• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maqashidus Syariah

Dalam dokumen Akuntansi Syariah Di Indonesia (Halaman 38-45)

Memelihara Agama Memelihara Jiwa Memelihara Keturunan Memelihara Akal Memelihara Harta

Secara Filosofi, Seluruh Kegiatan Harus Sesuai dengan Maqashidus Syariah

hanyalah ditentukan dengan derajat kecocokannya dengan dua sumber utama hukum yang mula-mula dan tidak ditentang otoritasnya. Jika di rinci lebih khusus, yakni dalam arti syariah dan fikih sebagai dua konsep yang berbeda, maka sumber hukum bagi masing-masing berbeda. Syariah, secara khusus, bersumber kepada Alquran dan Sunnah semata, sedang fikih bersumber kepada pemahaman (ijtihad) manusia (mujtahid) dengan tetap mendasarkan pada dalil-dalil terperinci dari Alquran dan Sunnah.

Sumber hukum Islam merupakan dasar atau referensi untuk menilai apakah perbuatan manusia sesuai dengan syariah (ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT) atau tidak. Sumber hukum Islam yang telah disepakati jumhur (kebanyakan) ulama ada 4, yaitu Al-Quran, As-Sunah, Ijmak, dan Qiyas, sebagai mana tertuang dalam (QS 4:59).

"Hai orang-orang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri (peme-gang kekuasaan). Di antara kamu, Kemudian jika kamu berbeda penda pat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Ayat ini ditunjukkan kepada orang yang beriman untuk menaati Allah SWT, Rasul, dan pemimpin (Ulil Amri). Taat kepada Allah dilakukan dengan cara meng-ikuti perintah dan menjauhi larangan Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran. Taat kepada Rasul dilakukan dengan cara mengikuti apa yang telah di contohkan oleh Rasul sesuai As-Sunah. Taat kepada pemimpin (Ulil Amri) selama perintah pemimpin tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunah.

Prioritas dalam pengambilan sumber hukum antara Al-Quran, As-Sunah, Ijmak, dan Qiyas ialah apabila terdapat suatu kejadian memerlukan ketetapan hukum, pertama-tama hendaklah dicari terlebih dahulu di dalam Al-Quran. Apabila rujukan untuk ketetapan hukum itu tidak ditemukan dalam Al-Quran, barulah beralih meneliti As-Sunah. Bila rujukan ditemukan di dalam As-Sunah, maka hukum ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam As-Sunah. Namun, apabila rujukan tidak ditemukan dalam Al-Quran dan As-Sunah, baru dibolehkan merujuk kepada putusan dari para mujtahid yang menjadi ijmak (kesepakatan bersama) dari masa ke masa tentang masalah yang sedang dicari hukumnya itu. Kalau ada, penetapan hukum merujuk kepada ijmak tersebut. Sekiranya tidak ditemukan rujukan ijmak dalam masalah tersebut, maka ditempuh Qiyas, yaitu usaha sungguh-sungguh dengan jalan membuat analogi kepada peristiwa sejenis yang telah ada ketentuan hukum (nash)-nya, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:

"Bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang dikemukakan kepadamu?" "Kuhukumi dengan kitab Allah", jawabnya, "Jika kamu tidak men- dapatkannya di dalam kitab Allah, lantas bagaimana?" sambung Rasulullah, "Dengan sunah Rasulullah" ujarnya. "Jika tidak kamu temukan dalam sunah Rasulullah, lalu bagaimana?" tanya Rasul lebih lanjut. "Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya," jawabnya dengan tegas. Rasulullah SAW lalu menepuk dadanya seraya memuji, katanya: Alhamdulillah, Allah telah mem berikan taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang di ridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR Ahmad, Abu Dawud, dan At-Turmudzi).

AL-QURAN

Secara harfiah kata Alquran berasal dari bahasa Arab al-qur`an yang berarti pem-bacaan atau pem-bacaan (Munawwir, 1984: 1185). Sedang menurut istilah, Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui Malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab sebagai hujjah (bukti) atas kerasulan Nabi Muhammad dan sebagai pedoman hidup bagi manusia serta sebagai media dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan membacanya (Khallaf, 1978: 23). Menurut Ahmad Hasan (1984: 39), Alquran bukanlah suatu undang-undang hukum dalam pengertian modern ataupun sebuah kumpulan etika. Tujuan utama Alquran adalah meletakkan suatu way of life yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Allah. Alquran memberikan arahan bagi kehidupan sosial manusia maupun tuntunan berkomunikasi dengan penciptanya. Hukum perkawinan dan perceraian, hukum waris, ketentuan perang dan damai, hukuman bagi pencurian, pelacuran, dan pembunuhan, semuanya dimaksudkan untuk meng-atur hubungan antara manusia dengan sesamnya. Selain meng-aturan-meng-aturan hukum yang khusus itu Alquran juga mengandung ajaran moral yang cukup banyak.

Bila dipahami secara mendalam, ternyata Allah tidak menurunkan Alquran dalam suatu kehampaan, tetapi sebagai suatu tuntunan bagi seorang Rasul yang hidup dan terlibat dalam suatu perjuangan yang nyata. Alquran lebih banyak mem berikan prinsip-prinsip dasar yang membawa seorang Muslim pada arah tertentu dapat menemukan jawaban usahanya sendiri. Selanjutnya Alquran menyajikan hukum-hukum atau dasar-dasar Islam secara global yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah di segala tempat dan zaman. Jadi, bisa dikatakan bahwa Alquran adalah sebagai tuntunan (hidayat), dan bukan kitab hukum. Alquran menunjukkan dan menggariskan batas-batas dari berbagai aspek kehidupan. Tugas Nabi Saw adalah untuk memberikan ukuran-ukuran kehidupan praktis yang ideal dalam sinaran batas-batas yang dinyatakan Alquran.

Sebenarnya perjalanan hukum Islam menempuh proses yang panjang. Penaf- siran Alquran pada masa-masa awal tidaklah demikian rumit dan pelik sebagai mana masa-masa berikutnya. Metodologi pengambilan kesimpulan dari Alquran tumbuh semakin lama semakin rumit dan filosofis dengan dilakukannya kajian Alquran yang mendalam dan mendetail oleh para ahli hukum pada masa-masa berikutnya. Batang tubuh hukum Islam kaya akan contoh-contoh persoalan yang menjadikan para ulama berbeda pendapat didalam mengambil dasar hukumnya, sebagian mereka mendasarkan pada Alquran dan sebagian yang lain mendasarkan pada Sunnah atau pendapat pribadinya, karena yang terakhir ini menganggap bahwa ayat-ayat Alquran yang diajukan tidak relevan dengan permasalahan yang sedang dibicarakan. Inilah yang kemudian membawa kepada terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih Islam.

Perlu diketahui bahwa posisi Alquran sebagai sumber pertama dan terpen-ting bagi teori hukum tidaklah berarti bahwa Alquran menangani setiap persoalan secara jelimet (pelik) dan terperinci. Alquran, sebagaimana kita ketahui, pada dasar nya bukan kitab undang-undang hukum, tetapi merupakan dokumen tuntunan spiritual dan moral. Al-Quran tidak diturunkan secara sekaligus melainkan secara angsur. Ada dua alasan mengapa Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur adalah sebagai berikut:

1. Untuk menguatkan hati, berupa kesenangan rohani (spiritual) agar Nabi selalu tetap merasa senang dapat berkomunikasi dengan Allah, dan menghujamkan

Al-Quran serta hukum-hukumnya di dalam jiwa Nabi dan jiwa manusia umumnya, sekaligus menjelaskan jalan untuk memahaminya. Disebut menguatkan hukum, karena ada ayat-ayat Al-Quran diturunkan tepat pada waktu diper lukannya. Ketika terjadi kasus/permasalahan, pada saat itu pula ayat Al-Quran turun menerangkan hukumnya, sehingga kehadiran hukum disini tepat pada saat-saat dibutuhkan.

2. Untuk menartilkan, (membaca dengan benar dan pelan) Al-Quran, kondisi umat pada saat diturunkan Al-Quran adalah ummiy, yaitu tidak dapat membaca dan menulis, sementara Allah swt menghendaki Al-Quran dapat dihafal dan diresapi agar secara berkesinambungan (mutawattir) tetap terpelihara keasliannya (lestari) sampai hari kiamat. Turunnya Al-Quran secara berangsur-angsur merupakan salah satu cara untuk memudahkan Nabi dan para sahabatnya untuk menghafalnya. (QS 75:16-19)

Al-Quran dijadikan sebagai sumber hukum yang utama, karena Al-Quran berasal dari Allah swt yang maha mengetahui apa yang baik bagi manusia dalam menata kehidupannya sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Al-Quran memuat seluruh aspek hukum terkait dengan akidah, syariah (baik mahdhah maupun

muama-lah), dan akhlak serta terjaga keasliannya dan keotentikannya. Dalam

Al-Quran, menyuruh untuk menghadirkan saksi yang jujur pada akad transaksi (QS 2:282), dan jika akad tersebut ditangguhkan pembayarannya, maka hendaklah di tulis, untuk menghindarkan perselisihan di kemudian hari. Al-Quran juga mengatur mengenai hukum keluarga antara lain berupa penjelasan tentang pernikahan, mahram, perceraian (thalaq), macam-macam ‘iddah dan tempatnya, pembagian harta waris (fara’idh), dan sebagainya. Dalam Al-Quran juga mengatur mengenai hukum pidana yang senantiasa memperhatikan empat hal yaitu:

1. Melindungi jiwa, akal, harta benda, dan keturunan;

2. Meredam kemarahan orang yang terluka, lantaran ia dilukai;

3. Memberikan ganti rugi kepada orang yang terluka atau keluarganya;

4. Menyesuaikan hukuman dengan pelaku kejahatan, yakni bila pelaku kejahatan tersebut orang yang terhormat, maka hukumannya menjadi berat, dan jika pelaku kejahatannya tersebut orang rendahan, maka hukumannya menjadi ringan.

AS-SUNNAH

Secara etimologis, kata sunnah berasal dari kata berbahasa Arab al-sunnah yang berarti cara, adat istiadat (kebiasaan), dan perjalanan hidup (sirah) yang tidak dibedakan antara yang baik dan yang buruk. Ini bisa dipahami dari sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, “Barang siapa yang membuat cara (kebiasaan) yang baik dalam Islam, maka dia akan memeroleh pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya, dan barang siapa yang membuat cara yang buruk dalam Islam, maka dia akan memeroleh dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Al-Zabidiy, t.t.: 244; Munawwir, 1984: 716; Al-Khathib, 1989: 17). Sunnah pada dasarnya berarti perilaku teladan dari seseorang. Dalam konteks hukum Islam, Sunnah merujuk kepada model perilaku Nabi Muhammad Saw. Karena Alquran memerintahkan kaum Muslim untuk mencontoh perilaku Rasulullah, yang dinyatakan sebagai teladan yang agung, maka perilaku Nabi menjadi ‘ideal’ bagi umat Islam (QS. al-Ahzab (33): 21 dan QS. al-Qalam (68): 4).

Bentuk Sunnah bisa bermacam-macam. Sesuai dengan definisinya, bentuk Sunnah ada tiga macam, yaitu ada yang berbentuk sabda Nabi (sunnah qauliyyah), ada yang berbentuk perilaku Nabi (sunnah fi’liyyah), dan ada yang berbentuk penetapan Nabi atas perilaku sabahat (sunnah taqririyyah). Dari segi derajatnya, Sunnah ada yang shauhih, hasan, dan dla’if, bahkan ada yang maudlu’ (Sunnah palsu). Sedang dilihat dari segi jumlah penyampainya, Sunnah ada yang mutawātir,

masyhur, dan ahad. Dan masih banyak lagi pembagian lain dari Sunnah atau hadis

ini. Sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Alquran, fungsi Sunnah adalah sebagai bayan atau penjelas terhadap Alquran. Fungsi bayan ini bisa berupa salah satu dari tiga fungsi, yaitu:

1. Menetapkan dan menegaskan hukum-hukum yang ada dalam Alquran, seperti sabda Nabi tentang rukun Islam yang lima merupakan ketegasan dari firman Allah Swt. yang memerintahkan shalat, zakat, puasa, dan haji;

2. Memberikan penjelasan arti yang masih samar dalam Alquran atau memerinci apa-apa yang dalam Alquran disebutkan secara garis besar (tafshil), mengkhu-suskan apa-apa yang dalam Alquran disebut dalam bentuk umum (takhshish), atau memberi batasan terhadap apa yang disampaikan Allah secara mutlak (taqyid), seperti perincian cara-cara shalat yang diberikan oleh Nabi yang merupakan penjelasan dari perintah melakukan shalat secara global dalam Alquran;

3. Menetapkan suatu hukum yang belum ditetapkan oleh Alquran (tasyri’), seperti haramnya mengawini seorang perempuan sekaligus mengawini bibinya secara bersamaan (Khallaf, 1978: 39-40).

Seiring dengan dijadikannya Sunnah sebagai sumber hukum bagi kaum Muslim, maka pendapat dan praktik dari para sahabat pun banyak yang dijadikan sumber hukum, dengan alasan bahwa para sahabat adalah para pengamat langsung dari Sunnah Nabi. Karena mereka bertahun-tahun lamanya bersama Nabi, diharap kan mereka tentu mengetahui tidak hanya perkataan dan perilaku Nabi, tetapi juga ruh dan karakter dari ‘Sunnah ideal’ yang ditinggalkan Nabi bagi generasi selanjut nya.

IJITIHAD

Secara etimologis, kata ijtihad berasal dari kata al-ijtihad yang berarti penumpa-han segala upaya dan kemampuan atau berusaha dengan sungguh-sungguh (Munawwir, 1984: 234). Secara terminologis, ijtihad berarti mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Alquran maupun Sunnah (Khallaf, 1978: 216; Zahrah, 1958: 379). Dasar hukum dibolehkannya ijtihad adalah Alquran, Sunnah, dan logika. Nash Alquran dan Sunnah sangat terbatas jika dibandingkan dengan banyaknya peris-tiwa yang dihadapi oleh umat manusia, sehingga perlu ditetapkannya aturan baru untuk menghukumi semua permasalahan yang muncul dan belum diatur oleh Alquran dan Sunnah.

Pada prinsipnya ijtihad bisa digunakan dalam dua hal. Pertama, dalam hal-hal yang tidak ada nash-nya sama sekali. Dalam hal ini mujtahid dapat menemukan hukum secara murni dan tidak berbenturan dengan ketentuan nash yang sudah ada, karena memang belum ada nash-nya. Kedua, ijtihad dapat digunakan dalam hal-hal yang sudah diatur oleh nash, tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak pasti (zhanniy al-dalalah). Nash hukum dalam bentuk ini bisa memberikan

kemungkinan-kemungkinan pemahaman. Dalam hal ini ijtihad berperan di dalam menemukan kemungkinan-kemungkinan tersebut. Cara atau metode yang ditem-puh dalam rangka berijtihad bermacam-macam, yakni: ijma’, qiyas, istihsan,

mashla-hah mursalah, istishhab, ‘urf, mazhab smashla-hahabiy, dan syar’u man qablana.

QIYAS

Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penya maan sesuatu dengan sejenisnya. Sedangkan menurut terminologi, definisi qiyas secara umum adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu dalil baik di Al-Quran dan As-Sunah dengan suatu hukum yang yang disebutkan dalam dalil tersebut karena ada kesamaan dalam alasannya (‘illat), (Syafie, 2007).

Proses qiyas untuk suatu kasus yang akan dicari hukumnya dengan mencari dalil hukum yang jelas untuk kasus tertentu, setelah itu para mujtahid akan mencari alasan yang sama untuk kasus yang akan dicari hukumnya. Jika ditemukan adanya alasan yang sama maka mujtahid dapat menggunakan ketentuan hukum yang sama untuk kedua kasus tersebut, sedangkan jika tidak ditemukan alasan yang sama maka akan dicari ke hukum pokok (ashl). Qiyas dapat dianggap sebagai sumber hukum, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Sepanjang mengacu dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunah, qiyas diperlukan karena dalil-dalil dalam Al-Quran dan As-Sunah itu universal dan global. Sedangkan kejadian-kejadian pada manusia itu berkembang terus oleh karena itu, tidak mungkin ayat Al-Quran yang universal itu dijadikan sebagai satu-satunya sumber hukum terhadap kejadian-kejadian yang berkem bang mengikuti zaman.

2. Qiyas juga sesuai dengan logika yang sehat. Misalnya orang Islam meminum-minuman yang memabukkan. Sangatlah masuk akal, bila setiap meminum-minuman atau makanan memabukkan yang diqiyaskan dengan minuman tersebut, menjadi haram hukumnya.

Dari keempat sumber hukum tersebut di atas, Al-Quran merupakan sumber hukum yang pasti karena tidak perlu metode khusus untuk mengatakan ia adalah sumber hukum yang harus diikuti seorang muslim, sedangkan untuk As-Sunah, penetapan agar ia menjadi sumber hukum juga tidak diperlukan metode khusus, kecuali memerlukan penggolongan hadis berdasarkan perawinya seperti telah disebutkan di atas.

RANGKUMAN

Prioritas dalam pengambilan sumber hukum antara Al-Quran, As-Sunah, Ijmak, dan Qiyas ialah apabila terdapat suatu kejadian memerlukan ketetapan hukum, pertama-tama hendaklah di cari terlebih dahulu di dalam Al-Quran. Apabila rujukan untuk ketetapan hukum itu tidak ditemukan dalam Al-Quran, barulah beralih meneliti As-Sunah. Bila rujukan ditemukan di dalam As-Sunah, maka hukum ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam As-Sunah. Namun, apabila rujukan tidak ditemukan dalam Al-Quran dan As-Sunah, baru dibolehkan merujuk kepada putusan dari para mujtahid yang menjadi ijmak (kesepakatan bersama) dari masa ke masa tentang masalah yang sedang dicari hukum nya itu.

Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui Malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab sebagai hujjah (bukti) atas kerasulan Nabi Muhammad dan sebagai pedoman hidup bagi manusia serta sebagai media dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan membacanya.

Sunnah berarti sesuatu yang berasal dari Nabi Saw. yang berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat, dan perjalanan hidup beliau baik pada waktu sebelum diutus menjadi Nabi maupun sesudahnya. Sunnah terkait erat dengan Al-quran, dan karenanya agak sulit untuk mengatakan bahwa keduanya adalah sumber yang terpisah. Sunnahlah yang memberikan bentuk konkrit pada ajaran-ajaran Alquran. Alquran misalnya menyebutkan perintah shalat dan zakat, tetapi tidak memberikan perinciannya. Nabi Muhammad lah yang menjelaskannya dalam bentuk praktik. Mengingat taat dan patuh kepada Nabi sebagai kewajiban, maka Sunnah, yaitu model perilaku dari Nabi baik dalam bentuk ajaran maupun contoh, menjadi sumber hukum. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut Sunnah adalah hadis, dan terkadang digunakan juga istilah khabar dan atsar.

Ijtihad berarti mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Alquran maupun Sunnah. Dasar hukum dibolehkannya ijtihad adalah Alquran, Sunnah, dan logika. Nash Alquran dan Sunnah sangat terbatas jika dibandingkan dengan banyaknya peristiwa yang dihadapi oleh umat manusia, sehingga perlu ditetapkannya aturan baru untuk menghukumi semua permasalahan yang muncul dan belum diatur oleh Alquran dan Sunnah.

Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Sedangkan menurut terminologi, definisi qiyas secara umum adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu dalil baik di Al-Quran dan As-Sunah dengan suatu hukum yang yang disebutkan dalam dalil tersebut karena ada kesamaan dalam alasannya (‘illat).

SOAL TEORI

1. Jelaskan apa yang disebut dengan pengertian hukum Islam? 2. Hukum Islam diklasifikasikan menjadi lima (5), jelaskan?

3. Coba jelaskan ruang lingkup hukum Islam dan apa bedanya antara hukum Islam dengan hukum barat?

4. Apa saja ruang lingkup hukum Islam?

5. Jelaskan beberapa karakteristik dasar dari hukum Islam? 6. Coba Anda jelaskan sasaran hukum Islam?

7. Apa yang disebut dengan sumber hukum Islam dan jelaskan ayat yang melandasi dasar hukum tersebut?

8. Jelaskan apa pengertian Al-quran, fungsi Al-quran dan tujuan Al-Quran? 9. Jelaskan apa pengertian As-sunnah, fungsi As-sunnah dan tujuan As-sunnah? 10. Jelaskan apa pengertian Ijitihat, fungsi Ijitihat dan tujuan Ijitihat?

SEJARAH DAN PEMIKIRAN

Dalam dokumen Akuntansi Syariah Di Indonesia (Halaman 38-45)