• Tidak ada hasil yang ditemukan

yang “Ekslusif” di Daerah Terpencil

Dalam dokumen Buku Guru Dan Baru 2016.pdf (Halaman 139-161)

T

erinspirasi dari kisah sedih menjadi siswa madrasah selama dua jam. Hanya dua jam saja. Alkisah, waktu itu Ismail mendaftar di Sekolah Rakyat Islam Nurul Huda Baranusa (sekarang MIN Baranusa). Tahun 1978 madrasah saat itu sangat tidak layak. Berdinding bebak. Siswanya duduk di atas bataco sebagai pengganti kursi. Satu jam kemudian terjadilah insiden. Kaki kanan Ismail tertindis bataco, saat ia saling dorong dengan temannya. Pada saat itu juga ia menyatakan tamat pendidikan di Madrasah walaupun hanya dua jam.

Namun insiden di masa kecilnya itu menjadi penyemangat untuk membangun dan mengembangkan madrasah. Beberapa tahun kemudian, setelah menjalani

proses dan perjalanan yang panjang, Ismail Z. Betawi berhasil mewujudkan madrasah yang “ekslusif” di daerah terpencil di Nusa Tenggara Timur (NTT).

***

Dikisahkannya, setelah dua jam menjadi siswa madrasah Nurul Huda, selanjutnya Ismail meninggalkan madrasah dan pindah ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) Belangmerang II Baranusa dan menyelesaikan pendidikan formal sampai tamat pada Universitas Negeri Nusa Cendana KupangTahun 1997.

Situasi yang hampir sama ia rasakan pada tanggal 21 Juli 1998 saat mulai menjadi guru MAN Kedang. Apakah madrasah itu dimana-mana sama? Adakah persoalan dalam pengelolaan madrasah? Kebingungan itu melahirkan keinginan untuk membentuk wajah madrasah yang ideal, yang diistilahkannya “madrasah ekslusif”!

Lahir di Basis Islam 100%

17 Pebruari Tahun 1971, lebih dari 44 tahun yang lalu, Ismail Z. Betawi lahir di Baranusa, sebuah desa yang penduduknya beragama Islam 100% di kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur (NTT). Kampung ini juga merupakan basis perjuangan Syarikat Islam NTT, bahkan menjadi embrio lahirnya Madrasah di Kabupaten Alor pada umumnya.

Ayahandanya bernama H. Zainuddin Betawi bin Jou Gogo dan Ibundanya Hj. Jaurah Binti Jafar Thalib. Keduanya telah meninggal dunia.

Ayah dan ibu Ismail, hanya berpendidikan Sekolah Rakyat Kelas 3. Pekerjaan mereka adalah petani ladang. “Ayahandanku juga mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pembantu dalam kelompok pandai besi untuk dapat membiayai kehidupan kami sembilan bersaudara,” kenangnya.

Prinsip hidup yang diwariskan dari orang tuanya adalah harus mengisi kehidupan ini dengan meninggalkan kesan perubahan. Kerja keras adalah kuncinya dan terakhir adalah iklaskan pekerjaan itu kepada Sang Pemilik Kehidupan ini yaitu Allah SWT.

Guru Madrasah, Cita-cita Sejak Kecil

Awalnya ia diajak oleh kakak ipar bernama Akbar Kapa yang juga merupakan salah seorang guru SRI Nurul Huda Baranusa untuk bersekolah di Madrasah. Waktu itu ia diharapkan ke depan bisa menjadi ustaz dengan bekal bisa berbahasa Arab sebagaimana yang diajarkan di madrasah saat itu. Tanpa ragu-ragu ia siap untuk masuk madrasah. “Dengan bermodalkan sepeda ontel aku pun berangkat bersama kakak yang waktu itu guru madrasah,” katanya. Ia disambut seperti ustaz dengan ucapan “Assalamu’alaikum”.

Ismail ditempatkan di bagian paling belakang. Selain dirinya, ada tujuh siswa lainnya yang tidak punya tempat duduk. Mereka duduk di atas bataco yang disusun. Dua jam kemudian Ismail bercanda dengan teman-temannya. Mereka saling dorong dan menimpa tempat duduk dari bataco itu.

“Terjatuhlah batako tempat dudukku itu mengena ibu jari kaki kanan dan mengeluarkan darah. Sakit

memang. Saat itu juga saya tinggalkan madrasah yang namanya SRI Nurul Huda Baranusa dan berjanji untuk tidak berpendidikan di madrasah karena kotor, kumuh dan tidak punya prasarana. Papan tulis dan kapur tulis pada saat itu saya tidak lihat, itulah madrasah, “kenangnya.

Keesokan harinya diantar olek kakak Ahmad Betawi (almarhum) Guru SD Negeri Balangmerang II Baranusa untuk bersekolah di SD Negeri Balangmerang II Baranusa. Kesan pertama yang didapatkan berbeda dengan sekolah sebelumnya. Sekolah ini beda dengan madrasah. SD Negeri Balangmerang II sudah Lengkap sekali dari sisi fasilitasnya. Inilah yang namanya sekolah.

“Perbedaannya saya disambut bukan bagaikan ustaz, tetapi bak Bupati: ‘Siap! Hormat! Selamat pagi Pak Guru!’ Kami pun menjawab salam selamat pagi.” Kata Ismail.

Di sekolahnya yang baru itu, ia ditempatkan di bagian paling depan berhadapan dengan pak guru. Ia duduk diatas bangku kayu dan meja kayu bersama dengan 30 siswa lainya.

Kemudian, Ismail mendapatkan pertanyaan pertama. “Siswa yang bernama Ismail Betawi bercita- cita jadi apa?” Tanpa ragu ia pun menjawab, “Guru Madrasah.” Karena menjawab seperti itu, Ismail mendapat hukuman.

“Hukuman pertama yang saya dapat adalah dicubit telinga karena jawaban salah seharusnya jadi guru (saja), bukan guru madrasah,” kenangnya.

Guru Madrasah sebagai Pilihan

Menjadi guru madrasah adalah pilihan bukan keterpaksaan dan hal itu diikrarkan oleh Ismail pada hari pertama masuk SD Balangmerang II Baranusa kelas 1.

“Cita-cita menjadi guru madrasah telah saya tanamkan sejak kelas 1 SD. Bukan berarti bahwa latar belakang pendidikan umum lantas mengalahkan sebuah cita-cita. Keadaan madrasah saat itu memang amat sulit, bayangkan kondisi SRI (sekarang MIN Baranusa) tidak ada bedanya dengan kondisi SD yang dibangun oleh pemerintah daerah di masa puluhan tahun yang lalu,” ujarnya.

“Madrasah seolah-olah merupakan kelompok pendidikan yang tidak ada nilai tambah dalam kehidupan kenegaraan. Madrasah tidak punya andil untuk negara-bangsa ini. Madrasah juga ditafsirkan hanya mampu menghasilkan pengurus masjid dengan menyambungkan kehidupan dari uang zakat dan belaian kasih para donator. Bahkan lebih ekstrim lagi pengurus masjid yang notabene alumni madrasah memilki prilaku korupsi dana umat lewat masjid, karena dianggap tamatan madrasah tahu betul cara memohon kepada Allah untuk pengahapusan dosa.”

Semua stigma negatif terhadap madrasah itu dialami oleh Ismail tatkala tumbuh menuju kedewasaan

berfikir. Ia bertekad, madrasah harus lebih baik.

Madarasah harus mempunya “warna-warni” dalam pengelolaannya agar lebih menarik dan diminati oleh masyarakat.

“Tidak ada sedikit pun perasaan ragu menjadi guru madrasah,bukan berarti tidak ada tantangan,” kata Ismail.

Tahun 1997 tatkala ia melamar menjadi guru di madrasah, banyak sekali rekan yang melontarkan pernyataan tidak mengenakkan. Tidak tamat pada pendidikan madrasah tidak mungkin diterima di Departemen Agama saat itu. Pernyataan itu ia tanggapi dengan senyum bahkan telah mengarah pada satu kesimpulan bahwa alumni madrasah waktu itu takut untuk disaingi. “Hasilnya, memang Allah ridho saya menjadi guru madrasah Aliyah Negeri Kedang yang saat itu alamat ataupun namanya tidak pernah saya dengar,” kenangnya.

Mulailah ia menjadi guru di MAN Kedang. Sejak menjadi guru di madrasah aliyah ini, ia pernah mengajar beberapa mata pelajaran, antara lain PMP,

geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi dan tata negara.

Waktu itu tidak banyak guru karena madrasah itu baru dinegerikan. Guru yang lama rata-rata hanya berpendidikan PGA. Hanya Ismail yang memenuhi

kualifikasi pengajar di MA karena ia berpendidikan sarjana. Tahun 2003 barulah ia mengambil spesifikasi

mata pelajaran PPKn sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

Memimpin MAN Kedang

Sebelum menjadi Kepala MAN Kedang, pada tahun 2009 Ismail Z. Betawi dipercaya menjadi Kepala MTs Negeri Kalikur. Ia berhasil menyelesaikan persoalan internal

antara kepala madrasah dan pegawai tata usaha.

Persoalannya adalah saling memfitnah yang berujung

dengan insiden perkelahian dengan menggunakan senjata tajam (parang). Selama sembilan bulan masa kepemimpinannya, MTs Negeri Kalikur sebagai wakil peserta Olimpiade Sains antar madrasah utusan

Kabupaten Lembata berhasil masuk final pada mata

pelajaran Matematika.

Setelah itu keluarlah SK Kanwil Kementerian Agama NTT untuk Menjadi Kepala MAN Kedang Tahun 2010. Madrasah ini beralamat di jl Pantai Utara Desa Kalikur Kecamatan Buyasuri Kabupaten Lembata.

“Saya pun tidak tahu proyeksi ke depan dari pejabat Kemenag Kabupaten atau Propinsi NTT. Bisa saja karena pertimbangan senioritas dari aspek masa kerja dan pangkat atau golongan, dalam aspek kompetensi saya biasa-biasa saja,” katanya berendah hati.

MAN Kedang sebelumnya bernama MAS Uyelewun yang digagas oleh seorang Tokoh kampung yang bernama Bapa Guru Tuang Adonara pada tanggal 8 Bulan 8 Tahun 1988, sehingga tahun berdirinya ini dikenal sebagai Tahun kaca mata.

“Ada pesan moral yang dapat kami tawarkan adalah bahwa hadirnya Madrasah ini merupakan buah perjuangan dan cita-cita luhur masyarakat Kalikur sebagai pencetus berdirinya madrasah di Kedang sekaligus menunjukkan jati diri yang sesungguhnya bahwa madrasah adalah bagian dalam nafas kehidupan orang kalikur khususnya dan orang kedang pada umumnya,”kata Ismail.

Bagaimanapun kondisinya, ia sangat menghargai para perintis dan pendiri MAN Kedang. “Kegigihan untuk dapat mendirikan Madrasah di Kedang penuh dengan tantangan dan rintangan, bahkan secara faktual tokoh penggerak madrasah waktu itu seperti Bapak Muhammad Amin, Bapak Abdul Latif Hasan dan Bapak Adam Yusuf Riang Loyo sempat di jebloskan kedalam penjara selama 11 bulan. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1968,” ujarnya.

Kondisi MAN Kedang

Secara geografis MAN Kedang terletak di Desa Kalikur

Kecamatan Buyasuri Kabupaten Lembata Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Flores Timur. Bagian utara kawasan ini berbatasan dengan Laut Flores, bagian timur berbatasan dengan Pulau Pantar Calon Kabupaten Baru berada dalam distrik Kabupaten Alor dan bagian selatan berbatasan dengan Laut sawu.

Sejak dinegerikan pada tahun 1987 dengan SK Menteri Agama, madrasah ini mengalami pasang dan surut dalam pergerakan pengembangannya, bahkan sudah pernah diterbitkan SK Revisi Lokasi oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1998 dengan alasan leveling MA harus berada di Kota Kabupaten minimal kota Kecamatan. Namun karena secara hukum administrasi penetapan penegerian dengan SK Menteri Agama maka SK revisi lokasi pun dibatalkan oleh Menteri Agama pula.

MAN Kedang memang terletak di desa yang sangat terpencil bahkan dikucilkan oleh kebijakan politik

lokal oleh para pengambil kebijakan daerah. Secara rill sebagai sebuah Madrasah Negeri itu terasa pada tahun

1999. Artinya pembangunan fisik mulai dibangun

sarana dan prasarana pun mulai diperhatikan, itu pun masih jauh dari sebuah ukuran Badan Standar Nasional Pendidikan.

Berangkat dari semangat yang melekat pada jiwa pelaku madrasah saat itu, maka segala keterbatasan bukan merupakan penghambat. Memang madrasah dibangun untuk memenuhi tuntutan umat. Kekhawatiran masyarakat Kalikur sebagai penggagas berdirinya MAN Kedang terbukti dengan melakukan tindakan passif atas upaya sekelompok guru untuk menghadirkan SD Inpres di Kalikur. Upaya mendirikan SD Inpres dibiarkan dan tidak ada satupun siswa Muslim yang masuk sekolah ini. Akhirnya perlahan tapi pasti bangunan SD Inpres runtuh. Dan sekarang yang berdiri di atas pondasi SD Inpres tersebut adalah MAN Kedang.

Tidak berbeda jauh pula kondisi madrasah di Nusa Tenggara Timur pada umumnya, bila disandingkan dengan cerita MAN Kedang. Secara garis besar kehadiran madrasah di NTT berawal dari pergerakan dua ormas Islam masa itu yakni Partai Serikat Islam dan Nahdathul Ulama. Ruang pergerakannya dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Partai serikat Islam bergerak pada wilayah Kepulaun Alor-Pantar termasuk sebagian Kepulauan Lembata sehingga pada wilayah itu terdapat MAN Kalabahi, MAS Hayatul Islam dan

MAN Kedang berikut Madrasah Tsanawiyah dan Ibtidaiyah lainya yaitu MIN Baranusa, MIS Wetabua dan MIS Dulolong, MTsN Baranusa, MTsN Kalabahi dan MTsN Kalikur dan MTsN Nubatukan.

b. Nahdathul Ulama begerak pada wilayah Solor, Adonara dan Pulau Flores sehingga pada wilayah tersebut terdapat MAN weiwerang, MAN Ende, MTsN Lamakera, MTsN Lohayong,MTsN Ende, MTsN Waiwerang dan MIN Ende

Sementara untuk madrasah lainnya di NTT berkembang setelah adanya fase pergerakan. Hal ini juga merupakan bagian dari ikhtiar mempertahankan identitas dalam kelompok Mayoritas.

Menuju Ideal

Menurut Ismail, secara fisik memang terkesan

Madrasah di NTT belum ideal bila dipakai rujukan BNSP. Akan tetapi secara bertahap madrasah ini terus berbenah menuju titik ideal. Pembenahan dilakukan

dari sisi akademik maupun fisik dan tampilan seperti

kebersihan dan keindahan madrasah.

Sejak awal penegerian tahun 1997, jumlah siswa pada Madrasah Aliyah Negeri Kedang tercatat sebanyak 40 Siswa. Seiring dengan perkembangan waktu dan

perubahan fisik bangunan serta beberapa prestasi yang

diraih, pada awal Juli 2015 tercatat siswa MAN kedang sudah sebanyak 447 Siswa.

“Guru MAN Kedang pada tahun 2015 telah memenuhi syarat sesuai ketentuan Undang-Undang

Guru. Rata-rata telah berpendidikan Strata satu

(Sarjana),” kata Ismail. Ia telah mencatat kualifikasi

para guru MAN Kedang dalam bentuk tabel yang rapi. Proses pembelajaran di MAN Kedang di mulai sejak Pukul 07.00-14.14 waktu setempat dilanjutkan dengan bimbingan kelompok 16.00- 18.30. Pembelajaran pada Zona integratif pada Pukul 20.00-23.00 pada 4 wilayah yaitu Desa Kalikur, Desa Bareng, Desa Leuwohung dan Desa Normal.

Pendekatan dalam pembelajaran bervariasi yakni pendekatan teoritis 40 %, tugas mandiri dan terstruktur 60% dari total waktu secara keseluruhan.

Masing-masing guru yang terbagi dalam zona

integratif mengawal aktifitas para siswa dan siswinya.

Keempat zona itu dibagikan lampu gas minyak tanah masing-masing satu dengan biaya operasional dan pemeliharaan peralatan tersebut dibebankan pada DIPA MAN Kedang.

Prestasi yang diraih oleh MAN Kedang pada saat pertama kali Ismail menjabat kepala madrasah lebih dominan pada kegiatan keagamaan saja, karena memang madrasah ini dibentuk untuk merespon keinginan dan kebutuhan masyarakat pendirinya dan juga merupakan Pusat dakwah Islam di Wilayah Kedang. Setelah Tahun 2010 barulah madrasah ini mulai dibenahi. Akhirnya hampir semua sektor kompetisi MAN Kedang tidak pernah absen untuk mengirimkan utusanya baik mewakili kabupaten ke Tingkat Propinsi maupun mewakili Propinsi NTT ke tingkat nasioanal.

Membangun Kepercayaan Diri

Sejak pertama menjabat sebagai Kepala Madrasah, upaya yang dilakukan oleh Ismail Z. Betawi adalah membangun semangat memiliki madrasah. Pelepasan siswa dan siswi kelas XII yang Lulus ujian dilakukan dengan menyelenggarakan acara wisuda resmi. Semua

stakeholders diundang dalam moment yang sangat berharga dan cukup megah untuk ukuran masyarakat pedesaan.

Target yang diharapkan dari kegiatan dimaksud adalah membangun rasa kepercayaan masyarakat Kedang bahwa yang dapat melakukan kegiatan akbar seperti wisuda hanyalah madrasah. Padahal sekolah tidak mungkin mengadakan acara seperti itu. Ternyata dampak positif yang diperoleh dari kegiatan tersebut sangat luar biasa. Jumlah murid mulai meningkat, kompetisi internal antar guru dan murid mulai nampak dan terakhir semangat untuk memiliki madrasah mulai tinggi. Disinilah awal dari sebuah strategi membangun kepercayaan diri. Sederhana memang!

Menata Guru

Menurut Ismail, menata dan membangun madrasah harus menjadi niat bersama. Maka visi dan misi seorang kepala madrasah itu dibicarakan dan dipahami bersama.

“Langkah yang kami lakukan adalah menyadarkan seluruh elemen penggerak setiap saat untuk melakukan apa saja dalam memajukan madrasah dalam satu visi. Di sisi lain, kami juga mengkaji orientasi apa saja yang

dipunyai guru dan murid dalam sistem kelembagaan tersebut,”ujarnya.

Terkait dengan pengelolaan guru, menurut Ismail, guru dipandang sebagai elemen yang memiliki pengaruh terbesar dalam kemajuan sebuah madrasah, apalagi madrasah negeri. Penempatan guru baru melalui seleksi yang berdasarkan kuota harus melalui investigasi, baik langsung maupun tidak langsung. Jika madrasah hanya dilihat sebagai jembatan untuk memperoleh penghasilan atau pekerjaan, hal ini sangat berbahaya. Maka perlu dilakukan upaya mengembalikan orientasi pada semangat membangun madrasah.

Ismail Betawi sedang menyendiri menyusun dan merumuskan rencana strategis

“Cara yang kami lakukan adalah menelusuri latar belakang kehidupan awal dari guru yang ada termasuk kebiasaan-kebiasaan sebelumnya kemudian kami masuk dalam budaya kehidupanya terakhir barulah kita mengajak untuk mengikuti keinginan- keinginan kita dalam artian menyahuti visi dan misi madrasah. Rasa dihargai dan aktivitas kegiatan yang selalu menyertakan pemikiran guru adalah kunci dari kesuksesan. Tanamkan rasa mencintai madrasah secara santun dan sadarkan kehidupannya dengan pendekatan iman dan takwa serta kearifan lokal,” kata Ismail.

“Bahasa sederhana yang sering kami ungkapkan adalah jadikanlah kehidupan yang singkat ini dengan nilai-nilai yang bermanfaat dan bimbinglah generasi kita dengan sungguh-sunguh, karena yang kita bentuk hari ini merupakan bayangan yang paling dekat tatkala pada masanya mereka membimbing-putra dan puti kita tatkala kita sudah tidak berdaya.”

“Kalimat do’a yang sering kami ajarkan kepada semua elemen pendidik dan tenaga kependidikan kami adalah ‘Ya Allah sekiranya hambamu ini diperkenankan untuk menghadap-Mu maka janganlah hamba-Mu ini dalam keadaan yang tidak berfaedah bagi kehidupan ini. Perkenankan hamba-Mu menghadap keharibaan-Mu dalam keadaan yang masih dibutuhkan oleh kehidupan ini,” demikian disampaikan Ismail.

Mengembangkan konsep pendidikan agama yang benar harus disertai dengan perilaku dan kebiasaan-

kebiasaan baik seperti yang disampaikan dalam firman

sahabat-sahabatnya. Ketauladanan menjadi rujukan keberhasilan MAN Kedang. Tiada kekuatan yang melebihi tradisi keteladanan dan keteladanan harus dimulai oleh guru atau tenaga kependidikan lainnya.

Peningkatan Mutu

Tahap berikutnya, MAN Kedang berorientasi untuk meraih banyak prestasi, baik di bidang akademik maupun non akademik.

Langkah yang dilakukan oleh Ismail sebagai kepala

madrasah adalah mengidentifikasi Kompetensi siswa dimulai dari tempat dimana anak itu beraktifitas,

sekolah atau madrasah yang pernah dia belajar termasuk informasi-informasi lain seputar kehidupan pribadinya.

Selanjutnya, ia membuat peta mutu untuk peserta didik baru berdasarkan hasil ujian masuk madrasah dan

referensi tambahan yang diserahkan tim identifikasi

kompetensi siswa. Ia juga mengelompokkan siswa berdasarkan hasil uji kompetensi dalam kegiatan pembelajaran maupun kegiatan bimbingan peningkatan mutu siswa

Untuk para guru, ia membagi guru dalam tiga zona yakni zona penanganan siswa prestasi tinggi, sedang dan rendah. Para guru dibantu oleh siswa senior dalam kegiatan bimbingan penguatan kompetensi.

Ujian pencapaian kompetensi bagi semua siswa dikakukan secara terprogram dan hasilnya dilaporkan kepada orang tua siswa secara berkala. Perbaikan dan penguatan kompetensi juga dilakukan secara

terprogram dan berkala dan hasilnya dilaporkan kepada orang tua wali.

Pihak sekolah juga selalu meng-update informasi perubahan pendidikan kepada para guru dan siswa melalui diskusi-diskusi kelompok yang telah didesain untuk itu, kemudian hasilnya disebarkan kepada peserta didik lain

Setiap 3 bulan para siswa dibawa keluar lingkungan madrasah untuk mengikuti kegiatan diskusi atau kajian- kajian kitab yang dilakukan oleh kelompok pengajian yang ada dilingkungan masyarakat Kedang.

Seleksi Calon Juara

Hampir semua peserta didik baru yang diterima dari MAN Kedang berasal dari MTs atau SMP yang tidak memilki keunggulan kompetitif sehingga pola seleksi awal masuk tidak dapat dijadikan rujukan. Untuk menyeleksi para calon juara yang akan mengharumkan nama madrasah, Ismail memilki cara tersendiri. Berikut ini cara yang ditempuhnya:

1. Para siswa dikenalkan dengan siswa kelas diatasnya yang mempunyai prestasi.

2. Secara berkala madrasah menampung masukan dari siswa senior, kemudian semua masukan dari siswa senior diolah oleh tim penjaminan mutu yang ada di madrasah untuk dijadikan titik bidik pembinaan secara berkala dimulai dari kelas X kemudian dilanjutkan dikelas XI.

SKL yang telah disepakati bersama secara terprogram dan berkelanjutan setiap bulan sekali. 4. Peserta bimbingan pada kelompok tertentu yang

tidak berhasil dirotasikan pada kelompok siswa dan guru lain untuk dilakukan pembinaan ulang pada SKL yang sama selanjutnya dilakukan pengujian ulang.

5. Para siswa bimbingan pada bulan ketiga ditugaskan untuk membuat soal berdasarkan SKL yang ada kemudian dilakukan pengujian bersilang antar siswa yang didampingi oleh guru pembimbing. Hasilnya diperiksa dan dianalisa oleh siswa masing- asing berdasarkan kunci yang telah dibuat oleh siswa itu sendiri, kemudian dicocokkan kuncinya pada siswa pembuat soal didampingi oleh guru pembimbing

6. Kumpulan soal yang dibuat guru dan siswa pada bulan ke empat dianalisis dan dibuat perengkingan. MAN Kedang menetapkan setiap mata pelajaran yang dilombakan dipersiapkan masing-masing 10 peserta dengan sistem satu siswa boleh memilih 3 mata pelajaran lain yang juga merupkan mata pelajaran yang sering dilombakan.

7. Seleksi finis apabila terdapat 2 atau 3 mata pelajaran yang dikuasai oleh seorang anak maka keputusan pengambilan mata pelajaran lomba baik KSM/OSN maupun Sains dikembalikan kepada siswa itu sendiri, sedangkan yang tersisa dilakukan penyaringan ulang oleh TIM Penjaminan mutu utuk

8. Langkah terakhir setiap siswa yang telah ditetapkan untuk membidangi mata pelajaran yang dilombakan disertakan dalam momen lomba yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang.

Menghadapi Kendala

Dari hasil interview yang dilakukan setiap tahun oleh pihak MAN Kedang terhadap umat muslim Lembata dan Kedang khususnya dapat disimpulkan bahwa sekitar 65 % orang menghendaki memasukkan anaknya di MAN Kedang dan sisanya diserahkan kepada kemauan anak itu sendiri. Data PPDB 3 Tahun terakhir mengambarkan 95 % siswa yang berada pada radius 7 KM dari MAN Kedang memilih masuk di Madrasah ini, sedangkan diluar radius 7 KM sekitar 65 % memilih MAN Kedang

Dalam dokumen Buku Guru Dan Baru 2016.pdf (Halaman 139-161)