• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : METODE TOSHIHIKO IZUTSU DALAM PENAFSIRAN AL- QUR‘AN

B. Mekanisme Penerapan Metode Semantik terhadap al- Qur‘an

1. Konsep Allah

Pandangan dunia atau weltanschauung al-Qur‘an, menurut Toshihiko Izutsu, pada dasarnya bersifat teosentris. Gambaran tentang Tuhan meliputi seluruh sistem al-Qur‘an. Dan dengan demikian, dalam sistem ini, konsep Tuhan menguasai dan memaksakan pengaruhnya secara mendalam pada struktur semantik kata-kata kunci. Atas pertimbangan inilah Toshihiko Izutsu membahas secara khusus konsep Allah ini

336 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, h. 143. 337Fazlur Rahman, ―Islam: Challenges and Opporunities,‖ sebagaimana dikutip oleh Ahmad

Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), Cet. II, h. 137.

dalam God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung,339 sebelum membicarakan secara terperinci mengenai hubungan Tuhan dan manusia.

Toshihiko Izutsu menyatakan bahwa konsep Tuhan dalam weltanschauung al-Qur‘an berbeda dengan konsep Tuhan dalam filsafat Yunani. Tuhan dalam filsafat Yunani hidup dalam kemuliaan-Nya, mencukupi diri-Nya sendiri dengan kesunyian dan jauh dari manusia. Sementara Tuhan dalam weltanschauung al-Qur‘an

melibatkan diri-Nya secara mendalam dalam urusan manusia, tidak hanya ketika dalam kehidupan dunia ini, tapi juga dalam kehidupan akhirat kelak.340 Pernyataan ini memiliki alur yang sejalan dengan pendapat Fazlur Rahman. Menurut Fazlur

Rahman, keberadaan Tuhan dalam pandangan al-Qur‘an sesungguhnya bersifat fungsional. Artinya, Dia adalah Pencipta dan Pemelihara alam semesta dan manusia, terutama Dia-lah yang memberi petunjuk kepada manusia dan yang akan mengadili manusia kelak, baik secara individu maupun kolektif, dengan keadilan yang penuh rahmat.341 Dengan kata lain, konsep Tuhan adalah fungsional. Yakni, Tuhan

dibutuhkan bukan karena siapa Dia atau bagaimana Dia, tetapi karena apa yang Dia lakukan.342

Pengamatan yang cermat terhadap al-Qur‘an akan mengungkapkan bahwa al -Qur‘an menghubungkan seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan: mulai dari hujan sampai ke proses jatuh-bangunnya bangsa-bangsa, dari kemenangan dan kekalahan dalam perang dan damai sampai ke revolusi yang teratur dari benda-benda kosmos, semuanya dikembalikan kepada Tuhan. Salah satu fungsi utama dari adanya gagasan tentang Tuhan, tandas Fazlur Rahman, adalah menjelaskan keteraturan alam semesta. Keteraturan ini dapat dilihat dari tidak adanya pelanggaran hukum dalam jagat raya dan seluruh kosmos merupakan kesatuan yang organis. Sementara alam

339 Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, Bab IV, h. 100-124.

340 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 100.

341 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Quran, h. 1.

342 Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, peny. Taufik Adnan Amal,

menurut al-Qur‘an merupakan sebuah tatanan (kosmos) yang berkembang dan dinamis. Ia diciptakan bukan untuk suatu permainan yang sia-sia, tetapi harus ditanggapi secara serius. Manusia harus mempelajari hukum-hukumnya, yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan, dan menjadikannya sebagai arena bagi aktifitas manusia yang punya tujuan.343

Tuhan dalam al-Qur‘an dikenal dengan nama Allah.344 Kata ini, menurut

Toshihiko Izutsu, bukanlah nama yang asing dan aneh bagi orang-orang Arab pada masa pra-al-Qur‘an, tapi sudah dikenal luas, bukan saja di lingkungan Yahudi-Kristen yang monoteistik, tetapi juga di kalangan orang-orang nomaden murni.345 Sebagai buktinya, kata tersebut sudah digunakan dalam puisi-puisi pra-Islam, gabungan nama-nama orang, dan tulisan-tulisan kuno.346 Bahkan Toshihiko Izutsu menandaskan bahwa tanpa bantuan literatur non-al-Qur‘an sekalipun, dalam arti hanya dengan mengandalkan informasi dari al-Qur‘an semata, dapat diketahui bahwa konsep Allah tidak hanya ada dalam pandangan religius orang-orang Arab pra-Islam, bahkan lebih dari itu konsep tersebut sudah memiliki struktur makna batin tersendiri di kalangan orang-orang Arab pra-Islam tersebut.347Pandangan ini menegaskan apa yang telah dikemukakannya di depan, bahwa dalam penyusunan struktur konseptual dasar

pandangan dunia al-Qur‘an tidak ada satu pun kata yang baru, termasuk kata Allah itu sendiri.

343 Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, h. 69.

344 Kata Allah menurut al-Râghib al-Asfahânî, diderivasi dari kata ilâh. Kata ―ilâh‖ ini

dibuang huruf depannya, yaitu hamzah, lalu diberi artikel definitif (alif-lâm) menjadi ―Allah‖. Kata

bentukan baru ini menjadi istilah khusus untuk menyebut Tuhan yang Esa, yang menciptakan dan memelihara alam semesta serta satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah. Lihat Râghib al-Asfahâni, Muʻjam Mufradât Alfâdz al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-ʻIlmîyah, 2004), h. 28.

345 Perlu diketahui bahwa, menurut Ali Mufrodi, para sejarawan Muslim tidak memberi

prediket kepada orang-orang Arab pra-Islam itu dengan sebutan paganism, tetapi orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang mengakui Allah sebagai Tuhan tetapi juga memuja berhala-berhala. Mereka berkeyakinan bahwa menyembah berhala itu bukan menyembah wujudnya, tetapi hal tersebut dimaksudkan sebagai perantara untuk menyembah Tuhan. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h. 9.

346 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 5.

Berdasarkan fakta tersebut, maka – menurut Toshihiko Izutsu – perlu

dielaborasi apakah konsep al-Qur‘an tentang Allah merupakan kelanjutan dari konsep pra-al-Qur‘an, ataukah merepresentasikan konsep yang sama sekali terputus dari konsep sebelumnya? Adakah kaitan esensial antara dua konsep tentang Tuhan yang ditandai dengan satu nama yang sama? Atau apakah ia merupakan sebuah persoalan tentang sebuah kata biasa yang digunakan untuk dua obyek yang berbeda?348 Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Toshihiko Izutsu menelusuri secara historis sikap orang-orang Arab ketika al-Qur‘an pertama kali menggunakan nama Allah ini. Ketika al-Qur‘an menyebut kata Allah, timbul perdebatan hangat antara orang-orang Muslim dan kafir tentang hakikat kata ini. Dari sudut pandang semantik, peristiwa ini mengindikasikan bahwa ada dasar pemahaman yang sama antara kedua belah pihak. Sebab kalau tidak ada kesamaan, tentu tidak akan ada perdebatan. Kesamaan dasar pemahaman tersebut dibangun oleh adanya unsur-unsur umum yang melekat pada kata Allah tersebut. Unsur-unsur umum itu dapat diketahui berdasarkan pembedaan metodologis antara makna dasar dan makna relasional.

Makna dasar kata ―Allah‖ dapat dibandingkan dengan kata Yunani ho theos, yang biasanya berarti ―Tuhan‖. Pada aras makna ini, kata tersebut dikenal oleh semua suku Arab pada masa pra Islam sebagai dewa lokal, karena masing-masing suku pada masa itu memiliki tuhan atau dewa lokal yang dikenali dengan nama diri. Orang Arab utara (Hijaz dan sekitarnya) memiliki tiga dewi, yaitu: al-Lat, al-Uzzâ, dan Manât yang dianggap sebagai anak-anak perempuan dewa agung (banât Allah). Kabilah Kinanah yang mempunyai hubungan intim dengan kabilah Quraisy baik dalam masalah politik maupun dalam soal pertalian darah, menyembah binatang aldoraban dan dewi al-Uzzâ yang dilambangkan sebagai sebuah pohon di Nakhla. Kabilah Hawazin yang berdiam di sebelah tenggara kota Mekah menyembah dewi al-Lat yang bertempat di Thaif dan dewi Manat yang dilambangkan sebagai sebuah batu di jalan

kabilah antara Mekah dan Syiria.349 Sedangkan orang-orang Arab selatan percaya kepada dewi bulan yang berpasangan dengan dewi matahari. Perkawinan antara keduanya melahirkan Venus. Mereka menyembah sanam (adalah patung dalam bentuk manusia yang terbuat dari logam dan kayu), watan (patung yang terbuat dari batu), dan nusub (merupakan sesembahan dalam bentuk batu karang yang dianggap berasal dari langit).350 Makna dasar ini merupakan salah satu garis penghubung antara dua konsepsi tentang Tuhan dalam sistem Arab pra-Islam dengan sistem al-Qur‘an. Hubungan lain didapat dari pengembangan makna relasional.

Pemahaman tentang makna relasional kata Allah di kalangan orang-orang Arab pra-Islam perlu dibedakan ke dalam beberapa kasus yang berbeda, yaitu: Pertama, konsep Allah menurut orang-orang Arab musyrik. Masyarakat Arab pra-al-Qur‘an telah mengenal konsep Allah sebagai Pencipta dunia; Yang menurunkan hujan, atau dalam pengertian yang lebih umum, Allah sebagai Pemberi hidup terhadap segala sesuatu yang ada di bumi; Dalam keadaan tertentu, Allah diyakini sebagai Yang wajib ditaati; Tuhan Maha Agung yang mengawasi kesucian sumpah; Pendiri beberapa kebiasaan keagamaan lama; dan Penguasa Ka‘bah. Dalam al-Qur‘an ditemukan terdapat banyak bagian yang menginformasikan hal tersebut.351 Fakta ini tentunya cukup mengejutkan, karena konsep demikian memiliki kedekatan dengan konsep al-Qur‘an. Akan tetapi kondisi ini tidak sampai membawa mereka kepada monoteisme murni. Mereka tetap menyembah dewa-dewa yang mereka percayai dapat menghubungkan mereka dengan Allah, dalam kapasitasnya sebagai Tuhan Ka‘bah di Mekah. Jadi dalam konsep masyarakat Arab pra-Islam, hierarki politeisme tertinggi tampaknya diberikan kepada Allah.352 Konsepsi ini tampak dengan sangat

349 Syed Ameer Ali, Api Islam, terj. H.B. Jassin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 83.

350 Muhammad Husein Haekaal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1984), h. 14.

351 Lihat Q.S. al-Nisâ‘ (4): 139; Q.S. al-Mu‘minûn (23): 86-89; Q.S. al-‗Ankabût (29): 61, 63,

dan 65; Q.S. Luqmân (31): 32; dan Q.S. al-Quraisy (106): 1-3.

jelas diungkap dalam al-Qur‘an.353 Al-Qur‘an juga merekam bahwa ide yang

mendasari adanya tuhan-tuhan lain di samping Tuhan yang maha tinggi adalah qurbân, yang secara harfiah berarti sarana pendekatan, yaitu pengambil hati dan perantara.354 Hal yang sama dilontarkan oleh W. Montgomery Watt. Ia menuturkan bahwa kedudukan Allah dalam sistem kepercayaan masyarakat Arab pra-Islam sebagai the High God, sementara dewi-dewi sebagai the lesser deities yang berfungsi sebagai perantara dalam menyembah Allah.355

Kedua, konsep Allah menurut orang-orang Yahudi dan Kristen. Pada masa itu, masyarakat Arab tinggal di lingkungan yang dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan Kristen yang besar.356 Kerajaan Bizantium,357 kerajaan Abyssina,358 dinasti

Ghassaniyah,359 dan dinasti Lakhmid,360 semua merupakan kerajaan-kerajaan Kristen.

353 Dalam Q.S. al-Zumar (39): 3, sejumlah orang musyrik berkata: ―Kami hanya menyembah

mereka (tuhan-tuhan lain) karena mereka membuat kami lebih dekat kepada Allah.‖

354 Q.S. al-Ahqâf (46): 28.

355W. Montgomery Watt, ―The Qur‘an and the Belief in a High God‖, dalam Publications of the Nederlands Institute of Archeology and Arabic Studies in Cairo, No. 4, (Leiden: E.J. Brill, 1981), h. 329, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat

(Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997), h. 172.

356 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 111-112.

357 Kerajaan Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur, dengan ibukota Konstantinopel,

merupakan bekas Imperium Romawi di masa klasik. Pada permulaan abad ke-7, wilayah imperium ini telah meliputi Asia kecil, Syria, Mesir, dan bagian tenggara Eropa hingga Danube. Pulau-pulau di laut Tengah dan sebagian daerah Italia serta sejumlah kecil wilayah di pesisir Afrika Utara juga berada di bawah kekuasaannya. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 11.

358 Kerajaan yang beribukota di Aksum dan beragama Kristen mazhab Monofisit ini

merupakan agen Kerajaan Bizantium yang bertugas menghalau segala ancaman dari Kekaisaran Persia. Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur‟an: Model Dialektika wahyu dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 36. Sekitar abad ke-6 sampai dengan abad ke-7 sedang terjadi persaingan kekuasaan di Timur Tengah antara Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Persia. Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, h. 11.

359 Kerajaan ini berfungsi sebagai pos luar Kerajaan Romawi Timur di Arab untuk

membendung serangan orang-orang Arab Badui. Sebagaimana kerajaan Abyssina, kerajaan ini juga menganut Kristen mazhab Monofisit. Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur‟an: Model Dialektika wahyu

dan Budaya, h. 36. Mazhab Monofisit memandang Yesus hanya memiliki satu hakikat, yaitu: manusia

– Tuhan. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, catatan punggung, h. 51.

360 Kerajaan ini merupakan wakil Kekaisaran Persia di Arab. Didirikan oleh ‗Amr ibn ‗Adi ib Nashr ibn Rabi‘ah ibn Lakhm. Kerajaan ini disebut juga Nasrid, berdiri pada pertengahan abad ke-3 M. Aliran Kristen yang berkembang di wilayah ini adalah Nestorian, yaitu suatu aliran yang memandang bahwa Yesus adalah benar-benar Tuhan tetapi dilahirkan sebagai manusia dari rahim perawan Maria. Dengan demikian, pribadi Yesus menyatukan dalam dirinya dua hakikat: manusia dan

Bahkan orang-orang Arab sendiri ada yang beragama Kristen. Di Hijaz ada dua kabilah yang masuk Kristen, yaitu: kabilah Judham dan kabilah Udhra. Di kota Mekah agama Kristen dianut secara individual, bukan dalam satu kabilah.361 Penganut Kristen di Mekah adalah orang-orang dari klan Banû Asad ibn ‗Abd al -Uzzâ.362

Kristen masuk ke Arab utara melalui perantaraan kerajaan Nabatean yang dimulai pada masa apostelik. Nabatean membawahi wilayah Damaskus, tempat St. Paulus menerima Kristen. Kelompok-kelompok Kristen telah berada di Arab barat laut pada abad ke-3 M. Ketika kaisar Konstantin menerima agama Kristen, penyiaran Kristen semakin berkembang di daerah perbatasan imperium Romawi. Kaisar

Konstantin bahkan mengutus para pekabar Injil ke beberapa wilayah, antara lain Theophillus – seorang pekabar Injil berkebangsaan India – untuk mengabarkan Injil ke wilayah Himyar (Arab selatan).363

Mengenai Yahudi, sejumlah suku Yahudi telah menetap di Arab. Mereka bertempat tinggal di Yatsrib (Madinah), Khaibar, Fadak, Taimâ‘, dan Wadî al-Qurra. Meskipun di Mekah secara praktis tidak tampak orang-orang Yahudi, ide-ide dan konsep Yahudi telah akrab dengan masyarakat Mekah.364 Tidak diketahui secara pasti sejak kapan agama ini masuk ke jazirah Arab. Menurut Alfred Guillaume ada tiga kemungkinan waktu agama Yahudi masuk ke jazirah Arab, yaitu: Pertama, abad ke-8 SM. Pada abad ini diketahui telah ada orang Yahudi di Arab, yaitu pada masa

kejatuhan Samaria tahun 721 SM. Tetapi dugaan ini tidak begitu kuat, karena hampir dapat dipastikan bahwa koloni militer di Aswan, sebelah utara Mesir, didirikan setelah kejatuhan Samaria. Kedua, abad ke-6 SM. Abad ini ditandai dengan

Tuhan. Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 168.

361 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 168.

362 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 112.

363 Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 168.

penyebaran secara besar-besaran orang Yahudi di berbagai wilayah. Di abad ini terdapat perkampungan Yahudi yang besar di Mesopotamia. Ketiga, abad ke-1 dan ke-2 SM. Yaitu ketika kerajaan Romawi begitu keras menekan orang-orang Yahudi di Palestina, kemudian orang-orang Yahudi ini diterima dengan baik oleh masyarakat Arab. Kemungkinan yang ketiga ini oleh Alfred Guillaume dianggap lebih tepat.365

Orang-orang Kristen dan Yahudi juga mengenal kata Allah sebagai Tuhan mereka.366 Kedua agama yang merupakan agama wahyu ini memiliki kepercayaan monoteistik yang diwarisi dari Ibrahim, yaitu mengakui dan menyembah Allah sebagai Tuhan yang Esa. Meskipun dalam doktrin Kristen,367 Allah menyatakan atau memperkenalkan diri-Nya sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus,368 namun menurut rumusan ajaran Kristen, keyakinan yang demikian tidak boleh disebut dengan politeisme, tetapi harus dikatakan sebagai suatu model dari monoteisme. Sebab oknum kedua (Putra) dan oknum ketiga (Roh Kudus) merupakan bagian dari Allah sang Bapa. Atau dengan istilah lain, bahwa ketiganya adalah dalam keesaan atau keesaan dalam ketigaan.369

Konsep tentang Allah yang berkembang di Arab pada waktu itu, menurut Toshihiko Izutsu, mempengaruhi kedua belah pihak, yaitu pihak Arab Jahiliyah di

365 Alfred Guillaume, Islam, (1982), sebgaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 166. Pendapat ini sama dengan Philip K. Hitti. Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: MacMillan & Co., 1958), h. 61.

366 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 104.

367 Istilah Kristen diambil dari kata kristus, gelar kehormatan keagamaan untuk Yesus,

pembawa agama ini. Kata kristus berasal dari bahasa Yunani (khristos) yang berarti diurapi, yaitu

digosok dengan minyak suci sebagai suatu upacara konsekrasi atau pensucian. Jadi kata ―Kristen‖

mengandung arti orang yang telah dibaptis dengan perminyakan suci. Dengan pembabtisan tersebut, seseorang telah diakui sah sebagai pengikut Kristus. Lihat C.J. Bleeker, Pertumbuhan Agama-agama Dunia, terj. Barus Siregar, (Bandung: Sumur Bandung, 1964), h. 64. H.M. Arifin, Menguak Misteri

Ajaran Agama-agama Besar, (Jakarta: P.T. Golden Terayon Press, 1997), h. 134.

368 Keyakinan seperti ini disebut trinitas atau tritunggal, yang berarti ada tiga oknum kekal

dalam hakikat Allah yang Esa itu. Tiga oknum ini dapat dikatakan sebagai tiga kepribadian Allah. Ketiga-tiganya tidak dapat dipisahkan, namun dapat dibedakan. Ketiganya adalah kesatuan yang merupakan satu kebenaran yang Esa. Tujuan pembedaan tersebut adalah supaya hamba-Nya mengenal-Nya dan merasakan kedekatan dengan-Nya. Lihat Henry C. Theiessen dan Vermon D. Doerksen, Teologi Sistematika, (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Emas, 1997), Cet. IV, h. 138.

satu sisi dan pihak Yahudi dan Kristen di sisi lain.370 Pendapat ini berbeda dengan Philip K. Hitti yang menolak adanya pengaruh Yahudi dan Kristen di Hijaz. Ia memandang bahwa meskipun wilayah dikelilingi oleh berbagai kebudayaan, peradaban, dan agama, tetapi tidak mampu mengubah peradaban dan agama penduduk asli Hijaz.371

Ketiga, Konsep Allah menurut orang-orang hanif. Konsep Allah juga dikenal dalam agama hanif. Dalam agama hanif ini, Allah adalah Tuhan alam semesta, Pencipta segala sesuatu dan dengan demikian semua makhluk adalah hamba-Nya, Raja langit dan bumi yang Mahabesar yang menguasai rakyat-Nya dengan kekuasaan yang absolut. Konsep demikian dalam agama hanif ini, menurut Toshihiko Izutsu, dapat ditelusuri dari syair-syair Umayyah ibn Abî Salt.372

Dengan demikian untuk sementara dapat disimpulkan bahwa beberapa konsep tentang Allah yang dimiliki oleh orang-orang Arab pra-al-Qur‘an memiliki kedekatan dengan konsep Islam.

370 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 112.

371 Philip K. Hitti menyatakan: ―… it may be safely stated that al-Hijaz in the century preceding the mission of Muhammad was ringed about with influences intellectual, religious and material, radiating from Byzantine, Syrian (Aremean), Persian, Ghassanid, Lakhmid and Yamanite channels; but it cannot be asserted that al-Hijaz was in such vital contact with the higher civilization of the north as to transform its native cultural aspect. Then too, although Christianity did find a footing in Najran, and Judaism in Yaman and Hijaz, neither seems to have left much of an impresson on the North Arabian mind.‖ Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 107.

372 Umayyah ibn Abî Salt merupakan tokoh sastra Jahiliyah yang luar biasa. Ia merupakan

salah seorang pemuka suku Tsaqif. Pada jaman Jahiliyah, ia dikabarkan mencari agama monoteistik sejati, menjauh dari semua penyembahan berhala, tapi merupakan pembangkang yang terisolir, tanpa menjadi Yahudi maupun Kristen, sekalipun atmosfir spiritual tempat ia tinggal hampir sepenuhnya Yahudi dan Kristen. Ia dikabarkan mempelajari bahasa Yahudi dan Syiria secara serius dan membaca bagian-bagian dari Kitab suci yang bisa diperoleh dalam kedua bahasa tersebut. Hal ini diperkuat dengan keberadaan sejumlah besar kata-kata Yahudi dan Syiria dalam syair-syairnya yang sangat mengganggu para filologis periode Abbasiyah karena sangat aneh, sehingga Ibn Qutaibah menyatakan bahwa dia merupakan satu-satunya penyair Jahiliyah yang syair-syairnya tidak dapat digunakan sebagai ẖujjah dalam menafsirkan al-Qur‘an lantaran banyaknya kata-kata Yahudi dan Syiria dalam syair-syairnya tersebut. Pakaiannya, dalam salah satu hadis, dinyatakan sebagai sarung atau kain yang terbuat dari bulu kasar, sebagai tanda orang yang seluruh waktunya digunakan untuk beribadah. Ia menyatakan bahwa anggur itu haram dan menyebut agama yang dicarinya sebagai al-dîn al-anîfah

(agama hanif) yang dikaitkan dengan Ibrahim dan Ismail. Toshihiko Izutsu, God and Man in the