• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perintis MIN, MTsN dan MAN Model

Dalam dokumen Buku Guru Dan Baru 2016.pdf (Halaman 161-191)

A

bdul Djalil. Pria yang sering disapa Abah Jalil ini adalah kepala sekolah dari Lembaga Pendidikan Sekolah Alam Surya Buana. Sebelumnya ia telah sukses memimpin MIN 1, MTsN 1, dan MAN 3 di Kota Malang, Jawa Timur. Beberapa madrasah dan sekolah yang pernah ditanganinya tampil menonjol. Ia didatangi para guru dan kepala sekolah yang ingin menimba ilmu dan pengalaman.

***

Dengan sigap para tamu diajaknya bersalaman satu- persatu. Di balik peci hitam terlihat uban muncul memenuhi sela-sela kepala. Pria yang lahir 70 tahun lalu ini tetap giat di sela kesibukanya menjadi Kepala Lembaga Surya Buana; Sebuah sekolah bertema alam

yang kini sering merebut prestasi nasional sampai internasional.

“Dulu, sekolah ini masih berdinding gedek, muridnya hanya 5 orang,” kata Djalil ketika ditanya tentang awal mula mendirikan sekolah Surya Buana. Kini setelah 17 tahun sekolah ini menjelma menjadi lembaga yang memiliki pendidikan dari TK sampai SMA.

Kepeloporan Abah Djalil sebelumnya telah dibuktikan pada saat ia memimpin MAN 3 Malang (2000- 2005). Sekolah elit yang berjajar luas di Jl. Bandung No 7 Kota Malang ini selalu menjadi mimpi manis para calon siswa untuk berseragam gagah menyandang status sebagai siswa di sana. Ya, MAN 3 Malang yang selalu panen prestasi memiliki jendela sejarah yang tidak bisa lepas dari sosok sepuh bersahaja, panyandang penghargaan UIN Award, Abdul Djalil.

Pak Djalil: Perintis Madrasah Berprestasi

Meski kegagahannya sudah termakan usia, semangat yang tak pernah lekang ini masih berjibaku dengan dunia pendidikan. “Dedikasi tanpa batas, selama bisa bernafas, saya harus memberikan manfaat.” Itulah percikan hikmah saat ditemui di kantor Perguruan Surya Buana atau biasa disebut Sekolah Alam Bilingual.

Madrasah memang belum lepas dari stigma buruknya sebagai sekolah nomor dua, hal ini juga yang dirasakan dan terus diperjuangkan pada sosok Djalil muda. Pasca mendapatkan kesempatan Training

Program in Teacher Education di New Zealand & Australia, guru berprestasi ini diberi amanah untuk memimpin MIN I Malang. Pengalaman Short Course

inilah yang diterapkan di madrasah asuhannya itu, meski diakui tidak semuanya ia terapkan karena banyak kondisi dan situasi yang berbeda.

“Tak seperti sekarang,” akunya sambil mengenang. Dulu MIN I selalu menjadi bahan ejekan sebagai madrasah tak memiliki kualitas. Jelas saja, masyarakat malang masih sangsi untuk mendaftarkan anaknya di Madrasah yang sekarang menjadi nomor wahid di Malang ini. “Tidak mudah tapi mungkin,” semangatnya diawali dengan penuh rasa percaya diri saat ingin benar-benar membawa nama MIN menjadi sekolah unggulan. Optimisme Abah Djalil membuahkan hasil yang sangat manis.

Merombak lingkungan adalah langkah pertama

yang dilakukannya. “Kondisi fisik akan menentukan

situasi belajar siswa,” begitu tuturnya. Tak pelak, MIN I, madrasah yang dinahkodainya itu mendapatkan juara I nasional, sekaligus madrasah pertama di Indonesia yang memiliki lingkungan sehat. Setelah itu MIN I menjadi rujukan studi banding beberapa madrasah dan sekolah dari berbagai daerah.

“Banyak sekali prestasi berikutnya yang menyusul, sampai mengantarkan madrasah MIN menjadi madrasah unggulan,” ceritanya sambil mengaduk-aduk kembali ingatannya yang sudah tumpang tindih.

Pernah suatu ketika dia harus menjalani rawat inap di salah satu rumah sakit besar di Malang karena liver

dan diabetnya. Baru 1 malam dirawat, banyak dokter- dokter yang memintanya berjabat tangan. “Saya sudah berpikir bahwa umur saya mau diambil Tuhan, karena dokter saya pada salaman,” ujarnnya. Ternyata dokter- dokter itu adalah murid saya dulu di MIN, dan saya sudah lupa namanya. “Wah saya bangga sekali, Anda sudah menjadi orang besar. Saya langsung menepuk- nepuk dokter-dokter tadi,” katanya.

MIN I Malang sudah tersohor namanya berkat tangan dinginnya. Abdul Djalil memimpin MIN 1 selama delapan tahun lamanya (1986-1994). Setelah itu ia ditunjuk menjadi Kepala MTsN 1 Malang dan memimpin madrasah ini selama enam tahun (1994- 2000). Berikutnya, ia memimpin MAN 3 Malang selama lima tahun (2000-2005).

Sosok yang mengaku tidak suka diam ini tidak lantas istirahat dan bersantai di rumah setelah memasuki masa pensiun. Abah Djalil dengan segudang prestasinya membuat trobosan baru dan menciptakan sekolah dengan dua bahasa wajib, Arab & Inggris yang kelak lebih di Kenal Surya Buana, Sekolah Alam Bilingual.

Kenapa dua bahasa itu menjadi wajib? Menurut sosok sepuh ini, dengan menguasai bahasa Arab, siswa akan mampu membedah kitab-kitab kuning yang menjadi rujukan untuk ditela’ah, diteliti dan diterapkan dalam kehidupan. Sementara bahasa Inggris adalah kunci untuk komunikasi dengan dunia, “Jadi tidak jomplang, tapi harus imbang,” tegasnya.

Filosofi DUIT

Apa rahasia di balik kesuksesan Djalil? “Segalanya itu memerlukan DUIT, tapi bukan DUIT yang biasa itu,” katanya. DUIT yang dimaksud adalah kepanjangan dari “dedikasi tinggi terhadap tugas, usaha yang maksimal, iklas dan taqwa, dan terakhir tuntas”. Menjadi pendidik juga memerlukan DUIT. Menurutnya itulah kunci yang dilakukanya selama ini dalam mengajar. Sosok ini selalu percaya bahwa “Tuhan memberikan jalan keluar bagi mereka yang bertakwa” kepala sekolah satu ini selalu yakin akan selalu ada jalan keluar dari Allah SWT.

Ada cerita unik ketika lembaga SMA Surya Buana mulai beroperasi. Setiap sekolah wajib mengikutsertakan murid didikanya dalam Ujian Nasional. Namun ada satu kendala. Izin operasi tidak bisa diberikan karena lembaga tersebut memiliki siswa terlalu sedikit. Pada saat yang sama beberapa siswa mengikuti lomba yang disenggarakan di Polandia. “Waktu itu kami mendapat perunggu,” kata Djalil.

Dari peristiwa itu lalu sekolah mendapatkan izin operasonal. “Padahal waktu itu muridnya cuma 5 orang namun itu tidak menghalangi untuk mendapat izin karena pertimbangan prestasi,” tuturnya bangga.

Berlanjut berikutnya, salah satu siswa didiknya ditetapkan sebagai Duta Remaja Indonesia di Sydney Australia pada tahun 2000, beruntun lagi sekolah yang dulunya di labeli kolot ini memenangkan International Science Olympiade dengan membawa pulang medali emas, Juara III International Informatika di Rumania,

dan beberapa juara lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-satu karena rupanya usia Abah Djalil yang menginjak angka tujuh sudah menghilangkan ingatan- ingatan gemilang prestasinya saat itu.

Awal berdiri, pedidikan Surya Buana berlokasi di jl. Gajayana no. IV/631 Malang, tidak memiliki gedung yang permanen. “Dulu gedung sekolah terbuat dari

gedek,” katanya. Namun seiring berjalannya waktu bangunan sekolah Surya Buana mulai bertingkat dan mulai memiliki banyak fasilitas.

“Kita sempet membangun kolam di tengah ruangan. Di sana anak-anak berenang, kalau sempat mereka mancing dan ikannya dimakan bareng bareng,” jelasnya. Kolam ini menjadi salah satu konsep yang ia terapkan untuk menyatu dengan alam.

Proses bermain dan belajar yang diajarkan di lembaga pendidikan Surya Buana merupakan ciri khas sekolah alam. “Anak anak kalau disuruh bermain mesti semangat, dan kalau sudah selamat nantinya akan mengembangkan intelektual mereka,” katanya.

Konsep ini dipelajari Djalil ketika mendapatkan beasiswa progam in trainingeducation di NewZeiland. Di sana ia mendapati ilmu untuk memperbaiki madrasah. Di sana, pendidikan tak hanya kognitif saja tapi perlu praktek. Di situlah tantangan dimulai. Menurutnya, ada beberapa kelemahan yang dilakukan selama ini. Disinilah slogan 3R mulai diaplikasikan. 3 R sendiri merupakan icon dari pendidikan yang dipraktekan selama ini, yakni; reasoning, research, dan religious.

Reasoning meliputi bagaimana nalar dalam kegiatan belajar berpikir kritis diuji disetiap mata

pelajaran, disini siswa tak hanya menerima ilmu namun memikirkan bagaimana ilmu ini dan kenapa dipakai. Lalu research di mana ilmu pengetahuan dan penelitian menjadi keseharian siswa, ini tercermin dari banyaknya kompetisi penelitan yang diikuti pendidikan di bawah asuhan Djalil. Dan terakhir religius inilah merupakan ciri pendidikan madrasah.

Proses pengembangn tripel R secara nyata muncul dari diri siswa SDI Surya Buana yang mengikuti lomba internasional. “Waktu itu salah satu murid mengikuti lomba di Korea, dan ia ditanya kenapa ia memilih membuat susu rendah lemak. Anak itu menjawab bahwa ibunya itu gemuk ia ingin ibunya bisa mengosumsi susu tanpa takut gemuk,” katanya.

Di sini terlihat nalar anak SD sudah terbangun sejak dini. Mereka tak hanya meniliti dan menerima nalar, namun mampu menjelaskan nalar tersebut secara logis.

Panggilan Jiwa

Sore itu, pada saat berlangsung wawancara, serombongan guru madrasah dari Tumpang, Kabupaten Malang datang. Mereka hendak melakukan studi banding. Dua orang guru ditugaskan untuk belajar ke Surya Buana. Mereka ingin mengikuti jejak kesuksesan sekolah ini hingga bisa seperti sekarang.

Sekolah Surya Buana sendiri bermula dari madrasah yang dibangun dengan SK dari kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Timur Nomor: Wm.06.03/PP.03.2/2306/SKP/2000 tanggal 22 Juli 2000 dengan penyelenggara Yayasan Bahana

Cita Persada yang berdiri terhitung sejak tanggal 10 Juni 1999 dengan status terdaftar dan memiliki Nomor Statistik Madrasah (NSM) 212357305022.

Abdul Djalil di ruang kerjanya. Sudah sepuh tapi masih semangat mengabdikan diri di dunia pendidikan

Lembaga pendidikan ini berawal dari lembaga bimbingan belajar dengan nama Yayasan Bahana Cita Persada yang mendidik siswa-siswi MTs Malang I sehingga dapat melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi yaitu MA Negeri atau SMU Negeri. Surya Buana didirikan dalam rangka membantu peningkatan kualitas sumber daya manusia terutama mempersiapkan generasi muda sebagai insan pembangun yang

islami, taqwa, cerdas, terampil, dan mengabdi dalam pembangunan umat Islam yang kuat dan tangguh. Dengan kata lain, Surya Buana berdiri dalam rangka mengembangkan kedalaman spiritual, keagungan akhlak, dan kekuatan intelektual.

Pada tahun pertama berdiri jumlah siswa Surya Buana ini hanya 25 orang, namun pada tahun berikutnya mencapai kurang lebih 50 siswa. Kemudian pada tahun ketiga setelah berdiri sampai sekarang mulai dilakukan seleksi ketat bagi siswa yang akan masuk karena menggunakan sistem kelas kecil; dalam satu kelas dibatasi sebanyak 24-32 siswa. Hal ini dilakukan karena Surya Buana lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas.

Dalam masa pengabdiannya sebagai pengajar, Djalil sering tertimpa berbagai penyakit. “Pertamanya liver lalu sempat sembuh karena kesukaan saya makan yang manis-manis. Saya kena diabetes, tapi alhamdulillah

karena banyak yang mendoakan akhirnya sembuh,” katanya.

Di usia yang tak lagi muda, Djalil masih aktif mengajar di Surya Buana. “Setiap hari Abah (Djalil) mengajar ngaji anak-anak. Terkadang sebelum shalat dhuha beliau mengisi ceramah anak anak,” ujar Farih salah satu staf mengajar di Surya Buana.

Pada sela wawancara kami bertanya, kenapa ia tidak pensiun dan terus mengajar? Sambil tertawa ia menjawab: “Mengajar merupakan panggilan jiwa.” (*)

Dra. Jetty Maynur, M.Pd., Kepala MIN Cempaka Putih Ciputat

Ustazah yang Merintis

dan Mengangkat Madrasah

ke Pentas Internasional

S

aat ditugaskan di madrasah negeri Jetty Maynur sempat terheran-heran. Kondisi madrasah yang akan ia kelola sangat memprihatinkan. Waktu itu sudah tahun 2007. Padahal tahun 1990-an, ia sudah mendirikan madrasah sendiri dan sudah cukup maju serta meraih banyak prestasi tingkat nasional. Namun justru karena kondisi itulah ia tertantang. Kalau bisa mengelola madrasah swasta dengan baik, mestinya ia juga bisa memajukan madrasah negeri.

***

Sikapnya sopan. Gaya komunikasinya cukup bagus dan enerjik. Ia mudah akrab. Bicaranya lancar sekali. Beberapa kali terucap kata “Subhanallah” ibu dua anak

ini cukup bersemangat berbagi pengalamannya dari A sampai Z.

Ia mulai menceritakan awal mula ia merintis sekolah TK Islam dan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Bermodal dana dari ibu-ibu pengajian ia merintis sekolah Islam untuk anak-anak. Sampai kini rintisannya menjadi salah satu sekolah swasta favorit di provinsi Banten dan mendapatkan penghargaan nasional.

Jetty Maynur diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan berikutnya ia ditugaskan di MIN Cempaka Putih Ciputat. Madrasah negeri yang didirikan sejak 1980 dan dinegerikan pada 1993 ini tidak banyak dikenal orang.

Beberapa tahun kemudian MIN ini berubah. Saat masa penerimaan siswa baru, para orang tua sudah mengantri semenjak sebelum subuh untuk mendapatkan formulir. Jumlah formulir yang diedarkan hanya dua kali jumlah siswa yang dterima di madrasah ini. ”Biar tidak terlalu banyak calon siswa yang ditolak,” kata Jetty. Kapasitas gedung dan SDM yang ada hanya bisa menampung jumlah siswa yang terbatas.

Berangkat dari Ustazah Ibu-Ibu Pengajian

Saat kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, tahun 1986, Jetty masih tinggal di komplek Pamulang Permai 2, di rumah orang tuanya. Kebetulan orang tuanya sedang menjalani tugas militer di Palembang. Ia tinggal sendiri. Maka ruangan tamu ia gunakan sebagai tempat mengaji. Sore untuk anak-anak itu dan maghrib untuk ibu-ibu.

Aktivitas pengajian itu ia berikan di sela-sela kuliah. Beberapa teman kuliahnya juga diajak mengajar. Ada yang membuatnya sangat bersemangat. Waktu itu buta huruf al-Quran di komplek itu masih tinggi. Tidak hanya mengajar, bersama remaja dan ibu-ibu pengajian, Jetty turut memfasilitasi pembanguna masjid At-Taqwa Raya di sana. Setelah masjid sudah jadi pengajian di rumahnya dipindahkan ke masjid.

Menurut ibu dua anak ini, ia menjadi Ustazah karena terpaksa, karena tidak ada yang membina warga. Sebenarnya ia tidak pernah belajar lama di pesantren. Pendidikan dasar agamanya diperoleh dari seorang Ustaz keluarga yang rutin dipanggil oleh ayahnya. Ia memanggilnya “Ustaz Kribo”. Berbekal keilmuan agama dari Ustaz itu ditambah apa yang ia peroleh dari IAIN itulah ia menjadi Ustazah di kompleknya. Di sela kuliah ia juga sesekali ikut belajar menjadi “santri kalong” di salah satu pesantren di daerah Bogor untuk menambah ilmu agamanya.

Mendirikan RA

Nah ketika akan lulus kuliah ibu-ibu pengajian memintanya mendirikan TK Islam. Mereka tahunya TK, bukan Raudhotul Athfal (RA). “Kasian anak-anak kami ini. Kalau sekolah di TK umum mereka tidak kenal agama,”kata Jetty menirukan ibu-ibu itu dan ia menyanggupi permintaan mereka.

Kebayangkan mahasiswa IAIN disiapkan untuk menjadi guru sekolah menengah, tingkat Tsanawiyah

dan Aliyah. Jetty harus “banting setir” mengajar anak- anak. Akhirnya ia mulai belajar mengenai seluk-beluk TK. Ia berkeliling dan belajar ke beberapa TK di Jakarta. Ia membuat komparasi antara TK dan RA yang ia datangi.

Setelah ia yakin mengerti betul seluk-beluk TK ia mulai bekerja. Ia membuat pemetaan dan mulai menyusun perencanaan. Modal untuk mendirikan TK Islam waktu itu berasal dari ibu-ibu pengajian sebesar Rp 5 juta. Modal awal itu ia gunakan untuk penyiapan tempat belajar, pembelian alat-alat mainan dan lain-lain seperti lazimnya TK. Juli 1993 itu mulailah TK pertama. Namanya RA As Salamah. Lokasinya di Pamulang Permai 2, sekarang masuk wilayah Tangerang Selatan.

Murid pertama TK As Salamah ada 40 anak yang dibagi ke dalam tiga kelas. Waktu itu ia memanggil temen-temannya yang memang lulus PGTK, tapi karena ini TK Islam, ia mencari pengajar yang punya “ruh-ruh keislaman”. Anak-anak mulai ditanamkan ajaran keislaman. Anak-anak putri diajarkan memakai kerudung yang menunjukkan nuansa Raudhatul Athfalnya.

Mendirikan MI

Demikianlah. Setelah TK As Salamah meluluskan satu angkatan, ibu-ibu pengajian datang lagi meminta Jetty mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI). “Sayang anak- anak kalau masuk ke SD,” kata mereka. Waktu itu di daerah ia tinggal, madrasah masih tidak dikenal. Yang dikenal hanya MP (Madrasah Pembangunan).

Bagus tapi mahal. Ibu-ibu pengajian itu tidak sanggup menyekolahkan anaknya ke MP. Akhirnya mereka menyerahkan dana 10 juta kepada Jetty sebagai modal awal mendirikan MI. Tahun 1994, dengan modal itu ia mengontrak rumah tipe 36 di daerah Pamulang 2 untuk menjalankan aktivitas pendidikan. Meja kursi dan papan tulisnya dipinjam sementara dari seorang dosen IAIN.

Setelah berjalan satu tahun, beberapa calon siswa baru berdatangan. Jetty bingung karena berbeda dengan TK cepat meluluskan siswanya, masa belajar anak-anak MI ini mestinya enam tahun lamanya. Dimana lagi murid-murid baru akan belajar? Masalah lain, sampai sejauh itu, MI yang ia kelola belum mendapatkan izin.

Untungnya, tidak jauh dari MI As Salamah, ada satu MI di Ciputat yang sudah mati, tidak ada muridnya. Jetty diperbolehkan menggunakan perizinan MI mati itu.

“Tapi saya diminta harus janji kalau sudah empat tahun harus sudah punya bangunan. Saya bilang do`ain

ya pak empat tahun punya gedung. Alhamdulillah, akhirnya belum empat tahun kita sudah mendapat gedung. Tanahnya di daerah vasum 1200-an m2 dan bangunnya ya masih memakai dana dari murid angkatan pertama dan sumbangan orang tua,” katanya.

Gaji guru MI waktu itu masih berasal dari dana infak seadanya, terutama dikumpulkan dari ibu-ibu pengajian. Jetty juga menghimpun dana dana zakat mal dari para aghniya untuk pembuatan lokal dan kesejahteraan guru. Trust masyarakat kepadanya menjadi salah satu kunci sukses bisa dipercaya menghimpun dana masyarakat.

Madrasah As Salamah terus berkembang dengan unit pendidikan RA dan MI. Pada tahun keempat, bangunan sudah bagus dan tahun keenam sudah bisa meluluskan siswanya. Pada 2005, madrasah ini menjadi madrasah berprestasi nasional yang memenangi berbagai kompetisi. MI ini menjadi yang terbaik di Provinsi Banten. MIN As Salamah menjadi salah satu madrasah rujukan.

“Para siswanya sekarang berasal dari daerah yang agak jauh. Sekarang (2015) sudah masuk generasi ketiga. Dan denger-denger sekarang As Salamah menjadi MI termahal di Banten,” kata Jetty.

Menjadi PNS, Mengelola Madrasah Negeri

Tahun 1999, Jetty Maynur diangkat menjadi PNS Kementerian Agama dan pertama ditugaskan di MTSN Pamulang. Ia mengampu mata pelajaran biologi. Waktu itu diriya meminta izin untuk tetap mengeola MI As Salamah karena masih dalam tahap perkembangan dan belum bisa ditinggalkan. Pagi hari ia berada di MI kemudian siangnya baru ke MTS.

Tahun 2007 ia dipindahkan ke MIN Cempaka Putih Ciputat. “Ada yang bilang ke saya, bu tolong

dong perbaiki sekolah negeri,” katanya. Ia berpikir, sekolah negeri seharusnya sudah lebih baik pada masa itu. Namun ketika ia ke lokasi, ternyata MI yang akan ia kelola sangat berbeda dengan MTs Pamulang. Kondisinya masih memperihatinkan.

“Namun justru itu menjadi tantangan bagi saya. Kata kepala kantor, coba bu, ibu kan bisa menjadikan sekolah swasta yang tadinya tidak ada apa-apa menjadi sekolah yang bagus. Sekarang ibu bisa membuktikan bahwa ibu nggak cuman bisa membuat madrasah yang awalnya dari nol tapi juga bisa benahin madrasah ini,” katanya.

“Ketika saya ditempatkan di sini (MIN Cempaka PUtih) saya bilang ya Allah madrasah negeri tahun 2007 kog masih begini. Padahal saya bikin sekolah tahun 1993 dan tahun 2005 sudah bagus dan berhasil meraih prestasi tingkat nasional,” kenangnya.

Minggu Pertama Bertugas

Beberapa hari bertugas, ia hanya mengamati keadaan. Ia menyewa rumah kos yang paling murah di dekat madrasah sehingga memudahkannya pulang-pergi. Persoalan yang pertama ia amati adalah sampah. MI Cempaka Putih jauh dari dari kebersihan. Sampah di mana-mana.

Selanjutnya ia mengamati banyak guru yang tidak disiplin. “Minggu pertama itu saya cuman mengamati keadaan. Tapi saya bertekad kebaikan yang saya lakukan di As Salamah dulu akan saya coba tularkan di sini. Saya menyapa anak-anak setiap pagi. Saya berdialog dengan para guru.”

“Ada salah satu figur guru lelaki PNS, bertanya kenapa sih ibu datang ke sini pagi-pagi benar. Padahal

kepala sekolah yang lama itu jam setengah sepuluh baru datang ke sini. Dia menyuci baju dulu, masak, dan segala macam dulu, tapi ibu jam 06.15 sudah ada di sini? Lalu saya bilang, ‘Apa bapak nggak senang disambut oleh saya?’ Tugas saya kan melayani bapak dan ibu guru gitu

kan? Dia kaget sekali saya mengatakan itu.”

“Tidak hanya datang telat, pada jam istirahat beberapa guru juga pulang. Biasanya saya turut mengisi kelas yang pada kosong. Nah pas gurunya masuk sekitar 15 menit, lalu saya bilang dari mana bu, dijawab abis pulang bu masak dulu. Saya bilang, Subhanallah

ini sekolah negeri benar-benar asal-asalan. Para guru juga banyak yang tidak bisa membuat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran),” kata Jetty.

Termasuk yang ia amati adalah seragam yang dikenakan oleh anak MI. Seragam mereka tidak jauh beda dengan pakaian SD negeri. Anak-anak perempuannya tidak memakai kerudung dan memakai baju lengannya pendek karena waktu itu masih dibebaskan. Lalu akhlak anak-anak kepada guru juga tidak begitu baik. Semua ia catat menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. “Akhirnya PR itu saya petakan, mana yang bisa saya lakukan harian, mingguan, bulanan, semesteran, dan tahunan,” demikian Jetty.

Dalam dokumen Buku Guru Dan Baru 2016.pdf (Halaman 161-191)