• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hektar Lahan

Dalam dokumen Buku Guru Dan Baru 2016.pdf (Halaman 111-117)

Internasional Ramon Magsaysay

Menghijaukan 33 Hektar Lahan

TGH Juwaini dikenal secara nasional sebagai seorang guru dan tokoh muslim di NTB yang telah berhasil mewujudkan pondok pesantren dan madrasahnya sebagai lembaga pendidikan yang ramah lingkungan.

Ia bercerita, semenjak awal bersama-sama dengan para aktivis lingkungan menerbitkan buku “Fiqih Lingkungan”. Ia juga membeli dan menyulap lahan gundul di kawasan hutan seluas lebih dari 33 hektar menjadi hijau dan berpohon lebat. Proses penghijauan itu memakan waktu lebih dari 9 tahun yang melibatkan santri serta warga sekitar. Dana yang dikeluarkannya tidak sedikit mencapai Rp 4,3 miliar lebih.

Terkait dengan berbagai langkah pelestarian lingkungan sebenarnya ia ingin menyampaikan pesan bahwa melestarikan lingkungan itu adalah amanah Allah bagi manusia. Sama halnya dengan perintah untuk menyembah-Nya. Jadi kita tidak akan bisa menyembah Allah, mengimplementasikan keimanan kita dalam kondisi lingkungan kita yang hancur. Apalagi kita dalam posisi masih bisa melakukan sesuatu. “Ajakan saya untuk melestarikan lingkungan itu semata-mata merupakan perintah Allah dan Rasulullah SAW.,” katanya

Banyak yang beranggapan bahwa sebuah institusi pendidikan Islam umumnya hanya bergerak di bidang

tafaqquh fiddin, atau pendidikan agama saja, dan acuh-tak acuh dengan kondisi lingkungan. Menurut

TGH Juaini, ini tidak tepat. Menurutnya, melestarikan lingkungan adalah amanah untuk umat manusia. Kita sebagai individu pribadi baik sebagai kelompok sosial harus turut melestarikan lingkungan. Karena Rasulullah sendiri bersabda, “Berhati hatilah dengan bumi ini sesungguhnya dia adalah ibumu.”

Jadi kita perlakukan bumi ini seperti bagaimana memperlakukan ibu kita. Memuliakannya. Karena jasa- jasanya kepada kita,” tambanya.

TGH Juaini, tidak sepakat pondok pesantren Nurul Haramain dikategorikan sebagai “pesantren yang pro lingkungan”. Karena seharusnya semua pondok pesantren itu harus pro lingkungan. Setiap orang itu juga harus pro lingkungan, katanya.

“Saya mengatakan hal itu (pro lingkungan) adalah sesuatu yang harus khusunya pondok pesantren yang selama ini dikenal oleh masyarakat. Jangan hanya nyaman di menara gading tapi tidak mau tahu urusan luar. Saya kira ini suatu kesalahan dalam konsep pendidikan islam yang selama ini dipahami banyak orang,” tambahnya.

Penghargaan Masyarakat dan Dunia

Puncak dari kiprahnya dalam hal pelestarian lingkungan, TGH Hasanain Juaini memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay pada tahun 2011. Selain karena peduli lingkungan, penghargaan diberikan kepadanya terkait kiprahya dalam hal penghormatannya terhadap kaum perempuan, serta membangun kerukunan beragama khususnya di wilayah NTB.

Penghargaan Ramon Magsaysay sendiri sering disebut sebagai Nobel versi Asia ini. Pernghargaan itu diserahkan di Kota Manila, Filipina, Rabu 31 Agustus 2011. Dengan pemperoleh Ramon Magsaysay berarti TGH Juaini sejajar dengan tokoh dunia lainnya yang memperoleh penghargaan serupa.

Ramon Magsaysay Award adalah suatu hadiah penghargaan yang dibentuk pada bulan April 1957, oleh para wali amanat Rockefeller Brothers Fund (RBF) yang berpusat di Kota New York, Amerika Serikat. Dengan persetujuan dari pemerintah Filipina, hadiah ini diciptakan untuk mengenang Ramon Magsaysay, almarhum Presiden Filipina; dan untuk menyebarluaskan keteladanan integritasnya dalam menjalankan pemerintahan, kegigihannya dalam memberikan pelayanan umum, serta idealismenya dalam suatu lingkungan masyarakat yang demokratis.

Setiap tahun Ramon Magsaysay Award Foundation memberikan hadiah bagi perorangan dan organisasi Asia atas pencapaian unggul mereka di bidangnya masing-masing. Dan TGH Juaini menjadi salah seorang yang telah mendapatkan penghargaan level dunia ini.

Selain penghargaan internasional, TGH Juaini juga telah mendapatkan pengakuan dan penghargaan di tingkat lokal dan nasional. Tahun 2004 ia memperoleh Penghargaan dari Bupati Lombok Barat sebagai Pengasuh Pesantren yang konsisten terhadap kegiatan konservasi hutan dan air. Ia juga memperoleh penghargaan serupa dari Ma’arif Institut yang berpusat di Jakarta.

Pemanfaatan Teknologi

TGH Juaini juga dicatat telah berhasil memanfaatkan teknologi untuk menunjang proses pendidikan pondok pesantren atau madrasah. Banyak hal yang sudah dilakukannya dalam memanfaatkan teknologi untuk pembelajaran sejak tahun 1998.

Pemanfaatan teknologi computer misalnya. “Kita sudah merakit sendiri computer kita, kita punya program namanya Duku Sasak (satu guru satu santri satu computer) itu sudah lama tercapai dari tahun 1998 dan kita sudah melakukan ujian semester secara

on line sudah berjalan sejak 7 tahun yang lalu hingga kini,” ujarnya.

Berbeda dengan beberapa pesantren dan madrasah yang merasa khawatir dengan akses negatif internet, TGH Juaini sudah melakukan pembentengan sejak awal kepada para santri-santrinya. Di lingkungan pesantren dan madrasah telah disiapkan belasan spot akses internet untuk keperluan belajar mengajar serta untuk para santri yang menggunakan laptop.

Pesan untuk Guru

Menurut TGH Juaini segala sesuatu, termasuk pengabdian diri di dunia pendidikan harus diniatkan semata-mata karena Alah SWT. “Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil’alamin. La syarika lahu wabidzalika umirtu wa’ana ‘awalullmuslimin. Jadi kita sudah serahkan perjuangan kita menjadi

milik Allah. Nanti kita minta petunjuk kepada Allah bagaimana cara mengemban amanah,” katanya.

“Saya kira yang terpenting dan saya yakini adalah bahwa perjalanan kita (mengelola pendidikan) ini sudah tepat. Kita banyak belajar dari orang lain dan selalu memberikan nasihat dan share pengalaman, diskusi- diskusi sehingga insyaallah Allah akan menyatukan kita dengan teman-teman yang lain,” tambahnya.

Ia berpesan kepada guru madrasah dan pesantren di berbagai daerah di Indonesia bahwa guru adalah manusia yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan bangsa Indonesia. Maka guru harus terus-menerus meningkatkan diri.

“Teruslah membangunkan kesadaran bahwa sesungguhnya tugas guru belum akan memberikan kita kesempatan untuk tersenyum, saking beratnya. Marilah kita sama-sama bekerja keras,” katanya.

Menurut TGH Juaini, lembaga pendidikan harus mempunyai visi dan misi serta dilandasi dengan cita- cita. “Kalau sudah ada cita-cita, sudah ada harapan saya kira semua proses pendidikan itu tidak bisa dikategorikan susah,” pungkasnya. (*)

Dra. Hj. Sarkiah Hasiru M.Si., Mantan Kepala MAN Limboto

Juara Kompetisi Kepala SLTA,

Dalam dokumen Buku Guru Dan Baru 2016.pdf (Halaman 111-117)