• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : NON-MUSLIM DAN KAJIAN AL- QUR‘AN

B. Status al- Qur‘an menurut Toshihiko Izutsu

2. Bahasa al- Qur‘an

Wahyu Tuhan termanifestasi dalam langue (lisân/bahasa), dan bahasa yang dipilih oleh Allah adalah bahasa Arab.187 Pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur‘an bukan karena superioritas bahasa ini dibanding bahasa-bahasa lain sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Jalâl al-Dîn al-Suyuthî,188 tetapi lebih merupakan teknis penyampaian pesan. Penggunaan bahasa Arab untuk al-Qur‘an adalah wujud khusus dari ketentuan umum bahwa Allah tidak mengutus seorang rasul pun kecuali dalam bahasa kaumnya,189 yaitu masyarakat Arab yang menjadi audience langsung seruan rasul itu dalam menjalankan misi sucinya. Dalam hal ini Muhammad merupakan seorang rasul yang diutus kepada masyarakat Arab sebagai audience

187 Karena al-Qur‘an menggunakan bahasa Arab, dalam kalangan masyarakat Muslim timbul pandangan tentang adanya semacam ―kesejajaran‖ antara Islam dan Arab. Pandangan seperti ini dapat

dilihat, misalnya, pada Abû Manshûr al-Tsa‗labî dalam mukaddimah bukunya ―Fiqh Lughah

al-„Arabiyah,‖ mengatakan bahwa: ―Barang siapa mencintai Allah, dia harus mencintai rasul-Nya, Muhammad. Dan barang siapa mencintai rasul-Nya yang dari Arab itu, dia harus mencintai bangsa Arab. Barang siapa mencintai bangsa Arab, dia harus mencintai bahasa Arab. … Berupaya

memahaminya adalah termasuk kewajiban agama, sebab bahasa Arab adalah merupakan alat dari ilmu

pengetahuan dan kunci mendalami agama ….‖ Sebagaimana dikutip oleh Utsman Amîn, Falsafah al-Lughah, (Mesir: Dâr al-Mishriyah li al-Ta‗lîf wa al-Tarjamah, 1965), h. 22.

188 Jalâl al-Dîn ‗Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî, al-Muzhhir fî „Ulûm al-Lughah wa

Anwâ„ihâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 322. Salah satu keistimewaan bahasa Arab, menurutnya, adalah bahasa sorga. Pandangannya ini didasarkan pada hadis yang menyatakan bahwa bahasa yang dipakai oleh Adam untuk berkomunikasi ketika di sorga. Lihat Jalâl al-Dîn ‗Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî, al-Muzhhir fî „Ulûm al-Lughah wa Anwâ„ihâ, h. 30-31.

langsung, maka al-Qur‘an ―turun‖ menggunakan bahasa Arab. Ia mendasarkan pandangannya atas Q.S. Ibrâhîm (14): 4, Q.S. Yûsuf (22): 2, Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26): 193-194, Q.S. Fushilat (41): 44, dan Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26): 198-199.190

Di sini timbul pertanyaan, siapa yang membahasaarabkan al-Qur‘an. Di kalangan sebagian sarjana Muslim klasik setidaknya terdapat tiga pandangan yang berkembang, yaitu: pertama, al-Qur‘an disampaikan dengan lafadz dan makna. Mekanismenya adalah Jibril menghafalkan al-Qur‘an dari lau al-mafûdz dan membawanya ke bumi; kedua, Jibril hanya menyampaikan maknanya secara khusus, lalu Nabi mempelajari dan mengartikulasikannya dengan bahasa Arab. Pendapat ini merujuk kepada literal Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26): 193-194; ―nazala bi hi al-rû al-amîn

„alâ qalbika‖; ketiga, bahwa Jibril menyampaikan makna kepada Nabi dan mengartikulasikannya ke dalam bahasa Arab. Jibril menyampaikannya dengan bahasa Arab sebagaimana makhluk yang ada di langit membacanya.191 Pendapat pertama dapat diartikan bahwa Tuhan mengirimkan pesan kepada Nabi Muhammad dengan bahasa Arab. Sedang menurut pendapat kedua dan ketiga komunikasi Tuhan tidak menggunakan sarana bahasa manusia, tetapi dengan bahasa langit yang tidak dapat diidentifikasi oleh manusia. Adapun Toshihiko Izutsu, dengan mengaitkan pendapatnya tentang proses pewahyuan di atas, dapat dipahami bahwa Tuhan sendirilah yang membahasaarabkan al-Qur‘an. Pandangannya yang menyatakan bahwa al-Qur‘an diturunkan dalam bahasa Arab lagi-lagi menegaskan bahwa ia sama sekali tidak mempersoalkan otenstisitas kitab suci ini, sementara bagi sarjana lain hal ini menjadi isu yang menarik, baik untuk menunjukkan transendensi al-Qur‘an maupun untuk menunjukkan hal sebaliknya bahwa ia hanya jiplakan dari kitab suci sebelumnya.

190 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 199-201.

191 Lihat Badr al-Dîn Muammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî,, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, taẖqîq: Muẖammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm, Juz I, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, t.th.), (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, t.th.), h. 229; Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân

Sarjana yang menyatakan bahwa bahasa al-Qur‘an bukan bahasa Arab dengan tujuan untuk menunjukkan transendensi al-Qur‘an adalah Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî. Untuk menguatkan pendapatnya tersebut, ia mengemukakan beberapa contoh mukjizat yang diturunkan kepada utusan-utusan Tuhan sebelum Nabi Muhammad. Nabi Isa, misalnya, yang diberi mukjizat dapat menyembuhkan orang yang sedang sekarat bahkan menghidupkan kembali orang yang sudah mati. Mukjizat ini meskipun ada kemiripan dengan ilmu kedokteran, namun tidak bisa dikategorikan sebagai ilmu kedokteran. Dalam konteks al-Qur‘an, gaya bahasa (uslûb)-nya yang tidak dapat ditandingi oleh sastra gubahan penyair-penyair Arab, walau pun dapat dipahami oleh orang-orang Arab, menunjukkan bahwa bahasa al-Qur‘an berbeda dengan bahasa Arab.192

Sarjana-sarjana yang menyatakan bahasa al-Qur‘an sebagian bukan asli Arab untuk menunjukkan bahwa al-Qur‘an tidak lain adalah jiplakan dari kitab-kitab sebelumnya, di antaranya, adalah Abraham Geiger (1810-1874), Arthur Jeffery (1893-1959), dan Christoph Luxenberg (nama samaran). Bukti-bukti bahwa bahasa al-Qur‘an tidak otentik bahasa Arab, menurut Abraham Geiger adalah adanya empat belas kosakata al-Qur‘an yang berasal dari bahasa Ibrani atau tradisi Yahudi. Kempat belas kosakata tersebut adalah tâbût, taurâh, jannât „adn, jahannam, abâr, darasa, rabbânî, sabt, sakînah, thâghût, furqân, mâ„ûn, matsânî, dan malakût.193 Sementara Arthur Jeffery menghimpun 317 kosakata yang diyakininya bukan asli bahasa Arab.194 Menurutnya, keberadaan kosakata serapan tersebut meniscayakan bahwa Muhammad selaku pengemban risalah al-Qur‘an banyak mempelajari fenomena budaya dari bahasa asal kosakata tersebut.195 Untuk mengukuhkan pandangannya tersebut, ia juga mengandalkan riwayat tentang ketidaktahuan ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs

192 Fahd ibn

ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî, Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm, h. 13.

193Lihat Abraham Geiger, ―What did Muhamamd Borrow from Judaism?‖ dalam Ibn Warraq

(ed.), The Origin of the Koran, (New York: Prometheus Books, 1998), h. 166-172.

194 Lihat Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, (Leiden-Boston: Brill, 2007), h. 43-296.

74

– sahabat Nabi yang paling alim yang digelari tarjumân al-Qur‟ân– mengenai makna kosakata tertentu dalam beberapa ayat al-Qur‘an, seperti makna kata fâthir ( ) yang terulang sebanyak enam kali dalam al-Qur‘an. ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs baru memahami makna kata tersebut setelah secara tidak sengaja mendengar perkataan salah seorang dari dua orang Arab yang sedang memperebutkan sebidang tanah. Kalimat yang diucapkan oleh salah seorang tersebut adalah ana fathartuhâ (

).196 Ketidaktahuan seperti ini, menurut Arthur Jeffery, menjadi bukti bahwa kosakata tersebut sebenarnya bukan asli dari bahasa Arab. Selain itu, Arthur Jeffery juga menyatakan bahwa kosakata yang terkait dengan aksesori, seperti istabraq ( ), sundus ( ), zanjabîl ( ), misk ( ), surâdiq ( ), dan abâriq (

), tidak mungkin dikenal oleh masyarakat Arab yang pada ketika itu kehidupannya masih diselimuti kejahiliahan.197 Dengan mengutip Jalâl Dîn al-Suyûthî,198 ia mengklasifikasi sebelas bahasa asal kosakata serapan al-Qur‘an, yaitu: Ethiopia, Persia, Romawi, India, Syria, Ibrani, Nabathean, Koptik, Turki, Negro, dan Barbar.199 Dari bahasa-bahasa inilah bahasa Arab mengambil banyak kosakata yang terkait dengan keagamaan ataupun kebudayaan. Kemudian ia menguraikan kesebelas bahasa tersebut satu persatu untuk membuktikan kedekatan hubungannya dengan bahasa Arab disertai sejumlah contoh kosakata. Arthur Jeffery menyimpulkan bahwa adanya kosakata serapan tersebut dalam al-Qur‘an menunjukkan adanya pengaruh luar, terutama dari ajaran Yahudi dan Nasrani terhadap al-Qur‘an.200 Christoph

Luxemberg, orientalis berkebangsaan Jerman asal Lebanon yang bernama asli Ephraem Malki, melalui bukunya Die Syrio-Aramäische Lesart des Koran: eine Entschüsselung der Koransprache, menyimpulkan bahwa bahasa al-Qur‘an sebenarnya bukan bahasa Arab, tetapi bahasa Aramaik dengan dialek Syria

196 Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 7.

197 Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 11.

198 Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm al

-Qur‟ân, Juz I, h.138-141.

199 Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 12.

Aramaic). Oleh karena itu, banyak kosakata dan ungkapan yang semula sering dibaca keliru atau sulit dipahami dapat diatasi dengan merujuk kepada bahasa Syrio-Aramaic yang diyakininya menjadi lingua franca pada saat itu. Ia juga berkesimpulan bahwa ajaran al-Qur‘an banyak mengambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen Syria.201

Di kalangan sarjana Muslim sendiri masalah kemurnian bahasa Arab al-Qur‘an ini juga sempat menjadi polemik; apakah ia berbahasa Arab secara murni atau ada unsur-unsur bahasa lain di dalamnya. Polemik seputar masalah ini melahirkan dua kelompok mainstream. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa semua kosakata yang ada dalam al-Qur‘an adalah bahasa Arab. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa sebagian kosakata al-Qur‘an merupakan kosakata bahasa asing.

Sarjana-sarjana Muslim yang dapat dikategorikan termasuk dalam kelompok pertama adalah Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‗î (w. 204/820), Abû ‗Ubaidah (w. 209/825), Muẖammad ibn Jarîr Thabarî (w. 310/923), Abû Husain ibn Fâris al-Lughawî (w. 395/1004), dan Abû Bakr ibn al-Thayyib al-Bâqillânî (w. 403/1012).202 Mereka mendasarkan argumentasinya pada ayat-ayat al-Qur‘an yang menyebutkan bahwa al-Qur‘an diturunkan dengan bahasa Arab.203 Mereka menuduh orang-orang

yang berpendapat bahwa di dalam al-Qur‘an terdapat kosakata tertentu bukan bahasa Arab sebagai tindakan tergesa-gesa, karena ketidaktahuan terhadap kosakata tersebut lalu mengatakan sebagai bukan bahasa Arab, padahal sesungguhnya ia bahasa Arab. Adalah sebuah kewajaran jika kosakata tertentu dituturkan oleh beberapa orang dari penutur bahasa yang berbeda.204 Sementara itu, mereka yang berargumen bahwa di

201Dikutip dari Syamsuddin Arif, ―Al-Qur‘an, Orientalisme, dan Luxemberg,‖ dalam Jurnal

Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005, h. 19.

202 Badr al-Dîn Mu

ẖammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 287; Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 136.

203 Lihat Q.S. Yûsuf (12): 2; al-Ra‗d (13): 37; al-Na

ẖl (16): 103; Thâhâ (20): 113; al-Syu‗arâ

(26): 195; Zumar (39): 28; Fushshilat (41): 3 dan 44; Syûrâ (42): 3; Zukhruf (43): 3; dan al-Aẖqâf (46): 12.

204 Amad Muammad ibn Idrîs al-Syâfiʻî, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Muammad ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir (ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979), h. 42.

76

dalam al-Qur‘an terdapat kosakata asing yang menjadikan al-Qur‘an tidak murni berbahasa Arab adalah ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs (w. 68 H.), ‗Ikrimah (w. 105 H.), dan lain-lain.205 ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs, ketika ditanya tentang Q.S. al-Muddatstsir (74): 51 ( ), menjelaskan bahwa kata qaswarah adalah bahasa Ethiopia, yang padanannya dalam bahasa Arab adalah al-asad, dalam bahasa Persia disebut syîr, dan dalam bahasa Nabathean disebut awiyâ.206

Di sisi lain, dalam tradisi kesarjanaan Muslim, kosakata asing dalam al-Qur‘an diistilahkan dengan al-gharîb atau gharîb al-Qur‟ân. Istilah ini mejadi bidang kajian tersendiri dalam disiplin ilmu tafsir yang menafsirkan kosakata yang samar dalam al-Qur‘an. Pembahasan tentang gharîb al-Qur‟ân didasarkan atas ẖadîst Nabi saw, disamping fakta bahwa kaum Muslim generasi awal juga tidak mengetahui makna beberapa kata dalam al-Qur‘an.207

Polemik sekitar kearaban al-Qur‘an ini di kalangan sarjana Muslim hanya membawa implikasi terhadap boleh tidaknya salat menggunakan bahasa selain Arab. Dengan kata lain, tidak sampai pada pendapat bahwa al-Qur‘an berasal dari kitab -kitab lain. Imam al-Syâfi‗î tidak membolehkan salat dengan menggunakan bahasa selain Arab, sementara Imam Abû Hanîfah memperbolehkannya dengan beberapa alasan, di antaranya adalah riwayat ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd yang pernah membimbing bacaan al-Qur‘an seorang non Arab („ajam). Ketika sampai pada bacaan

pada [Q.S. al-Dukhân (44): 43-44] orang tersebut

membacanya dengan

,

lalu oleh ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd diarahkan untuk membacanya dengan . Kemudian ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd mengatakan bahwa bukan merupakan suatu kesalahan jika seseorang mengganti kata dengan

205 Lihat Badr al-Dîn Muammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 288.

206‗Imâd al-Dîn Abî al-Fidâ‘ Ismâ‗îl ibn Katsîr al-Damsyîqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm, Jilid XIV, Taẖqîq: Mushthafâ al-Sayid Muẖammad, et. al., (Kairo: Muassasah al-Qurthubah, 2000), h, 190.

207 Lihat Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al-Itqân fî ʻUlûm

, namun yang dimaksud dengan kesalahan adalah jika ayat yang bermakna azab diganti maknanya dengan kasih sayang.208

Pandangan Toshihiko Izutsu di atas sejalan dengan pandangan sarjana-sarjana Muslim secara umum, sebagaimana direkam oleh Jalâl al-Dîn al-Suyûthi dalam al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân.209 Pandangan tersebut mendapat legitimasi dari ayat-ayat al-Qur‘an. Dalam banyak tempat, al-Qur'an sendiri secara tegas mengatakan bahwa dirinya sebagai ʻarabîy. Hal ini terekam dalam setidaknya ada dalam enam ayat, salah satunya adalah Q.S. Thâhâ (20): 30, ―Kami menurunkan al-Qur‟an dalam bahasa

Arab agar kamu memahaminya.‖210 Adalah hal yang aneh jika al-Qur‘an tidak

memakai bahasa Arab, karena Nabi Muhammad adalah orang yang lahir, hidup, dan besar dalam kultur dan budaya sosial masyarakat Arab yang bahasa Arab menjadi alat komunikasinya.