSM tingkat provinsi, dan tahun ketiga mendapatkan peruggu KSM tingkat nasional.

“Khusus untuk ektrakurikuler dan kokulikuler kita tetap laksanakan seperti pramuka, olah raga, persiapan KSM, maupun aksioma untuk menggali potensi

keterampilan dan kreatifitas siswa,” kata Sumarno.

Pada tahun pelajaran 2014/2015 jumlah siswa di MTsN Nomboran 152 orang di madrasah induk. Rata- rata lulusan MTsN Nimboran melanjutkan sekolah ke MAN Nimbokrang.

Mengelola Dua MTs Swasta Filial

MTsN Nimboran mempunyai MTs Swasta Filial Koya Barat Kota Jayapura. Menurut Sumarno, MTs ini didirikan untuk menampung lulusan MIN Koya Barat akan melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi.

“Para wali siswa kelas 6 MIN bingung. Maka atas insiatif kepala MIN Koya Barat ibu Hj. Nurwachidda, S.Pd.I., MM dibukalah MTs Swasta Persiapan Negri Koya Barat tahun ajaran 2011/2012,” katanya.

Jarak MTs Induk dengan Filial 115 km jauhnya. SK Filial tertanggal 19 Juni 2014. Dalam SK tersebut semua operasional, proses belajar mengajar, administrasi dan keuangan menjadi tanggung jawab madrasah induk (MTsN Nimboran). Sumarno sebagai sekolah harus

pulang-pergi ke MTs filial di Koya Barat.

Alhamdulillah ada mobil oprasional. Dari jam 06.30 sd 09.00 saya ada di madrasah induk. Kemudian

saya berangkat ke MTs filial. Waktu perjalanan 115 km

di tempuh 2.5 jam. Sampai di MTs S Filial Koya Barat jam 11.30. Sampai jam 13.30. saya menangani MTsS Filial Koya Barat,” katanya.

Pada saat dirinya tidak berada di MTsN Nimboran, dari pukul 09.00 sampai dengan 13.30 waktu setempat, ia memberikan mandat kepada wakil kepala madrasah bagian kurikulum. Sementara di MTs S Filial Koya Barat dari pukul 07.00 sd 11.30 saat berada di MTsN Nimboran Sumarno memberikan mandat kepada wakil kepala madrasahnya yang bertugas di sana.

“Untuk Dana bos sepenuhnya di kelola oleh wakamad MTsS Filial Koya Barat. Di luar itu dari madrasah induk. Jumlah siswa sekarang 275 orang. Dengan 9 rombel. MTsN dan MIN bahu-membahu meningkatkan kepercayaan masyarakat dan mengajak para orang tua siswa agar anak-anak mereka bersekolah di MTs,” tambahnya.

Siswa MTsS Filial Koya Barat berjumlah 48 orang pada tahun 2013/2014 dan keluar lulusan pertama sebanyak 48 siswa dengan nilai 100% lulus. Tahun 2014/2015 lulusan kedua meningkat dengan jumlah 68 orang. “Lulus 100% peringkat 10 besar se-kota Jayapura,” kata Sumarno bangga.

Prestasi yang dicapai MTsS Filial ini antara lain peringkat ke-3 sekolah/madrasah peduli lingkungan tahun 2014, peringkat ke-3 lomba drumband dalam rangka HUT Kota Jayapura tahun 2015, peringkat ke-1 lomba berpidato dalam rangka HAB Kementerian Agama Tingkat Kota Jayapura tahun 2014, peringkat ke-1 lomba qasidah rebana dalam rangka Tahun Baru Hijriah 1437 tingkat Koya Barat tahun 2015, dan peringkat ke-3 lomba gerak jalan dalam rangka HUT RI ke-70 Tahun 2015.

Selain MTsS Filial Koya Barat, MTsN Nimboran juga mengelola MTs Swasta Merasugun. Dalam aturan penegerian madrasah, lembaga pendidikan ini harus menginduk ke madarasah negeri yang terdekat.

“Karena MTs Negeri Nimboran adalah madrasah negeri satu satunya yang ada di Papua, maka mau tidak mau suka tidak suka sejauhnya berapapun tetap

menginduk ke MTs N Nimboran,” kata Sumarno. Beban di pundaknya bertambah.

“Saya berkomunikasi lewat telepon dengan Akil kepala madrasah di Wamena. Tiap bulan saya ke sana memberikan semangat kepada guru-guru agar tetap betah di pelosok pegunungan,” katanya.

Mengingat lokasinya sangat jauh, ia hanya mendatangi sekolah satu bulan sekali. Sebulan sekali ia naik pesawat ke Wamena menuju MTsS Filial Merasugun. 2 atau 3 hari ia di sana. Jumlah siswanya 20 orang, asli anak Papua yang beragama Islam.

“Saat saya tidak berada di sana. Tanggung jawab saya serahkan ke Kepala MIS sebagai wakil saya di sana. Kebetulan MIS dan MTsS Filial berdekatan atau satu lokasi,” tambahnya.

Lebih Banyak Sukanya

Mengelola satu MTsN dengan dua madrasah filial yang

lokasinya sangat jauh tentu tidak mudah. Bagaimana suka dan dukanya? “Banyak suka sebenarnya kalau kita bekerja dengan senang hati dan ikhlas,” kata Sumarno mantab.

“Kita berpikir bahwa sebaik-baiknya umat adalah bermanfaat bagi orang lain. Jadi, tindak tanduk kita dan ucapan jadi ibadah semua. Apapun kita lakukan demi mempercepat penegerian dua MTs Filial tersebut,” tambahnya.

Namun dukanya juga ada. Saat menempuh

ada hal yang tidak diinginkan. “Kalau ban kempes kita capek dongkrak sendiri. Kalau dukanya perjalanan udara ke Wamena itu pas musim dingin dan cuaca buruk. Pesawat tidak bisa terbang,” katanya.

Suami dari Dra.Estu Pamikat Asih, guru biologi di

SMA swasta itu tetap bersemangat mengelola dua filial.

“Ini kan amanah. Supaya MTsN tambah banyak kita harus optimis. Dimanapun MTs itu akan dinegerikan kita harus emban amanah itu dengan selalu minta keselamatan dan kesehatan, serta ridho dari Allah. Itu saja,” katanya.

Sumarno lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya hanya tamat Sekolah Rakyat dan bekerja sebagai buruh perkebunan ekonomi. Ia adalah anak ketiga dari 7 bersaudara.

Ia tamat SD tahun 1979, tamat SMP 1982 dan tamat SMA 1985. Selanjutnya ia mendapatkan sarjana pendidikan matematika 1991 di Universitas Cendrawarsih.

Saat ini Sumarno sedang menyelesaikan S-2 di pendidikan matematika juga. Ia duduk di semester 3 di universitas yang sama. Walaupun umur sudah setengah abad, ia masih semangat belajar.

Mengabdi di madrasah menjadi pilihan hidup Sumarno. Madrasah itu di kampung bukan berarti kita kampungan. “Di Papua sudah saya tunjukkan bahwa guru madrasah negeri lebih sejahtera di bandingkan guru negeri dinas pendidikan,” katanya. (*)

Hendro Murjoko, M.Pd., Guru Senior di MAN Insan Cendekia

Potret Guru Teladan

di Madrasah Teladan

B

eberapa guru memang perlu berorientasi keluar, mengantarkan siswa-siswi berprestasi di berbagai kompetisi. Namun untuk mempertahankan stabilitas dan keunggulan madrasah, diperlukan juga sosok guru yang “menjaga gawang”, istiqamah berada di dalam dan memberikan teladan. Inilah yang diperankan oleh Hendro Murjoko, guru senior yang mengajar kimia di MAN Insan Cendekia Gorontalo. Datang dari daerah yang jauh bersama keluarga, ia tidak berpikir akan berpindah tugas ke luar daerah. Ia sudah menikmati hidup di Gorontalo bersama keluarga dan para siswanya. Ia datang ke madrasah paling pagi, dan pulang paling sore. Ia hampir tidak pernah kemana- mana selain madrasah. Sesekali waktu ia mengundang

guru kimia dari sekolah lain ke MAN Insan Cendekia untuk belajar bersama.

***

Ditemui di sekretariat MAN Insan Cendekia Gorontalo, Rabu (7/10/2015), bapak tiga anak ini keliahatan segar. Badannya yang tegap dan atletis menunjukkan kalau ia gemar berolahraga. Usianya sudah hampir kepala lima, tapi ia kelihatan lebih muda. Kesan paling menarik ketika berbincang dengan Pak Hendro adalah ketika ia bercerita tentang kepala sekolahnya dulu sewaktu ia sekolah di Lampung. Namanya Pak Mardi R. Ia sangat fasih kalau mengatakan huruf “R”.

Ia bercerita banyak hal tentang pengalaman pribadinya, sampai akhirnya menjadi guru dan sempat menjadi kepala madrasah di MAN Insan Cendekia Gorontalo. Ia merasa belum tuntas belajar agama. Dan di madrasah ini, sembari mengajar kimia, ia merasa “terkondisikan” untuk memperdalam agama.

Hidayah dari Langgar Kampung

Hendro Murjoko lahir dari keluarga non muslim. Ayahnya yang berasal dari Solo menganut agama Kristen Protestan. Ibunya dari Wonosobo sempat Muslim kemudian pindah agama. Mereka menikahnya secara Islam tetapi tidak menjalankan agama. Kemudian sekitar tahun 1965 setelah peristiwa Gestapu, mereka kembali ke Kristen. Namun keluarganya memberikan kebebasan kepada Hendro kecil dan saudaranya untuk menganut agama yang diyakini. Ia bercerita bagaimana pertama kali ia mengucap dua kalimat syahadat

dan mempertahankannya dari rayuan pendeta yang mengajaknya ikut agama Protestan.

Pintu hidayah datang saat Hendro masih duduk di kelas 3 SD. Waktu itu ia diajak temannya mengaji di sebuah langgar kampung, sekitar 200 m dari rumahnya di Lampung. Ayah dan ibunya pindah dari Jawa ke Lampung dan ia lahir di sana.

“Saya ngomong sama orang tua. Pak saya mau ke masjid tapi nggak punya sarung sama kopyah. Kata bapak saya, besok kalau bapak dapat uang akan bapak belikan. Ternyata benar, saya dibelikan sarung dan kopyah baru,” kenangnya.

Setelah mendapat sarung dan peci baru ia pergi ke langgar. Guru mengaji di kampungnya bernama Kang Sukito yang kemudian berganti menjadi Zainal Abidin, berusia lima tahun diatasnya dan sudah dianggap seperti kakak sendiri. Gurunya bertanya, “Dro kog

kamu ngaji ayo baca syahadat dulu saya bimbing,” kata Kang Kito, panggilan akrabnya. Sejak itu sampai lulus SMP selama 6-7 tahun Hendro sering tidur di langgar.

Namun ternyata ia masih tetap dirayu untuk kembali ke gereja. Kata pendeta kepada keluarganya, nanti tidak bahagia kalau ada anaknya yang ‘murtad’. Bahkan ia selalu diajak dialog oleh pendeta sampai ia beranjak SMA dan diajak ke gereja. “Tapi bapak saya tidak masalah,” kata Hendro. Ia kukuh menjalankan agama Islam.

Ketika duduk SMA, Hendro mengikuti pelajaran agama Islam. Ada satu cerita ketika ia dites lisan

bacaan shalat oleh guru agamanya yang bernama Pak Ali Supaat.

“Waktu dites saya betul-betul tidak bunyi. Guru saya menyarankan setelah lulus dari sini kamu mondok ya

itu jalan satu-satunya. Saat itu baru terketuk saya harus belajar lagi,” kata Hendro. Sejak itu ia memperdalam agama kepada guru agama di sekitarnya. Ia juga gemar membaca buku-buku agama dan belajar secara otodidak.

Gerbang MAN Insan Cendekia Gorontalo

Sejak tahun 1990-an ia sudah mengajar di Lampung. Tahun 1995, ketika ada lowongan menjadi guru di Insan Cendekia yang diproyeksikan sebagai sekolah Islam unggulan dan mengadopsi sistem belajar pesantren, Hendro langsung teringat pesan dari gurunya yang menyarankan ia mondok atau belajar di pesantren. Mungkin itulah cara Yang Kuasa memberikan jalan. Di Insan Cendekia, ia semakin mantap memperdalam agama. “Di sini (Insan Cendekia Gorontalo) semua guru terkondisikan untuk memperdalam agama,” katanya.

Tes Masuk Insan Cendekia

Sejak tahun 1990 Hendro sudah mengajar di SMA Utama Wacana Metro Lampung Tengah, tempat ia sekolah SMA. Kemudian tahun 1995 ia mengikuti tes menjadi guru untuk Insan Cendekia, waktu itu masih berada di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT). Ia membaca pengumuman penerimaan guru di salah satu koran nasional. Ia dan beberapa temannya sesama guru mengirimkan lamaran. “Bahkan saya mengirim tiga hari terakhir cap pos. Ternyata dari sekian temen guru, saya yang dipanggil tes,” katanya.

Tes penerimaan guru baru dilakukan di awal tahun 1996, di kantor BPPT Jl Tamrim Jakarta Pusat. Tes meliputi beberapa tahap, dan memakai sistem gugur. Ada tes akademis, psikologi lalu wawancara, setelah itu baru tes kesehatan. Di masa Orde Baru juga ada tahap Litsus atau Penelitian Khusus. Hendro berhasil melewati semua tahap tes dan dinyatakan lulus.

Waktu itu Insan Cendekia akan didirikan di dua lokasi, Serpong dan Gorontalo. Hendro memilih Gorontalo. “Padahal waktu itu saya belum tahu Gorontalo itu dimana, tapi katanya Sulawesi, kampungnya Pak Habibi. Wah menarik ini. Saya tertarik ikut tahu daerah lain seperti orang tua saya. Orang tua saya dari Jawa lalu merantau ke Lampung lalu lahirlah saya,” katanya.

Sebelum ke Gorontalo karena waktu itu IC yang siap baru di Serpong, ada 47 guru yang lulus semua ditempatkan di Serpong. Pada 10 Juli 1997, 23 guru berangkat ke Gorontalo dan mulai mengajar. “Sejak itu saya berada di Gorontalo sampai hari ini,” katanya.

Saat berangkat ke Gorontalo, Hendro sudah berkeluarga dan mempunyai seorang anak berusia 2 tahun. Orang tua dan mertuanya mengikhlaskannya merantau ke Gorontalo bersama anak dan istri. “Sempat sebenarnya mertua saya ajak ke Gorontalo setelah saya 13 tahun di sini. Kata mertua saya, wah di sini enak pantes kamu betah,” kata Hendro.

Sejak pertama berdomisili di Gorontalo bersama istrinya Purwantini dan anak pertamanya, Hendro sudah mengurus surat pindah domisili dan siap hidup sebagai warga Gorontalo. Sekarang ia sudah mempuanyai 3 orang anak: Oman Setianto, Sena Abraham Irsyad, Gantara Lara Janitra. Dua anak yang terakhir lahir di Gorontalo.

Terkondisikan Belajar Agama

Menurut Hendro, sekolah Islam itu akan mengkondisikan para gurunya untuk lebih banyak belajar agama. Ini tentunya bagi guru yang mengajar materi umum. Hendro Murjoko mengajar kimia.

“Sedikit-sedikit saya belajar ilmu agama melalui otodidak. Background pendidikan dari SD sampai S-1 dan S-2 saya semuanya umum dan fokus ke kimia. Saya memang suka membaca buku-buku agama sejak

di rumah terutama fiqih. Nah saya juga suka membaca

buku khutbah Jum’at, walaupun sampai sekarang saya belum pernah maju khutbah tapi saya suka membaca buku khutbah,” katanya.

Dalam dokumen Buku Guru Dan Baru 2016.pdf (Halaman 77-105)