• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKTIVITAS BISNIS TERKAIT BARANG DAN JASA YANG DIHARAMKAN ALLAH

Dalam dokumen Akuntansi Syariah Di Indonesia (Halaman 76-80)

Aktivitas investasi dan perdagangan atau semua transaksi yang melibatkan barang dan jasa yang diharamkan Allah seperti babi, khamar atau minuman yang memabuk kan, narkoba, dan sebagainya.

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atas mu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebutbukan nama selain Allah, tetapi barang siapa terpaksa (memakannya) karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS 16:115) “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan memperdagangkan khamar/minuman keras, bangkai, babi, dan patung.”(HR Bukhari Muslim)

“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu juga mengharamkan harga nya.”(HR Ahmad dan Abu Dawud).

Walaupun ada kesepakatan dan rela sama rela antara pelaku transaksi, namun jika atas objek transaksi tidak dapat diambil manfaat darinya karena dilarang oleh Allah maka akad tersebut dikatakan tidak sah. Dengan tidak terpenuhinya barang yang dilarang Alah sebagai objek akad berarti semua aktivitas bisnis yang terkait dengan barang yang dilarang Allah adalah haram karena tidak memenuhi rukun sahnya suatu akad.

RIBA

Riba berasal dari bahasa arab yang berarti tambahan (AL Ziyadah), berkembang (An Nuwuw), meningkat (Al Irtifa) dan membesar (Al-uluw). Imam sarakhzi mendefinisikan riba sebagai tambahan yang disyratkan dalam transaksi bisnis tanpa adnya padanan (‘iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut. Setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu penyeimbang atau pengganti yang dibenarkan syariah adalah riba. Hal yang dimaksud transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersil yang melegitiminasi adanya penambahan secara adil, seperti jual beli, sewa-menyewa, ataubagi hasil proyek, di mana dalam transaksi tersebuat ada penyeimbangnya berupa ikhtisar/usaha, risiko dan biaya. (Antonio, 1999)

Menurut ijma konsesus para ahli fikih tanpa kecuali, bunga tergolong riba (Chapra dalam Ascarya, 2007) karena riba memiliki persamaan makna dan kepentingan dengan bunga (interest). Lebih jauh lagi, lembaga Islam Internasional maupun Nasional telah memutuskan sejek tahun 1965 bahwa bunga bank atau sejenisnya adalah sama dengan riba dan haram secara syariah (Ascarya 2007). Bahkan MUI atau Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa (No. 1 Tahun 2004 ) bahwa bunga (interest) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman

(Al-qardh) atau utang piutang (Al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan,

individu maupun lainnya hukumnya adalah haram. Secara garis besar (Antonio, 2012:41), riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba Qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.

Riba Qardh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang. Riba yang muncul akibat adanya tambahan atas pokok pinjaman yang dipersyaratkan di muka oleh kreditur atau shahibul maal kepada pihak yang berutang (debitur), yang diambil sebagai keuntungan. Contoh: shahibul maal memberi pinjaman uang kepada debitur Rp. 10 juta dengan syarat debitur wajib mengembalikan pinjaman tersebut sebesar Rp. 18 juta pada saat jatuh tempo.

Riba Jahiliyyah

Utang dibayar lebih pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utang pada waktu yang ditetapkan. Riba jahilliyah dilarang karena terjadi pelang-garan kaidah “Kullu Qardin Manfa’atan fahuwa Riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Memberi pinjaman adalah transaksi tabarru’ yahni (QARD) sedangkan mengambil manfaat adalah transaksi komersil (tijarah). Jadi transaksi yang dari semula diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh diubah menjadi transaksi yang bermotif komersil atau bisnis.

Riba Fadhl

Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedang kan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Riba fadl disebut juga sebagai riba buyu’, yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi

yadin). Pertukaran sejenis ini mengandung gharar, yaitu ketidakjelasan bagi kedua

belah pihak akan masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.

Riba Nasi’ah

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian hari. Riba nasi’ah disebut juga sebagai riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghunmil) dan hasil usaha muncul bersama hasil biaya (al-kharaj bil dhaman). Transaksi ini semisal mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu.

Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi ghunmu (untung) muncul tanpa adanya al-ghurmi (resiko), hasil usaha (al-kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al-kharaj dan dhaman muncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis selalu mengalami adanya untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang diluar wewenang manusia adalah bentuk kezhaliman. Padahal justru itulah yang terjadi dalam riba nasi’ah, yakni memperlakukan sesuatu yang seharusnya bersifat uncertain (tidak pasti) menjadi certain (pasti). Pertukaran kewajiban menanggung beban (exchange of liability) ini, dapat menimbulkan tindakan zhalim terhadap satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lainnya.

Dalam perbankan konvensional, riba nasiah dapat ditemui dalam pembaya ran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro, dan lain-lain. Bank sebagai kreditur yang memberikan pinjaman mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed

and predetermined rate). Padahal nasabah yang mendapatkan pinjaman itu tidak

mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermined juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas, atau untung yang tidak dapat ditentukan dari awal. Jadi, mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, dan hal ini diharamkan. Disimpulkan bahwa terjadi riba nasi’ah apabila sesuatu yang tidak pasti dijadikan hal yang pasti, dan pada saat terjadi transaksi pinjam-meminjamkan, kemudian ditetapkan pengembalian yang lebih dari jumlah yang dipinjamkan ini disebut sebagai riba nasi’ah.

Imam Razi mencoba menjelaskan alasan mengapa bunga dalam Islam dilarang, antara lain (Qardhawi, 2001) :

1. Riba merupakan transaksi yang tidak adil dan mengakibatkan peminjam jatuh miskin Karena dieksploitasi, karena riba mengambil harta orang lain tanpa imbalan. Senilai seperti orang yang menjual senilai rupiah tetapi mendapat bayaran dua rupiah, berarti dia mendapatkan tambahan satu rupiah tanpa ada pengorbanan.

2. Riba akan menghalangi orang untuk melakukan usaha karena pemilik dapat hartanya dengan transaksi riba baik secara tunai maupun berjangka. Sehingga pemilik harta riba akan meremehkan persoalan mencari penghidupan sehingga dia tidak mau menanggung risiko berusaha, berdagang, dan pekerjaan-peker-jaan yang berat. Hal ini akan mengakibatkan hilangnya manfaat bagi masyara kat.

3. Riba akan menyebabkan terputusnya hubungan baik antar masyarakat dalam bidang pinjam meminjam. Jika riba diharamkan, setiap orang akan merasa rela meminjamkan uang satu rupiah dan mendapat pengembalian sebesar satu rupiah. Sedangkan jika riba dihalalkan, orang yang memiliki kebutuhan mendesak akan mendapatkan uang satu rupiah dan mengembalikan sebesar dua rupiah. Hal ini akan menyebabkan hilangnya perasaan belas kasihan, kebaikan, dan kebajikan.

4. Pada umumnya orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, sedang yang meminjam adalah orang miskin. Pendapat yang memperbolehkan riba berarti memberikan jalan bagi orang kaya untuk menerima tambahan harta dari orang miskin yang lemah. Sehingga orang kaya bertambah kaya dan orang miskin bertambah miskin.

Riba menimbulkan bencana besar bagi umat manusia. Riba merusak moral dan jiwa manusia. Riba mengganggu perputaran harta dan pertumbuhan ekonomi secara adil. Riba, sebagaimana terjadi di abad modern ini, menyebabkan terpusatnya kekuasaan dan otoritas riil pada tangan segelintir orang. Mereka itulah yang memberikan pinjaman kepada orang-orang. Baik secara individu, kelompok, Negara maupun bangsa, didalam dan di luar negeri. Kemudian mereka mendapat keuntungan berkat usaha jerih payah keringat orang lain. Hal itu mereka dapatkan dalam bentuk bunga, dan mereka sendiri tidak melakukan apa-apa untuk itu.

Jika ada sebagian orang yang mengatakan bahwa transaksi pada bank syariah dan bank konvensional adalah sama saja karena ada keuntungan yang diambil, bahkan harga beli pada bank syariah lebih mahal, maka sebenarnya ada perbedaan yang jelas antara jual beli dan riba. Berikut ini adalah perbedaan riba dan jual beli:

Tabel 4.1. Perbedaan Jual Beli dan Riba

No. Jual Beli Riba

1. Dihalalkan Allah swt Diharamkan Allah swt 2. Harus ada pertukaran barang atau manfaat

yang diberikan sehingga ada keuntungan/ manfaat yang diperoleh pembeli dan penjual.

Tidak ada pertukaran barang dan keuntu-ngan/manfaat hanya diperoleh oleh pen-jual.

3. Karena ada yang ditukarkan, harus ada beban yang ditanggung penjual.

Tidak ada beban yang ditanggung oleh penjual.

4. Memiliki risiko untung rugi, sehingga diperlu-kan kerja/usaha, kesungguhan dan keahlian.

Tidak memiliki risiko sehingga tidak di perlukan kerja/usaha, kesungguhan dan keahlian.

Berdasarkan perbedaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jual beli diperbolehkan karena ada iwad (pengganti/penyeimbang) yang menyebabkan penjual boleh mengambil tambahan sebagai keuntungan. ‘Iwad tersebut dapat berupa:

1. Usaha yang harus dilakukan dalam rangka menambah nilai dari barang/jasa (Al

Kharaj);

2. Risiko dalam menjalankan usaha (Al Ghurn);

3. Beban yang harus ditanggung terkait dengan pengadaan barang atau jasa (Al

Dhaman).

PENIPUAN

Penipuan terjadi apabila salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain dan dapat terjadi dalam empat hal yaitu sebagai berikut (Karim 2003):

1. Penipuan dalam kualitas; misalnya penipuan yang dilakukan dengan mencam-pur barang yang kualitasnya baik dengan barang yang kualitasnya buruk sehingga barang yang dijual memiliki cacat tapi disembunyikan;

2. Penipuan dalam kuantitas; misalnya dengan mengurangi timbangan;

3. Penipuan dalam harga; misalnya menjual barang dengan harga yang terlalu tinggi kepada orang yang tidak mengetahui harga wajar;

4. Penipuan waktu; misalnya memenuhi pesanan tidak sesuai dengan waktu yang telah disepakati.

Empat jenis penipuan tersebut diatas dapat membatalkan akad transaksi, karena tidak terpenuhinya prinsip rela sama rela.

PERJUDIAN

Berjudi atau maisir dalam bahasa Arab arti harfiahnya adalah memperoleh sesuatu atau mendapat keuntungan dengan yang sangat mudah tanpa kerja keras. Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua orang atau lebih, dimana mereka menyerahkan uang atau harta lainnya lalu mengadakan permainan tersebut baik itu dengan dadu, kuis sms, adu ketangkasan, tebak skor bola ataupun media lainnya. Semua bentuk perjudian itu dilarang, dengan nama apapun. Seperti yang terdapat dalam firman Allah swt surat Al-Mai’dah ayat 90 yang artinya:

“Wahai orang–orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, berkur-ban, (untuk berhala) dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah dengan per buatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan–perbuatan itu agar kamu beruntung.”

Dalam dokumen Akuntansi Syariah Di Indonesia (Halaman 76-80)