• Tidak ada hasil yang ditemukan

Al- Qur‘an: wahyu yang berasal dari Allah

BAB II : NON-MUSLIM DAN KAJIAN AL- QUR‘AN

B. Status al- Qur‘an menurut Toshihiko Izutsu

1. Al- Qur‘an: wahyu yang berasal dari Allah

Para orientalis menyatakan bahwa wahyu bukan merupakan suatu peristiwa supernatural, tetapi merupakan peristiwa natural. Dengan kata lain, wahyu bukan berasal dari Tuhan, tetapi merupakan ide-ide dalam jiwa yang kemudian disabdakan. William Muir menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai wahyu tidak lain sesungguhnya adalah kata-kata Muhammad sendiri. Kata-kata tersebut dihimpun dari pengalaman-pengalaman Muhammad.150 Richard Bell juga menyatakan bahwa wahyu sebagaimana yang digunakan dalam al-Qur‘an adalah sejenis komunikasi dari suatu ide dengan bisikan (suggestion) atau dorongan (promting) yang cepat melalui kilasan inspirasi. Wahyu demikian diperoleh dengan cara mempraktekkan kehidupan seperti kahin atau tukang tenung (soothsayer), hidup menyepi dan merenung. Argumen yang dikemukakannya adalah Q.S. al-Muzammil (73): 1-8, terutama ayat 6. Ayat ini dipahami Richard Bell sebagai gambaran usaha Muhammad untuk bangun di malam hari dalam rangka mendapatkan wahyu. Dalam suasana tengah malam lebih hening dan khusyu‟, wahyu lebih mudah didapat.151 Pernyataan William Muir dan Richard Bell tersebut mengindikasikan bahwa mereka menuduh Muhammad hanya mengaku mendapat wahyu dari Tuhan. Konsep wahyu itu sendiri, menurut Arthur Jeffery, telah dikenal oleh Muhammad melalui lingkungannya di masa kanak-kanak dan masa muda. Pengetahuan tentang wahyu, ilham, malaikat, kenabian, rasul, dan kitab suci sudah populer dalam masyarakat Arab sebelum atau menjelang kerasulan

149 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 1.

150 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 95.

151 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 95-96.

Muhammad. Ide mengenai wahyu lebih lanjut dipelajari oleh Muhammad melalui kontak dengan ahl al-kitâb. Sementara ajaran mengenai Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu diambil dari kitab Daniel dan Injil Lukas.152

Mengapa Muhammad mengaku mendapatkan wahyu dari Tuhan? Karena, menurut Arthur Jeffery, Muhammad mengumumkan dirinya sebagai nabi. Mengaku sebagai nabi harus mengetahui tentang Tuhan, mempunyai kitab suci, dan perlu bimbingan dari Tuhan, yang semuanya diperoleh melalui wahyu. Dalam hal ini Muhammad ingin menyerupai nabi-nabi dalam Perjanjian lama.153

Keinginan Muhammad untuk menjadi nabi, menurut Maxime Rodinson, karena ada kontradiksi-kontradiksi intern dalam jiwa dan faktor-faktor sosial yang kontradiktif dengan keadaan Muhammad yang mengakibatkan krisis nervous dalam dirinya.154 Muhammad di satu sisi memiliki pikiran sehat dan tenang. Dalam hidupnya selalu berpikir sebelum mengambil keputusan, melaksanakan kegiatan bisnisnya dengan efisien, mengetahui kapan harus mengulur waktu dan kapan harus memperketat serta kapan harus melakukan tindakan untuk keberhasilan rencananya. Muhammad mampu berdiplomasi dan mampu berpikir yang jelas dan logis. Tetapi di bawah dari apa yang nampak itu terdapat temperamen yang gugup, penuh gairah nafsu agresif, gelisah, tidak sabar, serta mengangankan sesuatu yang tidak mungkin. Keadaan jiwa yang demikian kontradiktif tersebut membawa kepada krisis nervous yang merupakan kasus patologis.155

152 Arthur Jeffery, ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195, 197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al-Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah studi evaluatif), h. 93. Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat,

(Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 176.

153Arthur Jeffery, ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195, 197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al-Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah studi evaluatif), h. 93.

154 Maxime Rodinson menyatakan menggunakan Psikoanalisa Sigmund Freud dalam melihat

kejiwaan Muhammad. Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di

Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 91.

155 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 91.

Menurut Maxime Rodinson, beberapa sifat Muhammad yang bisa memberikan kebahagiaan walaupun sedikit, misalnya, sikap pasrah terhadap keadaan yang ada. Akan tetapi sifat ini tidak bertahan lama, karena bertentangan dengan sifatnya yang lain, yaitu menginginkan sesuatu di luar dari hal biasa. Hal lain adalah karena ia tidak mempunyai anak laki-laki (anak laki-lakinya, Ibrahim wafat selagi masih kecil). Sebagaimana lazimnya pada masa itu, anak laki-laki menjadi kebanggaan, sementara anak perempuan merupakan bencana. Keadaan ini menyebabkan Muhammad merasa malu, yang oleh Maxime Rodinson diidentikkan dengan kata ―abtar‖ dalam Q.S. al-Kautsar (108): 3. Menurut pemahamannya, ayat tersebut diucapkan oleh Muhammad sebagai kompensasi dari rasa kecewa karena tidak mempunyai anak laki-laki. Di sisi lain, ketidakpuasan Muhammad juga disebabkan oleh tradisi masyarakat Arab yang menganggap pria beristri satu tidak pantas. Sementara itu, Muhammad tidak mungkin memadu Khadijah, istrinya yang berjasa itu, dengan wanita lain. Keadaan ini juga bisa membawa frustasi.156

Keadaan lain yang mengakibatkan ketidakpuasan Muhammad adalah karena famili-famili dan sahabat-sahabat karibnya adalah orang-orang kaya yang lebih cenderung pada politik yang ditunjang oleh kekayaan mereka. Sementara anggota masyarakat lainnya mempunyai kecenderungan pada masalah moral dan intelektual. Muhammad sendiri tidak seperti famili-familinya yang praktisian. Ia adalah seorang idealis yang tidak ofensif. Sementara itu, ia sejak kecil memiliki bakat seperti shaman atau ahli magis yang bisa membuat ramalan-ramalan. Dengan kemampuan tersebut, ia berusaha menarik simpati dari orang banyak dengan membuat ramalan-ramalan untuk perbaikan masyarakatnya. Keadaan ini membuat Muhammad melakukan pertapaan, kemudian berfatwa, dan lambat-laun menyatakan diri sebagai Nabi.157 Adapun menurut Arthur Jeffery, yang memotivasi Muhammad untuk mengaku

156 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 91.

157 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 92.

seorang nabi adalah karena masyarakat Arab tidak pernah mempunyai nabi atau rasul dari bangsanya sendiri, sementara konsep kenabian sudah mereka ketahui melalui tradisi Yahudi dan Kristen.158

Sementara menurut Toshihiko Izutsu, wahyu yang diperoleh oleh Muhammad dan nabi-nabi sebelumnya berasal Tuhan. Baginya, fenomena wahyu merupakan fenomena yang sudah dikenal oleh masyarakat Arab pra-Islam sebagaimana terekam dalam syair-syair Jahiliyah.159 Dari beberapa contoh penggunaannya dalam syair Jahiliyah, kata ini secara semantik dapat dikelompokkan menjadi tiga persoalan. Pertama, ia merupakan proses komunikasi. Artinya, proses ini harus melibatkan dua orang, atau harus ada dua orang di arena agar peristiwa yang disebut wahyu benar-benar terwujud. Di sini tidak harus terjadi hubungan timbal balik, hubungan tersebut sepenuhnya merupakan komunikasi unilateral. Orang pertama berperan aktif dengan melakukan tindakan pengiriman kehendak dan pikirannya melalui isyarat kepada orang kedua, sementara orang kedua berperan sebagai penerima informasi dari orang pertama tanpa melakukan tindakan sebaliknya; Kedua, komunikasi tersebut tidak harus verbal. Artinya, media yang digunakan dalam penyampaian informasi tersebut tidak selalu berbentuk bahasa. Meskipun kadang kala menggunakan kata-kata, namun seringkali bersifat non-linguistik; dan Ketiga, komunikasi tersebut dilakukan dengan cara yang misterius, rahasia, dan mengandung hal-hal yang bersifat pribadi. Dalam arti orang pertama menyampaikan informasi dengan sangat jelas kepada orang kedua, sehingga dengan demikian komunikasi tesebut terjadi dengan sempurna, namun karena dilakukan dengan cara yang rahasia, maka komunikasi tersebut tidak dapat

158 Arthur Jeffery, ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195, 197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al-Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah studi evaluatif), h. 93.

159 Johannes Deninger mendeskripsikan wahyu sebagai ajaran yang berasal dari Tuhan yang

biasanya disampaikan melalui perantaraan malaikat Jibril. Wahyu tersebut menyangkut firman Tuhan, kehendak-Nya yang misterius, pernyataan mengenai hari kemudian, serta perintah-perintah dan hukum-hukum-Nya. Wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad dalam bentuk definitif pada tahun 570-632 M. Lihat Johannes Deninger, ―Revelation‖, dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 11-12, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995),h. 361.

dipahami oleh orang-orang luar.160 Dengan demikian, makna sentral dari wahyu adalah pemberian informasi. Syarat pemberian informasi ini harus berjalan secara samar dan tersembunyi. Dengan kata lain, wahyu adalah sebuah hubungan komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi (pesan) secara samar dan rahasia.

Selain itu, konsep wahyu dalam masyarakat Arab pra-Islam terkait dengan puisi dan ramalan yang dianggap datang dari dunia jin yang disampaikan kepada penyair dan peramal melalui proses pewahyuan (waẖy, tanzîl). Syair dan ramalan pada saat itu merupakan sumber kebenaran, karena keduanya digubah oleh para penyair dan peramal berdasarkan informasi yang didapat dari jin yang mampu mendengar atau mencuri informasi dari langit. Hal ini, menurut Nashr Hâmid Abû Zaid (l. 10 Juli 1943), merupakan basis kultural fenomena wahyu keagamaan. Karena keyakinan ini, pemikiran Arab juga akrab dengan konsep malaikat (malâ‟ikah) yang berkomunikasi dengan seorang Nabi.161 Namun, dalam tahap selanjutnya al-Qur‘an mendekonstruksi konsep kultural wahyu pra-Islam itu dengan mengatakan bahwa para jin itu kini tidak bisa lagi mencapai langit, karena sebelum mencapainya mereka telah dilempari bintang berapi oleh para malaikat.162 Jadi, logika budayanya berarti bahwa syair dan ramalan bukan lagi merupakan sumber kebenaran, karena jin tidak lagi dapat mencuri informasi dari langit. Dengan demikian, teks al-Qur‘an menyatakan dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran, karena diwahyukan sendiri oleh Allah (bukan dengan cara dicuri) kepada Muhammad melalui Malaikat Jibril.

Berkenaan dengan al-Qur‘an, wahyu, menurut Toshihiko Izutsu, adalah parole (kalâm/perkataan) Tuhan, yang termanifestasi dalam bahasa (lisân) Arab.163

160 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 169-178.

161 Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (t.tp.: al-Hai‘ah

al-Mishriyyah al-ʻÂmmâh li al-Kitâb, 1993),h. 38.

162 Q.S. al-Jinn (72): 8-9.

Pendapatnya tersebut didasarkan kepada Q.S. al-Taubah (9): 6 dan Q.S. al-Baqarah (2): 75, yang secara kontekstual mengandung pengertian bahwa firman Tuhan mengacu kepada kata-kata yang telah diucapkan atau diwahyukan kepada Nabi. Pendapat Toshihiko Izutsu secara linguistik memang cukup kokoh. Dalam kedua ayat tersebut, yaitu: Q.S. al-Baqarah (2): 75; dan Q.S. al-Taubah (9): 6, kata ―kalâm‖,164 yang berasal dari akar kata k-l-m, dirangkaikan dengan kata ―Allah‖.165 Al-Zamakhsyarî (w. 538 H./1143 M.)166 dan Abû Hayyân al-Andalusî (w. 745 H./1353 M.)167 juga menginterpretasikannya sebagai wahyu Tuhan.

Sekarang problem sesungguhnya dari persoalan pewahyuan adalah ketika menyingkap tabir Tuhan yang berkomunikasi dengan Muhammad. Jelasnya, Bagaimana menjelaskan eksternalitas wahyu sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan? Apakah Tuhan berkomunikasi (menyampaikan wahyu) kepada Muhammad secara langsung atau melalui perantara (Ruh, Malaikat atau Jibrîl)? Harus disadari memang, situasi komunikasi dalam konteks wahyu al-Qur‘an memang berbeda dengan situasi komunikasi lainnya. Dua sisi komunikasi yang mendasar dalam konteks ini adalah Allah di satu pihak dan Muhammad yang manusiawi di pihak lain.

164 Menurut penelitian C.H.M. Versteegh, semenjak paruh awal abad kedua hijriah, para

ilmuwan bahasa Arab mempergunakan kata ―kalâm‖, ―qaul‖, ―kalimah‖, dan yang senada sebagai

istilah-istilah teknis dalam disiplin bahasa dan sastra Arab. Menurut pengertian teori bahasa Arab

tersebut, kata ―kalâm‖ diartikan sebagai ungkapan yang memiliki fungsi, atau dengan kata lain, frase

yang memiliki fungsi tertentu. Lihat, C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar and Qur‟anic Exgesis in

Early Islam, (Leiden: 1993), h. 99-104.

165 Selain dalam kedua ayat tersebut, kasus serupa juga terdapat dalam dan Q.S. al-Fat (48):

15. Lihat Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm, h. 620.

166 Al-Zamakhsyarî mengartikan frase ―kalâm Allah‖ dalam Q.S. Taubah (9): 6 dengan

al-Qur‘an. Lihat Abû al-Qâsim Maẖmûd ibn ʻUmar ibn Aẖmad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ʻan Haqâ‟iq

Ghawâmidh al-Tanzîl wa ʻUyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl, Jilid III, (Riyad: Maktabah al-ʻAbîkân, 1998), h. 14-15.

167 Mu

ẖammad ibn Yûsuf al-Syahîd bi Abî Hayyân al-Andalusî dalam menafsirkan frase

kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Baqarah (2): 75, terlebih dahulu ia memberikan definisi ―kalâm‖. Menurutnya, ―kalâm‖ adalah ungkapan yang memberikan petunjuk akan adanya relasi terhadap

sesuatu yang dimaui atau dimaksud oleh si pengujar (al-kalâm huwa al-qaul al-dâll ʻalâ nisbah

isnâdîyah maqshûdah li dzâtihâ). Kemudian ia menegaskan bahwa kata ini berarti wahyu Tuhan yang

diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Lihat Abû Hayyân al-Andalusî, Tafsîr al-Bar al-Muhîth, Juz I, (Beirut: dâr al-Kutub al-ʻIlmîyah, 2001), h. 435-439.

Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, komunikasi antara Tuhan dan manusia ini memang mengalami masalah, karena keduanya berada dalam taraf ―eksistensi‘ yang berbeda. Tuhan berada dalam taraf ―eksistensi‖ supra-natural, sementara manusia berada dalam taraf ―eksistensi‖ natural, sehingga tidak ada keseimbangan ontologis antara keduanya. 168 Problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai Dzat yang ghaib atau supra-natural tentunya menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau non-natural, sebaliknya manusia sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa alamiah atau sistem bahasa natural.

Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, problem tersebut dapat diatasi dengan adanya perantara yang menjembatani kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan manusia tersebut. Ia menegaskan bahwa wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan tiga individu. Kondisi ini juga berlaku dalam pewahyuan al-Qur‘an. Dengan kata lain, dalam kesadaran kenabian yang dimiliki Muhammad, selalu ada seseorang, suatu makhluk misterius antara Tuhan dan dirinya yang membawa kata-kata Tuhan ke dalam hatinya. Makhluk ghaib tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain adalah Malaikat Jibril, yang pada periode Mekah disebut sebagai rûh al-quds (roh suci) dan rûh al-amîn (roh yang dapat dipercaya).169 Hal inilah yang secara membuat wahyu secara struktural berbeda, bukan saja dengan perkataan manusia pada umumnya, tapi juga dengan tipe inspirasi verbal lainnya yang bersumber dari jinn.170

Toshihiko Izutsu memperkuat penjelasannya dengan mengutip ayat al-Qur‘an yang menjelaskan tentang cara pengiriman wahyu.171 Berdasarkan ayat tersebut, diketahui ada tiga cara Tuhan berkomunikasi secara verbal kepada manusia, yaitu: pertama, komunikasi misterius; kedua, berbicara dari balik tabir; dan ketiga, melalui

168 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 180. 169 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191-192. 170 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189. 171 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189.

pengiriman seorang utusan.172 Tipe pertama, menurut Toshihiko Izutsu masih gelap, karena tidak dijelaskan oleh ayat tersebut. Ia menduga kata wahy adalah semacam komunikasi langsung yang merupakan komunikasi khusus dari Allah yang diberikan kepada Musa sebagai pengecualian dari Nabi-nabi yang lain.173 Dalam bagian yang lain ia mengatakan, dari semua Nabi yang disebutkan dalam al-Qur‘an, Musa menempati posisi yang istimewa. Keistimewaannya ditandai oleh Tuhan ―berbicara‖ secara langsung dengannya.174 Tipe kedua, yang menggunakan ungkapan ―dari balik tabir‖, menegaskan bahwa komunikasi verbal benar-benar telah terjadi dalam keadaan pendengar tidak melihat sama sekali si pembicara. Dalam kasus ini, meskipun tidak melihat siapa-siapa, Muhammad memiliki kesadaran yang jelas bahwa di suatu tempat di dekatnya ada makhluk ghaib yang berbicara kepadanya dengan cara yang tidak biasa.175 Untuk menguatkan argumennya, Toshihiko Izutsu mengutip sebuah hadis yang berasal dari ‗Âisyah yang menceritakan bahwa pada suatu kesempatan al-Hârits ibn Hisyâm bertanya kepada Muhammad tentang cara wahy datang. Lalu Muhammad menjelaskan bahwa wahy kadang kala datang seperti suara gemerincing lonceng (mitsla shalshalah al-jaras).176 Tipe yang ketiga adalah komunikasi verbal melalui utusan khusus. Dalam kasus ini Muhammad, seperti ditegaskan oleh separuh lanjutan hadis ‗Âisyah,177 tidak hanya mendengar kata-kata

yang diucapkan, tetapi juga melihat pembicara.

Fakta yang sangat penting yang tidak boleh diabaikan, menurut Toshihiko Izutsu, adalah penggunaan kata kerja ―wa„a”. Dalam bagian pertama muncul dalam bentuk perfektif (wa„aitu ―aku telah mengetahui‖). Ungkapan ini mengandung makna

172 Q.S. al-Syûrâ (42): 51-52.

173 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190. 174 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 174-175. 175 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190.

176 Lebih lanjut dalam hadis tersebut Muhammad menjelaskan bahwa cara ini merupakan cara

yang paling berat. Lihat Abî ‗Abd Allah Muẖammad ibn Ismâ‗îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah ibn

Bardizabah al-Bukhârî al-Ja‗fî, Saî al-Bukhârî, Juz I, (Semarang: Penerbit Toha Putra, t.th.), h. 2-3.

177Lihat Abî ‗Abd Allah Muẖammad ibn Ismâ‗îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah ibn Bardizabah

bahwa pada saat makhluk ghaib tersebut berbicara, Muhammad tidak memiliki kesadaran untuk mengerti apa yang dibicarakan. Semua yang beliau dengar merupakan suatu misteri. Namun ketika momen tersebut berakhir dan beliau telah kembali kepada kesadaran manusia normal, beliau menyadari bahwa suara tersebut berubah menjadi kata-kata yang jelas maknanya. Sementara pada bagian kedua, kata tersebut muncul dalam bentuk imperfektif (a„i). Hal ini menunjukan dengan jelas bahwa dalam kasus kedua tersebut Muhammad mendengar kata-kata yang benar-benar diucapkan.178 Berdasarkan hal tersebut, Toshihiko Izutsu menyimpulkan bahwa Muhammad bukan saja seorang Nabi yang bertipe auditory tetapi juga bertipe visual.179 Hal ini berbeda dengan Tor Andrae. Setelah menganalisis wahyu yang diterima para Nabi yang menurutnya memiliki dua tipe, yaitu: Pertama, wahyu yang diterima melalui pendengaran (auditory). Dalam bentuk ini, wahyu seperti suara yang berbicara ke telinga ataupun hati seorang nabi. Kedua, wahyu yang diterima melalui penglihatan (visual). Menurut penjelasan ini, wahyu diterima dengan pandangan dan gambaran yang jelas sekali, tetapi biasanya samar-samar. Selanjutnya, Tor Andrae berpendapat, bahwa bentuk wahyu yang diterima oleh Muhammad adalah tipe yang pertama, di mana Jibril secara langsung mendiktekan kepada Muhammad wahyu-wahyu Tuhan yang menyatakan bahwa wahyu-wahyu yang diterima Muhammad, didiktekan oleh suatu suara yang diatributkan kepada Malaikat Jibril. Dalam keadaan demikian, Muhammad tidak melihat sosok yang menditekan wahyu tersebut. Kesimpulannya, Tor Andrae memandang Muhammad sebagai Nabi yang hanya bertipe auditory.180

Teori wahyu sebagai komunikasi verbal dan adanya ―perantara‖ dalam pewahyuan al-Qur‘an sebagaimana yang dikemukakan Toshihiko Izutsu disanggah oleh Fazlur Rahman. Tegasnya, Fazlur Rahman menolak bahwa wahyu datang

178 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190-191. 179 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191.

180 Sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI

Press, 1986), Cet. II, h. 22. Juga Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 179.

melalui telinga Nabi Muhammad dan melalui proses eksternal. Proses pewahyuan, menurutnya, bukan merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian inspirasi ke dalam hati Nabi Muhammad.181 Ia juga menolak malaikat Jibril sebagai perantara dalam proses pewahyuan. Penggambaran seperti ini biasanya disimbolkan sebagai proses mekanis perekaman suara. Tentang kehadiran figur malaikat Jibril sebagai agen eksternal, Fazlur Rahman secara tegas dan sejak dini menolaknya. ―Sekalipun ada kisah yang menceritakan kehadirannya,‖ ia menyebutnya, ―Sebagai kisah-kisah yang diadakan di kemudian hari‖ (must be regarded as later fictions).182

Penolakan Fazlur Rahman ini didasarkan atas al-Qur‘ân yang tidak menyebutkan malaikat apapun yang diutus untuk menyampaikan wahyu, kecuali kata yang sering disebut adalah rûh dan rûh al-amîn.183 Kesangsian Fazlur Rahman terhadap malaikat Jibrîl ini, bisa jadi disebabkan karena adanya pertentangan dengan ayat-ayat lainnya yang justru lebih banyak menyebutkan bahwa wahyu disampaikan langsung oleh Tuhan kepada para nabi melalui ruh-Nya.

Memang banyak penafsir al-Qur‘an yang menganalogkan ruh tersebut sebagai Malaikat (Jibril). Malaikat sering didefinisikan sebagai makhluk spiritual yang

181 Sebagaimana Toshihiko Izutsu, Fazlur Rahman dalam menjelaskan pendapatnya juga

bersandarkan kepada Q.S. al-Syûrâ (42): 51-52. Namun ia memahaminya sebagai ―God speak to no

human (i.e. through “sound words”) exept through wahy (i.e. through “idea-words” inspiration), or from behind the veil, or He may send a messenger (an angel) who speak through wahy … even thus

have We inspired you with a spirit of Our command.‖ Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: Chicago University Press, 1979), h. 30-31.

182 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Quran, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit

Pustaka, 1996), Cet. II, h. 141. Dalam konteks ini tidak ada penjelasan dari Fazlur Rahman mengenai kedudukan hadits-hadits, termasuk di dalamnya hadits qudsi, yang menjelaskan kehadiran Jibril, apakah benar-benar ia menolaknya atau tidak. Pandangan Rahman di atas didasarkan keterangan yang menyebutkan bahwa orang-orang Mekkah berulang kali mendesak agar diturunkan kepada Muhammad. Al-Qur‘ân berulang kali pula menyangkal desakan-desakan tersebut. Keterangan tersebut antara lain disebutkan dalam al-Qur‘ân, antara lain Q.S. al-Syu‗arâ (26): 193, al-Baqarah (2): 97, al-Syûrâ (42): 24, al-Hijr (15): 81, dan lain sebagainya. Keterangan dari ayat-ayat tersebutlah yang menjadi dasar argumen Rahman tentang penolakan Jibril sebagai figur penyampai wahyu.

183 Bahkan dalam cerita-cerita Nabi-nabi yang lain, Mûsa, Nûh dan Ibrâhîm, Tuhan seperti

berbicara langsung kepada mereka. Atau dalam istilah yang cukup populer disebutkan al-Qur‘ân, ―Dia

mengirimkan Ruh dari perintah-Nya kepada yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya (Q.S. al-Mu‘min (40): 15). Beberapa Nabi memang mendapat manfaat dari kehadiran Ruh Tuhan ini, yang