• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bersama Serikat Buruh Aku Berjuang Oleh:

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 45-67)

Budiman

N

ama saya Budiman, kulit hitam, berbadan gen-dut dan berkepala botak. Saya lahir dan dibe-sarkan di sebuah desa di Magelang. Tepatnya di kaki gunung Sumbing yang dingin dan berselimut kabut; kawah, tebing, dan hamparan sawah di bawahnya. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani pemi-lik dan penggarap. Setiap hari, sejak pagi buta, keluar-ga dan tetangkeluar-ga saya harus bekerja keras mengolah dan menanam tanahnya. Saya hidup di tengah-tengah masyarakat yang hangat dan ramah. Tetapi nasib berkata lain. Gagal panen, dan berbagai kesulitan hidup lainnya, memaksa saya pergi merantau dan mengadu nasib di kota. Ketika itu, 25 September 2000, saya berangkat mengadu nasib di perantauan. Sejak awal Bekasi telah menjadi tujuan utama. Saya mendengar dari banyak orang, di Bekasi ada ribuan pabrik dan lowongan peker-jaan. Berbekal uang seadanya, saya meminta restu dari orang tua. Hari itu, dengan limpahan doa keluarga dan para tetangga, sayapun berangkat menuju Bekasi. Masih teringat jelas, nama bus yang saya tumpangi,

Safari Darma Raya. Jam empat sore, mesin bus mulai dihidupkan, kedua orang tua saya mengantar sampai ke terminal. Bus itu terisi penuh oleh penumpang dan barang bawaannya dengan berbagai tujuan. Tidak lama kemudian, beberapa penumpang mulai muntah karena mabuk perjalanan. Saya juga begitu, kepala terasa pusing dan mual. Sampai pagi harinya bus Safari Darma Raya sampai di Bekasi.

Saat itu saya merasa kehidupan yang sesungguhn-ya segera dimulai. Sasesungguhn-ya berada di suatu tempat dengan udara, lingkungan, dan kebiasaan yang berbeda dengan desa di kaki gunung Sumbing. Bekasi terasa lebih panas dan penuh sekali.

Hari demi hari saya lalui dengan tinggal di sebuah petakan berukuran 3 x 3 meter.Tempat saya tidur dan beristirahat. Perlahan saya mulai mencari informasi lowongan kerja. Sejak pagi-pagi sekali saya mulai be-rangkat, dari satu pabrik ke pabrik lainnya. Hanya ber-bekal air putih di botol, dan berlembar-lembar surat lamaran di tas, saya berkeliling di kawasan-kawasan industri yang panas sekali.

Beruntung, satu bulan kemudian, setelah puluhan surat lamaran saya masukan, ada satu perusahaan yang memanggil untuk bekerja, PT. Rapipack. Hari itu saya bertemu dengan bagian personalia, namanya Pak Bam-bang, dia bertanya banyak sekali. Dua hari kemudian, jam 9 pagi, datang seseorang dari PT. Rapipack ke rumah petakan.

“Kamu Budi ya?” Katanya, “Ayo ikut. Kamu mulai bekerja hari ini.”

Kemudian saya diajak ke PT. Rapipack, lalu diberi pengarahan tentang apa saja yang harus saya kerjakan. Sejak hari itu saya mulai bekerja sebagai buruh borongan.

Hati rasa gembira membayangkan masa depan yang lebih baik. Memiliki upah bulanan yang dapat membuat hidup berkecukupan. Tapi perlahan saya mu-lai sadar, apa yang saya bayangkan tidak sesuai dengan kenyataan. Sebagai buruh borongan, saya tidak memi-liki kepastian kerja sama sekali. Saya hanya dipanggil ketika dibutuhkan, dan bisa dibuang saat tidak lagi dibutuhkan.

Saya bekerja di departemen ekspedisi atau pengiri-man barang. Upah yang saya terima waktu itu berkisar Rp. 62.000 perminggu, dengan lima hari kerja dan lebih dari 40 jam kerja perminggu.1 Upah itu jelas tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari: bayar kontra-kan, ongkos pulang-pergi kerja, perlengkapan mandi, dan lainnya. Saat itu, membeli pasta gigipun saya jarang. Merasa ada yang salah, saya mulai bercerita dengan teman-teman sesama buruh borongan di departemen ekspedisi. Ternyata merekapun sama, hidup dalam serba kesusahan, terpaksa berhemat sebisanya setiap hari. Tanpa bekal pengetahuan dan pengalaman mengenai hak-hak buruh, kami mulai berusaha untuk berkumpul. Seingat saya, ketika itu ada kawan Parto, Suyono, Nu-groho, Lanin, dan kawan-kawan lainnya. Setiap jam 4 sore, setelah selesai bekerja, kami berkumpul di sebuah gudang kecil di departemen ekspedisi, dalam keadaan ser-ba lelah. Bau keringat dan asap rokok memenuhi ruangan. Lalu kami mulai saling mengeluh, sampai kemu-dian berpikir dan menemukan kesamaan. Selanjutnya, kami mulai memberanikan diri untuk merumuskan 1 Kabupaten Bekasi pada tahun 2000, masuk dalam Upah Mini-Kabupaten Bekasi pada tahun 2000, masuk dalam Upah

Mini-mum Regional (UMR) Propinsi Jawa Barat, Wilayah I, bersama dengan 10 Kabupaten/Kodya lainnya, Sumedang, Bandung, Karawang, Purwakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Serang, Ci-legon, dengan nilai UMR sebesar Rp. 286.000,- (ed)

tuntutan dan membawanya ke pimpinan departemen ekspedisi. Kami mulai menuntut tunjangan transpor-tasi dan uang makan. Kami mulai sadar, kedua hal itu sebenarnya merupakan hak dasar buruh yang sudah se-harusnya dipenuhi oleh pengusaha.

Akhirnya, pada 2 Januari 2001, sehari setelah tahun baru. Kami memberanikan diri untuk menemui kepala departemen ekspedisi, Pak Maxi Rawis namanya. Kami diminta menunggu di sebuah ruang kosong di departe-men ekspedisi. Ruangan itu sempit dan pengap, dengan kipas angin di pojok kanan.

Jam 12 siang, jam istirahat bekerja, Pak Maxi mulai masuk ke ruangan dengan mata melotot, lalu duduk dengan sikap yang tidak ramah. Dia mulai berbicara, dan saya masih ingat, kalimat yang pertama kali dia lontarkan adalah, “Ngapain kamu?”

Kami semakin cemas, ketika itu saya, kawan Parto dan Suyono, mencoba mulai berbicara dengan bibir ber-getar dan omongan yang tak karuan. Tapi perlahan ke-beranian kami kembali. Saya dan kawan-kawan mencoba menjelaskan tujuan kami datang dengan lebih jelas. Na-mun, pak Maxi kembali menjawab dengan kasar,

“Apa-apaan kamu? Kamu dipekerjakan di sini seharusnya kamu bersyukur, bukan malah minta yang aneh-aneh!”

Lalu ia mengusir kami “Sudah keluar kalian!” Dengan jari menunjuk pintu.

Itulah kata terakhir dari hasil pertemuan kami dengan kepala departemen.

Beberapa hari kemudian manajemen mulai me-ngambil tindakan. Pekerjaan saya semakin dibuat susah, bahkan keluar dari apa yang telah menjadi tugas saya di bagian ekspedisi. Saya mulai sering disuruh menyapu

dan mengepel lantai. Padahal tugas saya di bagian eks-pedisi adalah menerima kertas-kertas planning (peren-canaan) pemuatan dan pengirim barang, lalu mencari barang tersebut sesuai lokasi yang tertera di kertas

plan-ning dan mengesetnya, sehingga siap antar. Awalnya

se-tiap barang yang harus diangkut hanya perlu saya cari di GBJ (Gudang Bahan Jadi), sesuai dengan lokasi yang tertera di kertas planning. Tapi saat itu informasi lokasi barang tidak tertulis di kertas planning. Sehingga saya harus mencari dan memuat barang-barang yang sulit ditemukan, bahkan beberapa kali tidak tersedia di GBJ. Bayangkan, saya harus mencari satu barang di antara ribuan barang dengan berbagai macam tipe dan jenis, sehingga saya harus memilah satu persatu sesuai dengan apa yang tertera di dalam kertas planning. Pekerjaan saya menjadi semakin sulit dan melelahkan.

Dengan rasa lelah dan marah, pada 10 Januari 2001, di sela-sela jam istirahat, saya kembali memberani-kan diri menghadap pak Maxi untuk memprotes per-lakuan di atas. Beberapa hari kemudian, bukan buah jeruk yang saya dapat, tapi buah pahit brotowali. Saya dimutasi ke bagian sample box (boks contoh). Tidak ber-henti sampai di situ, uang lembur yang saya terima juga lebih rendah dari kawan-kawan buruh tetap. Untuk lembur selama 4 jam, saya hanya mendapatkan tamba-han upah Rp. 25 ribu.

Saya terus mencari informasi. Bersama kawan-kawan sekerja di bagian sample box, kami memberanikan diri menghadap kepala bagian, mba Desi namanya. Ke-tika itu, berbeda dengan pak Maxi, mba Desi menyambut kami dengan lebih tenang dan ramah. Kamipun lebih mudah bercerita. Perbincangan ketika itu kami fokus-kan pada upah yang berbeda antara buruh tetap dan buruh borongan, serta pehitungan upah lembur bagi

buruh borongan yang lebih rendah dari buruh tetap. Setelah mendengarkan kami, dengan nada bicara yang halus, mba Desi menjawab,

“Kalau kalian tidak puas dengan upah lembur yang kalian terima, silahkan buat surat pengunduran diri. Dengan point upah kalian kurang.”

Kami semua tidak menduga jawabannya akan seperti itu. Dan sejak itu kami mulai mencari informasi mengenai serikat pekerja, berniat mengadukan per-masalah buruh borongan. Mungkin saja mereka bisa membantu.

Mengenal Serikat Buruh

Melalui bantuan kawan Darko, kami mengadukan masalah yang dialami buruh borongan kepada salah satu pengurus serikat, bung Estu namanya.

Sore itu, di rumah bung Estu, kami disambut de-ngan ramah. Lalu mulai bercerita tentang berbagai dis-kriminasi yang dialami buruh borongan, dan berbagai pelanggaran hak-hak dasar. Kami juga bercerita tentang apa saja yang telah dilakukan sebagai buruh borongan. Keesokan harinya saya kembali bekerja seperti biasa, berangkat pagi, bekerja sesuai dengan jobdesk dan mematuhi peraturan serta perintah dari atasan. Mencari bahan, membaca rancangan dan pembuatan contoh box, lalu diserahkan ke atasan untuk dicek ulang.

Beberapa minggu kemudian, pada bulan Februari 2001, entah bagaimana proses pembelaan yang dilaku-kan serikat, tiba-tiba di dalam slip gaji kami muncul uang transport dan uang makan. Kami semua bergem-bira, walaupun masih berstatus sebagai buruh borongan.

Masih di bulan Februari, tak tahu apa sebabnya, se-cara tiba-tiba saya dipanggil oleh salah seorang pimpinan bagian produksi, bapak Sudarlim namanya.

“Bud, ke ruanganku sebentar.” ujarnya.

Dengan rasa penuh kuatir dan takut, saya berjalan di belakangnya. Sesampainya di ruangan, saya dipersi-lahkan duduk,

“Silahkan duduk Bud”

Kemudian saya duduk di depan bapak Sudarlim dengan penuh tanda-tanya,

“Bud, kamu mulai besok bekerja di bagian converting. Saya sudah ijin pimpinanmu, mba Desi.”

Saya dipindah ke departemen lain, dengan status masih sebagai buruh borongan. Saat itu juga, saya mem-beranikan diri meminta agar diangkat menjadi pekerja tetap. Lalu Bapak Sudarlim menjawab,

“Oke, akan tetapi, jika kamu tidak lulus training selama tiga bulan dan medical check up hari ini, maka kamu harus keluar dari perusahaan tanpa mendapat tun-jangan apapun. Karena kamu adalah buruh borongan.”

Tiga bulan kemudian, tiba saat mendapat putusan. Puji syukur, setelah amplop yang berisi surat pemberita-huan itu dibuka, di dalamnya tertulis saya telah men-jadi buruh tetap. Saya segera bersujud syukur. Kini sta-tus kerja saya telah setara dengan pekerja-pekerja tetap lainnya di PT. Rapipack.

Selanjutnya saya akan bercerita tentang pengalaman menjadi pengurus serikat buruh tingkat pabrik.

Tanggal 12 Oktober 2013, serikat di tempatku bekerja mengadakan musyawarah anggota, yang kami sebut sebagai Musnik (Musyawarah Unit Kerja). Dua minggu sebelum Musnik, Bung Susanto, ketua PUK (Pimpinan Unit Kerja)2 PT. Rapipack, meminta saya un-tuk menjadi salah satu pimpinan sidang. Saat itu saya belum tahu sama sekali tentang apa itu Musnik dan apa tujuannya. Sama sekali tidak punya gambaran. Mengi-kuti Musnik saja saya tidak pernah.

Saya kemudian diberi sebuah buku panduan, yang saya terima sambil bingung. Dalam hati bertanya-tanya “Apa iya saya bisa melakukan tanggung jawab ini?” Sesampainya di rumah, buku itu saya buka, hala-man demi halahala-man, saya mencoba untuk memahami isinya. Lalu saya sadar, Musnik adalah peristiwa pen-ting, sebuah sidang besar di dalam serikat buruh ting-kat pabrik. Ketika Musnik, anggota akan memilih se-orang ketua baru. Ketika Musnik suara dan partisipasi anggota sangatlah dinanti-nantikan, suara anggota me-nentukan masa depan organisasi. Rasanya saya tidak sanggup mengambil tanggung jawab sebagai pimpinan sidang, dan akan mengembalikan buku tersebut kepada ketua. Namun sebelumnya, saya mencoba untuk berbagi beban ini kepada istri yang selalu setia mendampingi dalam keadaan apapun.

Setelah saya bercerita, ia kemudian berkata, “Kalau memang ayah sudah ditunjuk oleh ketua, berarti ayah sebagai anggota harus siap menerimanya, 2 Pimpinan Unit Kerja adalah sebutan bagi pengurus serikat bu-Pimpinan Unit Kerja adalah sebutan bagi pengurus serikat

bu-ruh tingkat perusahaan di KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ed)

semua bisa kita pelajari kok. Ketua menunjuk ayah, ka-rena memandang ayah mampu menjalankan tugas itu.”

Saya merasa lebih lega setelahnya, dan memutus-kan untuk melanjutmemutus-kan tanggung jawab sebagai pimpi-nan sidang. Saya menjadi semakin giat membaca buku panduan. Sedikit demi sedikit mulai mengerti tugas dan tanggung jawab sebagai pimpinan sidang.

Tibalah saatnya gladi resik atau persiapan akhir sebelum besok sidang dilaksanakan. Ketika itu hadir Bung Susanto (Ketua), Bung Oloan (Wakil I), Bung Jo-sep (Advokasi), dan Sri Wahyurianto dan kawan-kawan pengurus lainnya.

Mengetuk palu tiga kali, itulah yang pertama kali saya lakukan, sebagai pertanda sidang dimulai. De-ngan buku panduan yang saya pegang serta arahan bung Oloan, gladi resik berjalan lancar hingga bab penutup dan doa.

Jam 11 malam saya pulang ke rumah, disambut hangat oleh istri. Malampun semakin larut, tapi mata tidak bisa dipejamkan. “Bagaimana besok, bagaimana besok, bagaimana besok?” terus terngiang di kepala. Jam dua pagi saya baru mulai tertidur, sampai adzan subuh membangunkan.

Saya bergegas bangun, mandi, solat, dan sarapan. Setelah berpamitan dengan istri, saya langsung berang-kat dengan penuh rasa cemas. Sesampainya di pabrik, saya disambut bung Santoso, “Kamu sudah siap Bud?” tanyanya,

“Siap” Jawabku

Bismillahirrahmanirrahim, kuketuk palu tiga kali,

pertanda sidang dimulai.

Berbagai pertanyaan terus mengalir, perdebatan dan ide-ide baru muncul dari anggota yang kritis dan

ingin maju. Salah satu tugasku adalah menuliskan selu-ruh keputusan musyawarah dan menjadikannya kese-pakatan yang akan menjadi mandat bagi kepengurusan selanjutnya.

Sejujurnya, saya merasa bingung ketika itu. Ini adalah pertama kali saya mengikuti sidang. Tiba-tiba saya harus menjadi pimpinan sidang, dan berada di tengah-tengah banyak orang yang saling bicara. Saya merasa sangat kewalahan karena banyaknya usulan dan perdebatan di antara peserta. Ada tiga usulan yang menurut saya paling penting, pertama tentang program pendidikan bagi anggota dan pengurus yang harus ber-jalan paling sedikit dua kali dalam setahun; kedua, agar anggota perempuan diberikan lebih banyak ruang untuk berpartisipasi di dalam serikat; ketiga agar pelaporan keuangan dibuat lebih transparan dan bisa diakses oleh anggota.

Kemudian ada satu peserta sidang yang bertanya, kenapa dalam serikat buruh harus ada Musnik? Pada-hal tanpa Musnik sekalipun, kita tetap bisa memilih seorang ketua dan menjalankan organisasi seperti or-ganisasi masyarakat (Ormas) lainnya?

Saat itu saya tidak tahu harus menjawab apa. Setelah berdiskusi dengan pimpinan sidang lainnya, kami mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Menu-rut kami, Musnik tidak hanya untuk memilih seorang ketua. Lebih dari itu, Musnik merupakan forum ber-sama dimana seluruh pengurus dan anggota dapat ter-libat untuk mendiskusikan berbagai masalah yang se-dang dihadapi organisasi. Di dalam Musnik juga, kita secara bersama-sama mendiskusikan berbagai agenda dan langkah yang sudah dan harus kita ambil ke depan. Tujuannya supaya organisasi bisa berbuat lebih baik lagi. Musnik adalah forum tertinggi organisasi, dimana

anggota secara demokratis memiliki hak untuk memilih ketua dan merumuskan apa saja yang harus dilakukan oleh pengurus.

Tiba saatnya untuk memilih dan menentukan calon ketua PUK. Saat itu, ada beberapa nama bakal calon. Diantaranya, bung Josep, bung Beni, bung Oloan, bung Sundusin, dan saya sendiri. Pencoblosan dilaku-kan, dilanjutkan perhitungan suara. Bung Sundusin ter-pilih sebagai ketua serikat buruh PUK Rapipack untuk periode 2013 – 2016.

Selanjutnya bung Sundusin menentukan nama-nama calon pengurus yang akan membantunya. Saya kemudian terpilih sebagai Wakil Sekretaris 2, yang ber-tanggungjawab dalam kerja-kerja pendidikan organisasi.

Lalu kenapa saya bersedia menerima tanggung jawab tersebut? Status kerja saya berubah, dari buruh bo-rongan menjadi buruh tetap, tidak terlepas dari upaya yang dilakukan oleh seorang pengurus serikat. Karenanya saya ingin membayar hutang budi kepada serikat dengan cara menjadi pengurus. Saya juga bersyukur karena dipercaya untuk menjadi salah satu pengurus serikat buruh tingkat pabrik. Sejak itulah saya mulai berjuang sebagai pengurus serikat buruh tingkat pabrik.

Organisasi dan Keluarga

Sesampainya di rumah, menjelang tidur saya ber-cerita kepada istri bahwa saya terpilih sebagai sekretaris 2. Entah kenapa istri terlihat takut dan sedih, tapi juga seperti tidak berani menolaknya. Lama kami berbicara waktu itu, tapi istriku tetap merasa keberatan saya men-jadi pengurus. Ia takut saya akan ter-PHK, dan menmen-jadi semakin jarang di rumah. Istri saya menduga demikian, karena di sekeliling rumah kami sudah banyak orang

yang berserikat. Istri saya tahu dari seorang istri yang suaminya menjadi pengurus serikat, dan semenjak itu suaminya menjadi semakin jarang di rumah.

Inilah tantangan pertama yang harus kuhadapi ketika mulai menjadi pengurus serikat. Saya berusaha menjelaskan sebisanya tentang manfaat hidup beror-ganisasi. Saya menjelaskan tentang apa saja manfaat keberadaan serikat di tingkat perusahaan. Upah yang saya terima saat ini bisa sesuai aturan hukum, dan sta-tus yang berubah dari buruh borongan menjadi buruh tetap, bukan sesuatu yang jatuh dari langit, tapi karena bantuan serikat buruh.

Seiring waktu, saya semakin sibuk di serikat buruh. Waktu di rumah semakin berkurang. Tidak jarang saya harus pergi beberapa hari untuk mengikuti kegiatan serikat. Sampai suatu hari istriku protes,

“Ayah, kalau caranya begini, saya dan anakmu tidak rela kalau karena kegiatan organisasi, jadi meno-mor duakan keluarga.”

Saya terkejut, dan berusaha menjawabnya

“Bunda, bukannya dari awal bunda sudah men-dukung kegiatan ayah ini? Inilah konsekuensinya, wak-tu ayah unwak-tuk keluarga jadi berkurang. Jadi ayah minta, bantulah ayah dalam berjuang.”

Saya mencoba kembali untuk memberikan pema-haman. Bahwa saya berorganisasi tidak bisa sendiri, istri dan anak saya juga harus ikut di dalamnya. Ka-rena dengan berkurangnya waktu di rumah, serta istri dan anak yang sabar menunggu, sebenarnya keluarga sudah terlibat dalam berorganisasi. Lalu saya kembali bercerita tentang berbagai kegiatan yang dilakukan di serikat, perlahan istriku mulai memahaminya.

Hal terpenting yang saya pelajari saat itu adalah: saya harus lebih pintar dalam membagi waktu. Antara bekerja di pabrik, belajar di organisasi, dan waktu untuk keluarga. Bagaimanapun keluarga adalah hal terpenting dalam hidupku, akan tetapi berorganisasi juga penting. Dengan berorganisasi pengetahuanku bisa bertambah, tidak hanya soal mesin dan pabrik. Organisasi adalah ladang ilmu dimana saya bisa memetik pengetahuan se-banyak yang saya mau. Saya yakin, seluruh kegiatanku di organisasi, kelak akan bermanfaat bagi keluarga dan lingkungan dimana saya hidup.

Blokade Jalan Tol

Sepanjang tahun 2012, berbagai serikat buruh di Bekasi bergerak untuk melawan upah murah dan prak-tik kerja kontrak dan outsourcing yang melanggar hu-kum. Ribuan buruh berteriak di jalanan, tapi suara kami seperti hanya dianggap sebagai ocehan orang tidak waras oleh pemerintah. Coba kawan-kawan bayangkan, bagaimana rasanya menjalani hidup demi bisa ma-kan hari ini, dan bisa diputus kontrak kerja kapanpun pengusaha mau? Bagaimana nasib istri dan anak-anak kami di rumah, ketika kita pulang dari pabrik setelah diPHK begitu saja?

Genderang perang melawan upah murah dan

out-sourcing ditabuh keras. Buruh-buruh melakukan pawai

motor di jalanan dan di dalam kawasan-kawasan industri, melancarkan pemogokan di pabrik-pabrik hampir setiap hari.

Hari itu, 27 Januari 2012, saya sedang bekerja di dalam pabrik, dari luar pabrik terdengar suara orang berorasi dari empat moncong pengeras suara di mobil komando. Di belakangnya, ratusan motor mengikuti.

Keadaan di dalam pabrik semakin riuh, kami akan mengalami sweeping.3 Mobil komando dan iring-iringan

massa aksi semakin mendekat. Sementara kami di dalam kebingungan, tidak tahu harus melakukan apa. Mobil komando kini tepat berada di depan gerbang pabrik, menggedor-gedor pagar dan meminta seluruh buruh untuk keluar dan turut dalam aksi hari itu. Sampai ke-mudian terjadi aksi saling dorong pagar antara massa aksi dan satuan pengaman di dalam pabrik. Akhirnya saya dan pengurus serikat lainnya memutuskan untuk mengeluarkan seluruh kawan-kawan kami yang sedang bekerja untuk turut dalam aksi. Keputusan yang tidak mudah, karena kami harus berdebat terlebih dahulu dengan pihak manajemen yang menginginkan agar se-luruh buruh tetap bekerja. Satu persatu kawan-kawan kami mulai mengeluarkan motornya dari area parkiran, lalu gerbang pabrik dibuka, dan mereka bergabung bersama massa aksi di luar pagar pabrik. Suara

Dalam dokumen Buruh Menuliskan Perlawanannya (Halaman 45-67)