• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hidup mandiri di Perantauan

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 147-152)

Membangun Kekuatan Buruh Dengan Berserikat

2. Hidup mandiri di Perantauan

Tinggal menumpang di keluarga bibi, Heri merasa serba salah, serba canggung tak menentu. Hingga suatu kali di rumah itu Heri berjumpa Sentot sepupunya. Ya, Sentot adalah anak sulung dari bibi. Sentot bekerja di Kalimantan dan sedang mengambil cuti untuk merayakan Natal dan tahun baru bersama keluarga.

”Dik Sentot aku ikut kerja di Kalimantan, ya.,” ujar Heri kepada Sentot yang sedang mencuci motor di depan teras rumah.

“Ngomong dulu sama ibumu biar aku nggak disalah-kan, mas,” jawab Sentot.

Januari 1996, Heri bersama Sentot berangkat menuju Kalimantan. Heri menghadapi situasi yang benar-benar baru ketika bekerja di sebuah perusahaan kayu lapis di Gambut, Kalimantan selatan. Tapi kota yang asing dan budaya yang berbeda membuat Heri tidak betah, dan memutuskan kembali ke Jogja.

”Kan aku udah bilang, mas. Kerja itu nggak ada yang enak. Tapi kalo memang mas Heri mau pulang bulan depan, yah…, aku belum bisa beliin tiket,” kata Sentot pelan

”Iya dik Sentot, nggak papa”

Heri kembali ke Jogja, kembali tinggal di rumah bibi, yang membuatnya sungkan. Dia mulai sering be-pergian ke luar rumah. Heri kemudian berteman de-ngan Dadang, pedagang poster dan gambar kaligrafi asal Tasikmalaya (yang pada masa itu sedang banyak digemari). Heri berteman dekat dengan Dadang, meski-pun Dadang sebenarnya terlalu tua untuk menjadi sa-habatnya. Tetapi kekraban tetaplah keakraban.

“Her, minggu depan aku pulang ke Tasikmalaya, dan nggak kembali lagi ke Jogja. Aku mau usaha di Tasik”

“Mang Dadang, aku boleh ikut?” tanya Heri merajuk. 3. Kerasnya hidup jauh dari sanak keluarga.

Heri baru saja memenangkan satu langkah, memilih untuk hidup bebas dari kekangan karena tinggal menum-pang di rumah kerabat, tetapi belum tahu bagaimana cara untuk memenangkan hidup, untuk mencari ma-kan sendiri tanpa campur-tangan keluarga. Keadaan bertambah berat karena saat itu krisis moneter sedang melanda. Harga sembako melambung. Dan hidup di Tasikmalaya ternyata tidak semudah yang dia bayang-kan semula. Heri tinggal di rumah Dadang yang kecil dan sumpek. Sementara itu dia juga harus membantu Dadang yang berjualan di Pasar Cineam.

”Mang Dadang punya kenalan tidak di Bandung?” suatu kali Heri bertanya.

“Saya butuh kerjaan, mang.”

Pada suatu sore, usai bekerja di pasar, Dadang mengantarkan Heri ke Nagreg, sebuah desa di kabu-paten Bandung. Dadang memperkenalkan Heri dengan Pepen.

“Kalo Heri mau ikut kerja di PT sama saya, bikin persyaratan dulu.Heri ijazahnya apa?” tanya Pepen.

“Aku lulus SMA, pak. Tetapi ijazahnya aku belum ambil. Gak kebawa, gimana ya?”

Tiga hari kemudian dengan motor pinjaman Pepen, Heri Heri menemui Mang Apuy, koordinator ojek di pangkalan Serewen, di depan Asrama Batalion Infan-teri (Yonif) 330, Cicalengka. Berkat pertolongan Mang Apuy, mulailah Heri mangkal di Serewen sebagai tu-kang ojek. Pendapatan Heri tidak menentu, tapi masih cukup untuk sewa motor dan iuran ojek, mencukupi kebutuhan makan dan membeli rokok.

Hidup yang tidak mudah dan lingkungan yang keras mulai mengubah Heri yang dulu anak yang pe-nurut dan ramah.Heri mulai berteman dengan banyak tentara anggota Yonif 330, supir angkutan kota, dan preman, dan tidak bisa menghindar untuk mengikuti pula gaya hidup mereka. Dia mulai mengenal minuman keras, kembali kehilangan arah, dan menghalalkan sega-la cara untuk mendapatkan uang. Pekerjaan kotor dan jahat pun dia jalani demi uang.

Suatu hari di bulan November 1997 Heri melihat tiga buah truk, penuh berisi tentara berpakaian lapangan lengkap, keluar dari pintu gerbang markas tentara dan melaju ke arah barat.

“Ada bakar-bakaran di Kahatex, Her.Buruhna daremo

anarkis,”3 Mang Apuy menjelasakan. 3 “Banyak buruhnya berdemonstrasi anarkis.”

“He.. he.., dasar nggak tau diuntung. Sudah dapat kerjaan masih pada bikin ulah. Bikin kacau saja“ timpal Heri dengan sinis.

Hari-berganti, waktu terus berjalan, hingga De-sember datang. Heri lalu mengenang, pada DeDe-sember tahun-tahun sebelumnya biasanya dia berkumpul ber-sama keluarga, menyambut Natal dan tahun baru. Tapi Desember tahun ini dia hanya bersenang-senang tanpa tanpa arah. Menghabiskan waktu bersama para penjudi, sambil sesekali ikut berjudi. Kamar sewanya di daerah Citaman dia gunakan untuk berkumpul bersama teman-teman, dan berjudi. Dari situlah dia mendapatkan uang mudah. Uang mudah didapat, tapi Heri mulai bosan.

Dua bulan kemudian Heri berjumpa dengan Sukirno, tentara yang waktu itu dipercaya mengkoordinir penga-manan PT Kahatex.

“Pakde, bisa nyariin kerja enggak di pabrik?” tanya Heri.

“Aku baru selesai piket, Her. Nantilah, kalo pas

ngepam,4 kamu ikut aku.”

Pakdhe Kirno tidak melupakan janjinya. Sore itu dia sengaja singgah ke rumah sewaan Heri.

“Besok jam sembilan pagi kamu siap-siap. Nanti saya jemput. Oh, yo. Pakaian sing rapi Her. Besok kita ke Kahatex.”

“Oke, siap pakdhe,” Heri menyambut dengan riang. Keesokan harinya pakdhe Kirno membawa Heri ke Kahatex, untuk dijumpakan dengan seorang lelaki tegap bermata sipit berkulit kuning yang dipanggil koh Seno.5 4 Maksudnya, bertugas menjaga keamanan. Dari kata pam,

akro-nim militer untuk pengamanan.

“Koh, ini mau nitip ponakanku mau ikut kerja, tapi dia gak punya ijazah.”

Lelaki berbincang-bincang dengan pakdhe Kirno, sambil matanya menatap Heri. Dua jam kemudian mereka berdua selesai berbincang. Pakdhe Kirno ber-pamit pulang

“Her, kamu ikut aja apa kata koh Seno. Dia orang-nya percaya sama pakdhe. Kamu jangan bikin malu pakdhe”

“Siap, pakdhe.‘

Sambil menyodorkan sebuah formulir ijin ting-gal di mess, Koh Seno berkata, “Kamu sekarang ke mess dulu. Bilang ke satpam, disuruh Suseno untuk tinggal di mess. Besok sebelum jam tujuh pagi kamu cari saya di Spinning 8.” Suseno rupanya adalah Kepala Bagian Spinning 8 (pintal).

Sesuai arahan Suseno, keesokan harinya sebelum jam tujuh pagi Heri bergegas menuju pabrik, mencari letak Departemen Spinning 8. Diketemukannya sebuah ruangan dengan banyak mesin terjajar rapi, tetapi dipe-nuhi sisa benang/kain majun yang berterbangan. Dili-hatnya perempuan-perempuan berseragam biru, dengan kain ciput penutup kepala, bercelemek biru, dengan masker penutup mulut. Semua menghadap ke mesin-mesin. Hampir semuanya perempuan. Banyak sekali, sangat banyak. Heri tidak paham yang mereka lakukan.

Akhirnya Heri tiba di kantor Departemen Spin-ning 8 dan bertemu koh Suseno. Belakangan Heri paham bahwa Suseno dikenal sebagai kepala bagian yang te-gas, dan dianggap kejam oleh buruh-buruh di Spinning 8. “Kamu mulai sekarang temani aja teh yani, dia di kantor spare parts”

“Udah kamu khan ponakanya pakdhe. Kamu duduk aja disitu bantu-bantu teh yani, sambil lihat kalau ada yang macam-macam lapor langsung ke aku. Kamu dengar, kan? Beberapa bulan yang lalu Kahatex dibakar sama mereka. Jangan sampai terulang lagi. Nanti bisa bangkrut Kahatex.”

“Oke, siap koh, “ kata Heri.

Heri menikmati pekerjaan barunya. Pekerjaannya ringan, walaupun membosankan.

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 147-152)