• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Penyadaran Seorang Pemimpin Buruh

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 27-45)

Oleh: Agus Japar Sidik

“Kurawa.. !!! Kurawa..!!! Kurawa..!!!”

D

engan berjalan tergesa-gesa dan wajah tegang seorang buruh meneriakkan nama tadi, dan de-ngan serta merta buruh-buruh yang berkumpul termasuk aku yang awalnya sedang bersantai, bercerita

ngalor-ngidul sambil tertawa-tawa pun, akhirnya bubar

ke segala arah. Berlari meninggalkan lokasi. Yang pen-ting bagi kami adalah tidak bertemu dengan Si “Kurawa“ dalam kondisi tidak melakukan aktifitas. Siapa pun kalau bertemu Si Kurawa dalam kondisi tidak melaku-kan pekerjaan maka amelaku-kan diberimelaku-kan sanksi dan siap-siap saja ter-PHK. Jika buruh tersebut menurut Si Kurawa sudah mendapatkan sanksi sebelumnya atau terkena akumulasi sanksi, maka si Kurawa melalui HRD akan mendesak buruh tadi untuk mengundurkan diri. Sudah banyak teman kami yang menjadi korban PHK.

PT. Toyobo Knitting Indonesia, tempatku bekerja, adalah perusahaan multinasional yang bergerak di bi-dang tekstil. Tujuan produk jadinya adalah ekspor, khususnya ke Jepang dan negara-negara di Asia dengan empat musim. Produknya berstandar tinggi dan berte-knologi khusus, dengan jumlah karyawan sebanyak 450 orang yang terbagi dalam beberapa grup kerja.

Perubahan kondisi di Toyobo dimulai ketika pe-rusahaan menerapkan program efisiensi, bertepatan dengan kedatangan Hirakawa. Hirakawa adalah sosok orang Jepang yang sangat disiplin, pekerja keras, dan taat akan perintah atasan. Selain bermuka dingin tanpa senyum, menurutku Hirakawa adalah orang yang keras kepala. Dan karena hal itulah kami, para operator, me-nyebutnya dengan nama “Kurawa”.1

Awalnya perusahaan masih memberikan tawaran kepada buruh yang sudah jenuh untuk mengundurkan diri dengan kompensasi sesuai ketentuan. Tetapi ke-mudian tawaran tersebut diubah lantaran banyaknya buruh yang mengajukan diri. Kompensasi diturunkan sampai dengan 3x upah. Mulai dari sanalah konflik ter-jadi. Perusahaan mulai menjalankan strategi baru, yaitu memecat para buruhnya tanpa mengeluarkan uang dengan strategi memberikan Surat Peringatan (SP) ke-pada buruh yang dianggap melakukan kesalahan. Dengan akumulai SP, perusahaan dapat mendesak buruh yang bersangkutan untuk mengundurkan diri.

Itulah perubahan kondisi yang terjadi di Toyobo, yang tadinya menyenangkan karena bebas ngobrol de-ngan lepas pada jam kerja, bisa istirahat dede-ngan bebas 1 Selain dekat secara bunyi, para buruh menyebut Hirakawa sebagai Kurawa juga merupakan bentuk ejekan. Dalam lakon wayang Mahabharata, Kurawa adalah kelompok raksasa jahat pihak antagonis.

pada jam kerja, bisa mengunakan fasilitas perusahaan sesuai kebutuhan, bisa lembur sesuai keinginan, beru-bah 180 derajat setelah kedatangan ekspatriat yang ber-nama Hirakawa.

Secara perlahan tapi pasti akhirnya kondisi yang terjadi di Toyobo membuatku tertekan secara psikologis. Setelah beberapa kali ngobrol, aku dan istriku akhirnya sepakat jika ada tawaran PHK meskipun itu hanya setengah dari ketentuan maka tawaran tersebut akan kuterima. Meskipun aku dan istriku yakin bahwa nilai kompensasi itu tidak akan cukup untuk memulai hidup baru di kota kelahiran mertuaku, Garut.

Tetapi harapan tinggal harapan karena tawaran PHK tersebut tidak kunjung datang. Dengan perasaan yang tambah tertekan karena dihadapkan dengan kondisi yang semakin tidak nyaman akhirnya muncul penilaian-ku terhadap kondisi yang ada. Sanksi-sanksi yang di-berikan atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh buruh sebenarnya bukan mutlak kesalahan buruh. Tidak ada sosialisasi selama bertahun-tahun yang se-harusnya dilakukan manajemen sehingga operator tidak memahami kesalahannya. Kesalahan-kesalahan yang di-lakukan operator kerap dibiarkan selama bertahun-tahun, sehingga operator menganggap apa yang dilakukannya tidak salah. Perusahaan salah dalam proses rekrutmen manajemen karena memperkerjakan orang yang tidak ber-kompeten yang tidak paham bahwa kedisiplinan harus disosialisasikan. Pihak manajemen yang seharusnya ber-usaha keras agar kedisiplinan diterapkan di lingkungan kerja melalui metode-metode. Nyatanya, justru manaje-men yang memberikan contoh tidak baik bagi operator. Misalnya, tidak memakai seragam kerja ketika lembur, sekedar membaca koran ketika lembur, berlama-lama di ruang makan meskipun jam istirahat sudah habis.

Dalam penilaianku atas situasi yang terjadi, manajemen Toyobo adalah orang-orang tidak cakap akan tugas-tugasnya. Kerja mereka hanya fokus pada bagaimana caranya bisa merealisasikan keinginan atasan mereka tanpa mau memikirkan keluhan-keluhan pe-kerjanya. Dan itulah pekerjaan para “pecundang“. Seri-kat Pekerja di Toyobo adalah seriSeri-kat yang tidak dapat melaksanakan fungsinya karena tidak bisa melindungi anggotanya ketika diperlakukan tidak adil oleh Peru-sahaan. Bagaimana seorang ketua Serikat akan dapat melaksanakan fungsinya, yaitu memimpin perjuangan kesejahteran anggotanya dalam perundingan-perundi-ngan, jika berpapasan dengan Hirakawa saja dia malah menghindar. Bahwa HRD Toyobo sama sekali tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai HRD ka-rena selalu patuh akan keinginan ekspatriat meskipun kepatuhannya itu bertentangan dengan hukum. Dan itulah pekerjaan para “Pengkhianat“. Hal itu dapat dili-hat ketika HRD mengamini keinginan Hirakawa untuk memecat buruh tanpa memberikan kesempatan kepada buruh yang bersangkutan untuk memperbaiki diri. Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang.2 Hirakawa sangat mengerti kondisi di Toyobo. Mulai dari tidak adanya sosialisasi tentang kedisiplinan sehingga buruh tidak mengetahui kewajiban-kewajibannya, ketidakpahaman buruh akan hukum, keluguan para buruh dalam menerima sanksi, ketidakpedulian manajemen pada operatornya, ketidak-becusan/ketakutan HRD untuk menegur ekspatriat se-perti dirinya meskipun perintahnya bertentangan dengan 2 Dalam UU no 13 tahun 2003 disebutkan bahwa semua pihak harus menghindari terjadinya PHK dengan dilaksanakannya upaya-upaya dan apabila PHK tersebut tidak bisa dihindari maka keputusan PHK tersebut harus dengan sepengetahuan Dinas Tenaga Kerja.

hukum, hingga ketidakberdayaan Serikat Pekerja dalam melindungi anggotanya. Itulah pekerjaan “Penjajah!“.

Atas penilaian itu, maka aku berpendapat bahwa situasi yang terjadi tidak bisa dibiarkan dan harus diubah.

Tetapi apakah bisa diubah?

Dan sebenarnya siapa yang harus mengubahnya? Dari pertanyaan-pertanyaan tadi dan melalui re-nungan-renungan, hanya satu nama yang melintas di-benakku: serikat. Berdasarkan informasi yang aku terima, baik dari selebaran-selebaran atau pun obrolan dengan tetangga, tidak ada organisasi lain selain serikat yang bisa dijadikan alat perjuangan oleh buruh ketika buruh ingin mengubah nasibnya. Meskipun kenyatannya seri-kat di Toyobo sudah tidak berdaya di hadapan Hirakawa. Beberapa hari setelah renungan maka sebagai lang-kah awal keinginanku untuk mengubah keadaan. Sele-pas makan siang Aku mencoba berkomunikasi dengan Maulana, ketua Serikat Pekerja Anggota PT. Toyobo (SPA Toyobo). Siang itu kebetulan hari sangat cerah sekali, malah terasa sangat panas. Setelah menyelesai-kan mamenyelesai-kan siangku aku mencoba larut dalam obrolan-obrolan yang biasa dilakukan para buruh selepas makan siang. Sambil menunggu kedatangan Maulana yang biasa-nya datang belakangan. Setelah beberapa saat, datanglah Maulana. Saya tetap melanjutkan obrolan sambil me-nunggu Maulana selesai makan. Setelah ia selesai makan, aku dengan segera menghampirinya.

“Tumben makannya telat mas?” ”Aku biasa jam segini, sholat dulu.”

“Ngomong-ngomong si Kurawa gimana mas? Kok PHK gampang amat..?”

“Yah… Salah anggota kita sendiri kenapa berulah, sudah tahu si Kurawa orangnya seperti itu..”

“Salah sih salah mas tapi kan ada prosedurnya? Nggak bisa main pecat saja.”

“Orang anggota kita sendiri kok yang mau kena PHK, buktinya mereka tanda tangan..”

“Tapi PHK itu kan ada prosedurnya? Teman saya yang kerja di Bridgestone ketika di-PHK dapat duit. PHK itu tidak semudah seperti di Toyobo kan..?”

“Buruh di-PHK itu karena melakukan kesalahan.. Ya termasuk anggota kita..”

“Iya sih tapi pertanyaanya apakah hal itu akan dibiarkan? Kan serikat punya hak untuk memperjuangkan anggotanya.”

“Anggota yang mana dulu yang harus kita bela, kalau seperti itu kelakuannya saya juga malu untuk memperjuangkannya.”

“Terus gimana mas?”

“Entahlah, saya masuk dulu yah..”

Seperti itulah komunikasiku dengan Maulana. Dari komunikasi itu aku menilai Maulana atas nama SPA Toyobo menyatakan tidak bisa berbuat apa-apa atau pasrah menerima keputusan Hirakawa. Dengan rasa kecewa akhirnya pikiranku secara otomatis sudah melayang-layang mencari-cari pihak lain yang bisa di-andalkan.

Dalam perjalanan pulang, seminggu setelah ko-munikasi dengan Maulana, saya mendengar seseorang menegur saya.

“Dari Toyobo yah..?”

Itulah teguran yang aku yakin ditujukan padaku karena aku memakai seragam Toyobo.

“Ini ada surat dari Federasi untuk Toyobo. Saya sudah hubungi Pengurus Toyobo untuk mengambil surat tapi sampai sekarang belum ada yang mengam-bilnya, Padahal acaranya besok mas.”

“Okay. Kasih ke aku aja, nanti aku sampaikan lang-sung ke pengurus.”

“Atau mas saja yang hadir, daripada nggak ada pengurus Toyobo yang datang..”

“Tapi aku bukan pengurus mas..”

“Ya nggak harus pengurus, kamu juga bisa hadir meskipun anggota biasa.”

Mendengar jawaban tadi Aku termenung bebera-pa saat dan langsung muncul pertanyaan di benakku: berarti Federasi membuka peluang kepada anggota di tingkat pabrik untuk terlibat di kegiatan Federasi. Tapi seingatku aku belum pernah menerima ajakan-ajakan baik dari pengurus ataupun ketua serikat.

“Gimana?”

Pertanyaan itu yang kembali menyadarkanku. “Okay mas, lihat bagaimana besok saja..”

Sesampai di rumah, setelah melakukan beberapa aktifitas aku teringat surat yang dititipkan kepadaku. Setelah membuka amplonya yang kebetulan tidak dilem akhirnya aku bisa mengetahui surat itu adalah undangan pelaksanaan rapat koordinasi perayaan Hari Buruh. Aku pun teringat kembali ajakan untuk mengi-kuti rapat tersebut. Setelah berpikir beberapa saat dan dengan mempertimbangkan siapa tahu Federasi bisa membantu memecahkan masalah yang terjadi di Toyobo, maka aku memutuskan untuk hadir dalam rapat tersebut.

Dari jarak beberapa meter aku sudah bisa meli-hat sebuah rumah yang di halamannya sudah terparkir lebih dari sepuluh motor. Terdengar berbagai macam

suara yang menandakan ada beberapa kelompok orang yang sedang mengobrol. Setelah mengucapkan salam, aku pun masuk meskipun harus dengan sedikit ber-hati-hati untuk melangkah karena ruangannya sudah disesaki orang-orang. Aku kemudian memosisikan diri di sudut ruangan. Sebagai orang baru, aku mencoba menyesuaikan diri dengan suasana yang sangat tidak nyaman. Tempat yang tidak terlalu luas itu diisi oleh sekitar 30 orang. Hanya terdapat satu kipas angin un-tuk membantu mendinginkan ruangan. Ketika sedang asik memperhatikan kelompok orang-orang dengan berbagai tema yang dibahas dan tidak lepas dari tema perburuhan, seseorang menyapaku.

“Nah gitu dong, datang ke sekretariat biar tahu perkembangan perburuhan.”

Aku pun melirik ke arah suara itu, karena selain aku yakin pertanyaan itu ditujukan kepadaku, aku pun ingat suara siapa itu. Ia yang memintaku untuk menyampai-kan surat undangan kepada Ketua SPA Toyobo. Setelah terlibat pembicaran dengannya baru aku ketahui bahwa dia bernama Supri yang ditugasi oleh Federasi sebagai kurir dan tinggal di Sekretariat. Meskipun dalam rapat pertamaku itu, banyak hal-hal yang belum aku menger-ti—yang berakibat kepalaku pusing selama tiga hari— tetapi sejak hari itulah tumbuh semangat pada diriku. Jika aku ingin menyelesaikan permasalahan di Toyobo maka aku harus sering datang ke Sekretariat.

Berbekal pengetahuan dari beberapa kali mengi-kuti rapat di Sekretariat dan berkat informasi dari salah satu pengurus Federasi bernama Khamid, maka setiap aku bertemu dengan Pengurus SPA Toyobo, terutama Ketua, aku terus mengingatkan bahwa serikat tidak boleh membiarkan situasi yang terjadi. Aku juga me-ngajak para pengurus serikat untuk datang berdiskusi

ke Sekretariat dalam rangka memecahkan permasala-han yang terjadi. Tetapi harapan tinggal harapan, karena setelah berkali-kali diajak tetap saja pengurus tidak mengikuti saran yang kuusulkan. Padahal kondisi se-makin parah karena sese-makin banyak saja buruh yang kena PHK.

Karena pembiaran dan tidak adanya perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Hirakawa yang se-makin merajalela. Para buruh menjadi sese-makin terte-kan. Akhirnya pada Senin, 30 September 2008 dari jam 07 s/d jam 12.00 terjadilah mogok spontan yang dilaku-kan oleh buruh yang pulang shift malam dan yang shift pagi di dua departemen, yaitu Knitting dan Processing, karena hanya 2 departemen itu saja yang jam kerjanya sampai shift malam. Karena keputusan mogok tersebut hanya didasari emosi dan tidak direncanakan dengan baik, maka sudah dapat dipastikan bahwa dampak dari mogok spontan tersebut tidak membuat perubahan yang lebih baik untuk buruh di Toyobo.

Mogok spontan tersebut malah membuat Hirakawa bertambah kepercayaan dirinya untuk lebih kejam dan sewenang-wenang. 30 orang buruh yang mengikutinya mendapatkan sanksi tidak dibayar upah dan 8 orang didemosi. Lebih parah lagi, 13 buruh pada akhirnya dipecat karena sebelumnya sudah mendapatkan Su-rat Peringatan 2 dan 3. Akhirnya dampak dari mogok spontan tersebut membuat buruh semakin tertekan lagi psikologinya. Meskipun undang-undang menyata-kan sanksi dari mogok hanya tidak dibayarmenyata-kan upah, kenyataannya di Toyobo sanksi dari mogok bisa lebih berat—malah bisa menyebabkan seseorang dipecat. Hal ini semakin mempertebal keyakinan para buruh bahwa Hirakawa bisa berbuat apapun. Dan serikat se-makin menunjukan ketidakberdayaannya karena tidak

mampu menolak atau menghadang sanksi perusahaan. Padahal sanksi tersebut tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Tetapi keadaan yang ada bukan membuat sema-ngatku menjadi mundur, malah membuat semasema-ngatku untuk melawan Hirakawa semakin berkobar karena aku tambah yakin ada sesuatu yang salah di Toyobo. Dan sesuatu yang salah itu tidak bisa dibiarkan karena dampaknya akan sangat dirasakan oleh para buruh. Semangat untuk terus melawan itu lebih memotivasi-ku untuk belajar agar amemotivasi-ku bisa lebih cepat memahami tetang ilmu-ilmu perburuhan. Harapannya, dengan de-mikian aku pun akan lebih cepat lagi mengubah keadaan.

Dengan tekad yang bulat dan atas dasar menghar-gai Serikat, aku mengajukan diri untuk didelegasikan sebagai peserta untuk mengikuti program pendidikan yang dicanangkan Federasi kepada Ketua. Seperti yang kuprediksi, keinginanku langsung dikabulkan karena belum ada orang yang mau untuk mengikuti agenda-agenda di Federasi termasuk Ketua sendiri.

Mulai dari hari itulah aku mulai menjalankan tekadku untuk belajar ilmu-ilmu perburuhan dengan terus hadir di Federasi. Tema-tema kursus pendidikan yang aku ikuti di Federasi antara lain pendidikan ad-ministrasi organisasi buruh, aksi masa, kepemimpinan, advokasi, dan lain-lain. Meskipun harus kuakui bahwa dari berbagai pendidikan yang kuikuti masih banyak yang belum kupahami. Ini karena hanya aku sendiri dari perwakilan Toyobo yang mengikuti kursus-kursus tadi, sehingga di tempatku bekerja tidak ada teman yang bisa aku ajak untuk berdiskusi ketika aku masih bingung untuk mencerna apa-apa yang aku dapat pada kursus-kursus tadi. Tetapi kembali situasi yang ada tidak membuat semangatku kendor dan aku terus

mengikuti kursus-kursus tadi meskipun bukan hanya banyak yang belum aku mengerti, tetapi juga sangat memakan waktu karena setiap jenis pendidikan rata-rata memakan waktu lebih dari 3 bulan. Sebagai contoh pendidikan advokasi memakan waktu sampai 6 bulan dan dengan sabar aku harus melewatinya.

Di tengah perjuanganku untuk tetap mengikuti kursus-kursus di Federasi, mulailah saatnya aku masuk ke perjuangan sebenarnya. Aku diminta oleh Ketua un-tuk menggantikan posisi Sekretaris yang tidak aktif ka-rena nyalinya sudah melayang entah kemana. Aku pun mau tidak mau harus berhadapan dengan Hirakawa ketika aku diminta untuk hadir dalam pertemuan yang dihadiri oleh wakil perusahaan, yaitu Hirakawa dan Ganis. Ganis adalah seorang kaki tangan Hirakawa dengan jabatan manager HRD yang sangat melindungi posisinya sehingga dia dengan rela dan sadar mengi-kuti keinginan Hirakawa meskipun itu bertentangan dengan ketentuan hukum.

Hari itu Rabu jam 10 pagi di bulan November ta-hun 2008, tepatnya di meeting room office depan, pertama kalinya aku terlibat di perundingan meskipun peranan-ku sangat terbatas karena harus foperanan-kus membuat notulen-si. Tetapi di sanalah aku pertama kali berhadap-hadapan langsung dengan orang yang bernama Hirakawa yang menurut kawan-kawanku sangat kejam. Tetapi kesan itu sangat tidak berlaku bagiku. Karena berdasarkan pema-hamanku, ditambah kursus-kursus yang telah aku dapat-kan, kesan itu sama sekali tidak boleh mempengaruhiku karena merupakan hal yang tidak pantas. Aku berpen-dapat Hirakawa boleh mengesankan kejam, berperilaku kejam terhadap orang lain, tapi jangan pernah hal itu di-tunjukkan dan dilakukan kepadaku karena aku berjanji pada diriku aku tidak akan pernah mengizinkannya.

Dua minggu setelahnya kembali dilaksanakan pe-rundingan dan aku pun hadir di dalamnya. Dimulai dari pertemuan itu aku sudah berani mengeluarkan pen-dapat. Dan secara riil pendapat-pendapatku membuat warna yang berbeda. Perundingan-perundingan biasa-nya habiasa-nya digunakan sebagai ajang pemaksaan oleh perusahaan agar melalui kewenangan Serikat keputu-san perusahaan dapat dilakkeputu-sanakan. Keputukeputu-san-kepu- Keputusan-kepu-tusannya bisa dipastikan akan lebih menyengsarakan buruh. Aku pun ingin dengan kehadiranku di tiap-tiap perundingan, aku dapat menahan laju kesewenang-wenangan Hirakawa.

Dengan aktifnya aku di Serikat membawa suasana yang berbeda di Toyobo. Maka pada awal Desember 2008 sebagai bentuk intimidasi mulailah perusahaan mel-akukan mutasi terhadapku. Aku menerimanya meskipun aku tahu pasti mutasi tersebut akan sangat berdampak pada kondisi keuangan keluargaku. Harapan untuk menambah penghasilan dari overtime akan sirna, dan dengan tidak adanya upah overtime maka bukan aku saja yang harus mengencangkan sabuk tapi keluargaku pun harus melakukan hal yang sama. Seringkali untuk menyiasati kondisi keuangan, istriku mencampurkan tepung terigu ke dalam kocokan telur dadar agar telur dadar tersebut cukup untuk dikonsumsi oleh aku, is-triku dan anakku. Dan seringkali isis-triku makan setelah aku dan anakku selesai makan untuk memastikan aku dan anakku kenyang. Sering juga istriku tidak makan ka-rena makanannya sudah habis. Tetapi berkat kesabaran dari keluarga, terutama dari istriku, dan keyakinan bahwa perjuanganku ada dalam rel yang benar maka aku dan keluargaku bisa melewatinya dengan baik. Malah muncul rasa syukur karena dengan kondisi yang pas-pasan ternyata aku dapat melunasi

hutang-hu-tangku yang awalnya tidak terbayar meskipun dalam kondisi banyak overtime.

Dari proses mutasiku, aku pun mulai sadar bahwa perjuangan pasti akan butuh pengorbanan. Bukan hanya dari orang bersangkutan, tetapi akan menuntut hal yang sama dari keluarganya.

Dengan seringnya aku mengikuti perundingan-perundingan, rapat-rapat Serikat, dan mengeluarkan ide-ide yang juga dapat dimengerti oleh pengurus dan anggota, yang secara otomatis membuat mereka percaya kepadaku. Maka pada masa-masa berakhirnya kepengu-rusan Serikat yang selalu diikuti dengan agenda pemili-han Ketua dan Struktur, dengan serta merta aku terpilih menjadi salah satu calon Ketua. Berkat kepercayaan dan dukungan dari anggota terutama anggota yang mempu-nyai posisi cukup penting di bagian-bagiannya, akhirnya pada Mei 2009 aku terpilih menjadi Ketua.

Setelah aku terpilih sebagai Ketua aku pun menyadari bahwa ada rintangan yang lebih besar lagi yang harus aku benahi agar organisasi yang aku pimpin sekarang ini tidak mengalami kondisi yang dulu (tidak berdaya di hadapan manajemen). Organisasi yang aku pimpin harus bisa berjalan sesuai dengan fungsinya, yaitu or-ganisasi yang bisa mensejahterakan anggota-nya. Maka sesuai dengan pemahamanku, aku mulai mengajak struk-tur dalam serikat untuk mengikuti langkah-langkah yang pernah aku jalani, yaitu dengan mendorong mereka me-ngikuti program-program pendidikan yang diselang-garakan oleh Federasi. Aku yakin dengan pemahaman yang dibangun melalui berbagai pendidikan maka de-ngan sendirinya organisasi akan berjalan sesuai dede-ngan fungsinya.

Tapi keinginan kembali tinggal keinginan karena ajakanku kepada struktur organisasi tidak dijalankan.

Mereka tetap tidak mengikuti pendidikan yang sudah diprogramkan dengan berbagai alasan seperti tidak ada waktu, sibuk cari tambahan, anak rewel, bantu isteri, dan lain-lain. Dengan kondisi seperti ini dan karena pengalamanku sebagai ketua masih seumur jagung, mentalku kembali tertekan. Tetapi berkat dorongan federasi yang mengetahui kondisiku, melalui obrolan-obrolan ringan yang tujuannya adalah memberikan solusi-solusi, maka kembali aku mencoba mencari per-masalahan kenapa orang-orang di serikat enggan un-tuk mengikuti program-program pendidikan. Melalui obrolan-obrolan ringan itu akhirnya aku mendapatkan jawabannya, yaitu hanya karena tidak adanya ongkos yang diberikan organisasi.

Berdasarkan jawaban tadi aku pun menginstruk-sikan kepada bendahara untuk menganggarkan dana untuk diberikan kepada orang-orang yang mengikuti pendidikan. Tetapi kembali aku mendapatkan

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 27-45)