• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buruh Menuliskan Perlawanannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Buruh Menuliskan Perlawanannya"

Copied!
508
0
0

Teks penuh

(1)

BURUH

(2)
(3)

BURUH

MENULISKAN PERLAWANANNYA

Penulis:

Agus Japar Sidik, Atip Kusnadi, Budiman, Dayat Hidayat, Gito Margono, Hermawan, Lami,

Fresly Manulang, Salsabila, Nuzulun Ni’mah, Sri Jumiati, Sugiyono, Supartono,

Samsuri, Muryanti

(4)

xviii + 400 halaman, 14 x 21 cm ISBN : 978-620-99608-3-9

1. Buruh 2. Perlawanan 3. Politik Perburuhan I. Judul

Cetakan Pertama, 2015

Penulis : Agus Japar Sidik, Atip Kusnadi, Budiman, Dayat Hidayat, Gito Margono, Hermawan, Lami, Fresly Manulang, Salsabila, Nuzu-lun Ni’mah, Sri Jumiati, Sugiyono, Supartono, Samsuri, Muryanti Editor : Bambang Dahana, Syarif Arifin, Abu Mufakhir, Dina Septi, Azhar

Irfansyah, Alfian Al-Ayubby Pelu Layout : Sugeng Riyadi

Cover : Kurnianto Diterbitkan pertama kali oleh:

Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)

Jl. Dewi Sartika No. 52F, Bogor, 16121, Jawa Barat Telp. 0251 - 8344473

email: perburuhan.sedane@gmail.com Bekerjasama dengan,

Tanah Air Beta

Jl. Wates KM. 10, Pedes, Argomulyo, Sedayu Bantul, DI. Yogyakarta, 55753

Telp. 0274 -6498157

Email: tanahairbeta99@yahoo.co.id

Dicetak oleh:

(5)

M

embaca statistik resmi pemerintah, orang akan mudah percaya bahwa ekonomi Indonesia se-makin maju. Pertumbuhan ekonomi (GDP) terbukti terus naik sejak sejak 2001. Lunglai sedikit saat krisis 2008-2009, tapi pulih kembali sesudahnya, dan mencapai 6% pada 2013. Dengan pertumbuhan ekono-mi seperti itu, pengangguran terpangkas dan jumlah orang miskin berkurang. Menurut pemerintah Indone-sia, semua ini tercapai karena kebijakan dan program pembangunan ekonomi sudah di berada di jalur yang benar. Banyaknya investor yang datang sering dipakai sebagai penunjuk bahwa Indonesia adalah negeri layak investasi dan ramah-inverstor. Maka, dalam beberapa tahun ke depan sangat mungkin kita akan mendengar lebih banyak lagi janji pejabat pemerintah di hadapan investor dan pengusaha, untuk memperbaiki birokrasi dan perijinan, membangun jalan tol dan pelabuhan, dan seterusnya. Selanjutnya, di depan rakyat, pemerintah menjanjikan lebih banyak penciptaan lapangan kerja dan berbagai perbaikan kesejahteraan. Asalkan rakyat mau sedikit berkorban demi pembangunan, sedikit sa-bar agar beroleh kesempatan kerja, dan bersedia

(6)

men-jalin hubungan kemitraan yang harmonis dengan pe-ngusaha.

Berulangkali pula kita mendengar ceramah bahwa kemajuan ekonomi Indonesia adalah berkat peran sektor swasta, kejelian melihat peluang usaha, kewirausahaan, aksi korporasi dan strategi bisnis yang jitu, serta penerapan manajemen sumberdaya manusia yang efisien. Maka, dalam tahun-tahun ke depan lagi-lagi kita akan disuguhi berita gembira tentang peresmi-an kawasperesmi-an industri dperesmi-an pabrik-pabrik baru.

Lazimnya, upacara pengguntingan pita akan di-lanjutkan dengan sedikit perhelatan ramah-tamah anta-ra wakil dari suatu anta-raksasa keuangan, wakil dari kelom-pok bisnis tertentu, dengan gubernur/bupati setempat (yang beberapa bulan sebelumnya menandatangani su-rat keputusan tentang upah minimum).

Jika memang pertumbuhan ekonomi membaik, semua orang seharusnya hidup sejahtera. Begitukah faktanya? Bahkan statistik resmi pun memperlihatkan bahwa dalam 12 tahun terakhir ketimpangan penda-patan yang semakin memburuk. Sejak 2009 Indeks Gini naik terus, dan mencapai 0,413 pada 2013. Arti sederhananya: yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Tanpa dipusingkan dengan semua statistik di atas, orang-orang di jalanan sudah lama pa-ham akan situasi ini. Tahun lalu hidup mereka susah, tahun ini alhamdulilah kira-kira sama saja, dan tahun depan mungkin lebih susah. Mereka sudah tahu bahwa angka pengangguran memang cukup rendah, karena mereka tidak punya waktu dan kemewahan untuk menganggur. Tanpa ikut pelatihan motivasi dan kursus kewirausahaan, mereka menyambar kesempatan apa saja asalkan bisa menyambung hidup. Termasuk kerja serabutan. Banyak orang bahkan terpaksa melakukan

(7)

lebih dari satu pekerjaan, siang jadi pedagang kecil, sore jadi tukang ojek. Jika masih muda dan punya ijasah (asli atau palsu), mereka mungkin bisa diterima kerja di pabrik. Itupun sebagai buruh kontrak atau buruh har-ian lepas. Mungkin punya pendapatan tetap, tapi berta-hun-tahun tetap kecil, sehingga tetap harus berhutang (kepada teman, kerabat, atau pemilik warung makan) ketika mereka dilanda kesulitan keuangan.

Pekerja sektor informal dan buruh industri di perkotaan juga tidak perlu diajari tentang kesenjangan pendapatan. Di kota besar seperti Jakarta, bukan uru-san sulit untuk menemukan ketimpangan pendapatan, antara sedikit orang yang terlalu makmur dengan may-oritas orang miskin. Orang miskin Jakarta menyak-sikannya setiap hari, di televisi dan di jalanan. Setiap hari mereka bisa melihat mobil mewah teknologi ter-baru berseliweran, dengan kecepatan rendah di tengah kemacetan Jakarta. Kalau mau, mereka bisa menikmati pemandangan itu sambil berteduh dari sengatan ma-tahari, di bawah billboard yang mengiklankan kartu kredit, wisata belanja di Singapura, dan konser musik penyanyi pop Korea. Semua serikat buruh yang setiap peringatan Mayday berpawai menuju Istana Presiden untuk menuntut perbaikan upah, akan diolok-olok oleh spanduk raksasa yang tanpa malu-malu mengiklankan apartemen seharga ‘mulai dari 300 jutaan.’ Apartemen semacam itu umumnya diburu konsumennya sebagai rumah kedua atau ketiga, atau sebagai investasi. Buruh upahan yang hidup berkekurangan tak mungkin mam-pu menyisihkan pendapatannya untuk investasi.

Kita semua tahu, banyak tulisan sudah yang men-gulasnya, betapa sektor jasa dan manufaktur sesung-guhnya ditopang tidak hanya oleh kebijakan buruh murah, dan hubungan kerja yang dibikin selentur

(8)

mungkin. Dengan hubungan kerja demikian, pengu-saha tak perlu bersusah-susah, tak perlu keluar banyak ongkos, untuk mendapatkan buruh dan memecatnya kapan saja. Kalau mudah mendapatkan buruh kontrak dan outsourcing, kalau bisa asal pungut dan asal buang, mengapa harus mengangkatnya menjadi buruh tetap? Dari sini saja kita sudah tahu, makna dari menumbuh-kan iklim berusaha tak lain adalah memindahmenumbuh-kan ke-cemasan kalangan dunia usaha ke benak buruh tidak-tetap. Selain dipekerjakan sebagai buruh tidak-tetap, buruh diharapkan bersedia bekerja keras dengan jam kerja panjang. Supaya lebih afdol, secara teratur mere-ka perlu diberi wejangan tentang produktivitas dan disiplin. Agar patuh dan produktif. Agar tidak banyak protes, agar tak berserikat. Begitulah kehidupan buruh. Di dalam pabrik, buruh industri pengolahan (manufak-tur) martabatnya direndahkan dan produktivitasnya selalu ditagih. Di luar pabrik, di ruang publik, mereka diolok sebagai pemalas, bodoh, tidak berketerampilan, dan kadang-kadang dianggap biang onar. Dan, baik di dalam maupun di luar pabrik, mereka senantiasa dikepung banyak nasihat.

***

Buruh Menuliskan Perlawannya. Buku ini me-muat tulisan dari 15 buruh Indonesia. Masing-masing mereka menyumbangkan satu tulisan. Pengantar ini ingin menggaris-bawahi bahwa para penulis merupa-kan generasi buruh Indonesia masa kini. Kecuali satu orang (yang sudah pensiun), penulis selebihnya adalah generasi buruh tahun 2000-an, baik yang masih bekerja atau yang sudah dipecat (dan sedang mencari peker-jaan baru). Maka, pada masing-masing tulisan,

(9)

pem-baca sedikit-banyak akan menemukan pemandangan di beberapa kota industri sesudah berakhirnya peme-rintahan Orde Baru (1966-1998). Semua penulis adalah orang-orang yang menyaksikan Indonesia yang sedang berubah, sesudah jenderal-pensiunan Soeharto jatuh dari kekuasaan, dan berbagai kekuatan bersaing un-tuk membenun-tuk masa depan Indonesia. Jika dulu Orde Baru mendiktekan hampir semuanya, pada masa refor-masi kita menyaksikan tarik-menarik dan perdebatan tentang apa sajakah yang harus dirombak, seberapa banyak, dan seberapa cepatkah perombakan perlu di-lakukan. Berbagai undang-undang yang dihasilkan pada masa reformasi merupakan pengaturan ulang ten-tang bagian mana saja dari (daratan, isi bumi, perairan) Indonesia yang boleh disewa/dipinjam dan diurus oleh swasta. Perdebatan yang sama sengitnya masih akan berlangsung tentang seberapa banyak negara boleh ber-peran dalam menangani urusan sehari-hari orang ban-yak, seperti beras, air bersih, listrik/energi, transport, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Semua urusan itu niscaya penting, juga bagi keluarga buruh. Kenyat-aannya, orang sekarang makin tidak tahu, kepada siapa harus marah ketika harga beras terus naik tak terken-dali?

Di bidang perburuhan, tonggak peristiwa yang penting pada masa reformasi adalah pengesahan tiga undang-undang terkait ketenagakerjaan.1 Jika sebe-lumnya buruh dikerangkeng dalam serikat tunggal yang direstui negara (SPSI), sekarang mereka menda-1 Berturut-turut adalah �ndang-undang �o:2menda-1/2000 tentang Seri-Berturut-turut adalah �ndang-undang �o:21/2000 tentang Seri-kat Pekerja/SeriSeri-kat Buruh, �ndang-undang �o:3/2003 tentang Ketenagakerjaan, dan �ndang-undang �ndang-undang �o-mor 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indus-trial.

(10)

patkan kebebasan lebih besar untuk berserikat. �amun demikian, pada masa reformasi pulalah Indonesia –seper-ti banyak negara di dunia- masuk ke rejim pasar tenaga kerja lentur (labour market flexibility). Semakin banyak orang dipekerjakan sebagai buruh kontrak jangka pen-dek atau masuk kerja melalui perusahaan outsourcing. Terlalu banyak buruh dilanda kecemasan kehilangan pekerjaan, karena kontrak kerjanya tak lagi diperpan-jang. Hidup dengan kepastian kerja yang demikian ren-dah membuat orang takut/enggan berserikat dan cari selamat sendiri-sendiri.

Sejarah lalu mencatat, sejak pertengahan 2000-an secara berangsur-angsur banyak orang mulai tersadar bahwa menjadi buruh murah tanpa kepastian kerja adalah memuakkan dan menjengkelkan.

Mulai banyak buruh yang marah terhadap kebija-kan upah murah (warisan Orde Baru) dan pasar tenaga kerja fleksibel. Ada yang marah lebih awal, ada pula yang baru marah sekarang. Dulu yang marah hanya sedikit, sekarang jauh lebih banyak. Beberapa serikat buruh gagal atau terlambat menyadari dua soal sumber keresahan buruh ini; beberapa lebih cepat tanggap. �a-mun, yang jauh lebih penting, semakin banyak buruh dan serikat buruh yang kemudian teryakinkan bahwa kebijakan upah murah dan pasar tenaga kerja fleksibel boleh dan harus dilawan. Protes terhadap kesewenang-wenangan majikan, dan ketidakperdulian dinas tenaga kerja setempat, meluas dimana-mana. Buruh semakin percaya bahwa protes itu dibolehkan. Semakin banyak orang terlibat aksi protes bersama. Puncaknya, dua ta-hun berturut-turut (2011-2012), serikat-serikat buruh In-donesia sepakat menggalang dua kali Mogok �asional.

Para penulis yang menyumbang untuk bunga rampai ini adalah para aktivis serikat buruh. Tentu saja

(11)

mereka bukan orang-orang terlibat langsung dalam perumusan kebijakan ekonomi makro. Semua adalah orang biasa, tidak ada satupun yang cukup terkenal. Saya ingin kemukakan sedikit informasi tentang para penulis.

Pertama, para penulis mulai bekerja (di pabrik, di jalan) pada usia muda atau bahkan terlalu muda. Tuturan mereka menggambarkan perjalanan hidup re-maja belasan tahun yang memasuki masa dewasa awal, dengan hasrat memperbaiki taraf penghidupan dan menafkahi diri sendiri. Tidak mau membebani orang-tua, mereka meninggalkan kampung halaman dan ter-dampar di kota industri dan di pabrik.

Kedua, pada beberapa tulisan kita melihat be-berapa jejak dari kebijakan ekonomi-politik makro In-donesia. Salah seorang penulis, Atip Kusnadi (sekarang 60 tahun) mulai bekerja di pabrik tahun 1973, dasawarsa ketika kapital Asia Timur mulai membentuk industri manufaktur Indonesia. Sri Jumiati tiba di Cakung pada awal 1990-an, ketika pemerintah Indonesia mulai me-masarkan kawasan industri tekstil tersebut ke inves-tor. Pada saat reformasi dimulai beberapa mereka bah-kan belum berumur 20 tahun. Barangkali pula mereka hanya punya ingatan yang samar-samar tentang duduk perkara kejatuhan Soeharto. Mereka bekerja dan aktif berserikat pada tahun 2000-an, kurun berjayanya rejim pasar tenaga kerja fleksibel. Mereka menyaksikan diri mereka dan kebanyakan orang sekeliling mereka di-pekerjakan sebagai buruh tidak tetap, yang hak-haknya dilucuti. Saya ingin mengatakan mereka adalah genera-si yang masa mudanya dirampas oleh pabrik, dan masa depannya dihancurkan sistem outsourcing.

Ketiga, penulis membawa cerita dari berbagai situs-situs industri terpenting di Indonesia: Tangerang,

(12)

Jakarta, Bekasi, dan Bandung Raya. Di situs-situs itulah, setelah beberapa lama bekerja di pabrik, para penulis menjumpai betapa buruh dikepung oleh banyak regu-lasi, diperas tenaganya, dan dijarah dari segala arah. Se-bagaimana pembaca dapat temukan dalam kumpulan tulisan ini, perlakuan buruk terhadap buruh -penghu-kuman yang tidak masuk akal, pelecehan terhadap bu-ruh perempuan- adalah kejadian harian. Lemah lembut atau kasarnya umpatan supervisor ternyata bergantung pada target dan jadual export. Produktivitas ternyata ditentukan oleh jumlah umpatan supervisor per hari, bukan oleh inovasi di bidang pengembangan sumber-daya manusia. Para penulis cepat melihat bahwa baik mandor, manager personalia, atau manager Human

Resources Development hanya paham cara menghitung

jam kerja, upah, dan produksi. Tapi tidak paham cara mengukur derajat pegal linu dan sakit hati yang dira-sakan buruh. Dengan mata kepala sendiri para penulis menyaksikan ketidakadilan berlangsung, atau malah menjadi korbannya. Perbedaannya, mereka gusar, dan tak mau tinggal diam. Mereka memilih untuk melawan. Keempat, semua penulis dipaksa keadaan untuk mempelajari satu hal penting, yang mudah diucapkan tapi sukar dilakukan, yakni berserikat. Sebagian cerita adalah tentang kerelaan dan pengorbanan. Terpanggil untuk menghidupkan serikat, mereka menyerahkan apa saja yang mereka miliki untuk organisasi. Apa saja, dari mulai waktu untuk kehidupan pribadi, sampai uang pribadi (dari dompet mereka yang tipis). Ada pula yang merelakan rumahnya menjadi tempat berkumpul anggota serikat. Sebagian pernah menelan pengalaman pahit menyaksikan serikatnya porak poranda karena macam-macam sebab: salah urus, korupsi oleh pem-impin serikat, atau karena digempur dan diperdaya

(13)

majikan. Tapi pengalaman pahit pada kenyataannya tak membuat mereka kapok. Lagi-lagi mereka berkumpul dan berdiskusi. Lagi-lagi berdebat dan bertengkar. Tapi dari situlah mereka belajar tentang hakekat dan nilai-nilai serikat buruh, serta cara menjalankan serikat. Dari situlah mereka belajar berserikat adalah belajar mengambil keputusan bersama, dan bahwa solidari-tas buruh adalah lawan kata dari cari selamat sendi-ri-sendiri, dan karena itulah serikat terlalu berharga untuk dijual murah. Ditempa berbagai pengalaman lapangan, seluruh penulis punya pengetahuan luas ten-tang ketidak-perdulian pengawas dinas tenaga kerja setempat dan akal bulus pengusaha untuk melemah-kan serikat. Mereka adalah ahli hukum dan pendidik perburuhan otodidak. Kerap menangani persoalan serius yang berat, sebagian aktivis ini terlihat lebih tua dari umurnya, dan punya sinisme yang sehat. Tapi tak pernah kehilangan semangat, optimisme, dan kegembi-raan anak-anak. Karena mereka paham bahwa serikat bukan cuma tempat untuk mengembangkan diri. Juga tempat untuk berkawan dan bersenang-senang.

Tentang Penulisan dan Penyuntingan Naskah. Bagian yang gampang-gampang susah dari proses pe-nulisan ini adalah meyakinkan para aktivis buruh un-tuk menuliskan pengalamannya dalam dua hal, yakni dalam membangun serikat dan melawan perampasan hak. Sebagian besar segera menerima tantangan ini. Se-bagian lagi ragu untuk memulai, karena merasa tidak punya kemampuan menulis. Pada kenyataannya, be-gitu penulisan dimulai, mereka sukar berhenti menulis dan menghasilkan berlembar-lembar cerita berharga. Beberapa tulisan adalah tentang ketekunan dan ke-sabaran membangun serikat. Tulisan yang lain lebih menggambarkan sepak-terjang perlawanan terhadap

(14)

perampasan hak. Tapi juga jelas, pada sebagian besar tulisan, dua hal itu terlalu sukar untuk dipisahkan. Rag-am, keunikan, dan kesegaran pengalaman para penulis ini, tentu memberi tantangan tersendiri untuk (tim) edi-tor. Sedapat mungkin editing dilakukan secara minimal untuk mempertahankan originalitasnya, sambil men-gupayakannya untuk menjadi dokumen yang mudah dibaca, terutama untuk khalayak yang tidak terlalu akr-ab dengan dunia perburuhan Indonesia. �ntuk itulah editor menambahkan beberapa keterangan tambahan dalam catatan kaki.

Proses penulisan ini mendapatkan bantuan san-gat berharga dari Lilik HS, guru menulis yang khusus didatangkan pada dua kali lokakarya penulisan, yang berlangsung pada Oktober 2014 dan Januari 2015.

Selayaknya ucapan terimakasih dilayangkan un-tuk kawan Lilik HS, penulis berpengalaman yang mele-watkan masa mahasiswanya bersama kaum buruh. �a-mun, ucapan terimakasih setingi-tingginya selayaknya dilayangkan kepada para penulis yang telah bersedia membuka diri untuk membagikan pengamatan, pan-dangan, pengalaman hidupnya. Termasuk mencerita-kan bagian-bagian yang sangat pribadi dan emosional. Jika naskah ini akhirnya sampai di tangan anda, ingatlah bahwa salah satu penulisnya mungkin adalah yang memproduksi kemeja atau sepatu olahraga yang anda kenakan sekarang, atau buruh pabrik

Kemasan dari susu bubuk yang anda nikmati pagi ini. Mungkin juga dia adalah pengemudi truk trailer yang kebetulan anda temui di jalan tol Jakarta-Bekasi. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, para ak-tivis buruh ini sudah menghasilkan tulisan yang sangat berharga. Karena situasi perburuhan Indonesia tidak

(15)

boleh hanya disarikan begitu saja dari statistik pemerin-tah yang kering menjemukan, atau disimpulkan secara dangkal dan serampangan dari laporan tahunan peru-sahaan dan brosur mewah penuh photo warna-warni yang diterbitkan perusahaan. Ingatlah pula, para penu-lis adalah orang yang sehari-hari berada di sebelah sini dinding pabrik, bukan di sebelah sana.

Ketika kata pengantar ini ditulis, televisi swasta Indonesia sedang menyiarkan versi ganjil dari

Ma-habarata, perang saudara antar keluarga bangsawan

dari masa lalu nan jauh. Sementara televisi yang lain mengudarakan klenik modern Ganteng-ganteng Srigala, serta berbagai kontes menyanyi dan joget yang berusa-ha keras meyakinkan penonton bahwa rakyat Indonesia riang-gembira selama-lamanya. Semoga buku ini, kisah nyata buruh Indonesia masa kini, bisa memberikan selingan berbeda yang lebih berharga dari semua pro-gram televisi ugal-ugalan tersebut. Selamat membaca.

(16)
(17)

Pengantar Dari Editor ... v Daftar Isi ... xvii Daftar Singkatan ... xxi 1. Proses Penyadaran Seorang Pemimpin Buruh

Agus Japar Sidik ... 1

2. Bersama Serikat Buruh Aku Berjuang

Budiman ... 19

3. Perjalananku Hingga Menjadi Seorang Ketua Seri-kat Buruh

Dayat Hidayat ... 41

4. Dari Jalan Tol Purbaleunyi Hingga Kementerian BUMN: Kisah Pekerja Outsourcing Jasa Marga

(18)

5. Berdiri Tegak Menantang Arah, Membangun Kekuatan Buruh dengan Berserikat

Hermawan ... 119

6. Belajar, Bertindak Bersama Organisasi

Lami ... 141

7. Aku Supir, Aku Belajar, Aku Melawan

Fresly Manulang ... 159

8. Surat Pendek untuk Nazik Almalaika

Salsabila ... 189

9. Perempuan Biasa

Nuzulun Ni’mah ... 251

10. Bersama Serikat Buruh, Aku Terbebas dari Beleng-gu Kekerasan dalam Rumah Tangga

Sri Jumiati ... 287

11. Sekolah Malam Meneguhkan Jiwa Juang

Sugiyono ... 303

12. Pengalaman Mengorganisasikan Pendidikan Buruh

Samsuri ... 331

13. Pengorbanan Adalah Mutlak dalam Perjuangan

(19)

14. 12-16 Juli 2012: Saya, Pemogokan dan Serikat

Muryanti ... 399

15. Kuli Kontrak dan Merawat Serikat Buruh

Atip Kusnadi ... 425

Epilog

Anwar Sastro Ma’aruf ... 455

(20)
(21)

A

ABK : Aliansi Besar Karawang ABM : Aliansi Buruh Menggugat

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia AD/ART : Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Altar : Aliansi Rakyat Tangerang Raya

Apindo : Asosiasi Pengusaha Indonesia

ASPEK : (Asosiasi Pekerja) Indonesia

ATI: Asosiasi Tol Indonesia B

BAPOR : Barisan Pelopor

BAR : Barisan Advokasi Rakyat

BPJS : Badan Pengelola Jaminan Sosial

BPJT : Badan Pengelola Jalan Tol

BUMN : Badan Usaha Milik Negara D

Depekab : Dewan Pengupahan Kabupaten Disnaker: Dinas Tenaga Kerja

DPC : Dewan Pimpinan Cabang DPP : Dewan Pengurus Pusat

(22)

E

EJIP : East Jakarta Industrial Park F

FBLP : Federasi Buruh Lintas Pabrik FIM : Forum Indonesia Muda

FPPB : Front Persatuan Perjuangan Buruh

FSBKU : Federasi Serikat Buruh Karya Utama FSPK : Federasi Serikat Pekerja Kerakyatan FSPMI : Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia FSP-PPMI - KSPSI : Federasi Serikat Pekerja Percetakan

Penerbitan Media dan Informasi G

Geber BUMN : Gerakan Bersama BUMN

GSBI : Gabungan Serikat Buruh Independen

H

HIP : Hubungan Industrial Pancasila HRD : Human Resource Department J

Jagorawi : Jakarta – Bogor – Ciawi Jamsostek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja Japek : Jakarta – Cikampek

JBAK : Jaringan Buruh Antar Kota

(23)

K

KADIN : Kamar Dagang Indonesia

KASBI : Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia KBN : Kawasan Berikat Nusantara

KFM : Kebutuhan Fisik Minimum KHL : Komponen Hidup Layak KHM : Kebutuhan Hidup Minimum KKB : Kesepakatan Kerja Bersama Korlap : Koordinator Lapangan

KPPB : Komite Persatuan Perjuangan Buruh

KSBSI : Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia

KSN : Konfederasi Serikat Nasional

KSPSI : Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia L

LBH: Lembaga Bantuan Hukum M

Modar : Mogok Daerah Mokom : Mobil Komando

Musnik : Musyawarah Unit Kerja O

Ormas : Organisasi Masyarakat

OPSI : Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia

P

PB : Perjanjian Bersama PC : Pimpinan Cabang

(24)

Permenaker : Peraturan Menteri Tenaga Kerja

PEPPSI : Persatuan Perjuangan Pekerja Sejahtera Indo-nesia (SP PEPPSI), kemudian berubah men-jadi Persatuan Perjuangan Pekerja Seluruh Indonesia

PHI : Pengadilan Hubungan Industrial PHK : Pemutusan Hubungan Kerja PMTK : Peraturan Menteri Tenaga Kerja PSP : Pimpinan Serikat Pekerja

PPB-KASBI : Persatuan Perjuangan Buruh – Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia

PPB : Persatuan Perjuangan Buruh

PPHI : Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial

PPMI : Persaudaran Pekerja Muslim Indonesia

P4 : Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

P4P : Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburu-han Pusat

P4D : Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburu-han Daerah

PKB : Perjanjian Kerja Bersama PUK : Pimpinan Unit Kerja Pultol : Pengumpul Tol

Purbaleunyi : Purwakarta – Bandung – Cileunyi PKWT : Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

PKWTT : Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu

PTP : Pimpinan Tingkat Pabrik

(25)

S

SBA : Serikat Buruh Anggota

SBMSK : Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan SBPKU : Serikat Buruh Paguyuban Karya Utama

SBPO : Serikat Buruh Perusahaan Otomotif

SBTPI : Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indo-nesia

SBTS FBSI : Serikat Buruh Tekstil dan Sandang Federasi Buruh Seluruh Indonesia

SDM : Sumber Daya Manusia

Sekber Buruh : Sekretariat Bersama Buruh

SGBTS – GSBI : Serikat Buruh Garmen, Tekstil dan Sepatu Gabungan Serikat Buruh Independen

SKJM : Serikat Karyawan Jasa Marga

SKCK : Surat Keterangan Catatan Kepolisian

SOBSI : Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia SP : Surat Peringatan

SPA : Serikat Pekerja Anggota SPK : Surat Perjanjian Kerja SPN : Serikat Pekerja Nasional

SPSI : Serikat Pekerja Seluruh Indonesia

SPSI TSK : Serikat Pekerja Seluruh Indonesia – Tekstil, Sandang, Kulit

SPTP : Serikat Pekerja Tingkat Pabrik T

(26)

U

ULN : Upah Layak Nasional

UMK : Upah Minimum Kota/Kabupaten UMP : Upah Minimum Propinsi

UMR : Upah Minimum Regional

(27)

Proses Penyadaran Seorang

Pemimpin Buruh

Oleh: Agus Japar Sidik

“Kurawa.. !!! Kurawa..!!! Kurawa..!!!”

D

engan berjalan tergesa-gesa dan wajah tegang seorang buruh meneriakkan nama tadi, dan de-ngan serta merta buruh-buruh yang berkumpul termasuk aku yang awalnya sedang bersantai, bercerita

ngalor-ngidul sambil tertawa-tawa pun, akhirnya bubar

ke segala arah. Berlari meninggalkan lokasi. Yang pen-ting bagi kami adalah tidak bertemu dengan Si “Kurawa“ dalam kondisi tidak melakukan aktifitas. Siapa pun kalau bertemu Si Kurawa dalam kondisi tidak melaku-kan pekerjaan maka amelaku-kan diberimelaku-kan sanksi dan siap-siap saja ter-PHK. Jika buruh tersebut menurut Si Kurawa sudah mendapatkan sanksi sebelumnya atau terkena akumulasi sanksi, maka si Kurawa melalui HRD akan mendesak buruh tadi untuk mengundurkan diri. Sudah banyak teman kami yang menjadi korban PHK.

(28)

PT. Toyobo Knitting Indonesia, tempatku bekerja, adalah perusahaan multinasional yang bergerak di bi-dang tekstil. Tujuan produk jadinya adalah ekspor, khususnya ke Jepang dan negara-negara di Asia dengan empat musim. Produknya berstandar tinggi dan berte-knologi khusus, dengan jumlah karyawan sebanyak 450 orang yang terbagi dalam beberapa grup kerja.

Perubahan kondisi di Toyobo dimulai ketika pe-rusahaan menerapkan program efisiensi, bertepatan dengan kedatangan Hirakawa. Hirakawa adalah sosok orang Jepang yang sangat disiplin, pekerja keras, dan taat akan perintah atasan. Selain bermuka dingin tanpa senyum, menurutku Hirakawa adalah orang yang keras kepala. Dan karena hal itulah kami, para operator, me-nyebutnya dengan nama “Kurawa”.1

Awalnya perusahaan masih memberikan tawaran kepada buruh yang sudah jenuh untuk mengundurkan diri dengan kompensasi sesuai ketentuan. Tetapi ke-mudian tawaran tersebut diubah lantaran banyaknya buruh yang mengajukan diri. Kompensasi diturunkan sampai dengan 3x upah. Mulai dari sanalah konflik ter-jadi. Perusahaan mulai menjalankan strategi baru, yaitu memecat para buruhnya tanpa mengeluarkan uang dengan strategi memberikan Surat Peringatan (SP) ke-pada buruh yang dianggap melakukan kesalahan. Dengan akumulai SP, perusahaan dapat mendesak buruh yang bersangkutan untuk mengundurkan diri.

Itulah perubahan kondisi yang terjadi di Toyobo, yang tadinya menyenangkan karena bebas ngobrol de-ngan lepas pada jam kerja, bisa istirahat dede-ngan bebas 1 Selain dekat secara bunyi, para buruh menyebut Hirakawa sebagai Kurawa juga merupakan bentuk ejekan. Dalam lakon wayang Mahabharata, Kurawa adalah kelompok raksasa jahat pihak antagonis.

(29)

pada jam kerja, bisa mengunakan fasilitas perusahaan sesuai kebutuhan, bisa lembur sesuai keinginan, beru-bah 180 derajat setelah kedatangan ekspatriat yang ber-nama Hirakawa.

Secara perlahan tapi pasti akhirnya kondisi yang terjadi di Toyobo membuatku tertekan secara psikologis. Setelah beberapa kali ngobrol, aku dan istriku akhirnya sepakat jika ada tawaran PHK meskipun itu hanya setengah dari ketentuan maka tawaran tersebut akan kuterima. Meskipun aku dan istriku yakin bahwa nilai kompensasi itu tidak akan cukup untuk memulai hidup baru di kota kelahiran mertuaku, Garut.

Tetapi harapan tinggal harapan karena tawaran PHK tersebut tidak kunjung datang. Dengan perasaan yang tambah tertekan karena dihadapkan dengan kondisi yang semakin tidak nyaman akhirnya muncul penilaian-ku terhadap kondisi yang ada. Sanksi-sanksi yang di-berikan atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh buruh sebenarnya bukan mutlak kesalahan buruh. Tidak ada sosialisasi selama bertahun-tahun yang se-harusnya dilakukan manajemen sehingga operator tidak memahami kesalahannya. Kesalahan-kesalahan yang di-lakukan operator kerap dibiarkan selama bertahun-tahun, sehingga operator menganggap apa yang dilakukannya tidak salah. Perusahaan salah dalam proses rekrutmen manajemen karena memperkerjakan orang yang tidak ber-kompeten yang tidak paham bahwa kedisiplinan harus disosialisasikan. Pihak manajemen yang seharusnya ber-usaha keras agar kedisiplinan diterapkan di lingkungan kerja melalui metode-metode. Nyatanya, justru manaje-men yang memberikan contoh tidak baik bagi operator. Misalnya, tidak memakai seragam kerja ketika lembur, sekedar membaca koran ketika lembur, berlama-lama di ruang makan meskipun jam istirahat sudah habis.

(30)

Dalam penilaianku atas situasi yang terjadi, manajemen Toyobo adalah orang-orang tidak cakap akan tugas-tugasnya. Kerja mereka hanya fokus pada bagaimana caranya bisa merealisasikan keinginan atasan mereka tanpa mau memikirkan keluhan-keluhan pe-kerjanya. Dan itulah pekerjaan para “pecundang“. Seri-kat Pekerja di Toyobo adalah seriSeri-kat yang tidak dapat melaksanakan fungsinya karena tidak bisa melindungi anggotanya ketika diperlakukan tidak adil oleh Peru-sahaan. Bagaimana seorang ketua Serikat akan dapat melaksanakan fungsinya, yaitu memimpin perjuangan kesejahteran anggotanya dalam perundingan-perundi-ngan, jika berpapasan dengan Hirakawa saja dia malah menghindar. Bahwa HRD Toyobo sama sekali tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai HRD ka-rena selalu patuh akan keinginan ekspatriat meskipun kepatuhannya itu bertentangan dengan hukum. Dan itulah pekerjaan para “Pengkhianat“. Hal itu dapat dili-hat ketika HRD mengamini keinginan Hirakawa untuk memecat buruh tanpa memberikan kesempatan kepada buruh yang bersangkutan untuk memperbaiki diri. Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang.2 Hirakawa sangat mengerti kondisi di Toyobo. Mulai dari tidak adanya sosialisasi tentang kedisiplinan sehingga buruh tidak mengetahui kewajiban-kewajibannya, ketidakpahaman buruh akan hukum, keluguan para buruh dalam menerima sanksi, ketidakpedulian manajemen pada operatornya, ketidak-becusan/ketakutan HRD untuk menegur ekspatriat se-perti dirinya meskipun perintahnya bertentangan dengan 2 Dalam UU no 13 tahun 2003 disebutkan bahwa semua pihak harus menghindari terjadinya PHK dengan dilaksanakannya upaya-upaya dan apabila PHK tersebut tidak bisa dihindari maka keputusan PHK tersebut harus dengan sepengetahuan Dinas Tenaga Kerja.

(31)

hukum, hingga ketidakberdayaan Serikat Pekerja dalam melindungi anggotanya. Itulah pekerjaan “Penjajah!“.

Atas penilaian itu, maka aku berpendapat bahwa situasi yang terjadi tidak bisa dibiarkan dan harus diubah.

Tetapi apakah bisa diubah?

Dan sebenarnya siapa yang harus mengubahnya? Dari pertanyaan-pertanyaan tadi dan melalui re-nungan-renungan, hanya satu nama yang melintas di-benakku: serikat. Berdasarkan informasi yang aku terima, baik dari selebaran-selebaran atau pun obrolan dengan tetangga, tidak ada organisasi lain selain serikat yang bisa dijadikan alat perjuangan oleh buruh ketika buruh ingin mengubah nasibnya. Meskipun kenyatannya seri-kat di Toyobo sudah tidak berdaya di hadapan Hirakawa. Beberapa hari setelah renungan maka sebagai lang-kah awal keinginanku untuk mengubah keadaan. Sele-pas makan siang Aku mencoba berkomunikasi dengan Maulana, ketua Serikat Pekerja Anggota PT. Toyobo (SPA Toyobo). Siang itu kebetulan hari sangat cerah sekali, malah terasa sangat panas. Setelah menyelesai-kan mamenyelesai-kan siangku aku mencoba larut dalam obrolan-obrolan yang biasa dilakukan para buruh selepas makan siang. Sambil menunggu kedatangan Maulana yang biasa-nya datang belakangan. Setelah beberapa saat, datanglah Maulana. Saya tetap melanjutkan obrolan sambil me-nunggu Maulana selesai makan. Setelah ia selesai makan, aku dengan segera menghampirinya.

“Tumben makannya telat mas?” ”Aku biasa jam segini, sholat dulu.”

“Ngomong-ngomong si Kurawa gimana mas? Kok PHK gampang amat..?”

“Yah… Salah anggota kita sendiri kenapa berulah, sudah tahu si Kurawa orangnya seperti itu..”

(32)

“Salah sih salah mas tapi kan ada prosedurnya? Nggak bisa main pecat saja.”

“Orang anggota kita sendiri kok yang mau kena PHK, buktinya mereka tanda tangan..”

“Tapi PHK itu kan ada prosedurnya? Teman saya yang kerja di Bridgestone ketika di-PHK dapat duit. PHK itu tidak semudah seperti di Toyobo kan..?”

“Buruh di-PHK itu karena melakukan kesalahan.. Ya termasuk anggota kita..”

“Iya sih tapi pertanyaanya apakah hal itu akan dibiarkan? Kan serikat punya hak untuk memperjuangkan anggotanya.”

“Anggota yang mana dulu yang harus kita bela, kalau seperti itu kelakuannya saya juga malu untuk memperjuangkannya.”

“Terus gimana mas?”

“Entahlah, saya masuk dulu yah..”

Seperti itulah komunikasiku dengan Maulana. Dari komunikasi itu aku menilai Maulana atas nama SPA Toyobo menyatakan tidak bisa berbuat apa-apa atau pasrah menerima keputusan Hirakawa. Dengan rasa kecewa akhirnya pikiranku secara otomatis sudah melayang-layang mencari-cari pihak lain yang bisa di-andalkan.

Dalam perjalanan pulang, seminggu setelah ko-munikasi dengan Maulana, saya mendengar seseorang menegur saya.

“Dari Toyobo yah..?”

Itulah teguran yang aku yakin ditujukan padaku karena aku memakai seragam Toyobo.

(33)

“Ini ada surat dari Federasi untuk Toyobo. Saya sudah hubungi Pengurus Toyobo untuk mengambil surat tapi sampai sekarang belum ada yang mengam-bilnya, Padahal acaranya besok mas.”

“Okay. Kasih ke aku aja, nanti aku sampaikan lang-sung ke pengurus.”

“Atau mas saja yang hadir, daripada nggak ada pengurus Toyobo yang datang..”

“Tapi aku bukan pengurus mas..”

“Ya nggak harus pengurus, kamu juga bisa hadir meskipun anggota biasa.”

Mendengar jawaban tadi Aku termenung bebera-pa saat dan langsung muncul pertanyaan di benakku: berarti Federasi membuka peluang kepada anggota di tingkat pabrik untuk terlibat di kegiatan Federasi. Tapi seingatku aku belum pernah menerima ajakan-ajakan baik dari pengurus ataupun ketua serikat.

“Gimana?”

Pertanyaan itu yang kembali menyadarkanku. “Okay mas, lihat bagaimana besok saja..”

Sesampai di rumah, setelah melakukan beberapa aktifitas aku teringat surat yang dititipkan kepadaku. Setelah membuka amplonya yang kebetulan tidak dilem akhirnya aku bisa mengetahui surat itu adalah undangan pelaksanaan rapat koordinasi perayaan Hari Buruh. Aku pun teringat kembali ajakan untuk mengi-kuti rapat tersebut. Setelah berpikir beberapa saat dan dengan mempertimbangkan siapa tahu Federasi bisa membantu memecahkan masalah yang terjadi di Toyobo, maka aku memutuskan untuk hadir dalam rapat tersebut.

Dari jarak beberapa meter aku sudah bisa meli-hat sebuah rumah yang di halamannya sudah terparkir lebih dari sepuluh motor. Terdengar berbagai macam

(34)

suara yang menandakan ada beberapa kelompok orang yang sedang mengobrol. Setelah mengucapkan salam, aku pun masuk meskipun harus dengan sedikit ber-hati-hati untuk melangkah karena ruangannya sudah disesaki orang-orang. Aku kemudian memosisikan diri di sudut ruangan. Sebagai orang baru, aku mencoba menyesuaikan diri dengan suasana yang sangat tidak nyaman. Tempat yang tidak terlalu luas itu diisi oleh sekitar 30 orang. Hanya terdapat satu kipas angin un-tuk membantu mendinginkan ruangan. Ketika sedang asik memperhatikan kelompok orang-orang dengan berbagai tema yang dibahas dan tidak lepas dari tema perburuhan, seseorang menyapaku.

“Nah gitu dong, datang ke sekretariat biar tahu perkembangan perburuhan.”

Aku pun melirik ke arah suara itu, karena selain aku yakin pertanyaan itu ditujukan kepadaku, aku pun ingat suara siapa itu. Ia yang memintaku untuk menyampai-kan surat undangan kepada Ketua SPA Toyobo. Setelah terlibat pembicaran dengannya baru aku ketahui bahwa dia bernama Supri yang ditugasi oleh Federasi sebagai kurir dan tinggal di Sekretariat. Meskipun dalam rapat pertamaku itu, banyak hal-hal yang belum aku menger-ti—yang berakibat kepalaku pusing selama tiga hari— tetapi sejak hari itulah tumbuh semangat pada diriku. Jika aku ingin menyelesaikan permasalahan di Toyobo maka aku harus sering datang ke Sekretariat.

Berbekal pengetahuan dari beberapa kali mengi-kuti rapat di Sekretariat dan berkat informasi dari salah satu pengurus Federasi bernama Khamid, maka setiap aku bertemu dengan Pengurus SPA Toyobo, terutama Ketua, aku terus mengingatkan bahwa serikat tidak boleh membiarkan situasi yang terjadi. Aku juga me-ngajak para pengurus serikat untuk datang berdiskusi

(35)

ke Sekretariat dalam rangka memecahkan permasala-han yang terjadi. Tetapi harapan tinggal harapan, karena setelah berkali-kali diajak tetap saja pengurus tidak mengikuti saran yang kuusulkan. Padahal kondisi se-makin parah karena sese-makin banyak saja buruh yang kena PHK.

Karena pembiaran dan tidak adanya perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Hirakawa yang se-makin merajalela. Para buruh menjadi sese-makin terte-kan. Akhirnya pada Senin, 30 September 2008 dari jam 07 s/d jam 12.00 terjadilah mogok spontan yang dilaku-kan oleh buruh yang pulang shift malam dan yang shift pagi di dua departemen, yaitu Knitting dan Processing, karena hanya 2 departemen itu saja yang jam kerjanya sampai shift malam. Karena keputusan mogok tersebut hanya didasari emosi dan tidak direncanakan dengan baik, maka sudah dapat dipastikan bahwa dampak dari mogok spontan tersebut tidak membuat perubahan yang lebih baik untuk buruh di Toyobo.

Mogok spontan tersebut malah membuat Hirakawa bertambah kepercayaan dirinya untuk lebih kejam dan sewenang-wenang. 30 orang buruh yang mengikutinya mendapatkan sanksi tidak dibayar upah dan 8 orang didemosi. Lebih parah lagi, 13 buruh pada akhirnya dipecat karena sebelumnya sudah mendapatkan Su-rat Peringatan 2 dan 3. Akhirnya dampak dari mogok spontan tersebut membuat buruh semakin tertekan lagi psikologinya. Meskipun undang-undang menyata-kan sanksi dari mogok hanya tidak dibayarmenyata-kan upah, kenyataannya di Toyobo sanksi dari mogok bisa lebih berat—malah bisa menyebabkan seseorang dipecat. Hal ini semakin mempertebal keyakinan para buruh bahwa Hirakawa bisa berbuat apapun. Dan serikat se-makin menunjukan ketidakberdayaannya karena tidak

(36)

mampu menolak atau menghadang sanksi perusahaan. Padahal sanksi tersebut tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Tetapi keadaan yang ada bukan membuat sema-ngatku menjadi mundur, malah membuat semasema-ngatku untuk melawan Hirakawa semakin berkobar karena aku tambah yakin ada sesuatu yang salah di Toyobo. Dan sesuatu yang salah itu tidak bisa dibiarkan karena dampaknya akan sangat dirasakan oleh para buruh. Semangat untuk terus melawan itu lebih memotivasi-ku untuk belajar agar amemotivasi-ku bisa lebih cepat memahami tetang ilmu-ilmu perburuhan. Harapannya, dengan de-mikian aku pun akan lebih cepat lagi mengubah keadaan.

Dengan tekad yang bulat dan atas dasar menghar-gai Serikat, aku mengajukan diri untuk didelegasikan sebagai peserta untuk mengikuti program pendidikan yang dicanangkan Federasi kepada Ketua. Seperti yang kuprediksi, keinginanku langsung dikabulkan karena belum ada orang yang mau untuk mengikuti agenda-agenda di Federasi termasuk Ketua sendiri.

Mulai dari hari itulah aku mulai menjalankan tekadku untuk belajar ilmu-ilmu perburuhan dengan terus hadir di Federasi. Tema-tema kursus pendidikan yang aku ikuti di Federasi antara lain pendidikan ad-ministrasi organisasi buruh, aksi masa, kepemimpinan, advokasi, dan lain-lain. Meskipun harus kuakui bahwa dari berbagai pendidikan yang kuikuti masih banyak yang belum kupahami. Ini karena hanya aku sendiri dari perwakilan Toyobo yang mengikuti kursus-kursus tadi, sehingga di tempatku bekerja tidak ada teman yang bisa aku ajak untuk berdiskusi ketika aku masih bingung untuk mencerna apa-apa yang aku dapat pada kursus-kursus tadi. Tetapi kembali situasi yang ada tidak membuat semangatku kendor dan aku terus

(37)

mengikuti kursus-kursus tadi meskipun bukan hanya banyak yang belum aku mengerti, tetapi juga sangat memakan waktu karena setiap jenis pendidikan rata-rata memakan waktu lebih dari 3 bulan. Sebagai contoh pendidikan advokasi memakan waktu sampai 6 bulan dan dengan sabar aku harus melewatinya.

Di tengah perjuanganku untuk tetap mengikuti kursus-kursus di Federasi, mulailah saatnya aku masuk ke perjuangan sebenarnya. Aku diminta oleh Ketua un-tuk menggantikan posisi Sekretaris yang tidak aktif ka-rena nyalinya sudah melayang entah kemana. Aku pun mau tidak mau harus berhadapan dengan Hirakawa ketika aku diminta untuk hadir dalam pertemuan yang dihadiri oleh wakil perusahaan, yaitu Hirakawa dan Ganis. Ganis adalah seorang kaki tangan Hirakawa dengan jabatan manager HRD yang sangat melindungi posisinya sehingga dia dengan rela dan sadar mengi-kuti keinginan Hirakawa meskipun itu bertentangan dengan ketentuan hukum.

Hari itu Rabu jam 10 pagi di bulan November ta-hun 2008, tepatnya di meeting room office depan, pertama kalinya aku terlibat di perundingan meskipun peranan-ku sangat terbatas karena harus foperanan-kus membuat notulen-si. Tetapi di sanalah aku pertama kali berhadap-hadapan langsung dengan orang yang bernama Hirakawa yang menurut kawan-kawanku sangat kejam. Tetapi kesan itu sangat tidak berlaku bagiku. Karena berdasarkan pema-hamanku, ditambah kursus-kursus yang telah aku dapat-kan, kesan itu sama sekali tidak boleh mempengaruhiku karena merupakan hal yang tidak pantas. Aku berpen-dapat Hirakawa boleh mengesankan kejam, berperilaku kejam terhadap orang lain, tapi jangan pernah hal itu di-tunjukkan dan dilakukan kepadaku karena aku berjanji pada diriku aku tidak akan pernah mengizinkannya.

(38)

Dua minggu setelahnya kembali dilaksanakan pe-rundingan dan aku pun hadir di dalamnya. Dimulai dari pertemuan itu aku sudah berani mengeluarkan pen-dapat. Dan secara riil pendapat-pendapatku membuat warna yang berbeda. Perundingan-perundingan biasa-nya habiasa-nya digunakan sebagai ajang pemaksaan oleh perusahaan agar melalui kewenangan Serikat keputu-san perusahaan dapat dilakkeputu-sanakan. Keputukeputu-san-kepu- Keputusan-kepu-tusannya bisa dipastikan akan lebih menyengsarakan buruh. Aku pun ingin dengan kehadiranku di tiap-tiap perundingan, aku dapat menahan laju kesewenang-wenangan Hirakawa.

Dengan aktifnya aku di Serikat membawa suasana yang berbeda di Toyobo. Maka pada awal Desember 2008 sebagai bentuk intimidasi mulailah perusahaan mel-akukan mutasi terhadapku. Aku menerimanya meskipun aku tahu pasti mutasi tersebut akan sangat berdampak pada kondisi keuangan keluargaku. Harapan untuk menambah penghasilan dari overtime akan sirna, dan dengan tidak adanya upah overtime maka bukan aku saja yang harus mengencangkan sabuk tapi keluargaku pun harus melakukan hal yang sama. Seringkali untuk menyiasati kondisi keuangan, istriku mencampurkan tepung terigu ke dalam kocokan telur dadar agar telur dadar tersebut cukup untuk dikonsumsi oleh aku, is-triku dan anakku. Dan seringkali isis-triku makan setelah aku dan anakku selesai makan untuk memastikan aku dan anakku kenyang. Sering juga istriku tidak makan ka-rena makanannya sudah habis. Tetapi berkat kesabaran dari keluarga, terutama dari istriku, dan keyakinan bahwa perjuanganku ada dalam rel yang benar maka aku dan keluargaku bisa melewatinya dengan baik. Malah muncul rasa syukur karena dengan kondisi yang pas-pasan ternyata aku dapat melunasi

(39)

hutang-hu-tangku yang awalnya tidak terbayar meskipun dalam kondisi banyak overtime.

Dari proses mutasiku, aku pun mulai sadar bahwa perjuangan pasti akan butuh pengorbanan. Bukan hanya dari orang bersangkutan, tetapi akan menuntut hal yang sama dari keluarganya.

Dengan seringnya aku mengikuti perundingan-perundingan, rapat-rapat Serikat, dan mengeluarkan ide-ide yang juga dapat dimengerti oleh pengurus dan anggota, yang secara otomatis membuat mereka percaya kepadaku. Maka pada masa-masa berakhirnya kepengu-rusan Serikat yang selalu diikuti dengan agenda pemili-han Ketua dan Struktur, dengan serta merta aku terpilih menjadi salah satu calon Ketua. Berkat kepercayaan dan dukungan dari anggota terutama anggota yang mempu-nyai posisi cukup penting di bagian-bagiannya, akhirnya pada Mei 2009 aku terpilih menjadi Ketua.

Setelah aku terpilih sebagai Ketua aku pun menyadari bahwa ada rintangan yang lebih besar lagi yang harus aku benahi agar organisasi yang aku pimpin sekarang ini tidak mengalami kondisi yang dulu (tidak berdaya di hadapan manajemen). Organisasi yang aku pimpin harus bisa berjalan sesuai dengan fungsinya, yaitu or-ganisasi yang bisa mensejahterakan anggota-nya. Maka sesuai dengan pemahamanku, aku mulai mengajak struk-tur dalam serikat untuk mengikuti langkah-langkah yang pernah aku jalani, yaitu dengan mendorong mereka me-ngikuti program-program pendidikan yang diselang-garakan oleh Federasi. Aku yakin dengan pemahaman yang dibangun melalui berbagai pendidikan maka de-ngan sendirinya organisasi akan berjalan sesuai dede-ngan fungsinya.

Tapi keinginan kembali tinggal keinginan karena ajakanku kepada struktur organisasi tidak dijalankan.

(40)

Mereka tetap tidak mengikuti pendidikan yang sudah diprogramkan dengan berbagai alasan seperti tidak ada waktu, sibuk cari tambahan, anak rewel, bantu isteri, dan lain-lain. Dengan kondisi seperti ini dan karena pengalamanku sebagai ketua masih seumur jagung, mentalku kembali tertekan. Tetapi berkat dorongan federasi yang mengetahui kondisiku, melalui obrolan-obrolan ringan yang tujuannya adalah memberikan solusi-solusi, maka kembali aku mencoba mencari per-masalahan kenapa orang-orang di serikat enggan un-tuk mengikuti program-program pendidikan. Melalui obrolan-obrolan ringan itu akhirnya aku mendapatkan jawabannya, yaitu hanya karena tidak adanya ongkos yang diberikan organisasi.

Berdasarkan jawaban tadi aku pun menginstruk-sikan kepada bendahara untuk menganggarkan dana untuk diberikan kepada orang-orang yang mengikuti pendidikan. Tetapi kembali aku mendapatkan kenya-taan bahwa anggaran organisasi tidak akan cukup apa-bila setiap orang yang mengikuti pendidikan diberikan dana. Tetapi kekurangan dana organisasi tidak meng-hentikan rencanaku untuk mendorong struktur untuk mengikuti pendidikan. Tetapi masalah kekurangan anggaran tersebut harus dengan segera dicarikan jalan keluarnya. Akhirnya dengan kembali ke aturan organi-sasi dan ketentuan undang-undang yang menyatakan bahwa dana organisasi didapat dari iuran maka tidak ada jalan lain, iuran keanggotaan harus dinaikkan. Melalui rapat pada Agustus 2009 yang merupakan rapat pertama dalam kepemimpinanku, akhirnya ke-naikan iuran keanggotaan bisa disetujui dari awalnya Rp. 3.000,- menjadi Rp. 5.000,- meskipun melalui proses penjelasan yang cukup panjang. Dengan disetujuinya kenaikan bukan hanya menambah kekuatan mentalku

(41)

tetapi juga membuktikan bahwa pendapatku benar bahwa salah satu penunjang untuk berjalannya organisasi adalah tersedianya anggaran. Aku sebenarnya sudah mengusulkan agar iuran keanggotaan dinaikkan dua kali dalam kepemimpinan sebelumnya.

Dengan telah dinaikannya iuran maka kembali ada keyakinan dariku untuk kembali mengirim struktur ke berbagai pendidikan. Tetapi kembali aku mendapati keadaan yang sama karena meskipun organisasi sudah menyediakan dana bagi mereka yang ikut pendidikan, kenyataannya dana tersebut belum cukup menarik mereka untuk ikut pendidikan. Terbukti program pen-didikan tersebut hanya diikuti 1 orang saja, yaitu Helmi, dan hanya bertahan pada awal-awal saja.

Helmi adalah salah satu pengurus di oganisasiku dengan ciri khas orang Karawang. Ia tanpa rasa takut dan sangat lantang dalam menyampaikan pendapatnya, baik di hadapan rapat anggota ataupun dalam ruang perundingan dengan perusahaan.

Waktu terus bergulir dan mendekati akhir tahun yang selalu diikuti kenaikan upah. Upah merupakan isu yang sangat menarik bagi seluruh anggota. Maka dalam rapat, aku bersama Helmi mencoba untuk memberikan perspektif yang sebelumnya belum mereka dapatkan, yaitu dalam proses kenaikan upah sebenarnya Serikat bisa sangat berperan dalam penentuan nilai nominal-nya. Dengan info yang aku sampaikan dan dapat di-mengerti maka pada aksi-aksi untuk menuntut kenai-kan upah, Serikat kami dapat mengirimkenai-kan beberapa anggota untuk mengikutinya. Pada akhirnya, berkat perjuangan meskipun harus diselesaikan di kantor Dis-naker, bukan saja kenaikan upah yang cukup signifikan yang dapat diraih tapi juga sistem kenaikan upah yang bisa dipakai di tahun-tahun berikutnya.

(42)

Mutasi yang dilakukan perusahaan untuk mengin-timidasiku ternyata tidak membuahkan hasil. Aku justru menjadi ketua Serikat, tidak ada lagi PHK, dan mem-buat perusahaan harus mengikuti kenaikan upah berkat pola yang aku lakukan. Maka cobaan kedua harus aku hadapi kembali. Pada Oktober 2009 aku menerima surat PHK yang langsung diserahkan oleh atasanku. Dalam surat PHK tersebut bukan hanya namaku yang tertera tetapi juga terdapat tujuh nama lain, termasuk beberapa nama dari struktur organisasiku yaitu Helmi. Kini bukan saja tekanan dari perusahaan yang harus aku hadapi, tapi tuntutan istriku agar aku menerima PHK. Seperti aku ceritakan sebelumnya, aku dan istriku pernah membuat kesepakatan untuk menerima PHK meskipun hanya dengan kompensasi setengah dari ketentuan. Tetapi kon-disiku sekarang sangat tidak memungkinkan untuk itu, karena sekarang aku menjabat Ketua Serikat yang mem-punyai tanggung jawab. Bagaimana dengan nasib ang-gota ketika aku harus menerima PHK? Padahal dalam kepengurusan belum tercipta kader sebagai pengganti figur ketua. Bagaimana dengan kondisi organisasi yang mulai dinamis yang akan kembali lagi ke situasi awal ketika pejuanganku harus terhenti? Bagaimana dengan pertanggungjawabanku ke Federasi ketika harapan-harapan untuk terjadinya perubahan di Toyobo yang selama ini difokuskan kepadaku? Semua dapat kandas jika aku keluar dari Toyobo. Akhirnya sebagai bentuk komitmenku terhadap hal yang sudah disepakati dengan istriku, maka dengan berat hati aku pun harus merelakan istri dan anakku kembali ke kampung halamannya. Aku juga harus menjual rumah sebagai modal hidup istriku di Garut dan memulai hidup terpisah dari keluargaku.

Di tengah perjuanganku untuk menolak PHK, aku mendapati kenyataan tujuh orang yang ada dalam daftar

(43)

PHK semuanya menerima kompensasi termasuk Helmi. Tetapi sebagai bentuk komitmenku terhadap organisasi dan berkat konsultasi dengan Federasi, aku tetap meno-lak keputusan PHK tersebut. Tetapi penomeno-lakanku tidak membuat perusahaan menarik kembali keputusan PHK terhadapku. Malah perusahaan menawarkan nominal yang cukup besar, yaitu 3 kali nilai normal kompensasi agar aku menerima keputusan PHK. Tapi kembali ta-waran tersebut tidak menggoyahkanku. Pada akhirnya keputusan PHK terhadapku dibatalkan sesuai keputu-san dari Disnaker atas pengaduan Perusahaan. Dan hal tersebut justru berdampak lebih buruk terhadap peru-sahaan karena bukan saja PHK tidak terjadi terhadap-ku, tetapi justru Hirakawa yang harus terusir. Perkiraan kami, Hirakawa harus kembali ke negaranya karena ia tidak menggunakan dokumen keimigrasian yang sah terbukti.

Di tengah-tengah kondisi yang serba tertekan di-mana aku harus jauh dari keluargaku. Aku juga diting-galkan orang-orang yang tadinya mendukungku untuk menjadi ketua terutama Helmi. Tetapi bermodal keber-hasilan perjuangan yang menurutku cukup besar, yaitu berhasil membuat Hirakawa pulang, dan dimulai dari informasi-informasi yang cukup banyak aku dapatkan lantaran aku tinggal di sekretariat, maka perjuanganku tetap aku lanjutkan dengan program selanjutnya yaitu mengangkat buruh kontrak menjadi buruh tetap di Toyo-bo. Tetapi karena masih terkendala oleh pemahaman anggota yang masih minim, terutama dari buruh kontrak itu sendiri, maka pemahamanlah yang harus aku tanam-kan terlebih dahulu. Dan akhirnya perjuangan tersebut terwujud meskipun keberhasilannya terjadi ketika posisi-ku bukan seorang ketua serikat Toyobo.

(44)

Seiring dengan berjalannya waktu dengan tetap berorganisasi, aku meyakini bahwa hambatan-hambatan dari tumbuh-kembangnya sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman pengurus maupun anggota mengenai dasar-dasar berorganisasi. Hal ini menyebabkan banyak hal yang seharusnya bisa diselesaikan dengan segera, ternyata malah menimbul-kan banyak kendala. Janganmenimbul-kan kaderisasi, untuk me-ngumpulkan seluruh pengurus dalam agenda rapat saja akan sangat sulit. Oleh karenanya hal yang paling aku tekankan melalui posisi yang aku emban sekarang, seba-gai sekretaris umum Federasi, adalah “semua pengurus dan anggota harus memahami dulu ilmu tentang dasar-dasar berorganisasi.“

(45)

Bersama Serikat Buruh Aku Berjuang

Oleh:

Budiman

N

ama saya Budiman, kulit hitam, berbadan gen-dut dan berkepala botak. Saya lahir dan dibe-sarkan di sebuah desa di Magelang. Tepatnya di kaki gunung Sumbing yang dingin dan berselimut kabut; kawah, tebing, dan hamparan sawah di bawahnya. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani pemi-lik dan penggarap. Setiap hari, sejak pagi buta, keluar-ga dan tetangkeluar-ga saya harus bekerja keras mengolah dan menanam tanahnya. Saya hidup di tengah-tengah masyarakat yang hangat dan ramah. Tetapi nasib berkata lain. Gagal panen, dan berbagai kesulitan hidup lainnya, memaksa saya pergi merantau dan mengadu nasib di kota. Ketika itu, 25 September 2000, saya berangkat mengadu nasib di perantauan. Sejak awal Bekasi telah menjadi tujuan utama. Saya mendengar dari banyak orang, di Bekasi ada ribuan pabrik dan lowongan peker-jaan. Berbekal uang seadanya, saya meminta restu dari orang tua. Hari itu, dengan limpahan doa keluarga dan para tetangga, sayapun berangkat menuju Bekasi. Masih teringat jelas, nama bus yang saya tumpangi,

(46)

Safari Darma Raya. Jam empat sore, mesin bus mulai dihidupkan, kedua orang tua saya mengantar sampai ke terminal. Bus itu terisi penuh oleh penumpang dan barang bawaannya dengan berbagai tujuan. Tidak lama kemudian, beberapa penumpang mulai muntah karena mabuk perjalanan. Saya juga begitu, kepala terasa pusing dan mual. Sampai pagi harinya bus Safari Darma Raya sampai di Bekasi.

Saat itu saya merasa kehidupan yang sesungguhn-ya segera dimulai. Sasesungguhn-ya berada di suatu tempat dengan udara, lingkungan, dan kebiasaan yang berbeda dengan desa di kaki gunung Sumbing. Bekasi terasa lebih panas dan penuh sekali.

Hari demi hari saya lalui dengan tinggal di sebuah petakan berukuran 3 x 3 meter.Tempat saya tidur dan beristirahat. Perlahan saya mulai mencari informasi lowongan kerja. Sejak pagi-pagi sekali saya mulai be-rangkat, dari satu pabrik ke pabrik lainnya. Hanya ber-bekal air putih di botol, dan berlembar-lembar surat lamaran di tas, saya berkeliling di kawasan-kawasan industri yang panas sekali.

Beruntung, satu bulan kemudian, setelah puluhan surat lamaran saya masukan, ada satu perusahaan yang memanggil untuk bekerja, PT. Rapipack. Hari itu saya bertemu dengan bagian personalia, namanya Pak Bam-bang, dia bertanya banyak sekali. Dua hari kemudian, jam 9 pagi, datang seseorang dari PT. Rapipack ke rumah petakan.

“Kamu Budi ya?” Katanya, “Ayo ikut. Kamu mulai bekerja hari ini.”

Kemudian saya diajak ke PT. Rapipack, lalu diberi pengarahan tentang apa saja yang harus saya kerjakan. Sejak hari itu saya mulai bekerja sebagai buruh borongan.

(47)

Hati rasa gembira membayangkan masa depan yang lebih baik. Memiliki upah bulanan yang dapat membuat hidup berkecukupan. Tapi perlahan saya mu-lai sadar, apa yang saya bayangkan tidak sesuai dengan kenyataan. Sebagai buruh borongan, saya tidak memi-liki kepastian kerja sama sekali. Saya hanya dipanggil ketika dibutuhkan, dan bisa dibuang saat tidak lagi dibutuhkan.

Saya bekerja di departemen ekspedisi atau pengiri-man barang. Upah yang saya terima waktu itu berkisar Rp. 62.000 perminggu, dengan lima hari kerja dan lebih dari 40 jam kerja perminggu.1 Upah itu jelas tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari: bayar kontra-kan, ongkos pulang-pergi kerja, perlengkapan mandi, dan lainnya. Saat itu, membeli pasta gigipun saya jarang. Merasa ada yang salah, saya mulai bercerita dengan teman-teman sesama buruh borongan di departemen ekspedisi. Ternyata merekapun sama, hidup dalam serba kesusahan, terpaksa berhemat sebisanya setiap hari. Tanpa bekal pengetahuan dan pengalaman mengenai hak-hak buruh, kami mulai berusaha untuk berkumpul. Seingat saya, ketika itu ada kawan Parto, Suyono, Nu-groho, Lanin, dan kawan-kawan lainnya. Setiap jam 4 sore, setelah selesai bekerja, kami berkumpul di sebuah gudang kecil di departemen ekspedisi, dalam keadaan ser-ba lelah. Bau keringat dan asap rokok memenuhi ruangan. Lalu kami mulai saling mengeluh, sampai kemu-dian berpikir dan menemukan kesamaan. Selanjutnya, kami mulai memberanikan diri untuk merumuskan 1 Kabupaten Bekasi pada tahun 2000, masuk dalam Upah Mini-Kabupaten Bekasi pada tahun 2000, masuk dalam Upah

Mini-mum Regional (UMR) Propinsi Jawa Barat, Wilayah I, bersama dengan 10 Kabupaten/Kodya lainnya, Sumedang, Bandung, Karawang, Purwakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Serang, Ci-legon, dengan nilai UMR sebesar Rp. 286.000,- (ed)

(48)

tuntutan dan membawanya ke pimpinan departemen ekspedisi. Kami mulai menuntut tunjangan transpor-tasi dan uang makan. Kami mulai sadar, kedua hal itu sebenarnya merupakan hak dasar buruh yang sudah se-harusnya dipenuhi oleh pengusaha.

Akhirnya, pada 2 Januari 2001, sehari setelah tahun baru. Kami memberanikan diri untuk menemui kepala departemen ekspedisi, Pak Maxi Rawis namanya. Kami diminta menunggu di sebuah ruang kosong di departe-men ekspedisi. Ruangan itu sempit dan pengap, dengan kipas angin di pojok kanan.

Jam 12 siang, jam istirahat bekerja, Pak Maxi mulai masuk ke ruangan dengan mata melotot, lalu duduk dengan sikap yang tidak ramah. Dia mulai berbicara, dan saya masih ingat, kalimat yang pertama kali dia lontarkan adalah, “Ngapain kamu?”

Kami semakin cemas, ketika itu saya, kawan Parto dan Suyono, mencoba mulai berbicara dengan bibir ber-getar dan omongan yang tak karuan. Tapi perlahan ke-beranian kami kembali. Saya dan kawan-kawan mencoba menjelaskan tujuan kami datang dengan lebih jelas. Na-mun, pak Maxi kembali menjawab dengan kasar,

“Apa-apaan kamu? Kamu dipekerjakan di sini seharusnya kamu bersyukur, bukan malah minta yang aneh-aneh!”

Lalu ia mengusir kami “Sudah keluar kalian!” Dengan jari menunjuk pintu.

Itulah kata terakhir dari hasil pertemuan kami dengan kepala departemen.

Beberapa hari kemudian manajemen mulai me-ngambil tindakan. Pekerjaan saya semakin dibuat susah, bahkan keluar dari apa yang telah menjadi tugas saya di bagian ekspedisi. Saya mulai sering disuruh menyapu

(49)

dan mengepel lantai. Padahal tugas saya di bagian eks-pedisi adalah menerima kertas-kertas planning (peren-canaan) pemuatan dan pengirim barang, lalu mencari barang tersebut sesuai lokasi yang tertera di kertas

plan-ning dan mengesetnya, sehingga siap antar. Awalnya

se-tiap barang yang harus diangkut hanya perlu saya cari di GBJ (Gudang Bahan Jadi), sesuai dengan lokasi yang tertera di kertas planning. Tapi saat itu informasi lokasi barang tidak tertulis di kertas planning. Sehingga saya harus mencari dan memuat barang-barang yang sulit ditemukan, bahkan beberapa kali tidak tersedia di GBJ. Bayangkan, saya harus mencari satu barang di antara ribuan barang dengan berbagai macam tipe dan jenis, sehingga saya harus memilah satu persatu sesuai dengan apa yang tertera di dalam kertas planning. Pekerjaan saya menjadi semakin sulit dan melelahkan.

Dengan rasa lelah dan marah, pada 10 Januari 2001, di sela-sela jam istirahat, saya kembali memberani-kan diri menghadap pak Maxi untuk memprotes per-lakuan di atas. Beberapa hari kemudian, bukan buah jeruk yang saya dapat, tapi buah pahit brotowali. Saya dimutasi ke bagian sample box (boks contoh). Tidak ber-henti sampai di situ, uang lembur yang saya terima juga lebih rendah dari kawan-kawan buruh tetap. Untuk lembur selama 4 jam, saya hanya mendapatkan tamba-han upah Rp. 25 ribu.

Saya terus mencari informasi. Bersama kawan-kawan sekerja di bagian sample box, kami memberanikan diri menghadap kepala bagian, mba Desi namanya. Ke-tika itu, berbeda dengan pak Maxi, mba Desi menyambut kami dengan lebih tenang dan ramah. Kamipun lebih mudah bercerita. Perbincangan ketika itu kami fokus-kan pada upah yang berbeda antara buruh tetap dan buruh borongan, serta pehitungan upah lembur bagi

(50)

buruh borongan yang lebih rendah dari buruh tetap. Setelah mendengarkan kami, dengan nada bicara yang halus, mba Desi menjawab,

“Kalau kalian tidak puas dengan upah lembur yang kalian terima, silahkan buat surat pengunduran diri. Dengan point upah kalian kurang.”

Kami semua tidak menduga jawabannya akan seperti itu. Dan sejak itu kami mulai mencari informasi mengenai serikat pekerja, berniat mengadukan per-masalah buruh borongan. Mungkin saja mereka bisa membantu.

Mengenal Serikat Buruh

Melalui bantuan kawan Darko, kami mengadukan masalah yang dialami buruh borongan kepada salah satu pengurus serikat, bung Estu namanya.

Sore itu, di rumah bung Estu, kami disambut de-ngan ramah. Lalu mulai bercerita tentang berbagai dis-kriminasi yang dialami buruh borongan, dan berbagai pelanggaran hak-hak dasar. Kami juga bercerita tentang apa saja yang telah dilakukan sebagai buruh borongan. Keesokan harinya saya kembali bekerja seperti biasa, berangkat pagi, bekerja sesuai dengan jobdesk dan mematuhi peraturan serta perintah dari atasan. Mencari bahan, membaca rancangan dan pembuatan contoh box, lalu diserahkan ke atasan untuk dicek ulang.

Beberapa minggu kemudian, pada bulan Februari 2001, entah bagaimana proses pembelaan yang dilaku-kan serikat, tiba-tiba di dalam slip gaji kami muncul uang transport dan uang makan. Kami semua bergem-bira, walaupun masih berstatus sebagai buruh borongan.

(51)

Masih di bulan Februari, tak tahu apa sebabnya, se-cara tiba-tiba saya dipanggil oleh salah seorang pimpinan bagian produksi, bapak Sudarlim namanya.

“Bud, ke ruanganku sebentar.” ujarnya.

Dengan rasa penuh kuatir dan takut, saya berjalan di belakangnya. Sesampainya di ruangan, saya dipersi-lahkan duduk,

“Silahkan duduk Bud”

Kemudian saya duduk di depan bapak Sudarlim dengan penuh tanda-tanya,

“Bud, kamu mulai besok bekerja di bagian converting. Saya sudah ijin pimpinanmu, mba Desi.”

Saya dipindah ke departemen lain, dengan status masih sebagai buruh borongan. Saat itu juga, saya mem-beranikan diri meminta agar diangkat menjadi pekerja tetap. Lalu Bapak Sudarlim menjawab,

“Oke, akan tetapi, jika kamu tidak lulus training selama tiga bulan dan medical check up hari ini, maka kamu harus keluar dari perusahaan tanpa mendapat tun-jangan apapun. Karena kamu adalah buruh borongan.”

Tiga bulan kemudian, tiba saat mendapat putusan. Puji syukur, setelah amplop yang berisi surat pemberita-huan itu dibuka, di dalamnya tertulis saya telah men-jadi buruh tetap. Saya segera bersujud syukur. Kini sta-tus kerja saya telah setara dengan pekerja-pekerja tetap lainnya di PT. Rapipack.

(52)

Selanjutnya saya akan bercerita tentang pengalaman menjadi pengurus serikat buruh tingkat pabrik.

Tanggal 12 Oktober 2013, serikat di tempatku bekerja mengadakan musyawarah anggota, yang kami sebut sebagai Musnik (Musyawarah Unit Kerja). Dua minggu sebelum Musnik, Bung Susanto, ketua PUK (Pimpinan Unit Kerja)2 PT. Rapipack, meminta saya un-tuk menjadi salah satu pimpinan sidang. Saat itu saya belum tahu sama sekali tentang apa itu Musnik dan apa tujuannya. Sama sekali tidak punya gambaran. Mengi-kuti Musnik saja saya tidak pernah.

Saya kemudian diberi sebuah buku panduan, yang saya terima sambil bingung. Dalam hati bertanya-tanya “Apa iya saya bisa melakukan tanggung jawab ini?” Sesampainya di rumah, buku itu saya buka, hala-man demi halahala-man, saya mencoba untuk memahami isinya. Lalu saya sadar, Musnik adalah peristiwa pen-ting, sebuah sidang besar di dalam serikat buruh ting-kat pabrik. Ketika Musnik, anggota akan memilih se-orang ketua baru. Ketika Musnik suara dan partisipasi anggota sangatlah dinanti-nantikan, suara anggota me-nentukan masa depan organisasi. Rasanya saya tidak sanggup mengambil tanggung jawab sebagai pimpinan sidang, dan akan mengembalikan buku tersebut kepada ketua. Namun sebelumnya, saya mencoba untuk berbagi beban ini kepada istri yang selalu setia mendampingi dalam keadaan apapun.

Setelah saya bercerita, ia kemudian berkata, “Kalau memang ayah sudah ditunjuk oleh ketua, berarti ayah sebagai anggota harus siap menerimanya, 2 Pimpinan Unit Kerja adalah sebutan bagi pengurus serikat bu-Pimpinan Unit Kerja adalah sebutan bagi pengurus serikat

bu-ruh tingkat perusahaan di KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ed)

(53)

semua bisa kita pelajari kok. Ketua menunjuk ayah, ka-rena memandang ayah mampu menjalankan tugas itu.”

Saya merasa lebih lega setelahnya, dan memutus-kan untuk melanjutmemutus-kan tanggung jawab sebagai pimpi-nan sidang. Saya menjadi semakin giat membaca buku panduan. Sedikit demi sedikit mulai mengerti tugas dan tanggung jawab sebagai pimpinan sidang.

Tibalah saatnya gladi resik atau persiapan akhir sebelum besok sidang dilaksanakan. Ketika itu hadir Bung Susanto (Ketua), Bung Oloan (Wakil I), Bung Jo-sep (Advokasi), dan Sri Wahyurianto dan kawan-kawan pengurus lainnya.

Mengetuk palu tiga kali, itulah yang pertama kali saya lakukan, sebagai pertanda sidang dimulai. De-ngan buku panduan yang saya pegang serta arahan bung Oloan, gladi resik berjalan lancar hingga bab penutup dan doa.

Jam 11 malam saya pulang ke rumah, disambut hangat oleh istri. Malampun semakin larut, tapi mata tidak bisa dipejamkan. “Bagaimana besok, bagaimana besok, bagaimana besok?” terus terngiang di kepala. Jam dua pagi saya baru mulai tertidur, sampai adzan subuh membangunkan.

Saya bergegas bangun, mandi, solat, dan sarapan. Setelah berpamitan dengan istri, saya langsung berang-kat dengan penuh rasa cemas. Sesampainya di pabrik, saya disambut bung Santoso, “Kamu sudah siap Bud?” tanyanya,

“Siap” Jawabku

Bismillahirrahmanirrahim, kuketuk palu tiga kali,

pertanda sidang dimulai.

Berbagai pertanyaan terus mengalir, perdebatan dan ide-ide baru muncul dari anggota yang kritis dan

(54)

ingin maju. Salah satu tugasku adalah menuliskan selu-ruh keputusan musyawarah dan menjadikannya kese-pakatan yang akan menjadi mandat bagi kepengurusan selanjutnya.

Sejujurnya, saya merasa bingung ketika itu. Ini adalah pertama kali saya mengikuti sidang. Tiba-tiba saya harus menjadi pimpinan sidang, dan berada di tengah-tengah banyak orang yang saling bicara. Saya merasa sangat kewalahan karena banyaknya usulan dan perdebatan di antara peserta. Ada tiga usulan yang menurut saya paling penting, pertama tentang program pendidikan bagi anggota dan pengurus yang harus ber-jalan paling sedikit dua kali dalam setahun; kedua, agar anggota perempuan diberikan lebih banyak ruang untuk berpartisipasi di dalam serikat; ketiga agar pelaporan keuangan dibuat lebih transparan dan bisa diakses oleh anggota.

Kemudian ada satu peserta sidang yang bertanya, kenapa dalam serikat buruh harus ada Musnik? Pada-hal tanpa Musnik sekalipun, kita tetap bisa memilih seorang ketua dan menjalankan organisasi seperti or-ganisasi masyarakat (Ormas) lainnya?

Saat itu saya tidak tahu harus menjawab apa. Setelah berdiskusi dengan pimpinan sidang lainnya, kami mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Menu-rut kami, Musnik tidak hanya untuk memilih seorang ketua. Lebih dari itu, Musnik merupakan forum ber-sama dimana seluruh pengurus dan anggota dapat ter-libat untuk mendiskusikan berbagai masalah yang se-dang dihadapi organisasi. Di dalam Musnik juga, kita secara bersama-sama mendiskusikan berbagai agenda dan langkah yang sudah dan harus kita ambil ke depan. Tujuannya supaya organisasi bisa berbuat lebih baik lagi. Musnik adalah forum tertinggi organisasi, dimana

(55)

anggota secara demokratis memiliki hak untuk memilih ketua dan merumuskan apa saja yang harus dilakukan oleh pengurus.

Tiba saatnya untuk memilih dan menentukan calon ketua PUK. Saat itu, ada beberapa nama bakal calon. Diantaranya, bung Josep, bung Beni, bung Oloan, bung Sundusin, dan saya sendiri. Pencoblosan dilaku-kan, dilanjutkan perhitungan suara. Bung Sundusin ter-pilih sebagai ketua serikat buruh PUK Rapipack untuk periode 2013 – 2016.

Selanjutnya bung Sundusin menentukan nama-nama calon pengurus yang akan membantunya. Saya kemudian terpilih sebagai Wakil Sekretaris 2, yang ber-tanggungjawab dalam kerja-kerja pendidikan organisasi.

Lalu kenapa saya bersedia menerima tanggung jawab tersebut? Status kerja saya berubah, dari buruh bo-rongan menjadi buruh tetap, tidak terlepas dari upaya yang dilakukan oleh seorang pengurus serikat. Karenanya saya ingin membayar hutang budi kepada serikat dengan cara menjadi pengurus. Saya juga bersyukur karena dipercaya untuk menjadi salah satu pengurus serikat buruh tingkat pabrik. Sejak itulah saya mulai berjuang sebagai pengurus serikat buruh tingkat pabrik.

Organisasi dan Keluarga

Sesampainya di rumah, menjelang tidur saya ber-cerita kepada istri bahwa saya terpilih sebagai sekretaris 2. Entah kenapa istri terlihat takut dan sedih, tapi juga seperti tidak berani menolaknya. Lama kami berbicara waktu itu, tapi istriku tetap merasa keberatan saya men-jadi pengurus. Ia takut saya akan ter-PHK, dan menmen-jadi semakin jarang di rumah. Istri saya menduga demikian, karena di sekeliling rumah kami sudah banyak orang

(56)

yang berserikat. Istri saya tahu dari seorang istri yang suaminya menjadi pengurus serikat, dan semenjak itu suaminya menjadi semakin jarang di rumah.

Inilah tantangan pertama yang harus kuhadapi ketika mulai menjadi pengurus serikat. Saya berusaha menjelaskan sebisanya tentang manfaat hidup beror-ganisasi. Saya menjelaskan tentang apa saja manfaat keberadaan serikat di tingkat perusahaan. Upah yang saya terima saat ini bisa sesuai aturan hukum, dan sta-tus yang berubah dari buruh borongan menjadi buruh tetap, bukan sesuatu yang jatuh dari langit, tapi karena bantuan serikat buruh.

Seiring waktu, saya semakin sibuk di serikat buruh. Waktu di rumah semakin berkurang. Tidak jarang saya harus pergi beberapa hari untuk mengikuti kegiatan serikat. Sampai suatu hari istriku protes,

“Ayah, kalau caranya begini, saya dan anakmu tidak rela kalau karena kegiatan organisasi, jadi meno-mor duakan keluarga.”

Saya terkejut, dan berusaha menjawabnya

“Bunda, bukannya dari awal bunda sudah men-dukung kegiatan ayah ini? Inilah konsekuensinya, wak-tu ayah unwak-tuk keluarga jadi berkurang. Jadi ayah minta, bantulah ayah dalam berjuang.”

Saya mencoba kembali untuk memberikan pema-haman. Bahwa saya berorganisasi tidak bisa sendiri, istri dan anak saya juga harus ikut di dalamnya. Ka-rena dengan berkurangnya waktu di rumah, serta istri dan anak yang sabar menunggu, sebenarnya keluarga sudah terlibat dalam berorganisasi. Lalu saya kembali bercerita tentang berbagai kegiatan yang dilakukan di serikat, perlahan istriku mulai memahaminya.

Gambar

Gambar 2. Aksi Demonstrasi di Jasa Marga Bandung menuntut  penghapusan outsourcing, mengangkat buruh outsourcing jadi tetap,

Referensi

Dokumen terkait

Demikian juga pada umur 16 bulan perlakuan pupuk kandang 2 kg dan bokashi 2 kg tidak berbeda nyata terhadap persentase tumbuh tanaman, tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda

Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui peranan fungsi Bimbingan Konseling Islam dalam upaya mengembangkan religiusitas remaja dan menekan atau mengontrol kenakalan remaja

et (2006) menyampaikan penambahan separat (pemisah pecah dengan yang AGRISEP Vol. yang adalah mesin polis Pengusaha yang menggunakan mesin yang berumur lebih muda akan dibandingkan

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 3 Surakarta. Metode penelitian ini adalah Research and Development yang meliputi: tahap studi pendahuluan, tahap perencanaan,

Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisa perbedaan gambaran makroskopis dan mikroskopis organ paru dan usus halus pada tikus Wistar setelah pemberian warfarin dosis

Hasil dari penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara persepsi terhadap risiko dengan perilaku aman terkait kebijakan K3 pekerja bagian produksi di PT

If there is a data base with a phenotypic characterisation of the breeding material designed according to the principles of the UPOV Descriptors, the important

Object apapun dalam Window Page bisa dipindah, baik tulisan maupun gambar Caranya klik mouse kiri di atas object Object yang sedang di klik akan muncul kotak-kotak ( )