• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sketsa Biografis Toshihiko Izutsu

BAB II : NON-MUSLIM DAN KAJIAN AL- QUR‘AN

A. Sketsa Biografis Toshihiko Izutsu

Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada tanggal 4 Mei 1914 dan meninggal di Kamakura pada tanggal 7 Januari 1993.117 Pendidikan dasar sampai perguruan tinggi diperolehnya di negaranya sendiri, Jepang. Setamat SMA, Toshihiko Izutsu melanjutkan ke fakultas ekonomi Universitas Keio, Tokyo, tetapi kemudian pindah ke jurusan sastra Inggris karena ingin dibimbing oleh Prof. Junzaburo Nishiwaki.118 Setelah selesai, ia mengabdikan dirinya menjadi dosen di lembaga ini, dan mengembangkan karir sebagai seorang intelektual yang diakui dunia. Ia mengajar di sini dari tahun 1954 sampai dengan 1968 dan mendapatkan gelar profesor pada tahun 1950. Antara tahun 1962-1968 ia menjadi profesor tamu di Universitas McGill

116 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:

Paramadina, 1996), h. 135; E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 31.

117http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

118http://www.iiu.edu.my/irkhs/izutsu/?Who_is_Toshihiko_Izutsu%3F. Diakses 3 Mei 2009.

Montreal Kanada atas permintaan Wilfred Cantwell Smith selaku direktur program kajian Islam di perguruan tinggi tersebut, dan selanjutnya menjadi profesor penuh antara tahun 1969-1975. Setelah lepas dari mengajar di McGill, ia hijrah ke Iran memenuhi undangan Seyyed Hossein Nasr untuk menjadi pengajar di Imperial Iranian Academy of Philosophy antara tahun 1975 sampai dengan 1979. Setelah itu, ia kembali ke tanah airnya dan menjadi profesor emiritus di Universitas Keio hingga akhir hayatnya.119

Toshihiko Izutsu berasal dari keluarga yang taat kepada ajaran Zen Buddhisme, bahkan ayahnya adalah seorang guru Zen. Oleh karena itu ia pun telah dibiasakan untuk mengamalkan ajaran tersebut sejak kecil. Sebagai seorang guru Zen, ayahnya mengajarkan Zen dengan menuliskan kata ―kokoro‖ yang berarti ―pikiran‖ pada sebuah kertas. Tulisan tersebut diberikan kepadanya untuk ditatap pada waktu tertentu setiap hari. Lalu pada suatu ketika, ayahnya memerintahkan untuk menghapus tulisan itu dan memintanya untuk melihat kembali tulisan tersebut di dalam pikiran – bukan kata yang tertera pada kertas – dengan cara memfokuskan perhatian kepada tulisan secara terus menerus. Berikutnya, ayahnya memerintahkan untuk menghapuskan kata yang ada di dalam pikirannya, dan menatap pikiran yang hidup di balik kata yang tertulis. Pengalaman kontemplasi dalam mengamalkan Zen yang telah dilakukan sejak muda tersebut tampaknya turut mempengaruhi cara berfikir dan pencariannya akan kedalaman pemikiran filsafat dan mistisisme.120

Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana yang jenius. Ia menguasai banyak bahasa dunia.121 Kemampuan ini memungkinkannya untuk melakukan penyelidikan terhadap kebudayaan-kebudayaan dunia dan menjelaskan secara spesifik substansi berbagai sistem keagamaan dan filsafat melalui bahasa aslinya. Bidang kegiatan penyelidikannya sangat luas, mencakup filsafat Yunani kuno, filsafat Barat abad

119http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 120http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

pertengahan, mistisisme Islam (Arab dan Persia), filsafat Yahudi, filsafat India, pemikiran Konfusianisme, Taoisme China, dan filsafat Zen. Keluasaan pengetahuannya memungkinkan untuk melihat persoalan dari berbagai perpektif, sehingga dapat melahirkan pandangan yang menyeluruh tentang satu masalah.122

Sejauh berkenaan dengan kajian Islam, kepentingan karya Toshihiko Izutsu terletak pada sebuah pemikiran yang dibentuk oleh Zen Buddhisme, Neo-Konfusianisme, dan Shintoisme (yang merupakan unsur-unsur pembentuk kebudayaan klasik Jepang), yang dipertemukan dengan dunia wahyu al-Qur‘an dan pemikiran Islam. Inilah yang membedakannya dengan sarjana-sarjana orientalis yang menghasilkan begitu banyak karya tentang pemikiran Islam yang merupakan hasil dari tradisi yang dibentuk oleh warisan Yahudi dan Kristen. Bagi Seyyed Hossein Nasr, karya Toshihiko Izutsu dalam bidang kajian Islam sesungguhnya menunjukkan betapa pentingnya sebuah pandangan dunia yang dijadikan pijakan oleh seorang sarjana dalam mengkaji dunia intelektual lain dan bagaimana dangkalnya tuduhan-tuduhan yang disampaikan oleh begitu banyak sarjana Barat menurut pengertian mereka, baik disadari atau tidak, merupakan ―alasan‘ yang anti-metafisis, bersifat sekuler, dan rasionalisme Abad Pencerahan.123

Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. Seyyed Hossein Nasr, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syahidah, ketika menuliskan pengantar dalam Jalâl al-Dîn Ashtiyani (et. al), Consciousness and Reality; Studies in Memory of Toshihiko Izutsu, (Boston: Brill, 2000), menyatakan kekagumannya seraya mengatakan bahwa dengan menggabungkan kepekaan Buddhis, disiplin Jepang tradisional, dan bakat yang luar biasa dalam mempelajari bahasa dan kepintaran filsafat yang meliputi kemampuan analitik dan sintetik, dapat melintasi batas-batas kultural dan intelektual, Toshihiko

122http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 123http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

Izutsu dapat dengan mudah memasuki semesta makna yang berbeda dengan wawasan yang hebat. Dia adalah seorang tidak saja ahli dalam bahasa utama tiga peradaban: Timur Jauh, Barat dan Islam, tetapi juga warisan intelektualnya. Ia menulis dengan sangat kompeten tidak hanya tentang Lao-Tse tetapi juga Ibn ‗Arabi dan Mulla Sadra selain juga para ahli filsafat Barat.124

.Selain itu, tambah Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan serius pertama antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara pemikiran Islam dan Timur Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern.125

Berkaitan dengan bagaimana Toshihiko Izutsu memahami kajian teks-teks Islam, William C. Chittick memberikan testimoni bahwa hal ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masa kecilnya, yang dipaksa ayahnya untuk mempraktikkan zazen.126 Toshihiko merasa sangat tidak nyaman dengan pengalaman ini. Akibatnya, ia memutuskan untuk memasuki sebuah bidang yang sejauh mungkin dari pendekatan Zen dalam memahami realitas, dan oleh karena itu ia memilih linguistik. Sejak itulah, Toshihiko Izutsu mulai mempelajari beberapa bahasa asing.127

Sebagai seorang sarjana yang prolifik dan diakui dunia, Toshihiko Izutsu telah menghasilkan tidak kurang dari 120 karya tulis, baik yang berbentuk buku maupun

124http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009. 125http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

126Toshihiko Izutsu dalam Toward A Philosophy of Zen Buddhism, (Tehran: Imperian Iranian

Academy of Philosophy, 1977), h. 5, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syahidah, menjelaskan bahwa zazen (坐禅) adalah meditasi yang dilakukan dengan duduk yang dilakukan untuk menenangkan tubuh dan pikiran untuk mencapai pengetahuan tentang hakikat eksistensi dan dengan demikian mendapatkan pencerahan (satori). http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.

artikel.128 Dari sekian banyak tulisan Toshihiko Izutsu, ada dua karya yang patut mendapat perhatian khusus berkenaan dengan kajian al-Qur‘an. Yang pertama yaitu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an.129 Menurut Toshihiko Izutsu, konsep pemikiran tentang etika dalam al-Qur‘an dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok: Pertama, pembahasan yang menunjukkan dan menguraikan sifat-sifat Tuhan; Kedua, pembahasan yang menjelaskan berbagai aspek sikap fundamental manusia terhadap Tuhan; dan Ketiga, pembahasan yang menunjukkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan tingkah laku yang menjadi milik dan hidup dalam masyarakat Islam.130

Dari tiga konsep al-Qur‘an tentang etika tersebut, Toshihiko Izutsu memfokuskan diri pada pembahasan mengenai konsep kedua saja. Ini bukan berarti bahwa ia meninggalkan sama sekali dua konsep yang lain, karena – menurutnya – ketiga kelompok konsep tersebut tidak berdiri secara terpisah, namun memiliki hubungan yang sangat erat. Hal itu disebabkan karena pandangan dunia al-Qur‘an pada dasarnya bersifat teosentris.

Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur‘an adalah: God and

Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung.131 Dari judul buku ini, jelas Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an tentang relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al-Qur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan-hamba, dan etik.132