• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjalananku Hingga Menjadi Seorang Ketua Serikat Buruh

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 67-97)

Oleh: Dayat Hidayat

P

ara pembaca yang budiman, perkenankan aku sedikit membagi pengalaman dari perjalanan hidupku. Diawali dengan perihnya kehidupanku di dunia ini, hingga perjalanan-perjalanan lain yang me-ngantarku hingga menjadi seorang ketua serikat buruh.

Aku lahir di sebuah perkampungan di Rancaekek, Bandung, Jawa Barat. Keluargaku tidak cukup berada hanya keluarga yang sangat sederhana. Ayah ibuku buruh tani yang mengembangkan usaha-usaha lain se-perti memelihara ternak serta menjadi buruh maklunan barang di PT Indoneptunet, yang memproduksi jaring penangkap ikan. Aku kagum dengan perjuangan ayah ibuku dalam menghidupi keluarga karena mereka tipe pekerja keras.

Aku merupakan anak pertama. Pada saat aku tumbuh kembang seperti anak–anak lain, aku merupa-kan anak kesayangan ibuku, karena aku anak pertama.

Kemudian keluarga kami bertambah besar sesudah aku mempunyai dua adik perempuan. Aku anak laki–laki satu-satunya di keluargaku.

Pada waktu itu di kampungku terhampar sawah-sawah yang begitu luas. Sungainya jernih sekali bahkan ikan-ikan mudah sekali didapatkan oleh penduduk. Sekitar 1989, waktu aku masih duduk di kelas 5 SD, ke-hancuran kehidupan sudah dimulai. Di sebelah utara kampungku mulai didirikan pabrik-pabrik yang mem-produksi berbagai jenis barang. Saat itu, walau pabrik-pabrik sudah berdiri, air limbah pabrik-pabrik belum mengotori sungai di kampungku, sehingga aku beserta penduduk kampung masih bisa menggunakan air sungai untuk kebutuhan mencuci, mengairi sawah, dan terkadang dipakai sebagai tempat bermain anak-anak. Termasuk aku, yang gemar sekali mandi di kali itu.

Kondisi itu tidak bertahan lama. Beberapa bulan kemudian air sungai mulai berubah menjadi hitam dan berbau kimia. Rupanya sungai di kampungku mulai dialiri air limbah dari pabrik-pabrik di sebelah utara kampung. Pemandangan yang dulu indah dengan sawah-sawah yang terhampar luas berubah menjadi menjijikkan. Pe-sawahan berubah warna menjadi hitam dan padi tidak lagi tumbuh subur. Pada akhirnya sebagian pesawahan dijual oleh warga kampung, dan sekarang di kampung-ku berdiri perumahan-perumahan.

Para pembaca yang budiman, kisahku berlanjut pada tahun 1993, ketika aku menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Saat itu aku mulai merasakan pedih dalam menjalani kehidupan ini. Pada tahun itu ibuku tercinta wafat. Aku harus melanjutkan proses kehidupan ini tanpa seorang ibu yang begitu menyayangiku, dan aku hidup dengan seorang ayah serta dua adik perempuan.

Saat itu aku masih duduk di kelas tiga sekolah Tsanawiyah (setingkat SMP) Al Ikhlas, di kampung Jele-gong, desa Sukamulya Kecamatan Rancaekek. Aku se-dang menghadapi ujian kelulusan waktu ibuku menin-ggal dunia. Rasa frustrasi mulai hinggap di benakku dan keinginan mengejar cita-citapun sirna berbarengan dengan kepergian ibuku keharibaan Illahi. Tapi mau bagaimana. Memang takdir manusia telah ada yang mengatur. Begitupun dengan takdir kehidupanku, yang ditinggalkan ibu tercinta, telah diatur oleh Allah SWT. Pada saat itu kesedihan mulai terasa mengiris hati. Ke-sedihan kualami ketika aku melihat adik-adikku yang masih kecil. Waktu ibu meninggal dunia, adikku yang pertama baru kelas lima SD dan dan adikku yang kedua masih berusia dua tahun. Tapi yang paling menyayat hatiku adalah ketika aku sering melihat bapakku ter-menung setiap malam sendirian di depan rumah, terka-dang mengigau tanpa sadar memanggil-manggil ibuku yang telah meninggal dunia. Pemandangan itu kulihat setiap hari.

Kurang lebih hampir selama empat bulan hatiku merasa teriris. Tapi setelahnya aku mulai berfikir untuk keluar dari perasaan ini, yang terasa membelenggu ke-hidupanku dan keluargaku. Perlahan-lahan aku me-nanamkan kepercayaan diri kepada ayahku dan adik-adikku untuk bangkit dari keterpurukan dan keluar dari masa kritis perasaan sedih setiap hari. Dua bulan setelah kulakukan pembangunan spirit untuk keluar-gaku, mulai terasa keluargaku bangkit baik secara moral, ekonomi ataupun emosional untuk menjalani hidup dengan ikhlas. Alhamdulillah, keluargaku mulai ber-angsur baik. Hidup ini kami jalani walau dengan serba keterbatasan.

Setelah lulus SMP pada tahun ajaran 1993-1994, di usiaku yang menginjak 16 tahun, serta dengan menyim-pan cita-cita menjadi guru, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah karena melihat ekonomi keluar-gaku yang kekurangan. Poros rumahtangga yaitu ibuku tercinta telah tiada, sehingga ayah agak kesulitan untuk membiayai aku dan adik-adikku. Kulalui kehidupanku dengan beragam romantika. Saat itu, di usiaku yang baru menginjak 16 tahun, aku mulai belajar tentang ke-hidupan ini, yang ternyata tidak mudah dijalani. Misalnya untuk uang jajan dan makan serta menambah uang jajan adik-adikku, aku harus kerja kasar sebagai kuli bangu-nan di PT Insan Sandang Internusa, sebuah perusahaan yang terletak di dekat rumahku (perusahannya itu masih berdiri sampai sekarang).

Sekitar delapan bulan aku bekerja di perusahaan tersebut, lalu mencari pekerjaan lain. Sekitar tahun 1994 aku bekerja sebagai penambal ban di sebuah bengkel mobil. Kulalui pekerjaan itu selama kurang lebih tujuh bulan. Aku keluar dari pekerjaan itu karena penghasilan yang tidak sepadan dengan jam kerjanya yang panjang. Ditambah lagi, aku sering protes kepada majikan setiap kali aku menerima upah, yang waktu itu hanya Rp. 135.000,- per bulan. Karena sikap dan sifatku yang tidak mau merepotkan bapakku -yang seorang diri dalam menghidupi keluarga, lalu aku berkelana ke berbagai daerah, ikut tetangga bekerja serabutan ke daerah-daerah lain. Daerah yang pernah kudatangi di antaranya adalah adalah Tasikmalaya, Cirebon dan Cililin (kota-kota ini akan selalu menjadi bagian dari sejarah hidupku).

Kesabaran dan perjuanganku akhirnya berbuah manis. Aku mencoba memasukan lamaran ke PT hatex, perusahaan tekstil raksasa yang terletak di

Ka-bupaten Sumedang.1 Bermodal ijasah Tsanawiyah dan dan surat rekomendasi dari kepala desa, aku diterima bekerja di perusahaan tersebut pada tanggal 23 Oktober 1995. Dari pekerjaan baru itu banyak yang aku alami, misalnya perbedaan ketika aku kerja sebagai buruh kasar dan ketika bekerja menjadi buruh pabrik. Aku merasa nyaman dengan perubahan itu. Di situlah pula aku kenal dengan pujaan hatiku, yang sekarang men-jadi istriku.

Fikiranku waktu itu aku mendapatkan pekerjaan tetap sehingga aku dapat membantu ekonomi keluar-gaku. Tetapi ternyata, apa yang kita fikirkan tidak sein-dah apa yang kita rasakan. Kenapa aku katakan begitu? Baru satu bulan bekerja, aku bergaul dengan orang yang tidak jelas akhlaknya, suka minum alkohol dan obat-obatan. Selama dua bulan bergaul dengan mereka, selama dua bulan itu juga aku mengenal dan merasakan alkohol dan obat-obatan, yang diharamkan oleh agama. Para pembaca yang budiman, tanpa kita sadari pertolongan dari Allah SWT, yang tidak pernah disangka dan diduga, datang menghampiriku, untuk memandi-rikan sikap dan memperbaiki kehidupanku. Dengan kekasihku aku berdiskusi tentang kehidupan dan ten-tang kami. Dari diskusi itu aku memutuskan untuk menikahi kekasihku, yang aku baru kenal kurang lebih tiga bulan. Aku memutuskan untuk menikah muda, karena tidak mau terjerembab dalam lubang kenistaan dan kehinaan, dengan kondisi pergaulan anak-anak pabrik saat itu. Pada Maret 1996 aku menikahi kekasihku. Dia berasal dari Indramayu, tepatnya dari kampung 1 Pabrik tekstil PT Kahatex terletak di Rancaekek, 25 kilometer dari kota Bandung. Perusahaan tekstil berorientasi ekspor ini merupakan salah satu yang terpenting di Jawa Barat, dan tahun itu mempekerjakan sekitar 9600 buruh.

Singaraja, Desa Singaraja, Kabupaten Indramayu. Dan ternyata istri yang aku pilih adalah seorang wanita yang salehah. Dia dapat mengubah gaya hidupku, memoti-vasiku untuk lebih giat bekerja demi keluarga, dan dia banyak sekali mengajarkan kesabaran serta kemandi-rian dalam menjalani kehidupan. Karena waktu itu selain membiayai keluarga akupun harus tetap mem-bantu ayah membiayai adik – adikku. Itu semua kulalui hingga ayah menikah lagi dan adikku hidup bersama keluarga baru ayahku.

Perjalanan kisah hidupku yang penuh penderitaan serta kerja keras ternyata membentukku menjadi se-orang sosok organizer. Perjalanan itu dimulai pada 1997. Di tempat kerja aku berjumpa dengan seorang pengge-rak buruh bernama Beno (almarhum). Aku yakin pem-baca yang banyak mengikuti perkembangan gerakan buruh mengenal tokoh ini. Aku memanggilnya dengan Mas Beno. Beliau pernah menjadi pengurus KASBI, tapi saat pertama aku menemuinya dia belum bergabung dengan KASBI. Di pabrik kami bekerja di departemen yang sama, Departemen Finishing 7. Saat itu Mas beno sebagai operator elektrik (perbaikan listrik) dan aku sebagai operator mesin celup (dyeing). Kami berteman baik. Aku sering belajar dari beliau baik di dalam mau-pun di luar pabrik. Tapi pada saat itu belajarku tentang dunia gerakan atau dunia perburuhan belum begitu se-rius, sehingga tentu pengetahuanku tidak sebaik pengeta-huan Mas Beno.

Awal tahun 1997 aku diajak mas Beno ikut sebuah pertemuan di sebuah rumah di desa tetangga (maaf, aku tidak bisa menyebutkan tempatnya karena lupa nama pemilik rumah tersebut). Pada pertemuan itu dibuat rencana untuk melakukan mogok kerja besar-besaran, dengan tuntutan di antaranya adalah: kenaikan upah,

seragam gratis, uang makan, uang transport, sembako, perubahan jam kerja untuk bagian tertentu dari 12 jam menjadi 8 jam, penghentian praktek yang rasialis (ada praktek yang jelas sekali bahwa yang memperoleh jabatan hanya pekerja keturunan Cina), dan pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB). Itulah tuntutan itu yang aku ingat sampai sekarang dari banyak tuntutan yang dibuat melalui rapat waktu itu.

Mogok kerja besar-besaran akan dilakukan pada hari Selasa, bulan Januari 1997, menjelang bulan suci Ramadhan. Kenapa kami harus mogok? Karena saat itu serikat yang mewakili buruh, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), tidak dapat menyampaikan aspirasi kami, sehingga kesejahteran dan perubahan jam kerjapun tidak kunjung berubah.

Pada malam ketika mas Beno dan kawan-kawan merencanakan mogok, aku sedang giliran kerja malam di pabrik. Sementara rencana mogok sedang dibicara-kan, aku dititipi pesan untuk tidak membicarakan ren-cana mogok tersebut dengan siapapun. Sekitar pukul 04.00 pagi, aku mendapat kabar bahwa mogok kerja akan dilakukan hari itu (aku tidak dapat menuliskan tanggal kejadiannya dengan akurat).2 Pagi harinya, beberapa kawan menutup Jalan raya Bandung-Garut, 2 Sebagaimana dilaporkan beberapa koran besar (Kompas, Suara

Pembaruan, Pikiran Rakyat), pemogokan besar-besaran buruh PT Kahatex berlangsung 31 Januari 1997. Peristiwa ini meledak saat Indonesia memasuki krisis ekonomi dan demonstrasi me-nentang pemerintahan Soeharto mulai marak di berbagai kota. Pada minggu yang sama, di kota terdekat Bandung (25 kilome-ter dari PT Kahatex) merebak desas-desus akan kilome-terjadi keru-suhan. Sekolah-sekolah mempersingkat jam pelajaran, para orangtua menjemput anak-anaknya dari sekolah, pedagang memilih untuk menutup toko-tokonya, dan aparat keamanan dan panser disiagakan di pusat kota.

agar karyawan tidak dapat masuk pabrik. PT Kahatex saat itu hanya memiliki dua pintu gerbang. Satu ger-bang untuk keluar masuk karyawan dan satu lagi un-tuk alat transportasi barang. Gerbang tersebut terletak di pinggir jalan raya Bandung-Garut. Sadar bahwa apa yang dilakukan kawan-kawan merupakan kepentingan bersama, dibantu beberapa kawan pagi itu aku secara spontan mengajak teman-teman Departemen Finishing 7, untuk berkumpul di luar gerbang pabrik dan ber-gabung dengan yang lain. Begitu kami keluar gerbang, mogok kerja telah dimulai, dengan jumlah peserta ribuan karyawan.

Sekitar pukul 08.00, aparat keamanan (ABRI) mulai bermunculan jumlahnya belum begitu banyak. Mung-kin karena mogok kerja itu dilakukan serentak dengan massa yang begitu banyak.Massa mulai berteriak-teriak agar bisa masuk ke dalam pabrik. Tanpa bisa dielakkan lagi, massapun merangsek masuk ke dalam pabrik, menembus barisan aparat yang jumlahnya masih sedikit. Ada juga yang masuk dengan menaiki dinding pagar pabrik. Suasana sudah di luar kendali dan berapa orang mulai merusak barang milik perusahaan, dianta-ranya mobil inventaris petugas personalia Anang Subar-nang (almarhum). Sepeda-sepeda milik buruh dirusak dengan cara dibakar. Massa terus merangsek, masuk ke dalam minibus sampai kantor keuangan perusahaan, dan menghancurkannya.

Kejadian itu baru bisa dikendalikan setelah jam 10.00, sesudah barisan massa digeret keluar oleh pihak aparat ABRI. Massapun kembali berkumpul di luar halaman pabrik, memacetkan jalan raya Bandung– Garut. Orasi-orasi dilakukan oleh perwakilan massa, termasuk mas Beno. Sayangnya, saat orasi baru berjalan sekitar satu jam, dari arah belakang tiba-tiba

terde-ngar teriakan “Lempaaar…” Dengan spontan massa pun melemparkan apa saja yang mereka dapatkan. Ada yang melemparkan batu, botol air mineral, dan tanah; se-hingga aparat ABRI bereaksi mencari provokator pelemparan tersebut. Tapi karena masa begitu banyak, aparat pun kesulitan untuk mencarinya. Hanya terjadi benturan kecil antara massa dengan aparat.

Setelah aparat berhasil mengendalikan keadaan di kantor PT Kahatex, pihak perusahaan meminta ber-temu dengan perwakilan aksi massa untuk melaku-kan perundingan. Aku tidak bisa menyebutmelaku-kan semua nama. Seingatku, wakil massa antara lain adalah mas Beno, Sopian Rosyid, dan Ponidi.

Pukul 13.00, para perwakilan buruh keluar dari kantor pabrik, dan meneriakan “Allahu Akbar.” Massa aksi yang menunggu di luar pabrik, termasuk aku, menyambut teriakan itu, sambil menanyakan hasil pe-rundingan. Salah satu perwakilan naik ke atas dinding pagar dan membacakan hasil perundingan. Perusahaan mengabulkan enam tuntutan pertama di atas. Satu tun-tutan, tentang diskriminasi, tidak bisa dikabulkan. Satu tuntutan, tentang penyusunan PKB, ditunda karena memerlukan perlu pembahasan Karena merasa puas, massa pun dibubarkan. Sebelum massa bubar perusa-haan mengumumkan libur kerja tiga hari, dengan ala-san perusahaan akan melakukan perbaikan kerusakan. Seminggu kemudian kami bekerja kembali. Bebera-pa orang di temBebera-pat aku bekerja diBebera-panggil oleh pihak manajemen untuk datang ke kantor depan. Setahuku mereka adalah Kayat (bagian kain), Kabo (nama pang-gilan, bagian press kain), mas Beno, dan satu orang lagi yang aku tidak tahu namanya karena berbeda waktu gilir-kerja (shift). Aku mendengar bahwa di kantor depan ter-nyata sudah ada petugas kepolisian. Dari mereka yang

dipanggil manajemen, hanya mas Beno yang kulihat kembali bekerja. Tiga orang selebihnya tak diketahui nasibnya. Tiga hari kemudian aku mendapat informasi bahwa ketiga kawan tersebut ditahan oleh kepolisian Sumedang. Mereka tertangkap kamera CCTV sedang merusak brankas uang perusahaan.

Berita penangkapan tersebar cepat hingga ke daerah tempat tinggalku, yang kebetulan letaknya cukup dekat dari pabrik. Sesudah kejadian itu, karena permintaan keluarga, aku menahan diri dari kerja mengorganisir. Sesudah kejadian mogok itu, pada 10 januari 1999 aku dimutasi ke Departemen Finishing 2, bersama temanku Tantan Rustandi dan Rukmana Sobar. Alasannya, karena kebutuhan tenaga di departemen itu, dan akan ditutup-nya Departemen Finishing 7 untuk digantikan menja-di bagian AJL.3 Sesudah mutasi itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengan mas Beno. Sampai akhirnya aku mendengar kabar bahwa dia telah berhenti bekerja. Aku tidak tahu alasan mas Beno keluar kerja. Setelah rentetan kejadian itupun akhirnya aku hanya fokus bekerja dan mengurus keluarga.

* * *

Tapi, bagaimanapun otakku sudah dimasuki pikiran seorang organizer. Aku tidak bisa dengan hanya terdiam dalam menjalani kehidupan tanpa tantangan dan rintangan. Tahun 2000, aku mulai membangun organisasi di daerahku. Organisasi yang pertama kali aku bangun adalah Ikatan Remaja Masjid Al-Huda (IRMA), di daerah tempat tinggalku sendiri, kampung Cipasir RW 09, desa Linggar, Rancaekek, Kabupaten 3 Singkatan dari Air Jet Loom, mesin tenun berpendorong angin.

Bandung. Fungsi organisasi ini adalah membina akhlak masyarakat terutama kalangan remaja. Saat itupun aku sedang belajar ilmu agama di daerah Rancakendal, desa Jelegong, Rancaekek. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku. Dari ilmu yang kudapatkan, se-tiap hari aku menerapkannya di kampungku.Dengan kata lain, aku belajar sambil mengajar. Muridku dari mulai anak-anak SD sampai mahasiswa. Berbekal pen-galamanku di serikat buruh, aku coba gunakan untuk membangun IRMA.

Aku mulai membangun IRMA, dengan menyusun struktur organisasi dari kalangan remaja sekaligus me-ngajarkan ilmu agama bagi mereka. Kumpulan remaja masjid itu berkembang terus hingga jumlahnya menca-pai 130 orang. Dalam struktur yang sudah terbentuk, kebetulan aku dipercaya sebagai ketuanya. Aku mulai membagi tugas kepada pengurus IRMA. Dari mulai mengajar mengaji untuk anak usia dini, membuat les berbagai mata pelajaran sekolah untuk berbagai ting-katan, serta membuat kegiatan-kegiatan yang sifatnya positif seperti menggelar bazaar, tabhlig akbar, takbir keliling, mengumpulkan kulit dari hewan kurban un-tuk kas organisasi, dan lain-lain.

Begitulah kegiatanku dan kawan-kawan sejak 2000 hingga 2003. Pada 2003 kepengurusanku di IRMA telah demisioner, dan digantikan oleh pengurus baru. Posisiku di IRMA kemudian menjadi penasihat. Ka-rena tugasku di IRMA sudah sedikit ringan, sambil tetap mengajar mengaji, aku coba untuk menghidupkan or-ganisasi pemuda/pemudi. Oror-ganisasi karang taruna se-benarnya sudah ada, tetapi kurang hidup. Aku mencoba menghidupkan organisasi kepemudaan itu, dengan pen-galamanku dari dari tahun-tahun sebelumnya.

pemuda, pendidikan sampai ke segi ekonomi. Hingga kami dapat membangun sekretariat di tanah bengkok milik desa. Sekretariat kami hanya berukuran kecil tapi cukup untuk menunjukan kerja organisasi yang kubangun bersama kawan-kawan kepada masyarakat di daerahku.

Pada 2004 aku mulai mendapatkan cobaan beri-kutnya. Kenapa kukatakan seperti itu? Tahun itu aku mulai berkenalan dengan partai politik. Seorang yang bernama Yayan, pengurus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), datang berkunjung, berhubung akan dilakukan-nya pesta demokrasi pemilihan partai dan calon ang-gota legislatif. Walau sempat menolak aku dibujuk dan dirayu untuk masuk ke jajaran pengurusan PKS. Aku tetap menolak menjadi pengurus, tetapi kepada Yayan aku berkata akan membantu pemenangan partai PKS di daerahku. Sebagai langkah awal yang dilakukan pada saat itu, aku mengusulkan untuk mengadakan bazar dan kegiatan bakti sosial. Hasilnya sangat signifikan, PKS menduduki posisi pertama, mengalahkan partai-partai lain.

Selesai pesta demokrasi, aku kembali berkonsen-trasi membangun organisasi yang dapat membantu masyarakat luas di kampung Cipasir. Aku mulai mem-bangun koordinasi dengan seluruh ketua RW, tetapi saat itu tidak ada yang hadir satupun pemuda dari RW lain. Saat itu kubangun organisasi kepemudaaan lin-tas RW, dengan nama Formasip (aku sudah lupa apa kepanjangannya). Organisasi ini diketuai oleh saudara Imron Rosyadi, mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Jati. Untuk membangun organi-sasi ini, dibuatkan konstitusi, dan pemberitahuan ten-tang kelahiran organisasi ini dikirimkan kepada kepala desa, kecamatan, koramil, dan kepolisian. Formasip

membuat program kerja kepemudaan untuk masa pe-riode tiga tahun. Pada tahun pertama, 2004, aku masih membantu mengontrol kerja pengurus sambil tetap aku menjalankan tugasku baik sebagai seorang buruh, sua-mi, ayah, penasihat IRMA dan pembina Formasip.

Pembaca yang budiman, tak sempat terfikir sebe-lumnya, bila aku harus kembali bergiat di organisasi buruh. Sekitar Februari 2005, waktu masih bekerja di Departemen Finishing 3, ketika sedang asyik bekerja aku bertemu seorang kawan lama bernama Yusep. Dia adalah pengurus Serikat Pekerja - Persatuan Perjuangan Pekerja Sejahtera Indonesia (SP PEPPSI) di PT Kahatex. Yusep bertubuh pendek, berat badannya kira-kira 49 kilogram, tetapi dia pandai berbicara dan mempunyai kegigihan untuk memperbaiki keadaan. Diajaknya aku untuk menjadi pengurus PEPPSI, karena –menurut dia- di dalam diriku tersimpan potensi utuk menata organisasi PEPPSI. Aku menolaknya, karena waktu itu aku buta akan perkembangan organisasi. Selama lima tahun ter-akhir aku hanya fokus bekerja mengurus pemuda dan kurang peduli lagi terhadap organisasi serikat buruh. Yusep lalu menjelaskan bahwa di PT Kahatex saat ini terdapat empat serikat (SPSI, GOBSI, PPB KASBI, dan PEPPSI). Hanya itulah yang aku pahami sebagai anggota PPB –KASBI, serikat yang di pimpin oleh Sudaryanto.

Setelah pulang kerja, Yusep datang ke rumahku. Kami berbincang-bincang seputar peraturan dan kondisi perusahan, termasuk kondisi serikat. Karena yang dibi-carakan oleh Yusep terkait kondisi terkini serikat, aku meminta waktu untuk memikirkan tawaran tersebut. Dua hari kemudian aku memutuskan untuk menyepa-kati tawaran dari Yusep. Keesokan harinya aku menga-jak teman karibku Dede Syamsul Bahri untuk masuk ke organisasi PEPPSI. Artinya, aku akan keluar dari

PPB-KASBI. Karena itulah kamipun berangkat ke kantor Sekretariat PPB-KASBI untuk menyampaikan pengun-duran diri PPB-KASBI.

“Kenapa saudara keluar dari PPB-KASBI?” itulah

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 67-97)