• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah Pekerja Outsourcing Jasa Marga Oleh:

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 97-145)

Gito Margono

S

abtu, 3 September 2011 sekitar pukul 9.30 pagi. Di ruas Tol Cipularang kilometer 96 dari Bandung menuju Jakarta, tim pelayanan jalan tol disibukkan dengan kecelakaan tunggal yang menewaskan 1 orang. Peristiwa tersebut membuat arus lalu lintas melambat-merayap. Kali ini korban kecelakaan adalah istri penyanyi dangdut terkenal, Saepul Jamil. Petugas jalan tol datang dan bertindak: ambu-lans, derek, keamanan dan ketertiban, serta layanan jalan tol lainnya. Setelah para petugas menangani korban, kemacetan pun terurai.

Memeriksa dan mengatasi korban kecelakaan lalu lintas di jalan tol adalah tugas sehari-hari saya. Masih untung kejadiannya di siang hari dan korban dalam keadaan utuh. Kadang saya harus memunguti serpi-han tubuh korban yang sudah tidak karuan. Anggota tubuhnya tercecer, saya pun harus mencarinya di se-mak-semak dan memungutinya satu per satu. Parahnya lagi kalau terjadi di malam hari. Selain menyulitkan

menangani korban, tertabrak kendaraan yang melintas adalah risiko yang mungkin terjadi.

Ini adalah pengalaman saya sebagai buruh

out-sourcing di perusahaan BUMN, PT Jasa Marga Cabang

Purbaleunyi Bandung. Saya Gito Martono, salah satu petugas ambulans di jalan tol.

PT Jasa Marga Perusahaan Kaya dengan Membayar Upah Murah

PT Jasa Marga Cabang Purbaleuyi Bandung ter-bentang dari Purwakarta-Bandung hingga Cileunyi. Panjangnya hampir 90 kilometer. Ruas tol ini menggu-nakan 4 unit ambulans untuk menangani kecelakaan. Setiap ambulans area kerjanya kurang lebih 25 kilometer. Sebagai bagian dari tol Cikampek, Purwakarta, Padala-rang, jalan tol ini.

Mempercepat dan mempermudah perjalanan. Per-jalanan yang biasa empat sampai lima jam menjadi tiga sampai dua jam. Jika arus mudik memasuki H-7 dan H+7 Lebaran, lalu lintas di Cipularang melonjak tajam. Hal tersebut biasanya merupakan jalur pengalihan dari jalan Pantai Utara (Pantura).

Ribuan kendaraan melintasi jalan tol, kendaran be-sar dan kecil, mengangkut penumpang, barang industri, sembako dan berbagai macam keperluan lain. Sebagai jalan bebas hambatan, Jasa Marga harus memberikan pelayanan yang sangat baik. Di antara pelayanan terse-but adalah layanan gangguan mogok dan layanan ke-celakaan. Unit ambulans merupakan salah satu bentuk pelayanan operator jalan tol kepada konsumen. Pela-yanan tersebut telah menjadi syarat baku, seperti ter-cantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol.

PT Jasa Marga didirikan melalui Peraturan Peme-rintah Nomor 04 Tahun 1978. Tepatnya pada 1 Maret 1978 PT Jasa Marga (Persero) Tbk didirikan. Tugas utama Jasa Marga adalah merencanakan, membangun, meng-operasikan dan memelihara jalan tol beserta sarana ke-lengkapannya.

Nama Jasa marga terpampang di berbagai jalan tol di Indonesia. Sebut saja Jasa Marga Cabang Jakarta-Cikampek, Jasa Marga Cabang Jagorawi, Jasa Marga Cabang Jakarta-Tangerang, Jasa Marga Cabang Pur-baleunyi Bandung, Jasa Marga Cabang Jasa Marga Cabang Semarang, Jasa Marga Cabang Surabaya-Gem-pol, Jasa Marga Cabang Balmera Medan hingga Jasa Marga Ujung Pandang.

Sejak berdiri Jasa Marga berperan tidak hanya se-bagai operator tetapi sese-bagai otoritas jalan tol di Indo-nesia. Hingga 1987 PT Jasa Marga adalah satu-satunya penyelenggara jalan tol di Indonesia yang pengem-bangannya dibiayai pemerintah dengan dana berasal dari pinjaman luar negeri serta penerbitan obligasi. Ja-lan tol pertama yang dioperasikan oleh Jasa Marga ada-lah Jalan Tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi).

Jasa Marga pun mengumpulkan uang tol dari ribuan kendaraan yang melintas di gardu/loket tol setiap hari.

Tahun 2010 pendapatan Jasa Marga sebesar 4,3 trilliun, naik 18,6 persen dari tahun 2009 dengan laba bersih mencapai Rp 1 triliun. Pada 2012 pendapatan-nya menjadi Rp 5,58 triliun lebih tinggi 2,3 persen dari target yang ditetapkan dan laba bersihnya menembus Rp 1,6 triliun meningkat 33,92 persen dari 2011. Kenai-kan laba Jasa Marga didukung oleh regulasi dari Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT). Badan tersebut yang mengatur kenaikan tarif tol setiap 2 tahun.

Desember 2005 saya mengais rezeki di PT Jasa Marga Cabang Purbaleuyi Bandung. Dengan modal ijazah Diploma 3 Keperawatan, saya melamar kerja melalui Koperasi Jasa Marga Bhakti VI Bandung seba-gai pekerja outsourcing. Saat itu Koperasi mengatakan memenangkan tender pemborongan pekerjaan sebagai penyedia jasa tenaga kerja. Nama outsourcing tertuang dalam Surat Perjanjian Kerja (SPK). Dalam salah satu pasal disebutkan:

“Bahwa PIHAK PERTAMA telah menerima PIHAK KEDUA sebagai Outsourcing pegawai kontrak pada Koperasi Jasamarga Bhakti VI, dalam waktu…..”

Jadi status saya adalah outsourcing di Jasa Marga dan sebagai tenaga kerja kontrak di Koperasi Jasa Marga Bhakti VI Bandung.

Dengan nama besar PT Jasa Marga saya sedikit berbangga dapat bekerja di dalamnya. Berharap dapat hidup mandiri dan tidak bergantung kepada orangtua. Meskipun ada kerisauan tentang Surat Perjanjian Kerja (SPK) dengan Koperasi yang dibuat 1 bulan dan di ta-hun berikutnya diperpanjang 1 tata-hun. Tapi saya berpikir positif kemudian berharap ada pengangkatan menjadi buruh tetap di PT Jasa Marga. Terlebih orangtua saya harus mengeluarkan sejumlah uang agar saya dapat bekerja di tempat ini, karena saya tidak mempunyai kerabat, relasi atau pun saudara.

Dalam bekerja kami diatur tiga shift. Pagi dari pukul 7 pagi sampai puku 2 sore, sore dari pukul 2 sampai pukul 9 malam dan malam dari pukul 2 pagi sampai 07 pagi. Shift malam lebih panjang karena termasuk lembur. Saya sendiri pola kerjanya adalah tiga hari kerja

shift pagi, sehari libur. Kemudian shift dua tiga hari,

sehari libur. Setelah itu, tiga hari shift malam dua hari libur. Kalau kebetulan tanggal merah atau hari lebaran

saya tidak libur. Bekerja seperti biasa.

Sebenarnya, beban kerja saya relatif ringan, tidak terbelenggu waktu dan tempat. Setiap hari dapat hilir mudik melintasi gardu dan gerbang tol. Ini berbanding terbalik dengan kawan-kawan Pultol (pengumpul tol)

outsourcing di gardu-gardu gerbang tol. Petugas Pultol

berada di ruangan sempit. Tugas mereka mengumpul-kan uang dari setiap kendaraan yang keluar gerbang tol. Mereka pun kenyang dengan berbagai asap knalpot dan berisiko mengganti uang kepada perusahaan jika terjadi kekurangan pengembalian uang tol. Terkadang harus mendapat caci maki dan hujatan jika terjadi kemacetan di pintu tol.

Di ambulans saya bekerja jika terjadi kecelakaan di jalan tol, memberikan pertolongan pertama gawat darurat (PPGD), memberikan bantuan semaksimal mungkin kepada korban kecelakaan, memprioritas-kan korban yang terancam jiwanya, mengantar buruh atau keluarganya yang sakit atau meninggal ke rumah/ rumah sakit. Terkadang saya harus memunguti serpi-han-serpihan tubuh korban kecelakaan yang sudah tidak karuan, tercecer dimana-mana. Pekerjaan tersebut cukup merepotkan jika terjadi pada malam hari dan risiko tertabrak kendaraan lain yang melintas.

Dengan tanggung jawab seperti itu, saya dan buruh outsourcing lain hanya diupah Rp 1.080.000 per bulan tanpa mendapatkan penghasilan yang lain. Jum-lah upah tersebut saya terima sejak awal bekerja sam-pai 2009. Upah itu disamaratakan kepada buruh yang sudah lama atau yang baru masuk kerja. Upah sebesar itu hanya dapat berusaha menabung di awal dan diam-bil kembali di pertengahan bulan. Karena upah tidak cukup terkadang saya harus ‘mengemis’ ke orangtua demi mencukupi kebutuhan.

Pertengahan November 2006 saya memberanikan diri menikahi seorang gadis yang sampai dengan saat ini setia mendampingi saya. Demi mencukupi ongkos hidup bersama, istri tercinta bekerja di salah satu rumah sakit di Bandung timur. Istri saya juga seorang perawat. Dua tahun kemudian saya menjadi seorang ayah. Anak pertama memeriahkan isi rumah yang biasa hanya di-isi oleh kami berdua. Saya tidak bisa membayangkan jika orangtua saya tidak menyediakan rumah untuk saya tinggali di Ngamprah Kabupaten Bandung Barat, mungkin saya harus berhimpit-himpitan di dalam kamar kontrakan seperti beberapa teman-teman saya. Mengenal UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan, Mengirim Surat Ke Direksi Jasa Marga dan Gagasan Membentuk Serikat yang Mandiri

Karena jarak yang cukup jauh dari tempat kerja ke tempat tinggal, kasih sayang ibu kepada anak tercin-ta merasa kurang. Istri saya mengundurkan diri dari pekerjaan dan pindah ke tempat yang lebih dekat, yaitu di Cimahi, pada November 2008.

Sejak peristiwa itu saya mengenal konflik hubu-ngan industrial. Diawali ketika istri saya masih sibuk dengan kelengkapan lamaran di tempat kerja baru. Perusahaan yang ditinggalkan melayangkan surat pe-manggilan. Dalam isinya menyebutkan bahwa istri saya

harus mengembalikan upah yang selama ini diberikan oleh pihak perusahaan (rumah sakit). Alasannya, istri saya memu-tuskan kontrak kerja yang belum selesai seperti yang tertu-ang di salah satu pasal surat perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Saya pun melihat dan membaca berulang kali isi pasal-pasal yang tertera pada surat perjanjian kerja

mi-lik istri tercinta. Setelah itu mencari masukan kepada teman-teman istri saya yang pernah mengalami kejadian yang sama. Tapi tidak banyak membantu. Beberapa hanya menyodorkan fotocopy undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) Pasal 59 sampai pasal 66. Kemudian saya mencari referensi lain dengan mendatangi Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung. Alangkah kagetnya saya ketika petugas bagian hubungan industrial mengatakan:

“Bahwa surat perjanjian kerja yang sudah

ditanda-tangani sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

“Ibu memang harus mengembalikan upah yang

selama ini diterima dari awal kerja sampai dengan me-ngundurkan diri.“

Kalimat itu terdengar kejam dan sinis. Pihak Dis-naker beralasan bahwa istri saya memutuskan kontrak sepihak dan melanggar isi surat perjanjian kerja terse-but. Perasaan saya bergejolak: perasaan bingung, kha-watir, marah dan kecewa.

Tanpa bisa berbuat apa-apa saya dan istri tercinta berusaha tidak menanggapi surat pemanggilan terse-but, meskipun untuk kesekian kalinya surat pemanggi-lan datang kembali.

Semenjak peristiwa itu saya tertarik membuka buku UUK No. 13 Tahun 2003. Saya membaca pasal, bab dan menafsirkan sendiri. Keraguan pun muncul-dari diri saya. Kemudian saya membandingkan isi SPK milik saya dan istri tercinta. Berulang kali surat dan undang-undang itu dibolak balik, menandai dengan spidol warna setiap kali menemukan pelanggaran atau ketidaksesuaian makna.

Perlahan saya mempunyai keyakinan, selama ini PT Jasa Marga dan Koperasi banyak sekali melakukan

pelanggaran. Misalnya, SPK yang dibuat per tiga bulan, tidak dibayarnya upah lembur, upah yang tidak naik dalam beberapa tahun, tidak adanya cuti tahunan, per-lindungan jaminan sosial yang tidak transparan, mem-borongkan pekerjaan yang bersifat pokok (core business), mengganti pekerjaan yang bersifat tetap menjadi tidak tetap sampai dengan tidak diperbolehkannya pekerja

outsourcing menjadi anggota serikat yang ada, yaitu

Serikat Karyawan Jasa Marga (SKJM). Waktu itu alasan-nya SKJM haalasan-nya dapat menampung buruh organik.1

Di tempat kerja saya mencoba menyampaikan pemahaman saya kepada teman kerja. Namun sikap te-man-teman terasa dingin dan tidak antusias. Tidak ber-henti di situ, saya pun memburu atasan saya, menemui Ketua SKJM, serta mendatangi ketua Koperasi. Saya menyampaikan apa yang telah saya pahami dari pera-turan perundangan. Saya berharap mendapatkan jawa-ban yang memuaskan. Lagi-lagi jawajawa-bannya terlalu bertele-tele dan tidak mencerminkan ketegasan isi dari peraturan perundang-undangan. Lebih parah lagi para pejabat di perusahaan malah memberikan jawaban yang bertentangan. Saya disarankan agar mencari pekerjaan di luar, karena di PT Jasamarga tidak bisa memberikan kepastian dan jaminan terkait kondisi kerja dan masa depan pekerja outsourcing.

Atas ketidakpuasan saya terhadap pertanyaan-pertanyaan, berawal dari diskusi dengan sang istri tercinta, saya menyampaikan ide akan melayangkan surat kepada Direktur Utama PT Jasa Marga. Isi surat lebih tepat disebut curahan hati sebagai pekerja

out-sourcing. Dalam surat tersebut saya mengemukakan

1 Buruh organik adalah buruh tetap. Istilah tersebut lumrah di-Buruh organik adalah buruh tetap. Istilah tersebut lumrah di-pergunakan di kalangan buruh perusahaan negara.

bahwa beban kerja dan kewajiban pekerja outsourcing sama dengan pekerja organik, tetapi hak-hak yang di-dapat sangat jauh berbeda. Dalam surat itu juga saya menaruh harapan agar pekerja outsourcing mendapat peningkatan kesejahteraan, status dan hak yang sama dengan pekerja organik.

Tepatnya 6 Desember 2008 dengan nekad saya mengirimkan surat itu melalui PT Pos yang disertai

fo-tocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan nomor telepon.

Waktu itu saya berpikir risiko apapun akan saya terima. Lebih kurang dua bulan setelah surat tersebut di-layangkan, bertepatan dengan longsor di KM 116 arah ke Bandung, kehebohan pun terjadi di Cabang Jasa Marga Bandung. Beberapa atasan mendatangi tempat kerja saya. Ponsel pun berdering bergantian. Beberapa atasan dan teman mengklarifikasi kebenaran, betul atau tidak saya mengirimkan surat tuntutan kepada Direksi Utama yang saat itu di jabat oleh Ir. Frans Sunito. Se-lain dimintai klarifikasi dengan datang ke kantor cabang saya pun dipindahtugaskan. Saya dimutasi dari wilayah Jatiluhur-Purwakarta ke Padalarang-Pasteur dan ber-pasangan kerja dengan buruh organik. Namun ada hal besar yang menjadi pertanyaan dalam hati saya:

“Kenapa pihak koperasi dan perusahaan tidak mem-PHK saya, padahal saya telah mencoreng nama pimpinan cabang Jasa Marga Bandung?”

Pemindahtugasan beserta pertanyaan itu me-neguhkan keyakinan bahwa saya masih berpijak pada rel yang benar. Namun, butuh waktu lama untuk meng-hilangkan ingatan peristiwa itu.

Sekitar awal 2010 saya mencoba menularkan lagi keyakinan itu kepada teman-teman kerja. Awalnya hanya teman-teman petugas ambulans yang berjumlah

16 orang. Kemudian mencoba membangun komunikasi lewat beberapa pertemuan dan perkumpulan meskipun dengan waktu yang jarang. Kami sempat mendatangi LBH Unpad di Jl. Progo Bandung dengan maksud men-dapatkan pencerahan tentang ketenagakerjan dengan mengadukan berbagai pelanggaran di PT Jasa Marga. Namun hasilnya kurang memuaskan. Saat itu kami di-berikan arahan,

“Agar membicarakan hal itu (hubungan kerja di Jasa Marga) secara diplomatis dengan perusahaan. Jangan mendahulukan aspek hukum,” kata salah satu penga-caranya.

Selesai dengan upaya-upaya itu, kami merasa tidak ada respons dari teman-teman petugas ambulans lain, akhirnya perkumpulan menjadi mati suri.

Di tahun itu juga saya dikenalkan oleh salah satu teman kepada Bapak Ruslan Effendi. Menurut infor-masi beliau adalah praktisi hukum ketenagakerjaan di Tangerang. Saya kurang mengenal latar belakangnya dan hanya bertemu dua kali. Itu pun dengan waktu yang tidak cukup lama. Ada ketertarikan saya terhadap Pak Ruslan Effendi. Beliau mengatakan bahwa penting-nya membentuk serikat buruh yang mandiri agar para buruh menjadi kuat dan mampu meningkatkan status dan kesejahteraannya. Saya dan teman-teman

outsour-cing disarankan membentuk serikat buruh. Beliau pun

memberikan panduan Anggaran Dasar/Anggaran Ru-mah Tangga (AD/ART) serikat buruh.

Jarak yang jauh menyulitkan saya untuk bertanya jika ada kendala yang dilalui. Belum lagi jika terjadi perselisihan atau pun permasalahan ketenagakerjaan, beliau belum tentu siap hadir dan membantu. Hal itu membuat saya ragu dan pesimis untuk menggagas serikat buruh yang mandiri.

Lama sekali niat menggagas serikat buruh muncul kembali.

Maret 2010, PT Jasa Marga Bandung justru me-nambah 32 buruh outsourcing baru untuk jabatan penge-mudi patroli jalan tol. Melalui koperasi sebagai vendor mereka melamar kerja. Kebanyakan dari mereka masih memiliki hubungan keluarga dengan organik PT Jasa Marga; jika tidak, kemungkinan akan mengeluarkan sejumlah uang untuk bekerja di Jasa Marga. Terdengar kabar, PT Jasa Marga Bandung dijadikan tempat uji coba untuk mengganti buruh organik dengan buruh

outsourcing, karena di cabang lain tidak seperti ini.

Me-mang kondisi kerja di PT Jasa Marga Cabang Bandung relatif kondusif, karena jarang sekali terdengar ada perselisihan ketenagakerjaan dan cenderung mampu mengendalikan para buruhnya.

Jasa Marga Cabang Bandung mulai merekrut tenaga kerja lagi outsourcing pada 2003. Jumlah yang di-rekrut sekitar 100 orang.

Melihat semakin bertambah jumlah outsourcing membuat saya menaruh harapan besar untuk kembali menggagas serikat. Namun teman-teman outsourcing masih merasakan euforia; mereka merasa santai bekerja dan tidak ambil pusing dengan pelanggaran ketenaga-kerjaan. Ditambah sulitnya mencari kerja di sektor formal. Kenyataan itu menyulitkan saya ‘menularkan’ gagasan membentuk serikat buruh.

Menyemai Benih Serikat dan Mengenal FSP PPMI SPSI

Pada November 2012, PT Jasa Marga mengalihkan penyedia jasa dari koperasi ke PT Multi Adhi Perkasa (MAP) untuk jabatan pengemudi ambulans sebanyak 18 orang, pengemudi shuttle/pool 6 orang, dan penge-mudi keamanan dan ketertiban 4 orang. Perpindahan

vendor secara otomatis mengubah masa kerja menjadi

nol tahun. Para buruh pun diminta membuat lamaran kerja baru. Atas peristiwa itu saya berharap para buruh melakukan protes dan keberatan. Jika saja ada buruh yang melakukannya maka saya akan siap membantunya. Namun mereka diam, menerima, dan mengikuti proses itu. Ternyata ada seorang teman yang begitu tertarik dengan rentetan peristiwa di atas. Bung Abdul Matin namanya. Dia adalah pengemudi kendaraan operasional. Setiap hari dia mengantar buruh yang berangkat dan pulang kerja dari gerbang tol yang satu ke gerbang tol yang lain. Bung Matin bekerja di Jasa Marga lebih awal dari saya yaitu dari 2003 sampai sekarang. Awalnya dia bekerja di bagian Pultol gardu, namun pada 2008 pindah ke pengemudi shuttle/pool. Dia menikah sekitar 2007 dengan salah satu teman kerjanya dan dikaruniai 4 orang putra.

Jarak rumah kami relatif dekat. Sejak perkenalan itu kami saling mengunjungi. Bung Matin memiliki ke-luarga yang berlatar belakang wirausahawan. Kerap kali terlihat kesibukan di rumahnya. Dari melayani isi ulang air mineral, menyabit rumput untuk kambingnya, menggoreng kerupuk untuk dipasok ke warung-warung sampai menggiling kacang kedelai untuk dibuat tahu. Saya begitu kagum melihat kemampuan, kemauan dan usahanya berniaga.

Acapkali saya sering berdiskusi tentang masalah buruh outsourcing dengannya. Dari perbincangan itu ga-gasan membentuk serikat buruh semakin nyata. Saya berinisiatif mengundang teman-teman outsourcing un-tuk berkumpul, membangun komunikasi, menyampai-kan permasalahan ketenagakerjaan yang dialami dan bagaimana kita membangun kekuatan. Mayoritas teman-teman menganggap tujuan dan cara yang saya sampai-kan terlalu berat dan berisiko. Di samping itu mereka menyadari lawan dihadapi adalah perusahaan negara. Kumpulan sekelompok orang itu kembali hanya menjadi paguyuban yang masih belum jelas arah dan tujuannya. Di samping kurangnya pengalaman serta bimbingan tera-sa tera-sangat sulit sekali menggagas sebuah serikat buruh.

Rasa penasaran saya tidak berhenti. Bersama Bung Matin saya mencoba berkomunikasi dengan teman-teman Jasa Marga Cabang Jakarta-Cikampek. Ternyata terdapat persamaan permasalahan, yaitu sama-sama berstatus outsourcing dan setumpuk permasalahan lain-nya. Inilah yang menumbuhkan hubungan emosional begitu kuat.

Dari Jasa Marga Jakarta-Cikampek saya diper-kenalkan dengan federasi serikat pekerja percetakan, penerbitan, media informasi serikat pekerja seluruh indonesia(SP PPMI-SPSI) Bekasi.

Waktu itu, sekitar 2013, FSP PPMI berkantor di Perumahan Margahayu, disebut dengan basecamp. Saya bertemu dengan Bung Samsuri yang menjadi salah satu Pengurus Cabang PPMI Bekasi. Bung Samsuri sikapnya terbuka, sederhana, realistis dan kaya dengan pengala-man sebagai buruh. Saya merasa klop. Seperti pepatah

“Apabila muridnya telah siap, maka sang guru akan datang

memberikan ilmunya.” Saya merasa inilah orang dan

Tidak seperti teman-teman Jakarta-Cikampek (Japek) yang lebih dulu bergabung dan membentuk Pimpinan Unit Kerja (PUK), saya dan teman-teman

out-sourcing mengundang PC FSP PPMI Bekasi untuk

mem-bantu mendirikan serikat.

Pada 20 Mei 2013 kami mengundang Bung Sam-suri dan Bung Tommy Eko ke Sekolah Dasar Negeri Cimareme Ngamprah Bandung Barat. Saat itu pula kami membentuk dan mengukuhkan kepengurusan untuk di-catatkan ke Disnaker Kota Bandung. Saat itu yang hadir hanya 12 orang. Saya didaulat menjadi ketua PUK.

Dua bulan setelah pengukuhan, kami menggelar pendidikan dasar selama satu hari penuh, yang diikuti 6 peserta. Bung Samsuri menemani kami belajar. Kami mempelajari tentang sejarah, pengorganisasian, dan ma-teri-materi dasar lainnya. Kami berharap setelah pen-didikan akan bertambah banyak anggota yang terlibat. Pada 18 September, umur kami dianggap cukup. Kami pun mengirimkan surat pemberitahuan ke PT Jasa Marga Bandung tentang pendirian serikat, PUK FSP PPMI SPSI.

Perlahan saya pun diperkenalkan ke PUK-PUK FSP PPMI. PUK-PUK semuanya berasal dari perusa-haan swasta. Kami mulai terlibat rapat, berkoordinasi, dan berdiskusi tentang perburuhan dengan PUK lain. Saya pun mulai belajar berbicara di depan banyak orang. Saya mulai mengenal keadaan perburuan di pabrik ternyata tidak jauh berbeda. Semangat saya pun kian

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 97-145)