• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belajar, Bertindak Bersama Organisasi Oleh:

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 167-185)

Lami

N

amaku Lami bahasa Jawa lama. Kata ibuku, aku diberi nama Lami karena lahirannya lama, kalau kata kakekku nama Lami karena lama ditinggal bapaknya. Aku enam bersaudara satu ibu lain bapak. Aku anak pertama. Ketika umurku tiga bulan, bapakku meninggal. Aku umur satu tahun ibuku dini-kahkan oleh kakekku dengan bujang tetangga. Sejak itu aku mulai diasuh nenekku. Untuk bertahan hidup, se-jak umur tiga tahun aku sudah ikut nenekku jadi buruh petik kapas di ladang orang. Masih ingat di benakku saat terik matahari aku disuruh berteduh di bawah pohon sukun, saat lapar makan sukun bakar.

Saat aku mulai mengerti, aku mulai membantu nenekku. Aku dan adikku bermain di air kedung1 sambil petik kangkung liar di sawah untuk dijual buat sangu sekolah. Itu aku lakukan saat tugas mengambil air di sumur dan menuhin semua tempayan. Jika satu tempayan 1 Kedung adalah telaga kecil, yang sebenarnya merupakan sungai

yang melebar dan membentuk semacam genangan. Biasanya dangkal jadi anak-anak sering mandi dan bermain air di situ.

lewat tak terisi, nenekku bisa marah marah. Waktu se-kolah aku memakai tas plastik hitam yang bergambar garuda, sepatuku dari bahan karet yang penuh jahitan depan belakang. Sebelum berangkat sekolah aku jua-lan kue di pasar. Uang sakuku limapuluh perak. Aku menabung seratus perak, itu aku dapatkan dari upah bantu-bantu panggang ikan sepulang sekolah. Waktu itu biaya Ebtanas dan lulusan SD dua puluh lima ribu, aku nabung dari kelas empat SD sampai kelas enam SD Cuma terkumpul sepuluh ribu. Belum lagi perpisahan. Murid-murid diharuskan bawa bucu panggang ayam2

untuk wali murid. Waktu itu aku menangis karena malu tidak bisa membawa ayam untuk acara perpisahan dengan teman dan guru. Karena aku dibawakan nenek pisang kematengan yang hampir busuk. Guruku protes kenapa tidak bawa kue yang aku jual di pasar setiap pagi.

Setelah lulus sekolah dasar, hari-hariku aku habis-kan jadi buruh tani. Setiap pagi buta aku membawa

bontotan3 nasi jagung lauk sambal, pergi derep4 kacang di Gunung Tugel. Bersama kawan lainnya,aku senang makan cilom, kacang tanah yang muda, karena rasanya manis. Tidak peduli tanah merah belepotan di mukaku. Kerjanya borongan, cabut sendiri, dipreteli sendiri

se-gambreng5 atau sekaleng cincau. Dari mandor diupah

tujuh ribu perak, paling aku cuma dapat seribu, dari 2 Tumpeng lengkap dengan ayam panggang

3 Bontotan adalah bekal makanan

4 Derep berasal dari bahasa Jawa, artinya memanen biasanya di-gunakan hanya untuk memanen padi atau tanaman palawija tertentu seperti kacang tanah

5 Ukuran yang dipakai khusus untuk kacang tanah, biasanya dengan ikatan beberapa batang tanaman kacang.

matahari terbit sampai tenggelam. Apa lagi kalau buah kacangnya jarang, kadang dicabut tinggal akarnya saja, dapat upahnya sedikit.

Tidak hanya jadi buruh tani, aku juga kerja jemur ikan karena kampungku tidak jauh dari pesisir. Aku se-lang seling kerjanya selama ada kesempatan kerja apa saja aku kerjakan. Aku juga pernah menata jalan kam-pungku, ngangkutin batu dari truk lalu dihancurin pake palu. Kadang aku merasa malu jika ketemu temenku yang bersepeda pulang sekolah.

Di kampungku ada lokasi buat batu kumbung6 untuk tembok bangun rumah. Satu rit seribu kotak batu kumbung itu diupah tiga ribu. Dari bawah lokasi naik ke atas aku sanggup angkat tiga kotak kumbung batu. Kalau diukur satu kotak kumbung sama dengan lima bata. Sepulang kerja, aku jadi kuli angkut kumbung. Waktu itu ada makelar cari pembantu, aku ikut saja cari pengalaman. Nenekku nangis kelimpungan aku tinggal. Di suatu daerah dekat di kota Tuban, aku jadi pembantu rumah tangga. Sebulan diupah lima puluh ribu. Aku senang karena tidak pernah melihat uang lima puluh ribu. Majikanku baik tidak galak, rumahnya besar cuma kamarnya dua, buat dia dan buat anaknya. Tempatnya lega,tapi buat ayam jagonya. Aku diberi tempat tidur di gudang, kalo majikanku pergi aku dikunci dari luar, tidak boleh kemana mana. Waktu nenekku nekad men-cari aku, nenekku datang menemuiku. Senang sekali aku. Aku ambil kesempatan, ikut pulang sama nenek dan kembali di kampung.

6 Batu kumbung dikenal dengan batu bata putih. Batu ini ditam-bang seperti marmer, bukan dibuat seperti batu bata. Penam-bangnya biasanya memotong bongkahan batu besar menjadi kotak-kotak seukuran batu bata atau batu batako.

Setelah sampai kampung, aku kembali menjadi buruh tani, dan kerja jemur ikan. Lalu ada tawaran teman untuk kerja di Jepara sebagai buruh amplas funiture. Se-bagai buruh amplas funiture kerjaanya tidak menentu, sistemnya borongan dan sering rebutan barang sesama kawan. Akhirnya aku keluar dan jadi pelayan warung.

Setelah dari Jepara aku di kampung bekerja ngasuh anak, setelah anaknya sudah bisa jalan, aku bekerja bantu di toko.

Tahun 1999 umurku 14 tahun, awal aku ikut bibi ke Jakarta. Bibi dan keluarganya tinggal di Gang Haji Gandun, Pondok Labu. Beberapa bulan aku tidak dapat kerja. Aku keliling ke perumahan Bona Indah. Dari pintu ke pintu untuk menawarkan jasa jadi pembantu, tapi tidak ada yang terima mungkin dianggap mencurigakan.

Lalu teman bibiku menawarkan ada pekerjaan di Tangerang sebagai pembantu. Aku ambil tawaran itu. Di sana aku ngurus dua rumah, dua anak, dan buat kue sekalian jualan kue dan satu bulan aku diupah seratus ribu.

Hampir satu tahun aku bertahan akhirnya aku keluar, karena setiap malam harus jagain kue di open jangan sampai gosong. Lalu ada tawaran kerja di Vila Delima, sebagai pembantu rumah tangga juga. Tapi aku tidak nyaman dengan eyang kakung. Setiap nyonya pergi ke-luar rumah dia sering memaksa menyuruhku memijat di bagian pribadinya, akhirnya malam itu juga aku melari-kan diri.

Awal aku berkeinginan menjadi buruh pabrik ke-tika aku menjenguk tetangga kampung yang tinggal di Sandratex. Waktu itu aku melihat banyak buruh-buruh textil pulang sore dan berseragam telur asin. Aku ber-pikir enak sekali kerja di pabrik bisa pulang sore. Setelah

pulang bisa bebas main kemana suka, tidak seperti pem-bantu tidak boleh bebas kemana-mana, harus dikontrol majikan. Dari situlah aku ingin sekali mencoba menjadi buruh pabrik.

Tahun 2002 aku ke Jakarta ikut Bibi adik dari bapak. Satu bulan bantu bantu bibi di rumah, aku diajak saudara suami bibi kerja di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, di PT GOLDEN CONTINENTAL. Waktu itu saudara suami bibi bekerja sebagai personalia di pabrik itu. Jadi ijasahku tidak dikoreksi lagi, aku langsung masuk kerja.

Awal aku masuk kerja sebagai buruh pabrik, aku memakai rok warna coklat, baju putih lengan panjang, rambut diikat sapu tangan, sandal biasa jepit warna biru. Saat tatapan pertama semua yang bekerja memakai slayer warna biru muda. Aku melihat mesin jahit yang berbeda dengan mesin jahit yang dikayuh kaki, aku melihat banyak orang bekerja tanpa menengok kanan kiri, semua menunduk ke mesin jahit, dan ada orang asing yang mengawasi dan menjaga mereka bekerja. Aku masuk ke bagian finishing diajari cara molybag baju, mungkin dia itu pengawasnya. Aku bekerja berdiri sama dengan yang lain, tidak ada yang berbicara. Semua diam, fokus bekerja. Begitu juga aku, hanya keringat dingin mengucur. Bila aku dengar teriakan orang marah-marah di sebelah sana, kata yang lain “Itu Onny lagi ngamuk, karena tidak dapat target.” Aku tetap membisu dan berkeringat dingin sekaligus haus. Mataku sedikit me-lirik dengan takut ketika aku melihat di hadapanku ada Onny yang berdiri mengawasi aku bekerja. Mungkin dia tahu aku anak baru. Setelah Onny pergi, aku ditawari minum teman semeja di bagianku.

Jam 12 teng, semua berlari mengantri. Aku ter-bengong, aku diajak yang lain untuk istirahat. Baru aku tahu cara kita istirahat, semua mengantri, lalu dicek body

sama security dan cari makan sendiri sendiri yaitu beli nasi sama pedagang di sela-sela jeruji pagar pabrik. Se-belum jam satu harus sudah masuk ke pabrik lalu dicek lagi supaya tidak ada yang bawa makanan ke dalam. Hari pertama kerja aku dapat tawaran lembur. Jam 4 sore aku disuruh tanda tangan lembur sampai jam 9 malam. Jam 6 sore mengantri lagi untuk istirahat. Di depan pintu pabrik ada bok berisi nasi bungkusan dan semua berebut karena kadang ada yang tidak kebagian. Beruntung waktu itu aku dapat sebungkus, lalu aku buka isi bungkusan itu. Ada sayur kol dua lembar dan kepala bandeng yang dipotong dekat insangnya. Jam 9 semua karyawan berseru untuk pulang, sebelum bel berbunyi ada yang menyempatkan memakai kaos kaki, jaket, minyak wangi. Akhirnya, bel berbunyi. Semua berlarian tak beraturan berebut untuk cepat pulang. Mobil jemputan menunggu depan pagar. Aku duduk di mobil jurusan Malaka, bersandar di jok paling belakang mencoba membuang lelah di hari pertamaku kerja.

Pagi jam bekerku berteriak menegurku, bangun. Kerja lagi, kerja lagi..! Aku sudah hampir tiga bulan bekerja di pabrik. Pagi itu di depan pagar pabrik aku dibagi selebaran, dan aku baca isinya ajakan bahwa hari ini akan ada demo dengan tuntutan pekerjakan kawan Sembiring yang dimutasi semena-mena. Yang terpikir olehku apa itu demo..? Aku melihat semua karyawan resah sambil memegang selebaran. Akhirnya semua karyawan masuk pabrik, aku bekerja seperti biasa. Aku tidak tahu kalau di sampingku itu yang bernama Sem-biring, karena tadinya dia security lalu dipindah ke ba-gianku finishing. Aku melihat mukanya Sembiring yang merah padam itu. Jam 8 pagi aku dengar teriakan dari

line, dan Sembiring yang berbadan besar itu menggebrak

Sontak aku menggigil ketakutan dan hampir terkencing-kencing, lalu mengumpet di kolong meja. Kata temanku “Ayo cepat keluar, kalau tidak keluar kamu akan dite-lanjangi.” Langsung aku terbirit birit ikut temanku ke-luar halaman pabrik berkumpul dengan yang lain.

Pengalaman pertamaku ikut berdemonstrasi di depan pabrik aku melihat Mister Korea dan Onny, tolak pinggang di depan pintu pabrik melihat kita ber-demo, dan menunjuk-nunjuk jari ke arah kita yang lagi berseru demo. Aku hanya mengikuti dan menyimak apa yang dibicarakan dalam orasi, yang lain tepuk tangan aku ikut tepuk tangan, dan aku ikut berteriak “Hidup buruh..! Itulah pertama kali aku ucapkan kata itu dan dengar aku ingin mencari tau, kenapa kita buruh? Kenapa harus “hidup buruh”? Ada semangat meng-gelora untuk mencari jawaban, statusku masih kontrak dan demo berlanjut besok paginya. Yang lain ada yang masuk kerja, aku dan kawan yang lain ikut bertahan di luar pabrik. Aku sempat tidak enak dengan personalia yang saudara suami bibiku, mungkin aku dianggap tidak tahu diri, sudah dikasih kerjaan banyak tingkah ikut-ikutan demo. Prasangka itu aku tepis karena banyak kenyataan yang dilanggar di pabrik. Aku ketahui sete-lah aku ikut aktif di organisasi yang mimpin demo. Aku terlibat di pendidikan dan demo di luar, seperti aksi di istana atau di bundaran HI. Walaupun pertama keterli-batanku sempat dicurigai oleh temen temen yang aktif, aku disangka mata-mata pabrik, karena aku masuk kerja di pabrik dibawa oleh personalia. Tapi aku tunjukkan ke mereka bahwa aku ingin belajar dan mencari tahu tentang hal-hal yang belum pernah aku ketahui selama ini.

Hampir satu tahun lebih aku menjadi buruh kon-trak. THR pertama kali aku dapat hanya sepuluh ribu rupiah, ketika aku pulang ponakan dan bibi

minta dibeliin sesuatu karena dianggap dapat THR gede, setelah aku cerita mereka semua tertawa.

Waktu itu personalianya ganti, waktu itu aku di-anggap habis kontrak padahal aku tidak pernah pegang surat perjanjian kontrak, dan hari itu aku diberikan gaji dan sisa gaji, bahwa mulai hari ini sudah bukan buruh PT GOLDEN CONTINENTAL.

Setelah aku di-PHK dari PT GOLDEN CONTI-NENTAL, aku mencoba melamar kerja di kawasan pabrik garmen dengan mengandalkan ijasah SD sambil kursus menjahit. Sengsaranya melamar kerja di pabrik garmen. Aku selalu siapkan air putih sebelum berangkat mela-mar kerja, tidak cukup uang untuk ongkos, sayang kalau mau jajan. Panas terik keliling pabrik, berdesak-desakan di gerbang pabrik, sampai kejepit di pintu pabrik, terus di cek satu persatu surat lamaran sama security. Waktu itu surat lamaranku tidak diterima karena ijasahku SD. Aku cuma cuma bisa nggrundel7 dalam hati, kan yang kerja tenaga bukan ijasah, pikirku. Pernah aku diterima kerja tanpa syarat membawa lamaran tapi sebagai kar-yawan borongan yaitu di PT BESTRI. Seingatku, aku bek-erja merajut mantel yang satu baju dihargai 1500 perak, tapi aku cuma bertahan seminggu, dan dapat gaji 50.000 ribu seminggu.

Waktu itu bulek8ku punya tetangga yang bekerja di

garmen PT MYUNGSUNG INDONESIA sebagai

secu-rity, bulekku minta tolong untuk bantu memasukanku di

tempat kerjanya, apa saja bagiannya yang penting kerja kata bulekku.

7 Menggerutu

8 Bulik adalah adik ayah atau ibu, atau sepupu ayah atau ibu yang lebih muda

Pada tanggal 21 bulan juni 2004 aku datang mela-mar ke PT MYUNGSUNG terus ditemui oleh seorang

security yang juga tetangga bulikku. Waktu itu aku

di-terima kerja tapi shift malam. Aku di-terima saja daripada kelamaan menganggur dan menumpang di bulik tidak enak, jadi aku terima aja.

Pertama kali aku masuk pabrik yang ketiga kalinya, aku melihat tumpukan baju celana segunung di tengah-tengah area bagian. Waktu itu aku dapat bagian kerja di finishing, aku berada di deretan meja panjang yang sudah dipenuhi baju untuk diselotip bersama yang lain. Yang ada hanya tatapan mata tanpa tegur sapa. Sebagai buruh baru seperti yang lainya, di pojok sana laki-laki paruh baya kepalanya botak sambil memukul-mukul obeng di tiang, dan matanya jelalatan kemana-mana mengawasi kita kerja, ternyata itu pengawasnya.

Selang tiga hari aku kerja, aku tanda tangan per-janjian kerja kontrak. Waktu itu kontrak dengan waktu tak tertentu. Hari Senin, semua buruh upacara di pabrik menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kalau ada yang ter-lambat akan disuruh nyanyi di halaman pabrik, tapi aku melihat mereka senang2 saja. Selepas itu aku tidak jadi dapat bagian shift malam. Waktu itu aku senang sekali, setelah ke sananya ternyata kerjaanya gila gilaan, sering lembur malam, jam 12 malam sampai longshift dari pagi ketemu pagi, tiga kali dalam seminggu. Kalau lembur jam 9 kita anggap pulang sore, aku dan teman-teman senang banget kalo tidak jadi longshift. Tiba-tiba ADM9 memberitahu mendadak kita cuma kerja sampai jam 9 malam terus boleh pulang, langsung kita loncat- lon-cat bersama bergembira. Tiba–tiba Mr Park turun dari tangga dan teriak “Aima aigo sakia a’ cepat cepat a’ ex-por sudah jam berapa... cepat sakiaa.’’

Akhirnya semua bubar dan pura-pura kerja cepat, menutupi kegembiraan. Begitu juga aku, tapi aku ber-tanya dalam hati dan pikiranku, “Siapa Sakia dan kenapa kita di panggil sakia..?” Aku jadi ingat judul lagu Sakia, tapi aku mencoba mencari jawaban.

Waktu itu Mister Park turun dan keluar dari mo-bilnya, sambil menoleh ke arah pintu mobil dengan mesra di memanggil “Sakia...a’ ayo...” dicampur Baha-sa Korea. Dalam hati kubilang “Lembut banget pang-gil Sakia.” Dengan rasa penasaran, hampir tercengang setelah tahu yang keluar dari dalam mobil ternyata anjing imut kesayangannya. Dari situ ada perasaan yang me-nyakitkan, harga diri yang tidak dianggap dan diinjak-injak. Apalagi kalo melihat tingkah laku menejer per-sonalia terhadap buruh perempuan, tangannya jahil menggoda merayu. Saat longshift semua buruh terengah-engah menyusun karton dan melipat jaket-jaket besar supaya cepat selesai ekspor dan cepat pulang. Mereka justru asyik di ruang atas melampiaskan hasratnya ber-sama bos, dan buruh pilihan. Mereka tidak puas di ruang atas, lalu mereka beramai-ramai pergi ke cafe entah hotel untuk bersenang-senang. Sedangkan kami dengan yang lain gedebag-gedebug kerja. Suami, pacar menunggu di pagar pabrik sambil tertidur di atas motor. Ada juga yang tertidur di bangku kantin menunggu istri atau kekasih. Hampir pagi, menjelang suara azan subuh ter-dengar, tubuh kami lemas, rambut awut-awutan, mata cekung wajah pucat, tergeletak di kolong meja mesin, tidur di lantai beralaskan karton. Lalu terdengar pintu kontainer tertutup, ekspor siap berangkat.

Waktu itu aku masih berhubungan dengan organi-sasi dulu tempat aku bekerja di PT Golden Continental. Aku mencoba melibatkan teman-teman di PT Myung-sung. Waktu itu di Myungsung ada SPTP (SERIKAT

PEKERJA TINGKAT PABRIK) yang didirikan kawan Yono, dan aku ikut terlibat dalam pertemuan-pertemuan dengan mereka. Aku juga mencoba melibatkan beberapa pengurus SPTP untuk ikut pendidikan di organisasi-ku. Dan juga melibatkan mereka dalam demo- demo buruh. Di situlah aku belajar bersama mereka dan mengerti arti kata BURUH. Di tengah perjalanan aku berharap mereka bergabung dengan aku. Tapi kenya-taanya mereka memilih bendera masing-masing. Pada saat itu aku kecewa tapi aku berusaha legowo karena itu pilihan mereka. Mereka mencoba mengajak bergabung denganku dan aku bilang, “Apapun pilihan kalian yang penting konsisten membela buruh dan aku akan tetap dukung.” Begitu juga perjalanannya tidak puas dengan bendera satu, yang lain mendirikan bendera yang tidak sama, jadi di pabrik ada dua bendera yang berbeda.

Aku ingin belajar dan berkembang. Di organisasi buruh ada divisi seni budaya, di situlah aku bergabung. Waktu itu aku disuruh belajar buat puisi, pertama puisiku berjudul “upacara di pabrik” dan SAKIA .

Selama aku bekerja jadi buruh garmen aku merasa begitu banyak waktu, tenaga, dan pikiran yang disita dicuri, dan dirampas oleh pabrik dan mereka yang punya modal. Kesadaran itu tidak muncul begitu saja, dan tidak mudah aku dapatkan. Aku harus meluangkan waktuku yang sempit sepulang kerja untuk ikut diskusi, atau merelakan hari liburku untuk berorganisasi.

Mereka buruh-buruh garmen perempuan, yang menggantungkan penghidupannya pada berkerja di pabrik, di setiap menit dan detiknya dipaksa mencapai target, dijejali makian dan omelan oleh pengawasnya, dianggap punya hutang jika tidak menuhi target, sam-pai rela tidak istirahat makan siang demi untuk bayar hutang target. Waktu itu di bagian mesin kancing aku

mendengar teriakan tiba-tiba di jam kerja. Baru kemu-dian aku tahu, ternyata telunjuk jarinya sudah menem-pel lengket di mesin kancing. Itu akibat tak layaknya mesin pakai. Kehilangan anggota tubuh tanpa kompen-sasi, hanya diberi cuti dua hari tanpa ada ganti rugi. Dan di pojok toilet sana ibu-ibu menangis karena di-anggap tidak produktif yang tidak sanggup kejar target, seenak-nya dimutasi dari bagian jahit di pindah ke ba-gian tukang sapu atau membersihkan toilet. Mereka dibuat tidak betah supaya mengundurkan diri, karena pabrik tidak mau bayar pensiun. Dan masih banyak lagi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para pengusa-ha pabrik garmen. Kerja kontrak dan PHK semena-mena, skors lembur yang tidak di bayar hanya dua di antaranya. Melihat kebutuhan hidup di Jakarta yang semuanya serba mahal dan serba uang, dengan upah yang tidak sesuai kebutuhan hidup, banyak kawan-kawan buruh yang terjerat hutang rentenir demi kebutuhan hidup. Hari gajian bukanlah hari yang menyenangkan karena akan menerima upah tapi menjadi hari yang bingung membagi uang untuk membayar hutang. Jika tanggal gajian sore semua rentenir berderet di pagar pabrik mencegat, menyetop bahkan ada yang bawa preman untuk mengancam atau menakut-nakuti buruh yang punya sangkutan dengan mereka.

Aku bersama mereka di satu atap satu pabrik, kepe-dihan dan kesukaran mereka sama rasa yang aku rasakan.

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 167-185)