• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahun 8 Bulan

Dalam dokumen Buku Guru Dan Baru 2016.pdf (Halaman 121-127)

Menjadi Idola

Butuh 1 Tahun 8 Bulan

Setelah sosialisasi dan promosi madrasah dirasa sudah berhasil, berikutnya Sarkiah baru masuk kepada program-program penataan di dalam. “Saya butuh waktu sekitar 1 tahun 8 bulan,” katanya.

Selama 1,8 tahun itu ia memberi pengertian kepada siswa, guru dan para stakeholder, tentang bagaimana mengelola sekolah yang bagus. Sarkiah mengaku banyak belajar dari “magnet school” MAN Insan Cendekia Gorontalo. Ia juga mengajak beberapa guru melakukan studi banding ke beberapa sekolah di Gorontalo, bahkan ke sekolah-sekolah unggulan di Jakarta.

“Biaya disisihkan dari yang ada. Misalnya dari honor pengawas kita sisihkan dan kita kumpulkan untuk kita pakai studi banding,” kata ibu tiga anak itu.

“Kita sering menyelenggarakan rapat, kita sharing

mau kita apakan sekolah ini? Banyak sekali masukan. Masing-masing kita memaparkan dari mulai bidang bidang laboratorium, perpustakaan, tata usaha, guru, sampai kepala sekolah sendiri menyampaikan rencananya ke depan. Kemudian yang lain memberikan tanggapan. Kita diskusi dan kita menghasilkan buku pintar dan SOP selama 3 bulan kita rapat.”

Menurut Sarkiah, selama 1,8 tahun itu madrasahnya baru bisa mengejar ketertinggalan dan menata semua bidang. “Kalau sekolah yang sudah stand by mestinya

cukup 3 bulan beradaptasi dan mengejar program. Kalau kita butuh waktu satu tahun delapan bulan,” katanya.

Para guru juga dibuatkan portofolio, dan masing- masing portofolio telah ada di meja tugasnya sebagai kepala madrasah. Menurutnya, waktu itu, tidak banyak sekolah yang tahu apa itu portofolio. Banyak guru yang tidak memperhatikan soal-soal penting seperti kehadiran, prestasi, dan nilai.

“Kalau ada portofolio saya tidak terlalu banyak menegur karena ada catatannya. Itu dari sisi kedisiplinan,” katanya.

Untuk para siswa juga dibuatkan format-format yang berisi point-point yang harus dicapai. Jika siswa gagal mencapai target, pihak madrasah memberikan teguran secara administratif. Portofolio untuk para siswa yang isinya semacam “kartu kontrol” yang sudah berada di meja satpam ketika siswa keluar atau masuk madrasah.

“Semua itu saya rumuskan sendiri. Setiap malam saya merenung. Dari hasil studi banding saya integrated, saya kombinasikan,” demikian Sarkiah.

Centre School

Untuk membenahi sarana dan fasilitas, Sarkiah menyusun masterplan khusus. “Saya desain seperti ini,” katanya sambil menunjukkan gambar-gambar dalam buku masterplan yang dicetak dalam kertas yang lux.

“Saya lihat banyak sekolah itu yang penting asal jadi. Tidak memikirkan estetikanya. Tidak memikirkan

bagaimana ke depannya. Jadi begitu ada anggaran lagi, ini bongkar lagi. Padahal bagunannya masih layak. Banyak sekolah yang perencanaannya tidak terpola, sembarangan, sehingga menghabiskan anggaran. Padahal ada sekolah lain yang masih butuh,” katanya.

Untuk menyusun masterplan itu, ia mendatangkan konsultan khusus. Ide utama berasal dari pihak madrasah, sementara konsultan membantu menyusun gambar tata ruangnya.

Saya berpikir, kenapa anak-anak lebih nyaman datang ke mall? Kenapa nuansa itu tidak kita tarik ke sekolah. Maka madrasah ini saya desain ini supaya anak-anak betah,” kata Sarkiah.

Ia menambahkan, masterplan juga desain sedemikian rupa agar semua siswa, baik dari keluarga kaya maupun dari kelas menengah ke bawah bisa ikut menyesuaikan diri. Para siswa dibuat tidak kaku dengan fasilitas dan sarana yang disiapkan di madrasah.

Melalui Masterplan, ditambah dengan Standar Acuan Penyelenggaraan Kegiatan dan Smart Book of Madrasah Aliyah Negeri Limboto yang tersusun dengan rapi, Sarkiah mencanangkan madrasahnya sebagai “Centre School”, atau pusat kemajuan sekolah-sekoah yang ada di sekitarnya.

Memang benar, pada saat ramai-ramai program

sertifikasi, para guru dari sekolah lain datang ke MAN

Limboto untuk belajar mengenai portofolio dan lain-

Kondisi Berbalik, Madrasah Jadi Idola

Seperti disinggung di atas. MAN Limboto berada di tengah-tengah antara SMA dan SMK. Kedua sekolah di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini sudah mempunyai fasilitas yang memadai. Justru itulah yang membuat Sarkiah bersemangat. Apalagi MAN Limboto berada di pusat kota.

“Saya sampaikan ke guru-guru gimana ini kita ubah madrasah kita menjadi idola. Tapi kita harus kerja semua. Harus searah. Jangan saya ke sana kamu ke belakang. Kalau tidak searah sampai kapan pun tidak bisa,” katanya.

MAN Limboto sudah berdiri sejak tahun 1979. Sejak awal berdiri madrasah ini selalu dipimpin oleh bapak- bapak. Justsru pada saat dipimpin oleh Ibu Sarkiah itulah, madrasah mencapai puncak prestasi. Sarkiah sendiri sempat menjadi juara dalam kompetisi kepala SLTA tingkat nasional.

Di hadapan para guru dan pengelola MAN Limboto, Sarkiah dikenal sebagai sosok yang tegas. “Saya dianggap seperti hantu. Baru datang (terdengar) sepatu saya orang-orang sudah bubar,” katanya.

Sarkiah termasuk kepala sekolah yang sangat ketat dengan data. “Saya sampaikan, kalau kita bicara harus pakai data. Kalau tidak sia-sia saja. Awalnya tidak biasa, lama-lama mereka (para guru) sudah biasa,” katanya.

Masa-masa awal pembenahan madrasah adalah masa-masa yang berat. “Ada yang sampai menangis.

Setiap hari kita bawa makanan secara bergantian, sekarang saya besok siapa, karena konsumsi untuk rapat tidak ada anggarannya. Sebelumnya, saya tanya semua, termasuk satpam, mau sekolah kita maju? Kita semua punya impian dan impian itu kita wujudkan. Kalau bicara pendidikan tapi hanya sekedar teori, jangan! Maka pendidikan itu butuh pengorbanan,” katanya.

Kini MAN Limboto sudah menjadi salah satu sekolah favorit di Gorontalo. “Dulu kita mendapat siswa sisa-sisa. Sekarang kita balik, kita yang membuka pendaftaran lebih dulu. Kita seleksi yang masuk. Sampai ada yang nangis anaknya tidak diterima,” katanya.

MAN Limboto hanya menerima separuh saja dari jumlah formulir yang diedarkan. Dari 3 kelas pada 2005, sekarang MAN Limboto mempuanya 12 kelas, masing-masing ada 4 kelas untuk kelas X, XI dan XII.

Sarkiah Hasiru, putri dari pasangan Ma’ani K Hasiru dan Amuri Abaidata kini sudah berusia hampir 50 tahun. Putrinya yang pertama sudah menempuh pendidikan S2. Namun parasnya masih terlihat segar dan cantik, serta penuh semangat.

Ia menjadi, PNS sejak 1993. Pertama kali semenjak menjadi pegawai negeri sipil, ia ditugaskan di MAN Limboto, namun kemudian ia masih berpindah-pindah ke beberapa madrasah sesuai tugas yang diberikan oleh Kementerian Agama.

Pada saat ditugaskan sebagai Kepala MAN Limboto, waktunya habis untuk madrasah. Ia berangkat pagi dan sering pulang malam. Saat-saat musim banjir tiba, ia

bahkan datang ke madrasah jam satu atau jam dua dini hari untuk melihat kondisi madrasahnya.

“Suami dan keluarga saya sempat protes. Awalnya mereka tidak begitu respek. Saya mengurusi madrasah sampai malam selama berbulan-bulan. Sudah dapat berapa miliar yang kau urusin sampai malam-malam, kata suami saya. Lalu bertahap keluarga saya libatkan. Saya ajak ikut kegiatan-kegiatan madrasah. Akhirnya mereka bisa memahami. Oh istri saya, ibu saya, begini pekerjaannya,” kata Sarkiah menirukan perkataan keluarganya.

Setelah sepuluh tahun menjabat, Sarkiah mengajukan surat pengunduran diri, dan ia kemudian ditugaskan sebagai Kasi Pendidikan Agama Islam oleh Kementerian Agama setempat. “Karena Limboto ke rumah saya itu dulu hanya 10 menit sampainya. Sekarang tidak bisa lagi secepat itu. Bagaimana saya menerapkan disiplin kalau saya sendiri terlambat,” katanya menjelaskan alasan pengunduran dirinya.

“Jadi ini sudah kita tinggalkan,” ujarnya sambil menunjuk buku Masterplan, Standar Acuan Penyelenggaraan Kegiatan dan Smart Book MAN Limboto yang dibawanya. “Kalau nawaitunya sama, ya

Endra Irawati, S.Pd.I,

Pengajar MI As-‘adiyah 185 Lompulle

Guru Muda Berpreatsi

Dalam dokumen Buku Guru Dan Baru 2016.pdf (Halaman 121-127)