• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aku Supir, Aku Belajar, Aku Melawan Oleh:

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 185-200)

Fresly Manulang

A

ku anak petani miskin dari desa Simanullang, kecamatan Bakara, kabupaten Humbang Hasun-dutan. Hanya berjarak 500 meter dari Danau Toba. Dari ibukota kabupaten bisa ditempuh 4 jam naik motor. Desaku sangat subur, sejak dahulu dikenal sebagai penghasil bawang merah dan padi. Udaranya sejuk, ki-cauan burung saling bersahutan seperti simfoni yang merdu.

Pegunungan mendesak dari arah timur, barat dan utara; kecuali arah selatan yang dihiasi danau Toba ke-biruan. Di atasnya dihiasi kapal-kapal nelayan dan ba-risan kolam terapung. Sementara tepiannya ditempati pondok-pondok sederhana, tempat muda-mudi memadu kasih. Penduduk sekitar hidup dari dunia pariwisata.

Namun di balik keindahan itu, ada cerita duka. Sejak industri rekreasi menggurita, kami semakin terp-inggirkan. Semakin hari, semakin banyak pencari kehidu-pan datang dan tak terbendung. Karena sawah semakin sempit, mata pencaharian makin sulit, Mau tidak mau

aku harus pergi merantau. Maka pada tahun 1999, setelah lulus SMA Dharma Bhakti Siborong-Borong, aku mem-beranikan diri merantau ke Jakarta, demi mendapatkan pekerjaan. Orangtuaku hanya memberikan uang saku pas-pasan, hanya cukup untuk hidup beberapa hari di Ja-karta. Dengan bekal uang pemberian orang tua seadanya, aku harus belajar menahan lapar.

Dengan bus aku meninggalkan Bakara, kampung kelahiranku. Ketika roda bus bergerak melaju, tekadku menggumpal untuk mengadu nasib di ibukota. Aku harus bisa berhasil di perantauan. Bus yang kutumpangi melaju menuju Jakarta. Aku memandangi rumput dan pepohonan yang bergoyang sepanjang perjalanan. Sudah dua hari perjalanan kami, badan terasa linu dan kaki membengkak karena terlalu lama duduk. Hati bertanya, “Seperti apa bentuk Jakarta? Apakah betul seperti yang dipertontonkan di televisi?” Jakarta dengan kemegahan gedung-gedung yang menjangkau langit ketujuh, orang di Jakarta hidupnya mewah dan kaya-raya, “tanpa orang miskin”

Kini Aku di Jakarta

Jakarta berjabat tangan denganku, lalu wajah sesung-guhnya nampak jelas. Tempat berteduh kontrakan kakak-ku, hanya seluas 3x4 meter dengan kamar mandi di luar. Aku melihat kondisi Jakarta tidak seperti yang diper-tontonkan. Rumah kontrakan sangat banyak, berdesak-desakan dan kumuh, tempat tinggal masyarakat yang tak punya tanah dan rumah. Banyak orang berkumpul, tidur di bawah jembatan tol. Jalanan dipenuhi mobil yang berhenti karena macet. Trotoar pembatas jalan dipenuhi pengamen untuk menyambung hidup. Suara kebisingan dimana-mana selama 24 jam, perkelahian sesama umat sering terjadi.

Mencari pekerjaan ternyata tak semudah yang kubayangkan. Aku harus mempunyai KTP (Kartu Tanda Penduduk) Jakarta, itupun harus mengeluarkan uang sogokan sejak dari RT, RW, sampai Kelurahan. Kemu-dian harus membuat SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Kali ini bahkan lebih rumit lagi. Semua-nya, mulai dari RT, RW, Kelurahan, sampai Kepolisian, harus mengeluarkan uang. Miris mengingat nasibku, dikepung birokrasi yang hidup dari rakyat, tapi menindas dan memeras rakyatnya sendiri. Sedangkan doa dan im-pian banyak orang tua yang melahirkan anaknya adalah menjadi pekerja untuk pemerintahan yang menjijikkan itu.

Walau surat lamaran sudah rapi tetap belum bisa bekerja. Setiap pagi, surat lamaran memaksa kakiku me-langkah. Sorot mataku seperti kebingungan ke setiap pagar di depan pabrik. Terjangan terik matahari membuat kerong-konganku kering. Keringat bercucuran sebesar jagung, membasahi sekujur tubuh dan pakaian yang menempel di badanku. Sementara uangku tak cukup untuk beli minuman.

Hingga hari yang indah itu tiba. Aku ketemu sosok murah hati, ia rela memberi tempat tinggal dan makan kalau perut lapar: namanya Jepto, Fernando, dan Bos-tang Manalu. Satu tahun waktu yang panjang, melelah-kan, dan menyedihkan. Selalu kulewati dengan memohon doa kepada yang kuasa. Lalu pada tahun 2000, setelah tiga belas bulan, akhirnya datang sebuah panggilan lewat telpon genggamku, dari PT. Nusa Metal. Sebuah pabrik otomotif di kawasan Tanjung Priuk.

Hari itu debu yang tebal dibawa hempasan an-gin jalanan dengan kemacetannya. Penjaga menungguku, langkahku semakin mendekat. Ia mengantarku ke ruang manajemen. Hatiku berdebar, apakah diterima atau tidak? Dalam situasi itu aku hanya bisa berdoa, semoga aku di-terima.

Beberapa jam kemudian, pengumuman diperton-tonkan. Pada sebuah papan kulihat ada namaku. Aku lulus tes! Hatiku bersorak girang. Saat itu juga, aku mulai dilatih dan langsung bekerja. Suara bising dari beberapa baja raksasa seperti menyerang gendang telingaku. Me-menuhi tembok-tembok perusahaan.

Buruh-buruh dengan seriusnya ”tak peduli” demi makan hari ini. Juga supaya besok bisa kerja dengan masa percobaan tiga bulan. Makian dan hinaan dari mandor menyengat daun telingaku. Hati pun berapi-api, dada harus kuelus-elus. Siapa berani menyikut saat bersaing dengan saudara senasibnya akan dapat nilai lebih. Kalau bisa menjilat dan menyogok, akan bebas dari masa per-cobaan. Hidup dikekang waktu sesuai kemauan peru-sahaan. Siapa melanggar tidak lulus masa percobaan. Manajemen perusahaan membangun paradigma “waktu adalah uang”. Lingkungan baru hidupku di penjara pe-rusahaan.

Tiga bulan sudah tak ada benang penyambung. Aku diputuskan tidak lulus masa percobaan, dan harus segera keluar. Hatiku gusar, pikiran seperti terbawa arus ombak, langkah kakiku dengan malasnya mengge-rayangi permukaan susunan aspal. Aku pulang ke tem-pat berteduh 3x4 meter, merenungkan kembali kisah sebelumnya.

Menjadi Supir Trailer

Kontrakan 3x4 meter itu berada di jalan Tipar, Cakung, daerah padat kawasan industri. Kontrakan-kontrakan di setiap gang, berbaris ibarat anak-anak sekolahan. Tetangga kawanku bercanda gurau setiap hari. Salah seorang di antaranya seorang sopir truck trailer, namanya Hendrik Tambunan. Suatu hari ia mengajakku

ke tempat kerjanya, sebuah perusahaan trucking.1 Di sana aku diperkenalkan ke asistennya (kondektur), Mahrudin Marbun.

Lalu tiba-tiba aku diajak naik ke dalam truck trailer panjang dan besar. Segera truk yang kunaiki bergerak keluar pool2¸ kami bertiga duduk di dalam bagian paling depan, biasa kami sebut head truck atau kabin.

Inilah pertama kalinya aku masuk ke dalam truck

trailer. Sambil terheran-heran aku melihat sekujur ruangan head truck. Di dalamnya ada kardus 20x30 cm, galon air,

kasur, dan berjejalan pakaian Hendrik dan Mahrudin. Se-mentara dongkrak bertumpukan dengan kardus-kardus. Tongkat persneling dengan nomor di bagian atas menjadi penentu bergeser-tidaknya truck trailer. Setir dengan penyangga melintang di tengahnya, persis di ha-dapan jok paling kanan, menentukan arah jalan ke kiri atau kanan. Spion kiri dan kanan memancarkan cahaya-nya agar ujung paling belakang truck trailer terlihat jelas. Dengan rasa penasaran dan ingin tahu, aku melem-parkan banyak pertanyaan kepada Hendrik dan Mah-rudin. Mereka berdua menjelaskan sambil bercanda. Tiga hari kemudian, Mahrudin meminta aku jadi asisten Hendrik, sementara dia sendiri akan pindah ke truck

trailer dengan sopir yang lain. Karena sudah kenal dan

paham alur kerjanya, kami bertiga sepakat.

Sejak itu, kegiatanku setiap hari bekerja mencuci

head truck, berbengkel atau merawatnya. Sementara diri

1 Perusahaan penyedia jasa truk untuk pengangkutan barang, bi-Perusahaan penyedia jasa truk untuk pengangkutan barang, bi-asanya dari dan ke pelabuhan

2 Pool, biasa juga disebut garasi, selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan truk, di dalam pool juga terdapat kantor peru-sahaan dan tempat beberapa supir tinggal menginap sambil berdesak-desakan. Tidak jarang banyak supir yang setiap hari terpaksa tidur di dalam head truck.

sendiri tak terawat. Tahun 2001penghasilan yang ku-dapat Rp.150.000 perbulan. Cukup kemana? Perut diisi oleh uang pemberian sopir setiap waktu lapar. Pada waktu itu aku memang tetap bisa hidup, walau dengan pas-pasan.

Rasa ingin bisa jadi sopir tetap kujalani sampai mampu. Hendrik mulai memberi kebebasan kepadaku mengendarai truck trailer. Selama itu, musibah seperti ber-lomba-lomba menghampiriku. Kecelakaan terjadi. Han-cur sudah truck trailer alat kerja kami. Hal itu membuat Hendrik berurusan dengan lilitan utang di perusahaan akibat kecerobohanku. Pihak manajemen perusahaan menyanyikan lagu lama dengan iramanya, membeban-kan kerugian akibat kecelakaan tersebut pada buruhnya.

Tanggal muda penyunatan gaji dialami Hendrik. Sunat demi sunat dilakukan perusahaan tanpa henti sampai lilitan hutang terputus. Perasaan tidak enak pun menghampiriku karena tidak mampu berbuat apa-apa.

Banyaknya hari, minggu dan bulan terlewati. De-ngan bantuan kakakku, aku akhirnya bisa membuat surat izin mengemudi. Harus kucari di tempat orang-orang berwajah sangar, keroncong membuncit jauh ke depan tak tau apa isinya, sebagian besar badannya dibungkus cokelat. Monster menakutkan. Isi kantong celanaku diperas keluar. Uang sogokan adalah kunci, agar aku bisa sah jadi sopir trailer.

Penerimaan sopir trailer terjadi di perusahaan tem-pat kami bekerja. Kondektur ini naik pangkat jadi sopir. Bangga rasanya jadi sopir, perubahan seakan meng-hampiriku.

Keseharianku disuguhi manajemen dengan order. Memerintah dengan nada mengancam, berlagak lebih dari pemilik modal. Bagaimanapun truck trailer harus

tetap kukemudikan, untuk mengangkut barang milik perusahaan lain.

Di bawah tekanan, daun telingaku terasa berde-nyut-denyut diserang kebisingan suara mobil. Parahnya kemacetan di jalan raya. Semakin dekat dengan pelabu-han, kemacetan akan semakin parah. Rentetan truk hanya bisa bergerak pelan, bahkan seringkali macet total seperti ular tak ketemu lobang memanjang. Sementara itu debu-debu menyerang masuk ke tenggorokan, terik matahari menyerang kepala, dan tekanan panas dari mesin truck trailer di bawah memanaskan pantatku. Ke-ringat mengalir deras dari pori-pori. Handuk di leherku basah, berulang-ulang kuperas untuk mengeringkan keringat dari kening, pipi, dan sekujur tubuhku.

Sepanjang perjalanan hatiku was-was ketakutan, jalanan dipenuhi ancaman. Trotoar pembatas jalan dipenuhi pemalak, mereka memaksa meminta uang, mengintai segala yang berharga. Darah bisa memancur, nyawa bisa melayang, apapun bisa terjadi di jalanan.

Aku hanya bisa menyetir truck trailer, tidak tahu tentang hukum. Bentakan polisi juga mengintaiku. De-ngan kertas dan pulpen di taDe-ngannya, polisi memeras kantong dengan dalih peraturan perundang-undangan. Polisi berkata “mau damai di tempat atau di pengadilan?”. “di tempat saja pak,” jawabku. Aku pun memberi uang kepada polisi tersebut. Urusan selesai, truk kembali bisa berjalan menuju pelabuhan.

Gerbang pelabuhan Tanjung Priok terbuka lebar, demi kelancaran perputaran roda ekonomi negara. Pelabuhan adalah tempat keluar-masuk barang kebutuhan hidup penduduk dunia, bisa dikata pelabuhan adalah mati-hidupnya sebuah negara. Berbagai bahan baku yang akan diolah dan diproduksi oleh ribuan pabrik di negri ini masuk dari pelabuhan. Selanjutnya barang yang

telah selesai diproduksi oleh pabrik, akan diangkut ke berbagai negara melalui pelabuhan. Karena itu, pabrik-pabrik akan berhenti berproduksi, hasil produksi akan tertumpuk di gudang-gudang, apabila bibir pantai ini lumpuh.

***

Pelabuhan sendiri tak jarang lebih ganas dari jalanan, sesak dengan para pemeras. Mereka yang bekerja di pelabuhan setiap hari memeras kami para supir trailer. Petugas bea cukai, keamanan, petugas gerbang masuk dan keluar, tidak ketinggalan operator alat berat memeras para supir. Pada mereka juga pekerja, sama sepertiku, tapi di pelabuhan ini kami saling peras. Uang yang seharusnya bisa kuberikan ke anak dan istriku, habis diperas oleh pungli (pungutan liar).

Peti kemas kemudian diangkat oleh operator dengan RTG (Rubber Tyred Gantrys), lalu diturunkan di atas

truck trailer yang kukemudikan. Sejak itu juga perasaan

was-was mulai muncul kembali. Ketika mengangkut muatan sampai ke lokasi, para supir trailer selalu diliputi kegusaran dan rasa takut. Di jalanan apapun bisa terjadi.

Truck trailer yang kukemudikan bergerak menuju

kawasan industri. Di sana isi peti kemas dibongkar habis, isinya bahan baku agar proses produksi di pabrik bisa terus bergerak. Sementara isi kantongku semakin ke-ring. Bahkan di kawasan industri dan pabrik sekalipun, pungli bertebaran tak kenal ampun.

Aku melakukan pekerjaan sampai selesai satu job (pekerjaan), tanpa aturan jam kerja yang pasti. Upah yang

berlaku bagi sebagian besar supir adalah sistem ritase.3 Sekali kirim dari pelabuhan ke kawasan industri di Bekasi, seorang supir hanya mendapat upah sebesar Rp. 30.000 sampai Rp. 50.000. Upah itu sudah berlaku sejak tahun 2004, dan sampai sekarang masih berlaku. Kami para supir truck trailer nyaris tak pernah merasakan Jam-sostek. Pengusaha selalu bilang, pekerjaanku tak seperti buruh pabrik. Jadi kami tidak berhak atas apa yang di-dapatkan buruh pabrik. Perusahaan trucking yang lain pada umumnya juga melakukan hal yang sama.

Dua tahun lamanya aku bekerja di perusahaan ini. Sekitar akhir 2005, aku kena PHK. Perusahaan meme-catku hanya dengan kalimat santun, ”Terima kasih pak sudah bergabung di perusahaan kami.” Aku kembali jadi bujang pengangguran. Apakah nasibku dituliskan sejak lahir seperti ini?

PHK membuatku kebingungan, karena uang habis sehingga sering menahan lapar. Mencari pekerjaan kem-bali susah sekali. Tapi untuk hidup aku harus makan, untuk makan aku harus bekerja.

Kisah Perlawanan

Awal Oktober 2006. Ketika makan di warung nasi, di atas meja makan ada koran. Aku baca koran Pos Kota yang biasa mencantumkan lowongan pekerjaan. Salah satu kolom berisi lowongan pekerjaan sopir. Keesokan harinya aku berangkat perusahaan trucking yang mem-butuhkan sopir tersebut. PT.Gatotkaca Trans Systemindo namanya.

Sesampai di PT. Gatotkaca Trans Systemindo, aku bertemu dengan Elviany. Aku menjalani ujian dari mana-3 Upah berdasarkan satu kali pengiriman barang. Satu rit sama de-ngan pulang-pergi dari garasi truk ke lokasi pengiriman barang

jemen. Syarat dan ujiannya lebih resmi daripada peru-sahaan tempatku bekerja sebelumnya. Elviany meneri-maku sebagai sopir di PT. Gatotkaca Trans Systemindo. Upah bulanan sekitar Rp 700.000, tanpa upah lem-bur, walau Jamsostek diberikan meliputi kesehatan istri dan dua anak. Kami harus siap diperintah kapan saja dibutuhkan. Hari sudah malam, orang-orang meme-jamkan mata dan bermimpi indah, tetapi aku harus tetap menyetir jika diperintah.

Tidak lama kemudian, pertengahan 2007, aku meni-kah dengan gadis idamanku. Gadis paling sempurna buatku, dan ibu bagi anak-anak kami nanti. Hidup su-sah-senang kami lalui bersama. Lilis Suryani namanya. Aku sering meninggalkannya sendirian di rumah, karena harus bekerja. Waktuku lebih banyak di jalanan daripada bersama isteriku. Sementara gaji yang kudapat tak cukup menafkahi hidup kami.

Hidup supir truk sulit, dililit hutang dan sekian bahaya di jalanan. Banyak dari kami suka bahkan keran-jingan berjudi. Kami berjudi di pool hampir setiap hari, siang-malam, ketika menunggu tarikan. Di arena judi itu, kawan yang menang bergembira di atas penderitaan kawannya sendiri. Sementara kesulitan kawan yang kalah, ditanggung sendiri dan keluarganya di rumah.

Kediktatoran manajemen semakin hari, semakin tak terbendung. Sebut saja namanya Jojon. Kata-kata jorok terhadap kami keluar dari mulutnya tanpa pandang bulu dan mengenal situasi. Memang Jojon ini terlalu. Membuat sanksi tak kira-kira, pemenang sanksi tak je-las terbanyak Rudi Mangunsong dan Agustiana, aku masih kalah dengan mereka. Dalam kondisi itu, sering-kali kami para supir mencari selamat sendiri-sendiri.

Kami bertiga, Rudi, Agustiana, dan aku, berniat untuk menjatuhkan Jojon sebagai kops pool (kepala pool).

Setelah berdiskusi lama, kami kemudian mengajak se-luruh supir di perusahaan untuk menggulingkan Jo-jon. Caranya terlebih dulu kami mendekati supir-supir yang satu suku (Batak), lalu mengajak yang lain untuk bersama-sama menggulingkan Jojon. Upaya kami untuk mengumpulkan supir-supir yang lain ternyata berhasil. Keindahan pantai Marunda Centre menjadi saksi rapat konsolidasi pertama kami, semua supir sepakat untuk memberi tanda tangan pada lembar tuntutan, kami menuntut Jojon digantikan.

Kemudian kami semua tidak mau bekerja, mogok spontan tanpa ada serikat. Tanda tangan dan tuntutan, kami serahkan ke manajemen agar disampaikan ke pe-milik perusahaan. Petunjuk jam melingkari lintasannya, dua jam belum habis. Pemilik perusahaan datang me-ngajak kami berkumpul, lalu mempertanyakan duduk persoalan. Rudi Mangunsong, Agustiana, Paryono, K. Ma-nurung, Herlan Sihotang, dan Nikson Huta Gaol men-jelaskannya. Resep meredam perlawanan dikeluarkan pemodal, “Kita saudara, bagaimana keluarganya Jojon nanti?”. Pemodal memohon maaf, Jojon pun minta maaf. Tuntutan kami gagal. Namun sejak itu, suara-suara per-satuan dan perubahan mulai sering terdengar di pool.

Kedekatan sesama kawan semakin baik. Ripai menawarkan ide agar membangun kepedulian sesama kawan, yaitu solidaritas untuk kawan yang sakit. Semua sepakat dan praktiknya cukup bagus. Keresahan meng-hantui kami, ketika muncul aturan pemotongan upah dan uang kompensasi yang sudah secuil, jika kami menginap di coustomer (pabrik). Padahal kami sering terpaksa menginap atau beristirahat di customer karena sudah terlalu lelah untuk kembali ke pool. Sejak itu, dis-kusi kecil-kecilan sesama supir Batak tumbuh, semua yang dituakan di masing-masing kelompok

menyepa-kati akan mogok kerja apabila tuntutan tidak dipenuhi. Tanpa pemberitahuan ke instansi terkait, mogok spontan kerja kami kibarkan. Pemodal kelimpungan tergesa-gesa menemui kami, bernegosiasi. Tuntutan kami dipenuhi dalam jangka empat jam. Kami semua sangat bangga dengan persatuan dan perlawanan saat itu tanpa tahu dan patuh pada undang-undang.

Tahun 2010, Mulai Mengenal SBTPI

Angin sepoi-sepoi berhembus dari pantai Marunda Centre, kami bersanda gurau di pinggiran warung sekitar perusahaan. Gelas duduk sopan di atas meja kuangkat, lidah dengan liurku bercampur manis dengan pahit dari dalam gelas.

Baru aku tahu pagi, di meja itu ada sosok laki-laki yang selalu mengikuti setiap gerak-gerikku. Dia adalah Herlan Sihotang. Dengan gaya tegas ia berkata,

”Kamu harus mengisi pengetahuan supaya perbai-kan ke depan lebih baik lagi, dan kamu bisa menjaga dirimu,” ucapnya sambil memegang rokok. Matanya menatapku tajam.

“Tidak apa-apa,” jawabku sambil tersenyum, meski-pun hatiku gusar.

“Pengusaha itu kejam!” sahutnya dengan suara lan-tang. “Suatu saat kamu bisa kena PHK!” tambahnya. Pikiran dan hatiku mengiyakan, namun aku masih ragu.

“Maksudmu bagaimana, bang?”

“Kita harus mengisi pengetahuan dan memiliki organisasi yang bisa melindungi dan meningkatkan kesejahteraan kita,” jawabnya. Herlan menatapku tajam, sambil menghisap sebatang rokok.

Perjuangan Indoneia (SBTPI). Masuklah kau di sana.” Aku hanya mengangguk-angguk. Herlan terus ber-kisah tentang SBTPI. Usai pertemuan itu, di rumah, saat anakku sudah tidur nyenyak, aku bercerita pada istriku pertemuan dengan Herlan tadi siang. Aku nyatakan niatku untuk membangun serikat buruh. Istriku men-dukung.

“Apa kamu gak takut kena PHK?”

“Pengusaha selalu menekanku, juga hidup kita seperti ini terus,”

“Ya, sudah kalau menurutmu itu baik,” Aku senang sekali, isteriku mendukung.

***

“Apakah cuma kita berdua?” Tanyaku sama Herlan “Bisa tapi lebih baik kita ajak beberapa orang ter-dekat kita,” jawabnya.

Lalu kami mengajak Saut Simajuntak dan Rolipan-di Simarmata. Kami sepakat berangkat ke kantor SBTPI.

Motor warna merah kami pacu berboncengan pe-nuh keraguan. Gedung berlantai tiga dan barisan besi mengangap melenyapkan kami, urutan tangga dengan enggan cahaya mendekatinya selesai kami hitung. De-mam panggung menggerogotiku.

Tanganku menyentuh sesuatu, terasa panjang jauh dari ukuranku, pajangan tinggi di depanku ujungnya tak terlihat, aku angkat wajahku, bibir atasnya terangkat mengajak cerai dengan bibir bawah mengeluarkan suara dengan lembut “Sahat Sihotang”.

Penggerogot enggan pergi meninggalkanku, ta-nganku begerak ke sebelah kanan menyentuh lebih

be-sar lagi, panjang pula perasaan, semakin tak karuan mulutnya mengeluarkan suara lantang “Namaku Kamal,”.

Pergeseran tanganku berlanjut semakin ke bawah, sentuhanku amat berbeda dengan yang lainnya. Mungil semakin mengecil. Di hadapanku jidat yang mengkilap melebar ke atas mempersempit ruang tumbuhan di atasnya, sorotan mata sipit menantang tanpa ragu, badan pendek mungil, bibir tipis mengangap lebar menimbul-kan nada lantang dan khas, “Namaku Ilhamsyah,”.

Masing-masing mulai menyampaikan motivasi ten-tang pentingnya berkumpul, berserikat, dan berjuang agar bisa meningkatkan kesejahteraan. “Serikat buruh memfasilitasi pendidikan tentang hak dan kewajiban yang diatur dalam undang-undang, juga belajar ekonomi politik, dll. Serikat buruh tempat belajar bersama dan berjuang bersama bagi kita,” kata mereka. Aku seperti mau berlari secepat kijang kembali ke tempat kerja untuk mengabarkan kebaikan ini.

Sesampainya di pool, aku mengajak Paryono, Nik-son Hutagaol, Agustiana membentuk diskusi kecil. Para-sian Sitorus mengancam, “Kalau ada yang mendirikan

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 185-200)